🈀 · ᝰ uno ˊˎ-

"Benarkah? Kau akan datang ke sini?"

Nada bahagia terselip di setiap kata yang ia ucapkan. Keantusiasan menyelimuti dirinya saat ini. Terlebih ketika wanita itu baru saja mendapat kabar dari kekasihnya melalui sambungan telepon.

"Ya, benar. Apa kau sudah rindu denganku, (Y/n)?" godanya dengan senyuman yang tak dapat (Y/n) lihat.

"Aku merindukanmu, Shuji-kun."

Mendapatkan jawaban secepat itu dari (Y/n), Shuji sempat terkejut sesaat. Namun, kemudian senyumnya kian melebar seraya menjawab, "Aku lebih merindukanmu, (Y/n)."

(Y/n) mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum ia tertawa geli. "Kau selalu tak mau mengalah, ya?" ujarnya.

Percakapan itu seketika terhenti ketika ada seseorang yang memanggil (Y/n). Rupanya yang memanggilnya itu merupakan salah satu rekan kerjanya. Ia berkata bahwa ia membutuhkan bantuan (Y/n). Ah, wanita itu lupa jika saat ini ia sedang bekerja di sebuah café.

"Kututup dahulu teleponnya. Ada hal yang harus kukerjakan," ucap (Y/n) mengakhiri sambungan telepon itu.

"Ah, kau masih bekerja saat ini ya? Baiklah, sampai jumpa nanti. Hubungi aku ketika kau sudah tiba di rumah."

Sambungan telepon itu pun diputuskan oleh (Y/n) lebih dahulu. Ia beranjak dari gudang dan bergerak menuju area luar di mana ada banyak pengunjung yang mengantre ataupun duduk santai. Kini (Y/n) hanya bisa berharap bahwa atasannya tidak akan memecatnya karena mengangkat telepon ketika sedang bekerja.

***

Tatapannya tertuju pada layar ponselnya yang menampilkan bayangan wajahnya sendiri. Beberapa saat yang lalu, suara wanita yang ia cintai baru saja terdengar dari sana. Namun, kini suara antusias itu hanya berputar-putar di dalam kepalanya.

Shuji bangkit dari duduknya. Sama dengan (Y/n), ia pun masih berada di tengah jam kerjanya. Keduanya memang saling merindukan hingga mengambil risiko menjawab panggilan telepon di tengah jam kerja.

Dengan cekatan, Shuji memindahkan tumpukan kardus dari truk ke bagian dalam minimarket. Kurang lebih ada lima belas kardus yang berada di dalam truk itu. Hanya Shuji dan seorang rekan kerjanya yang membantunya saat ini.

Tak memakan waktu terlalu lama, pekerjaan itu pun selesai. Semua kardus telah dipindahkan ke dalam minimarket. Sisanya merupakan pekerjaan pegawai minimarket yang selalu diselimuti oleh dinginnya air conditioner. Berbanding terbalik dengan Shuji yang saat ini bermandi keringat.

Ia mengusap peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan. Tatapan tertuju ke arah langit bernuansa biru. Cerah, seperti perasaannya saat ini. Meskipun ia baru saja mengangkat beberapa kardus yang cukup berat.

"Tunggu aku, (Y/n)."

***

Janji yang sebelumnya hanya sebatas ucapan belaka kini menjadi nyata. Terealisasikan dengan sempurna tanpa adanya ketidakpastian. Terasa indah dan sulit dipercaya oleh kedua mata.

Keduanya berdiri saling berhadapan. Dengan tatapan yang sama. Tatapan yang memancarkan kerinduan bagi satu sama lain. Sungguh tak dapat dipercaya bahwa kini mereka bertemu secara fisik. Tanpa melalui ponsel ataupun alat elektronik lainnya.

"(Y/n)..."

Keduanya berjalan mendekat. Hingga pada akhirnya epidermis mereka saling bersentuhan. Pelukan hangat pun tersalurkan. Menciptakan gelombang pada bagian bawah dress yang dikenakan (Y/n).

"Aku benar-benar merindukanmu."

Shuji mengutarakan isi hatinya. Perasaan yang akhirnya berhasil ia katakan secara langsung pada (Y/n).

"Aku juga."

Pelukan hangat itu pun dilepaskan. Bersamaan dengan jatuhnya dedaunan berwarna jingga kemerahan. Nuansa musim gugur seketika tercipta di sana.

"Berapa lama kau akan tinggal di sini, Shuji-kun?" tanya (Y/n). Ia belum menanyakan hal ini pada Shuji. Wanita itu lupa dan pada akhirnya sekaranglah baru ia laksanakan.

Ditanya demikian membuat Shuji menatap (Y/n). Lelaki itu membiarkan tatapannya berlabuh pada (Y/n) seraya memikirkan jawaban yang paling tepat.

"Selamanya. Selamanya aku akan berada di sini, di sisimu." Ia tersenyum sambil mengusap kepala (Y/n) dengan lembut.

"Kau... serius?"

Hanya itu yang bisa (Y/n) katakan. Ia merasa terlalu speechless dan tak bisa berkata-kata meskipun ada banyak hal di dalam benaknya yang ingin ia katakan. Semua itu tersangkut di sana tanpa ada niat untuk dilontarkan.

"Mengapa tiba-tiba?" tanya (Y/n) bingung sekaligus bahagia. Sungguh kedua perasaan yang tak cocok digabungkan. Namun itulah perasaannya saat ini.

Shuji melemparkan tatapan heran. "Apa kau tidak senang?"

Gelengan kepala (Y/n) menjawab pertanyaan Shuji. "Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu apa penyebabnya," jelasnya singkat.

Tatapan Shuji kembali menerawang ke depan. Tepat di mana ada banyak kendaraan yang berlalu lalang. Menguarkan karbon monoksida ke udara.

"Kaa-san sudah dipindahkan ke rumah sakit yang berada di sekitar sini. Kata dokter, kondisinya sudah membaik sehingga tak membutuhkan rumah sakit yang terlalu canggih. Setidaknya untuk saat ini." Ia diam sejenak. Sementara (Y/n) mencerna perkataan lelaki itu. "Aku sudah tak perlu mengkhawatirkan jarak di antara kita lagi, (Y/n). Karena kini aku bisa selalu berada di dekatmu."

Mendengar hal itu, kedua mata (Y/n) pun berkaca-kaca. Ia sontak memeluk Shuji dan memberikan rasa hangatnya dari pelukan itu. Shuji sudah melalui hari-hari yang berat. Sama seperti dirinya yang terjerat hutang akibat perbuatan ayahnya yang kini malah meninggalkan dirinya seorang diri.

"Lalu, bagaimana dengan biayanya?" (Y/n) mendongak, menatap Shuji masih dengan keadaan ia memeluk tubuhnya. Dapat terlihat beberapa helai bulu yang tumbuh di bawah dagunya.

"Aku menggunakan tabunganku. Hingga habis," jawab Shuji. Menyadari perubahan wajah (Y/n) menjadi khawatir, ia segera menambahkan, "Tenang saja. Aku masih bisa memenuhi kebutuhan hidupku sehari-hari."

"Ah, syukurlah." (Y/n) menghela napas lega. "Kau harus bilang padaku jika kau membutuhkan bantuanku. Kapan saja," imbuhnya.

"Kalau begitu, ada satu hal yang kubutuhkan darimu."

***

"Kau... yakin?"

Tanpa ragu, (Y/n) mengangguk. Toh ia memang sudah menduga jika Shuji akan meminta hal ini darinya. Hal yang sudah wajar bagi sepasang kekasih.

"Aku tidak akan memaksa jika kau tidak menginginkannya, (Y/n)."

Dengan lembut, (Y/n) menggenggam tangan Shuji. Menghantarkan rasa panas ke atas permukaan epidermis lelaki itu.

"Tak apa, Shuji-kun. Lakukan apa yang kau inginkan," ujar (Y/n) dengan tatapan serius.

Jika (Y/n) sudah berkata demikian, Shuji pun memilih untuk percaya. Dengan perlahan, ia mendorong tubuh wanita itu hingga berbaring di atas tempat tidur, di kamar milik (Y/n).

Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya sang tempat tidur berperan sebagai saksi bisu atas tindakan kedua insan di atasnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top