🈀 · ᝰ dos ˊˎ-

Sudah tepat tiga minggu setelah Shuji bertemu kembali dengan (Y/n). Keduanya melalui hari-hari dengan kebahagian yang terselip di tengah-tengah mereka. Terkadang Shuji berkunjung ke rumah wanita itu dan menemaninya semalaman. Atau keduanya memilih untuk mengunjungi ibu Shuji yang terbaring di rumah sakit.

Hari ini terasa membingungkan bagi (Y/n). Sejak pagi tadi, rasa mual memenuhi kerongkongannya. Namun, tak ada muntah yang dikeluarkan dari rongga mulutnya. Hanya saja, rasa mual itu kerap kali menghampiri dirinya. Memberikan ketidaknyamanan serta berbagai pikiran negatif di dalam kepalanya.

Untuk membungkam pemikiran negatif tersebut, (Y/n) memutuskan pergi ke apotik terdekat. Guna membeli beberapa test pack dengan merek yang berbeda. Tentunya dengan harapan bahwa ketakutan terbesarnya tak akan menghampiri dirinya saat ini.

***

Sebungkus rokok ditatapnya dengan saksama. Bungkus rokok itu baru saja dibeli oleh Shuji kala dirinya pulang kerja. Ia berniat untuk menghabiskan beberapa puntung rokok di dalamnya ketika tiba di rumah. Namun, ketika lelaki itu sampai di rumahnya, yang ia lakukan justru menatap bungkus rokok tersebut.

Melihat kotak kemasan rokok itu, sekaligus mengingatkan Shuji dengan (Y/n). Dengan gadis yang paling ia cintai setelah ibunya. Sosok yang ia sayang dengan sepenuh hati. Bahkan, masih bisa Shuji ingat dengan jelas apa yang terjadi di hari itu.

Siang itu, mentari bersinar sangat terik. Wajar saja, tahun telah memasuki musim panas. Di mana suhu udara mencapai angka lebih dari tiga puluh.

Peluh sudah membanjiri tubuh lelaki itu. Shuji berdiam di halaman belakang sekolahnya yang sepi. Tak ada seorang pun di sana selain dirinya sendiri. Namun, ketidakadaan orang lain di tempat itu menjadi kesempatan bagus bagi Shuji. Ia memanfaatkannya untuk berbuat nakal.

Merokok, tentu saja.

Baginya merokok bisa membuatnya lupa dengan masalah hidupnya sendiri. Terlepas dari beban-beban yang harus ia tanggung. Biaya rumah sakit ibunya, ayahnya yang pergi meninggalkannya, dan juga pekerjaannya setelah sepulang sekolah.

"Lihat, kau merokok lagi."

Mendengar suara yang sudah sangat akrab itu, Shuji sontak menoleh. Netranya menangkap sosok (Y/n) yang berdiri di sisinya. Tengah menatap lurus ke arah rokok di tangannya itu.

"Maaf, (Y/n). Sangat sulit bagiku untuk membuang kebiasaan merokok ini," balas Shuji. Meskipun jawabannya terdengar klise, faktanya memang demikian. Ia kesulitan menjauhkan dirinya dari kebiasaan tersebut. Padahal kekasihnya sendiri—(Y/n)—yang menyuruhnya.

Tak ada respon apapun yang (Y/n) berikan. Gadis itu hanya mendekat padanya hingga ia berdiri tepat di hadapan Shuji. Dengan sedikit berjinjit, ia mengecup pipi lelaki itu.

"Jika kau berhasil untuk tidak merokok, maka aku akan memberimu hadiah," ujar (Y/n).

Shuji bergeming. Ia tidak tahu jika (Y/n) bisa bertindak seperti itu. Jika demikianlah akhirnya, dengan yakin Shuji pasti bisa menghentikan kebiasaan merokoknya itu.

Sejak saat itu, (Y/n) memberikan hadiah jika dalam tiga hari berturut-turut Shuji tidak merokok sama sekali. Kue, bekal, atau kecupan singkat pada pipi. Hingga pada akhirnya Shuji sudah berhasil menghilangkan kebiasaan merokoknya itu.

Padahal dulu Shuji selalu beranggapan bahwa tidak akan ada seorang wanita pun yang bisa membuat dirinya berhenti merokok. Namun, kini ucapan itu sepertinya harus ia tarik kembali. Karena nyatanya, saat ini benar-benar berbanding terbalik.

Getaran yang berasal dari sakunya membuyarkan lamunan Shuji. Lelaki itu merogoh celananya, lalu mengeluarkan benda itu dari sana. Melihat nama wanita yang baru saja ia pikirkan, seketika sebuah senyum terpatri pada wajahnya.

"Shuji-kun."

"Ya, Sayang?" sahut Shuji dengan nada menggoda. Karena ia tahu, wajah (Y/n) selalu berubah menjadi merah kala ia memanggilnya dengan panggilan itu.

"Apakah kau berada di rumahmu saat ini? Aku ingin berbicara denganmu. Secara langsung, bukan melalui telepon," ujar (Y/n) lagi. Dari suaranya yang bergetar, Shuji tahu jika (Y/n) tengah merasa ketakutan.

"Ya, aku berada di rumah sekarang. Ada apa, (Y/n)?" Dalam ucapannya, terselip rasa cemas. Shuji tak tahu bagaimana ekspresi (Y/n) saat ini sebab ia tak dapat melihatnya.

"Aku akan segera datang ke rumahmu."

Sambungan telepon itu pun diputuskan begitu saja secara sepihak oleh (Y/n). Menciptakan keheranan pada benak Shuji. Sekaligus tanda tanya besar.

***

Suasana yang menyelimuti kedua insan itu sulit digambarkan. Terasa menegangkan, mencekam, dan yang paling utama ialah mengejutkan. Keduanya mendadak bisu. Tak ada kata-kata yang diucapkan setelah (Y/n) mengatakan dua patah kata kepada Shuji.

"Apa... katamu tadi?"

Tak percaya pada pendengarannya sendiri, Shuji meminta (Y/n) mengulang perkataannya. Ia tak yakin. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sedih, senang, kecewa, atau marah?

"Aku hamil."

Ketakutan terbesarnya kini berubah menjadi fakta. Apa yang (Y/n) bayangkan benar-benar terjadi. Dua garis yang ia lihat itu bukanlah sekedar garis biasa. Garis yang dapat mengubah hidupnya dalam sekejap mata.

"Lantas, apa yang akan kau lakukan, (Y/n)? Apa kau akan menggugurkannya? Lalu, berapa usianya saat ini?" cecar Shuji. Yang justru membuat (Y/n) merasa semakin tertekan.

(Y/n) menggeleng kuat-kuat. "Aku, aku tidak tahu, Shuji-kun. Aku benar-benar tidak tahu," katanya seraya menatap nyalang pada permukaan tatami kamar Shuji.

Tangan lelaki itu mengusap wajahnya secara frustasi. Ke mana perginya pengaman yang biasa ia gunakan ketika bercinta dengan wanita yang paling ia sayang? Ia tidak tahu, ia tidak ingat. Kini, semuanya telah terlambat untuk disesali.

"Aku akan bertanggung jawab atas janin di rahimku ini."

Ucapan (Y/n) kembali menarik Shuji pada kenyataan. Ia menatap lurus ke arah wanita itu yang tengah menangis. Menumpahkan kesedihannya di kala diri tengah dilanda malapetaka. Salah dirinya, salah mereka berdua.

"Apa kau yakin, (Y/n)?"

Tanpa jawaban yang diberikan, (Y/n) hanya mengangguk. Tak dapat dipungkiri, tubuhnya bergetar hebat. Air mata masih saja mengalir dari kedua pelupuk matanya.

"Masa depanmu akan hancur begitu saja," lanjut Shuji. Ia menatap nanar ke arah gadis di depannya itu. Bagaimanapun ini merupakan salahnya. Ia ikut andil dalam masalah ini.

"Masa depan kita." (Y/n) meralatnya. Tatapannya itu masih tertuju pada seorang lelaki di hadapannya. Seseorang yang ia cintai sekaligus sebagai akar dari masalah yang saat ini terjadi.

"Lagi pula, hal ini dapat terjadi karena perbuatan kita juga 'kan? Sudah sewajarnya kita harus bertanggung jawab, bukan?" cecar (Y/n) dengan derai air mata yang masih menghiasi kedua pipinya. Ia pun merasa sedih. Namun, ia tak mengatakannya. Karena nasi telah terlanjur menjadi bubur.

Napasnya seketika terasa berat untuk dihembuskan. Bebannya kini akan bertambah. Namun, benar kata (Y/n) yang duduk di hadapannya itu. Inilah akibat dari perbuatan mereka berdua, maka sudah sepatutnya mereka bertanggung jawab. Terlepas dari apapun kondisi mereka saat ini.

"Aku juga akan bertanggung jawab, (Y/n)."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top