🈀 · ᝰ cuatro ˊˎ-
Sekali lagi lembaran uang itu dihitungnya. Ketika diketahui bahwa hasilnya tetap sama, sebuah senyum pun mengembang di wajahnya. Shuji menatap uang hasil kerja kerasnya selama beberapa bulan belakangan ini. Pada akhirnya, tujuannya pun tercapai.
Namun, belum sepenuhnya tuntas. Kini ia masih perlu menjalankan tes DNA itu. Tentang bagaimana caranya memang sudah dipikirkan secara matang oleh Shuji. Termasuk dengan segala risiko dan konsekuensi apa saja yang bisa terjadi. Ia bahkan telah berkonsultasi dengan seorang dokter yang merupakan temannya dulu.
Kurokawa Izana, namanya. Adalah teman semasa SMA-nya dulu. Mereka cukup dekat ketika SMA. Namun, Izana harus pergi dikarenakan lelaki itu melanjutkan studi kedokterannya ke Amerika Serikat. Shuji tak perlu terkejut jika kala kembali ke Jepang, Izana telah menjadi seorang dokter.
"Kau yakin ini tak masalah, Shuji?" tanya Izana sekali lagi. Ia menaikkan kacamata yang bertengger di atas batang hidungnya.
Dengan yakin, Shuji mengangguk. "Ya. Aku sudah memikirkan semuanya. Benar-benar semuanya."
Izana berdecak. "Kau ini. Mengapa selalu melibatkanku dalam hal yang merepotkan?" gerutunya. Ia memijat pelipisnya sejenak.
Alih-alih kesal, Shuji justru terkekeh. "Kau satu-satunya temanku, Izana. Lagi pula, kurasa hanya kau saja yang berhasil menjadi seorang dokter di antara teman sekolah kita dulu," ujar lelaki itu.
"Mungkin," celetuk Izana. Toh ia tak tahu kabar tentang teman-temannya yang lain selain Shuji. Hanya Shuji seorang yang menjadi satu-satunya teman tang kabarnya ia ketahui. Meskipun kabar lelaki itu tidak baik sama sekali, menurut Izana. Namun, Shuji tampak bahagia, maka Izana tak terlalu memusingkannya.
"Berarti kau telah menikah, ya?" gumam Izana pelan. Ia menatap ke langit-langit ruang kerjanya di rumah sakit saat ini.
"Ya."
"Sejujurnya, aku lebih berharap (Y/n) memilihku daripada dirimu," ujar Izana seraya menatap Shuji serius. "Aku yakin ia pasti akan memilihku."
Mendengar tuturan Izana, Shuji mendengus. "Tak akan bisa. (Y/n) terlalu cinta padaku. Tanyakan saja padanya langsung jika kau tak percaya, Izana," balasnya.
"Hei, aku sedang bercanda, Shuji Bodoh."
Keduanya pun seketika tertawa. Terkadang Shuji merindukan momen ini. Momen di mana dirinya tertawa hanya karena hal sepele.
***
Seperti yang sudah direncanakan, hari ini (Y/n) kembali menjalankan pemeriksaan. Untuk mengecek apakah janin di dalam kandungannya mengalami kelainan genetika atau tidak. Tentu saja (Y/n) berharap tidak.
"Kau sudah siap?"
Suara itu megejutkan (Y/n) yang sejak tadi hanya menatap ke arah pintu di hadapannya. Di dalam sana seorang dokter telah menunggu. Dokter yang sama dengan yang sebelumnya memeriksa (Y/n).
"Um, sudah." Ia mengangguk.
Dengan perlahan, pintu itu pun dibuka. Menampakkan Izana di baliknya. Lengkap dengan jas dokter pada tubuhnya.
"Silakan berbaring, (Y/n)."
Menurut, (Y/n) pun segera berbaring di atas ranjang. Setelahnya, wanita itu terdiam. Ia membiarkan Izana melaksanakan serangkaian proses pemeriksaan pada janin di dalam rahimnya. Lagi pula, rasa takut (Y/n) akan jarum masih sangat kentara. Hingga membuatnya lebih memilih menatap ke arah langit-langit ruangan daripada memperhatikan apa yang sedang Izana lakukan.
Dalam diam, Shuji menyaksikan Izana yang tengah menyuntik perut (Y/n) yang sudah membesar. Suntikan itu dilakukan guna mengambil sampel dari cairan amnion atau air ketuban. Setelahnya merupakan tugas dari ahli DNA.
Shuji tahu, (Y/n) pasti akan sangat marah padanya kala wanita itu mengetahui apa yang sedang ia lakukan. Namun, entah karena dorongan apa, Shuji tetap bersikeras. Ia hanya ingin tahu. Itu saja. Firasatnya yang menyuruhnya demikian. Itulah yang dipikirkannya sejak tadi.
"Baik, sudah selesai."
Suara Izana membuyarkan lamunan Shuji. Sekaligus membuatnya tersadar bahwa sebentar lagi ia akan tahu kebenarannya. Kebenaran yang, entah mengapa, terasa lebih baik tidak ia ketahui.
***
Perlu waktu sekitar dua minggu hingga hasil tes DNA itu keluar. Dalam waktu empat belas hari itu, Shuji terus memikirkannya. Ia tak dapat menghilangkan atau menghapus pemikiran itu dari kepalanya. Entah mengapa dirinya merasa demikian.
Masih tersisa beberapa hari lagi sebelum faktanya terungkap. Shuji merasa tak sabar, sungguh. Ia ingin tahu, namun juga merasa takut di saat yang bersamaan. Pikirannya harus tetap rasional. Itulah yang ia katakan terus-menerus dalam benaknya.
"Kau akan pergi bekerja sekarang?"
Pertanyaan itu membuat Shuji, yang tengah mengenakan sepatu, menoleh. Mendapati istrinya berdiri di belakangnya. Dengan perutnya yang semakin membesar tengah menyodorkan payung padanya. Payung itu pun berpindah tangan pada lelaki itu.
"Ya," sahut Shuji seraya berdiri. Ia telah selesai memakai sepatunya. "Apa ada hal yang kau inginkan, (Y/n)?"
Sejenak (Y/n) memasang gestur berpikir. Namun, sesaat kemudian ia menggeleng. "Tidak ada, Shuji-kun. Yang kuinginkan hanyalah kau pulang dengan selamat dan dalam keadaan baik-baik saja," katanya disertai sebuah senyuman.
Perkataan (Y/n) membuat Shuji membalas senyumnya. Ia mengusap kepala (Y/n) dengan lembut. Menatapnya lamat-lamat. Dirinya tak ingin beranjak dari sana, namun waktulah yang mendorongnya demikian.
"Kalau begitu, aku pergi dahulu. Hubungi aku jika terjadi sesuatu," pesan Shuji.
Anggukan kepala (Y/n) serta lambaian tangannya menjadi hal terakhir yang Shuji lihat sebelum ia menutup pintu. Di luar, lelaki itu menghela napas panjang. Pandangannya tertuju ke arah langit. Di mana cakrawala didominasi oleh nuansa kelabu. Tampak gelap dan sudah siap menumpahkan hujan ke atas permukaan Bumi.
"Kau tak berbohong padaku 'kan, (Y/n)?" gumamnya pelan.
Serentak, sedetik setelahnya hujan pun turun. Shuji membuka payung pemberian (Y/n) dan mulai berjalan dalam hening. Dalam buana pikirannya sendiri.
***
Hari yang ditunggu pun tiba.
Hasil tes DNA itu keluar tepat pada hari ini. Sepulang kerja, Shuji segera dihubungi oleh Izana. Lelaki itu mengatakan bahwa hasil tes tersebut telah ada dan bisa diambil. Dengan demikian, Shuji segera memutar arah jalannya menuju rumah sakit.
Harapan Shuji sangat tinggi. Harapannya agar apa yang ia lihat nanti, sesuai dengan ekspektasinya. Ya, itulah harapannya. Sebuah hal yang berupa angan-angannya saja belaka.
Tangannya meremas selembar kertas itu. Ia tak boleh merobeknya karena marah. Pun Shuji tak dapat langsung terpancing oleh emosi. Meskipun bukti yang ada sudah sangat jelas.
Sekali lagi, lelaki itu menatap hasil tes DNA di tangannya. Sesaat ia terdiam sebelum melangkah pulang dalam jurang kekecewaan yang tak berujung.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top