🈀 · ᝰ seis ˊˎ-
Hanya keterkejutan yang tersirat pada air mukanya. Kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu hanya terdengar seperti dengungan di telinga. Sungguh, rasanya Shinichiro ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.
Ia tak tahu apa penyebab (Y/n) berkata demikian. Ia mengakhiri hubungan mereka yang bahkan baru saja terjalin selama kurang lebih satu minggu. Dalam waktu yang sesingkat itu, sudah ada banyak hal yang mereka lalui bersama. Apakah (Y/n) lupa bahwa ia pernah merasa bahagia ketika bersama dengan Shinichiro?
"Aku ingin seorang diri untuk saat ini. Daripada aku terus-menerus menyakiti perasaanmu karena tak pernah membalas pesanmu itu, lebih baik hubungan ini kita akhiri saja."
Apakah kau pikir dengan mengakhiri hubungan kita, aku akan menjadi lebih baik-baik saja?
"Maaf jika selama ini aku membuat kesalahan padamu dan juga merepotkanmu." (Y/n) membungkukkan tubuhnya. Di balik surainya yang menutupi wajah, ia setengah mati menahan air matanya.
Kau tidak pernah membuat kesalahan apapun padaku, (Y/n). Justru aku yang salah karena tidak tahu apa-apa tentang dirimu.
"Maaf dan selamat tinggal, Shinichiro-Senpai."
Tidak, jangan pergi.
Namun, untaian kata-kata itu hanya bisa diucapkan dalam benaknya. Karena nyatanya, Shinichiro tak mampu mencegah tangan (Y/n) untuk pergi sebagaimana yang pernah ia perbuat dahulu.
***
Ketiadaan seorang ayah dan Shinichiro di sisi (Y/n) memberikan perubahan yang cukup signifikan.
Terlalu banyak kenangan yang telah mereka buat hingga sulit untuk dilupakan. Kenangan-kenangan tersebut telah bercampur menjadi satu. Yang kini justru hanya menyisakan pedih di dalam relung hati.
Sebenarnya, apa yang selama ini (Y/n) rasakan? Ketika ia menghabiskan waktunya bersama dengan Shinichiro, apa yang ia rasakan? Apakah ia merasa sedih? Atau justru bahagia? Jika dipikirkan kembali, tidak ada perasaan bernama sedih kala (Y/n) menghabiskan waktunya dengan Shinichiro. Lelaki itu selalu bertindak baik dan menyenangkan hatinya. Bahkan, ketika (Y/n) telah mengabaikannya, Shinichiro tetap berusaha untuk selalu ada untuk gadis itu. Hanya saja, (Y/n)-lah yang terus-menerus menolak keberadaannya.
Namun, memang ada kemungkinan bahwa Shinichiro bersikap baik karena sifat playboy-nya itu. Di mata (Y/n), sifat tersebut tidak akan pernah hilang. Sebaik apapun itu Shinichiro, gadis itu tetap akan menganggapnya demikian. Entah dari mana ia mendapatkan informasi itu, tetapi ia sudah menghendakinya.
Lamunan (Y/n) buyar kala dirinya tiba di depan gerbang sekolahnya. Sejenak ia berdiri di sana. Menatap ke arah siswa-siswi yang berlalu-lalang. Mereka bak berada di dunia yang berbeda dengan (Y/n).
Rutinitas (Y/n) selalu sama setiap harinya. Pergi ke sekolah di pagi hari, sepulang sekolah ia langsung pergi ke cafe untuk bekerja part time, setelah selesai bekerja gadis itu mengerjakan tugas yang diberikan oleh sensei-nya, lalu tidur dengan rasa kelelahan yang luar biasa. Esok paginya, semua kegiatan itu kembali diulang.
Terkadang, ada pula rapat OSIS yang harus (Y/n) hadiri. Mengingat bahwa festival sekolah yang akan dilaksanakan sebentar lagi, maka Takashi menjadi lebih sering mengadakan rapat. Di saat itu juga, untuk pertama kalinya (Y/n) menyesali keputusannya bergabung menjadi pengurus inti OSIS.
Hari ini merupakan hari Jumat, sehingga tidak ada jadwal kerja bagi (Y/n) hari ini. Ia pun bisa langsung pulang ke rumahnya tanpa pusing dengan hal-hal tersebut. Tubuhnya sudah terlalu lelah. Ia hanya ingin cepat-cepat mandi dan tidur.
Niat untuk keluar dari area sekolahnya pun digagalkan kala sebuah tangan mencengkeram lengannya. Membuatnya kembali teringat dengan momen di mana Shinichiro pernah melakukan hal yang serupa. Gadis itu sontak menggelengkan kepalanya. Tidak ingin mengingat-ingat kenangan itu lagi.
"Nee-san."
Mendengar suara itu, (Y/n) pun menoleh. Kemudian, ia mendapati Manjirou dan Emma yang berdiri di hadapannya. Mereka menatap (Y/n) dengan tatapan yang meminta belas kasihan. Sayangnya, target mereka salah. Karena yang saat ini mereka hadapi merupakan (Y/n) yang selalu bersikap realistis.
"Ada apa?" tanya (Y/n) tanpa basa-basi. Hei, ia hanya ingin pulang. Mengapa orang-orang selalu mencegatnya untuk pulang? Tidak kakaknya, tidak adiknya.
"Nee-san, ada hal yang kami ingin sampaikan padamu."
***
Jantungnya seketika mencelos. Seusai mendengar penjelasan dari Emma yang sangat panjang sepanjang Sungai Nil itu, pikiran (Y/n) pun menjadi bercabang. Prinsip yang selama ini ia tanamkan seketika menjadi goyah. Namun, bukan (Y/n) namanya jika gadis itu langsung mempercayai perkataan Emma dan Manjirou. Mengingat mereka merupakan adik dari Shinichiro, yang pastinya akan mengatakan apapun untuk melindungi kakak mereka.
"Maaf, tetapi aku bukan orang yang mudah percaya pada perkataan orang lain. Bisa saja kalian hanya membual tentang itu agar aku mengasihani kakak kalian," ujar (Y/n) dingin.
"Kami jujur, Nee-san! Ada alasan yang paling kuat mengapa kami tak pernah memberitahu tentang Shinichiro nii-chan yang selama ini telah ditolak terus-menerus." Emma menatap (Y/n) dengan pandangan memohon.
"Lebih tepatnya, sebanyak dua puluh kali," timpal Manjirou enteng.
Emma menyikut lengan kakak laki-lakinya itu. Kemudian, ia melemparkan tatapan tajam ke arah Manjirou. Yang ditatap hanya acuh sambil memakan taiyaki di tangannya.
"Lantas, mengapa aku tidak pernah mendengar hal itu di kalangan para murid?" todong (Y/n). Ia bersedekap.
"Itu, itu karena..." Emma tampak ragu untuk mengatakannya.
"Karena kami menjadi babu bagi mereka yang tahu tentang cerita menyedihkan Aniki. Sesederhana itu," jawab Manjirou. Namun, kali ini Emma tidak menyikut lengan lelaki itu. Justru ia berterima kasih karena Manjirou yang mengatakannya.
Kening (Y/n) mengernyit. "Menjadi babu?" ulangnya.
Mereka berdua sontak mengangguk. "Kami mengerjakan tugas mereka, membawakan tas mereka, serta menemani mereka jika mereka belum ingin pulang. Namun, hal itu tidak ada artinya jika demi Shinichiro nii-chan," jelas Emma.
(Y/n) menghela napas panjang. Tindakan Emma dan Manjirou itu benar-benar berada di luar akal (Y/n). Well, gadis itu memang merupakan anak tunggal, sehingga ia tak tahu-menahu perihal 'bagaimana rasanya memiliki seorang saudara kandung'. Mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama seperti Emma dan Manjirou. Namun, tentunya dengan logikanya yang ikut berjalan.
"Jadi, yang dapat kusimpulkan adalah bahwa Shinichiro-Senpai bukanlah seorang playboy melainkan sad boy? Selain itu, aku merupakan kekasih pertamanya?" ujar (Y/n) menyimpulkan.
Anggukan kepala Emma dan Manjirou membuat (Y/n) menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Pasalnya, (Y/n) pun masih merasa bingung akan hal ini. Ia tidak tahu apakah perkataan Emma dan Manjirou itu benar atau tidak.
"Ya, sudahlah. Akan kupikirkan lagi perkataan kalian itu."
***
"Mitsuya-san, apakah kau mengenal Sano Shinichiro?"
Pertanyaan yang tak Takashi duga akan ditanyakan oleh (Y/n) itu sontak membuatnya terkejut. Ia mengangkat kepalanya dari hadapan buku dan menatap (Y/n).
Mereka baru saja menyelesaikan rapat OSIS hari ini. Rindou dan Kokonoi telah pulang lebih dahulu. Rindou disuruh Ran, kakaknya, pergi ke minimarket untuk membeli barang yang dibutuhkan oleh Ran. Sementara, Kokonoi hanya ingin pulang karena hari sudah sore. Hanya tersisa (Y/n) dan Takashi yang masih berada di sana. (Y/n) memang menunggu semuanya pulang agar ia berbicara leluasa dengan Takashi.
"Um, aku mengenalnya," jawab Takashi. "Ada apa, (F/n)-san? Tidak biasanya kau menanyakan tentang orang lain," lanjutnya.
"Ah, bukan apa-apa. Menurutmu, Shinichiro-Senpai itu orang yang seperti apa?" tanya (Y/n) lagi. Ia tampak menunggu jawaban Takashi.
Takashi memasang gestur berpikir. "Ia pernah menolongku saat aku sedang membawa banyak barang. Hal itu terjadi di luar area sekolah kala aku tak sengaja bertemu dengannya," tutur lelaki itu.
"Oh, begitu."
"Apa masih ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Takashi. Tampaknya ia sudah bersiap untuk pulang.
(Y/n) pun menggeleng. "Tidak. Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku, Mitsuya-san."
Lelaki itu mengangguk samar. "Kalau begitu, ingin berjalan bersama hingga ke depan sekolah?"
"Tentu."
***
Dapat dibuktikan bahwa Shinichiro memang orang yang baik ke semua orang. Ia rela menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. (Y/n) sudah bertanya pada beberapa teman sekelasnya. Ternyata mereka pun merupakan salah satu orang yang pernah menerima bantuan Shinichiro.
Lantas, jika Shinichiro memang sebaik itu, mengapa masih ada orang yang memanfaatkan fakta memalukan seorang Shinichiro? Maksud (Y/n) ialah fakta tentang banyaknya penolakan itu. Entahlah, untuk pertanyaan ini (Y/n) masih tak paham. Memang tidak semua orang baik seperti Shinichiro. Justru itulah yang membuat dunia ini berwarna.
Tentang perkataan Emma yang menyatakan bahwa (Y/n) merupakan kekasih pertama Shinichiro itu sepertinya dapat dibuktikan dengan jelas dan akurat. Ketika (Y/n) pertama kali datang ke rumah Shinichiro, kedua adiknya menatap (Y/n) dengan berbinar-binar. Lalu, orang tua mereka pun memberikan reaksi yang sama. Menatap (Y/n) bak batu berlian yang langka. Harus diakui (Y/n) merasa risih sekaligus heran akan hal itu.
Dan di sinilah (Y/n) berada. Di depan sebuah rumah minimalis. Kali ini menjadi kunjungan kedua kalinya bagi (Y/n).
Namun sejak tadi gadis itu belum menekan bel. Ia hanya tergugu di sana. Entah menunggu apa. Ditariknyalah napas panjang, lalu dihembuskan sesaat kemudian. Berpikir bahwa sudah saatnya ia menekan bel itu.
Tak lama, pintu pun dibuka. Well, (Y/n) mengira bahwa Shinichiro-lah yang membukanya. Namun, ia salah besar. Karena nyatanya yang membuka pintu tersebut adalah Manjirou. Sepertinya Manjirou memang lebih sering membukakan pintu. Di pertemuan pertama mereka pun, lelaki itulah yang membukanya. Oke, bukan saatnya untuk memikirkan hal tak penting ini.
"Ah, Nee-san rupanya. Aku sudah menunggumu menekan bel sejak tadi. Aku kira kau tidak jadi berkunjung ke sini," ujar Manjirou santai.
"Kau... tahu?"
Manjirou hanya terkekeh. Ia tak menjawab perkataan (Y/n). "Jika Nee-san mencari Aniki, ia sedang berada di garasi. Sepertinya Aniki sangat merindukan Nee-san hingga hanya bisa menatap motornya itu."
"Terima kasih."
Garasi itu terletak di sisi kiri rumah. Jika jaraknya sedekat itu dengan pintu masuk utama, apakah Shinichiro melihat dirinya tadi? Well, sepertinya tidak. Mengingat perkataan Manjirou jika lelaki itu hanya sibuk menatap ke arah motornya saja.
Dengan langkah pelan tanpa suara, (Y/n) mendekati pintu garasi. Rupanya pintu itu terbuka lebar. Menampakkan apa yang ada di dalamnya.
Di saat yang bersamaan, Shinichiro bangkit dari posisi jongkoknya. Ia melangkah ke arah pintu untuk keluar dari sana. Bagai tersengat listrik, lelaki itu terkejut bukan main. Kala dirinya melihat gadis yang sejak tadi berada di dalam pikirannya telah menjadi nyata dan kini berdiri di hadapannya.
"(Y/n)..."
"Kau tidak mengkhayal, Shinichiro."
Mendengar perkataan (Y/n) yang selalu to the point itu, sontak Shinichiro tertawa. Ia menatapnya penuh kerinduan. Semua hal tentang (Y/n) sangat ia rindukan. Mungkin gadis itu tak merasakan hal yang sama, atau mungkin juga tidak. Entahlah, yang manapun hal itu, Shinichiro tetap senang karena bertemu dengan (Y/n) saat ini. Setidaknya itu memberikan secercah harapan padanya.
"Aku ingin meminta payungmu kembali."
"Payung?" Dari sekian banyaknya hal, mengapa (Y/n) justru berkata tentang payung?
"Ya, payung yang pernah kau berikan, namun kukembalikan padamu. Saat itu aku berkata kalau aku tidak ingin berhutang," jelas (Y/n).
Shinichiro paham, namun juga tidak paham di saat yang bersamaan. "Payung itu memang masih ada. Tetapi, aku masih tidak paham maksudmu, (Y/n)."
"Kau ingin hubungan kita berakhir begitu saja?" tanya (Y/n) memastikan.
Mendengar pertanyaan itu, Shinichiro sontak menggeleng kuat-kuat. Hei, ia tidak pernah ingin hal itu terjadi! Namun, entah bagaimana, hal itu telah terjadi lebih dulu.
"Aku memang sengaja mengembalikan payung itu padamu. Dengan alasan aku tidak ingin berhutang apapun padamu. Karena apa? Karena aku memang berniat untuk mengakhiri hubungan kita di pertengahan jalan," jelas (Y/n) yang seketika mengejutkan Shinichiro. "Tetapi, kini aku ingin kembali berhutang. K-Kau tahu apa maksudku, 'kan?"
Seketika wajah gadis itu memerah. Shinichiro sempat terkejut, namun kemudian sebuah senyum merekah pada bibirnya. Ia pun mengacak-acak surai (Y/n). Dengan pasti, tangannya bergerak membawa tubuh (Y/n) ke dalam dekapannya.
Kini giliran (Y/n) yang terkejut. Seingatnya, ia memang pernah dipeluk oleh Shinichiro. Namun, ia tidak sadar ketika hal itu terjadi! Saat ini, (Y/n) dapat merasakan dengan jelas bagaimana kehangatan pemberian Shinichiro itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top