-' ── trois ᭡࿔
ꪶ┊Sick ݇-
▬▭▬▭▬▭▬▭▬
Suara bersin terdengar kala hari baru saja berubah menjadi pagi. Si pelakunya menarik napasnya. Terdengar suara sesuatu yang menyumbat hidungnya. Ia mengambil tisu dari atas meja nakas. Dibuangnya tisu tersebut setelah ia gunakan.
(Y/n) pun mengecek suhu tubuhnya sendiri. Menyentuh pada keningnya. Rasa panas menjalar di bawah telapak tangannya sesaat setelah ia menyentuh kening.
Diliriknya ke samping. Izana masih tertidur di sebelahnya. Secara perlahan, (Y/n) pun menyentuh kening pria itu. Rasa panas yang sama dengan tubuhnya membuat (Y/n) yakin jika dirinya tidaklah sedang sakit saat ini.
Namun, kala wanita itu hendak bangkit dari duduknya, yang ia rasakan ialah rasa pening di kepalanya. Sejenak, ia kembali terduduk di atas tempat tidur. Mengurungkan niatnya untuk bangkit berdiri untuk membuat sarapan pagi.
"(Y/n)?"
Yang dipanggil pun menoleh. Mendapati Izana yang menatapnya dengan mata yang setengah terbuka. Tampak masih mengantuk. Kemudian, tangannya memijat pelipisnya. Keningnya mengernyit. Seolah-olah tengah menahan rasa nyeri.
"Hm? Ada apa?"
Ditanya demikian oleh (Y/n), Izana pun menatap kembali lawan bicaranya. Ia mengamati wajah (Y/n) sejenak. Tanpa berbicara sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan wanita itu.
"Wajahmu terlihat pucat," komentar Izana setelah ia diam mengamati wajah istrinya sendiri. Sementara (Y/n) yang diamati hanya bisa bernapas dengan jantung yang berdebar.
"Eh? Ah, begitukah?" Ia terlihat gelagapan. Juga menghindari tatapan Izana.
"Ya."
Manik (e/c) itu kembali bergulir menatapnya. Ia terdiam sejenak, kemudian berucap, "Wajahmu pun pucat, Anata."
Keheningan pun menyapa. Menyelimuti kedua insan yang kini hanya saling tatap. Sesaat setelahnya, mereka pun menyadari suatu hal bersamaan.
***
"Jadi, siapa yang akan merawat diri kita?"
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Izana. Ia melirik ke sebelahnya. Di mana (Y/n) sedang duduk bersandar. Tentunya untuk melihat bagaimana reaksi wajah wanita itu kala Izana bertanya demikian.
"Kita hanya perlu mengurus diri masing-masing." (Y/n) menoleh. Tepat ke arah manik orchid itu. "Kita sama-sama sedang sakit saat ini. Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain itu. Benar, bukan?"
Izana mengulum bibirnya. Tampak mempertimbangkan perkataan (Y/n). Ya, itu benar. Memang itulah yang terjadi saat ini. Mereka sama-sama sedang sakit. Tidak ada salah satu dari mereka yang bisa menjaga dan merawat diri mereka. Mereka harus melakukannya seorang diri.
"Ya, kurasa kau benar."
Mereka kembali terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Sebaiknya kita sarapan lebih dahulu. Bagaimana dengan bubur?" usul (Y/n). Ia melirik ke arah Izana.
"Bukan pilihan yang buruk."
Sejenak setelah keputusan itu muncul, Izana memutuskan untuk memesan dua porsi bubur untuk dirinya sendiri dan (Y/n). Tidak butuh waktu lama hingga pesanan itu datang ke rumah mereka. Izana-lah yang mengambilnya. Dengan muka bantal dan wajah yang pucat, pria itu melangkah ke pintu depan dan mengambil pesanan tersebut.
"Makanlah."
Seporsi bubur itu dikemas di dalam sebuah wadah plastik tahan panas. Menatap bubur yang disodorkan oleh Izana itu seketika menbuat nafsu makan (Y/n) menghilang. Ia pun menggeleng dan kembali berbaring. Menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
Izana mengernyit dengan tingkah laku (Y/n) itu. Mereka berdua memang sedang sakit. Namun, hanya (Y/n) yang tidak memiliki nafsu makan. Berbeda dengan dirinya.
Memutuskan untuk tidak mengabaikan (Y/n), Izana meletakkan kedua porsi bubur itu di atas meja nakas. Ia pun ikut berbaring di sebelah (Y/n).
Tangannya bergerak memeluk tubuh istrinya dari samping. Mendekatkan wajah (Y/n) pada dada bidangnya. Sekaligus merasakan detak jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
(Y/n) hanya terdiam di posisi itu. Rasa panas pada epidermis mereka membuat suasana menjadi lebih hangat. Setidaknya itulah yang ia rasakan.
"Apa kau masih merasa kedinginan?"
"Sudah berkurang," sahut (Y/n) pelan.
"Hm... syukurlah."
Diam adalah hal yang mereka lakukan. Detak jantung mereka yang beritme sama membuat (Y/n) merasa semakin salah tingkah. Dalam hati, ia sedang mati-matian berusaha menetralkan detak jantungnya sendiri.
"Diamlah seperti ini untuk beberapa saat. Agar tidak ada salah satu di antara kita yang merasa kedinginan," bisik Izana tiba-tiba. Tepat di telinga (Y/n).
Alhasil, (Y/n) hanya mengangguk. Entah mengapa, ia merasa bersyukur karena dirinya dan Izana sakit di saat yang bersamaan hari ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top