-' ── deux ᭡࿔
ꪶ┊Moon ݇-
▬▭▬▭▬▭▬▭▬
Kerongkongannya yang terasa kering membuat si pemilik tubuh pun terbangun. Dinyalakan ponselnya yang di-set dalam mode pesawat. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Masih ada tiga jam lagi sebelum waktunya bagi pria itu untuk bangun dan memulai rutinitas pagi.
Kokonoi beranjak dari atas tempat tidur. Sebelumnya diliriknya wanita yang masih tampak pulas itu di sebelahnya. Sebuah senyum samar terbentuk. Bersamaan dengan dirinya yang bangkit dari posisi duduk.
Tangannya bergerak menekan saklar. Lampu pun menyala. Berperan sebagai satu-satunya penerangan di dalam rumah tersebut untuk saat ini.
Sebuah gelas diambilnya. Beranjak menuju dispenser yang terletak di sudut dapur. Tuas berwarna biru ia tarik. Menuangkan air putih yang terasa dingin di dalam genggamannya.
Dahaganya pun terpenuhi kala air itu mengalir ke dalam kerongkongan. Seusai menghabiskan setidaknya dua setengah gelas air putih, Kokonoi meletakkan gelas tersebut ke dalam bak cuci piring. Namun, ia tidak langsung kembali ke kamarnya.
Kakinya justru melangkah menjauhi dapur dan membawa dirinya ke halaman belakang rumah. Dari tangannya ia keluarkan sebuah kotak. Diambilnya satu batang rokok dari dalam sana. Bersamaan dengan pematik yang menyala dan membakar ujung rokok tersebut.
Di atasnya, terdapat sang bulan purnama yang tampak terang benderang. Melihat keberadaan bulan purnama itu, Kokonoi pun mendengus. Seakan teringat dengan perkataan (Y/n) jika dirinya sangat menyukai satelit Bumi itu.
Jujur saja, Kokonoi tidak menyukainya. Bukan tidak menyukai (Y/n), namun kepada bulan. Sang rembulan menipu semua orang. Menunjukkan bahwa dirinya yang menciptakan cahaya itu sendiri. Namun, fakta yang ada ialah ia hanya memantulkan cahaya dari sang mentari.
Menyadari jika ada sesuatu di antara sela jari tangannya, Kokonoi pun melirik ke arah itu. Sebuah rokok yang menyala dan telah habis terbakar beberapa milimeter terapit di antara kedua jarinya. Dihirupnya sekali lagi rokok tersebut sebelum ia jatuhkan ke atas tanah. Kakinya yang beralaskan sandal menginjak rokok tersebut hingga apinya padam.
Seketika Kokonoi teringat dengan perkataan (Y/n). Wanita itu sudah melarangnya untuk tidak lagi merokok. Dalihnya ialah demi kesehatan pria itu sendiri. Kokonoi pun setuju. Lagi pula ia tak merasa keberatan. Namun, yang justru merasa keberatan ialah tubuhnya sendiri. Sungguh tidak mudah untuk lepas dari benda mematikan itu. Tetap saja ia tidak menyerah.
Pria itu kembali melangkah ke dalam rumah. Ia menatap sang rembulan sekali lagi. Karena (Y/n) menyukai benda langit itu, maka Kokonoi pun akan berusaha untuk tidak terlalu membencinya. Toh benda itu tetaplah benda mati. Yang tak akan bisa berbicara pada siapapun.
Dilangkahkan kakinya memasuki kamarnya kembali. Ia melepas piyama yang dikenakannya. Menggantinya dengan yang baru. Sekaligus untuk menghilangkan bau asap rokok yang masih tercium dari sana.
Barulah Kokonoi kembali berbaring di atas tempat tidur. Ia menarik selimut yang (Y/n) kenakan hingga menutupi leher wanita itu. Ditatapnya wajah (Y/n) yang tampak tenang. Tanpa ada beban pikiran yang terlihat di sana.
Seketika Kokonoi menyunggingkan senyumannya. Tangannya bergerak mengusap perlahan surai (h/c) milik wanita itu. Pelan sekali. Dengan tujuan agar si empunya tidak terbangun akibat yang dirinya perbuat saat ini.
"Aku mencintaimu," gumamnya tanpa ada balasan yang menyapa dirinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top