9

Watson menyambar tasnya, melangkah ke pintu. "Kalau begitu aku permisi. Diskusinya sampai di sini dulu. Ada yang harus kulakukan. Kalian yang akur, ya."

"Lho mau ke mana, Dan?"

"Aku harus menyelesaikan tugas pertamaku. Yang barusan itu permulaan saja. Investigasinya baru dimulai."

Watson pun berlalu.

Selama perjalanan menuju pustaka kota, Watson berpikir panjang tentang anagram dari kata Mupsi. Sebenarnya apa arti Mupsi? Watson yakin ada sesuatu di dalamnya, berupa petunjuk besar. Dia mesti memakai alternatif apa untuk memecahkannya.

Watson berhenti melangkah. Ada yang mengikutinya. "Siapa pun kamu, keluarlah. Tidak ada gunanya menjadikanku sandera. Hanya membuang waktu."

Orang itu tidak kunjung keluar. Watson mengatupkan rahang, tangannya lewat gerakan halus menekan nomor Deon. Syukurlah polisi itu menjawab cepat.

"Ada perlu apa, Watson?"

Manik Watson masih bermain ke sekitar, jaga-jaga orang itu memakai serangan mendadak. "Kurasa ada yang membuntutiku, Inspektur. Aku sudah mencurigainya sejak kita berpisah lusa lalu. Tampaknya orang ini menginginkan sesuatu dariku."

"Apa? Kamu di mana sekarang?!"

"Aku sedang di—" Watson lengah. Sebuah panah suntik menancap lehernya. Dia menoleh geram, pandangannya mulai mengabur. "Sialan..."

Bruk! Watson pun ambruk.

*

Deon mengepalkan tangan. Dia terlambat. Watson sudah diculik. Ditendangnya ban mobil guna melampiaskan kemarahan. Tidak bisa begini. Deon tak bisa membiarkan Watson diculik begitu saja. Penculiknya pasti belum jauh.

Deon memanggil seluruh anggota divisinya. Tidak sebelum dia menangkap suara dari pelataran belukar. Deon menurunkan tangan yang memegang ponsel, mengeluarkan pistol. Perlahan namun pasti mendekat ke semak-semak.

Orang itu justru keluar lebih dulu. Deon terbelalak. Watson berada di cengkraman orang asing tersebut, mengalami pendarahan pada kepala. Tak sadarkan diri.

"WATSON!" Deon membidik.

"JANGAN BERGERAK! Jatuhkan pistolmu!" serunya mendekatkan pisau ke leher Watson. "Atau tidak akan kubunuh anak ini."

"Apa kamu Mupsi?" Deon berhitung dalam hati, mengulur waktu. Musuh tak bercanda akan ancamannya. Leher Watson sedikit teriris.

"Kamu tak perlu tahu siapa aku. Jatuhkan pistolmu, serahkan ponsel dan mobilmu. Maka kulepaskan anak ini." Dia memperdalam goresan. Watson meringis.

Dia awam! Celahnya terbuka banyak. Aku harus menunggu momentum. "Apa kamu suruhan Mupsi? Kenapa kalian mengincar Watson Dan?" Deon tak menghiraukan, tetap membidik.

"Karena dia adalah kunci sempurna untuk mempermainkan kalian semua."

Deon terdiam. Kunci sempurna?

"Dia belum boleh bangun. Watson Dan harus tidur lebih lama!" Orang itu mengangkat pisaunya tinggi, hendak menghunuskannya ke dada Watson. Di situlah timing pas yang Deon tunggu.

Deon menyambut ayunan pisau, menarik Watson dari cengkramannya. Dia memutar dan membanting orang itu ke belakang. Secepat kilat meringkusnya kemudian memborgolnya di besi-besi roda mobil.

"Watson, kamu mendengarku?" Cowok itu terlihat lemas. Matanya terbuka-tertutup. "Jangan tidur!" peringat Deon terus melakukan resusitasi.

Percuma. Watson sepenuhnya pingsan.

"Sial!" Deon berdecak. Dia menggendong Watson, memasukkannya ke mobil. Tak lupa memindahkan si penyerang ke kursi belakang. "Kamu bisa menjelaskan semuanya di kantor."

Tapi kenapa firasatku masih tidak tenang? Deon menoleh ke sana-sini, siapa tahu ada sesuatu yang tinggal atau luput dari matanya.

Atmosfer sekitar tiba-tiba memberat. Deon gerah, menelan ludah. Jantungnya berdetak tak karuan. Ada apa ini sebenarnya? Insting Deon kental oleh sinyal bahaya.

Mesin mobil Deon menyala. Terkesiap, Deon menoleh. Dia nyaris tertabrak jika tidak melompat ke samping. Orang itu membajak mobilnya.

Dor, dor, dor!

Jarak memangkas kejam sampai mobil menghilang dari pandangan. Orang itu berhasil pergi meninggalkan Deon dan membawa Watson.

"SIALAN!" Deon mengutuk diri yang terang-terangan meleng. "Bagaimana cara dia melepaskan borgol?"

Sial, sial, sial. Ini kecerobohan fatal. Tangan Deon bergerak cepat memanggil rekan-rekannya. "Shani! Segera lacak plat mobilku. Max! Hubungi divisi Call Center. Periksa CCTV sepanjang pusat kota. Kita punya kasus penculikan."

"Siapa yang diculik, Inspektur?"

Deon menghela napas. "Watson Dan."

*

Aiden terlonjak kaget. "APA?! D-dan diculik? Bagaimana bisa, Inspektur? Dia meninggalkan sekolah dengan damai!"

Jeremy yang tadinya duduk santai sontak beranjak bangkit, menatap cemas. Grim dan Erika menoleh serius ke Aiden.

"Ini salahku, Aiden. Aku lengah dan membiarkan dia dibawa penculik."

Aiden mengusap wajah gusar. "Tidak, tidak. Kita abaikan dulu penyebabnya, Inspektur. Kita harus cepat menemukan Dan! Dia bisa dibunuh."

Ponsel Jeremy berdenting.

"Aku sudah mengirimkan nomor plat pada Jeremy. Aku juga menghubungi Call Center. Jangan khawatir. Kita pasti bisa menyelamatkan Watson."

"Kami ikut, Inspektur. Jemput kami di kafe biasa."

"Aku mengerti."

Aiden bergegas melompat ke luar klub begitu Deon mematikan sambungan. "Hellen, bantu di klub. Teruslah memantau CCTV-nya. Jeremy, ikut denganku ke tempat Inspektur Deon!" katanya tegas.

"Tunggu, Aiden!" Grim menahan lengan Aiden. "Aku ikut denganmu. Erika tinggal bersama Hellen. Semakin banyak yang membantu, semakin cepat Watson ketemu."

"Aku tidak masalah sih." Erika menyahut seadanya. "Bergegas! Penculik identik dengan pengejaran waktu."

Aiden mengangguk. Dia, Jeremy, dan Grim berlarian ke luar dari gedung sekolah. Ini situasi genting. Perasaan pribadi mesti dienyahkan.

"Baiklah sekarang..."

Bzzt! Niatnya Erika ingin menodongkan pistol bius ke Hellen, akan tetapi dirinya lebih dulu tertembak taser. Setruman listrik melemahkan seluruh badan Erika.

"Sialan, ternyata memang ada impostor di tim ini..." lirih Erika berusaha tersenyum menantang.

Hellen memandang dingin. "Ingatlah Erika, ini hanyalah kesalahpahaman. Tidak begini seharusnya. Aku hanya mau menolong temanku."

"Sejak... kapan kamu menyamar jadi... Hellen? Di mana Hellen yang asli?"

"Kamu tidak percaya padaku ternyata."

Erika tertawa datar. Setelah apa yang diperbuat Hellen, dia mau percaya omongannya? Erika tidak sebodoh itu.

"Itu terserahmu." Hellen membuka laptop, mulai searching pelacakan GPS. "Aku asli dan aku punya alasan sendiri. Entah kenapa sejak awal aku merasa ada yang beda di sini."

"Apa yang kamu bicarakan?" Peluh dingin menetes-netes dari kening ke leher. Tinggal menunggu detik Erika akhirnya ditaklukkan.

"Mupsi. Apa kamu tahu artinya?"

Erika tidak menjawab.

"..."

Erika terdiam. Syok mendengar gumaman Hellen. "Apa? Kak Anlow....?"

"Aku harus menolong Watson. Hanya dia yang bisa mengakhiri kasus ini. Tidak Aiden, tidak aku, tidak kamu atau Grim, tidak juga Jeremy. Hanya Watson."

*

Taran menghentakkan kaki, tak henti-hentinya menggerundel. Tingkahnya tidak seperti laki-laki melainkan perempuan. "Inspektur andalan Moufrobi itu ke mana sih?! Kenapa dia belum datang!"

"Sabar sedikit. Ini baru dua puluh menit setelah kamu meneleponnya. Kali saja beliau dapat tugas dadakan."

"Kita tidak bisa menahan bocah ini lama-lama, Valentine! Kita juga punya kesibukan! Bukan mengurus seseorang yang kena hipnotis."

Candy mendengus jengkel. "Memangnya kamu tak punya empati?! Kamu tak pantas menyebut dirimu saingan Madoka kalau tidak mau menolong rivalmu sendiri."

Taran bersungut-sungut. Dia malah kena omel. Bukannya tidak peduli, tetapi kalau berurusan dengan orang dari Madoka, Taran cemas akan ada yang mendatangi mereka.

Candy mencoba ke sekian kalinya berkomunikasi dengan lelaki yang mereka temukan di koper malam kemarin. "Kamu sungguh tidak tahu namamu? Bagaimana kalau sekolah?" Candy mengambil buku gambar, melukis lambang Madoka seingatnya. "Kalau tidak salah logo sekolahmu seperti ini."

Huruf M dengan dua garis tambahan di bawah lengkungan. Bola mata hitam pria itu perlahan kembali "hidup".

Brak! Seseorang masuk ke klub.

"Gawat, Taran! Ada keluarga pelaku mendatangi sekolah! Mereka menuntut kesalahan deduksi kalian yang menjebloskan tersangka tak bersalah ke penjara!"

Taran, Valentine, dan Candy bersitatap. Mereka bertiga melongok lewat jendela. Kerumunan ibu-ibu, bapak-bapak, sampai membawa ketua daerah menenteng poster 'disiplinkan detektif Uinate!'.

"Fuah... Mungkinkah kasus yang kita kerjakan bulan lalu? Kematian putri kembang desa?" Taran cengengesan meringis.

Valentine menggoyang-goyangkan bahu Taran. "Ini gara-garamu! Sudah kubilang bukan kakak itu pelakunya tapi kamu ngotot! Kita bisa dituntut! Habis sudah masa depanmu."

Kerumunan tersebut semakin mendesak petugas keamanan sekolah. Candy cemas. "Apa yang harus kita lakukan?"

Jiwa Taran keluar dari mulutnya. Koit.

"Jangan mati kamu!" Valentine menampar pipi Taran sampai merah. "Ada masalah besar di sini! Kamu harus tanggung jawab!"

Laki-laki yang mereka tolong berdiri patah-patah. "Aku penasaran bagaimana kasusnya. Kematian putri kembang desa? Cukup menarik."

Si pembawa berita menutup mulut. Mereka bertiga menoleh. Melongo.

"Mau bermain misteri denganku?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top