21

"Kamu sungguh tidak tahu namamu?" Candy bertanya ke sekian kalinya, berusaha menyadarkan Watson yang menatap kosong ke depan. "Bagaimana kalau sekolah?" Candy mengambil buku gambar, melukis lambang Madoka seingatnya. "Kalau tidak salah logo sekolahmu seperti ini."

Huruf M dengan dua garis tambahan di bawah lengkungan. Watson menatap gambar tersebut, perlahan membuka mulut, tersadar. Bola matanya kembali 'hidup'. Ini kan...

Brak! Seseorang masuk ke klub.

"Gawat, Taran! Ada keluarga pelaku mendatangi sekolah! Mereka menuntut kesalahan deduksi kalian yang menjebloskan tersangka tak bersalah ke penjara!"

Taran, Valentine, dan Candy bersitatap. Mereka bertiga melongok, kemudian meringis. Kerumunan ibu-ibu, bapak-bapak, sampai membawa ketua daerah menenteng poster 'Disiplinkan detektif Uinate! Mereka tak dapat dipercaya!'.

"Fuah..." Taran cengengesan konyol. "Mungkinkah kasus yang kita kerjakan bulan lalu? Kematian putri kembang desa?"

Valentine menggoyang-goyangkan bahu Taran, menampar-nampar pipinya. "Ini gara-garamu! Sudah kubilang bukan kakak itu pelakunya tapi kamu ngotot! Kita bisa dituntut! Habis sudah masa depanmu."

Di sisi lain, Watson memijat kening. "Kenapa aku ada di sini? Kalau tidak salah aku dalam perjalanan pulang..." gumamnya serak, mengumpulkan kesadaran.

Barulah dia mengingat semua yang terjadi saat malam dia diserang. Watson mengembuskan napas panjang. "Ah, aku kena batunya ya. Dia pandai hipnotis rupanya."

Mupsi pasti menggunakan identitasnya dan menyusup ke klub detektif Madoka saat ini, entah apa yang mau dia lakukan. Kalau Watson balik sekarang, rasa-rasanya dia tak berguna karena tidak punya petunjuk apa pun.

Kerumunan di gerbang sekolah semakin mendesak petugas keamanan, merebut perhatian Watson. Apa yang terjadi di sini? batinnya menatap kikuk. "Ada kasus toh."

"Apa yang harus kita lakukan?"

Jiwa Taran keluar dari mulutnya. Koit.

"Jangan mati kamu!" Valentine menjambak rambut Taran sampai rontok. "Ada masalah besar di sini! Kamu harus tanggung jawab!"

Celeste membantuku sadar. Volvo dan Taman sukarela mengeluarkanku dari koper itu lalu membawaku kemari. Haah, tidak ada pilihan selain menolong mereka. Watson tertatih-tatih berdiri. "Aku penasaran bagaimana kasusnya. Kematian putri kembang desa? Cukup menarik."

Si pembawa berita menutup mulut. Mereka bertiga menoleh. Melongo.

"Mau bermain misteri denganku?"

Taran terkesiap. "Kamu...! Kamu sudah bisa bicara normal?! Ma-matamu! Huwaa, matanya kembali bernetra...! Padahal tadi seperti mata mayat hidup."

"Benarkah?" Watson refleks menyentuh matanya, kelereng berwarna biru-keputihan seperti warna langit. Hipnotis berbahaya juga, ya. Bisa membuat mata targetnya jadi kosong.

Candy mendekat ke Watson. Memeriksa. "Apa kamu sudah baik-baik saja?"

"Berkatmu, Celeste. Terima kasih." Watson mengernyit. Seakan mengucapkan terima kasih adalah pekerjaan yang berat.

"Be-benarkah?" Candy malu-malu. "A-aku senang bisa membantu."

Taran berkacak, masih sok-sokan berlagak, padahal ceritanya dia sudah tersudut. "Jadi, apa maksudmu mau membantu kami? Kamu mengasihani kami, ya?"

"Aku tak peduli bagaimana sudut pandangmu, Taman, namun aku mau membalas budi. Aku tak suka berutang. Jelaskan padaku tentang kasusnya."

-

"Violet, aku bersungguh-sungguh! Aku butuh bantuanmu. Aku ingin mencari saksi yang dilindungi seseorang."

[Tidak bisa, Watson. Aku sudah mengatakan syaratnya. Datanglah kemari dan bantu aku.]

"Kamu serius melakukan ini padaku? Aku sudah kehabisan banyak waktu menolong satu kasus di Uinate. Aku tak bisa mengambil kasus baru lagi."

[No, Watson. If you need me, then i need you too. Kerjakan kasusku maka aku akan mencari seseorang yang kamu cari.]

"Aku tak punya waktu lagi. Please..."

[Absolutely not. Walau kamu memelas atau memakai puppy eyes yang tak pernah kamu tunjukkan pada siapa pun, aku takkan tergoda. Datang ke New York dan ambil kasusku. Titik.]

Watson mengeram jengkel, memberungut, kehabisan ide membujuk. Pada akhirnya Watson mengalah. "Fine! Akan kubantu."

[Nah, dari tadi dong. Aku akan—]

Watson mematikan sambungan, mendengus kesal. Dia terpaksa mengambil komisi dari Violet. Ck, ini merepotkan. Watson menghubungi seseorang. "Lupin? Kamu ada di Distrik Hollow, kan? Aku butuh bantuan ke New York."

Untuk memberitahu Beaufrot tentang apa yang terjadi, Watson harus meninggalkan paspornya sebagai kode dan berangkat ke luar negeri dengan cara menyelundup.

-

"Are f*cking kidding me?" umpat Watson benar-benar dibuat sebal. Aksennya terdengar kental. "You ask me, you need a help. But, what this?! You! You just miss me?! Oh, c'mon! "

Violet mengulum bibir. "Ehe! Aku merindukanmu, Watson. Masa kamu main minta tolong tanpa imbalan, apalagi sedang musim panas begini. Aku kan mau lihat pertumbuhan sahabat kecilku yang cengeng," katanya mencubit gemas pipi Watson.

Cowok itu mendengus masam. "Carikan orang itu sekarang. Atau tidak kita putus hubungan."

"Itu tujuan keduaku menyuruhmu kemari, At. Orang yang kamu cari tinggal di New York." Violet mengetuk tombol enter. Layar komputer menunjuk biodata seorang sipil. "Namanya Cendana Nadance, 24 tahun."

"Riwayat hidup?"

"Pernah tinggal di Uinate, bekerja sebagai pegawai di hotel Martenpuce134, lalu berhenti dan langsung pindah ke luar negeri." Violet ber-hmm mengelus dagu, bersandar di kursi putar. "Aku rasa dia menyembunyikan sesuatu."

"Apa maksudmu?"

"Setelah mengecek nomor registrasi kependudukan wanita ini, sama sekali berbeda dengan yang dia pakai sekarang. Terlebih, tepat sehari kepindahannya ke New York, Hotel Martenpuce ditutup."

"Kapan terakhir kali Nona Nadance bekerja di hotel itu?" Watson bertanya.

"Anlow Eldwers. Mereka klien terakhir yang dilayani wanita ini."

Watson mengernyit. 'Mereka'? Tidakkah Violet salah redaksi subjek?

"Aku paham arti kernyitanmu, At. Ada dua pasang remaja pergi ke Hotel Martenpuce dan dia lah penanggung jawabnya."

"Aku mencurigai sesuatu. Cek cctv pada tanggal yang kusebutkan."

-

-

-

Momo mengarahkan tongkat bisbol ke kepala Aiden yang menunduk, tak henti-hentinya menangis sejak mendengar cerita asli kematian Anlow. Aiden telah membela seorang pembunuh. Dia sangat malu sampai rasanya ingin mati.

"Kamu katakan itu pada kakak brengsekmu di akhirat nanti," gumam Momo mengangkat tinggi tongkatnya, dengan senang hati memberikan maut pada Aiden. "Kita akan pergi ke neraka bersama."

Grim mengamuk, menggeleng kuat-kuat. "TIDAK! JANGAN BUNUH DIA! KUMOHON!"

Percuma. Momo sudah gelap mata. Dia takkan mendengar teriakan putus asa Grim. "Kakak, Momo datang."

Aiden memejamkan mata. Siap mati.

Dor! Satu peluru asing menembak lengan Momo. Tongkat bisbol terjatuh dari tangannya, berdebam ke lantai. Dor! Satu peluru lagi menembus kakinya. Momo terduduk, berbinar-binar marah. Matanya memerah, emosi luar biasa. Dia menoleh ke pintu.

Deon dan yang lain, di bawah lubang, hanya bisa berdoa tidak ada yang tewas. Jeremy mati-matian menjadi pijakan Erika untuk memanjat ke atas, namun kembali berguling jeblok.

"You game it's over, Faked."

Aiden terkesiap. Kenal betul suara itu.

Momo tersenyum miring. Menggigit bibir demi menahan gejolak ngilu di kaki. "Watson Dan yang asli, ya? Bagaimana... BAGAIMANA KAMU BISA LEPAS DARI HIPNOTISKU, BRENGSEK?!"

Dor! Momo meringis. Peluru ketiga menyerempet lehernya mengakibatkan luka sayat. "Kamu mau membunuhku?"

"Relax, Boy. My shot did not scratch you carotid arteries. I tell you, i can't fight but i'm good in weapons." Watson melangkah gontai ke lubang besar di tengah-tengah ruangan, meringkuk. "Kalian baik-baik saja, Stern? Bari? And new girl, Lady Lanneiola, kalian oke?"

Jeremy dan Erika tersentak.

"Watson?" Hellen terisak. "Apa kamu benar-benar Watson asli?"

"Tentu aku asli." Watson melayangkan tatapan malas pada Deon. "Aku sudah memperingatimu, Inspektur. Ingatlah, aku punya tanda lahir di lengan kiri. Dasar bodoh. Pikun. Berhenti jadi polisi sana."

Deon tersenyum. "Begitu aku naik, kamu mati di tanganku."

Watson hirau, dia menatap Aiden datar. "Jangan sedih seperti itu, Aiden. Kakakmu  tidak salah. Dia bersih."

Deg! Momo beringas merangkak ke arah Watson. "Apa katamu, orang luar sialan? Tak bersalah? LAKI-LAKI KOTOR ITU MENODAI KAKAKKU DAN MEMBUATNYA BUNUH DIRI! Bisa-bisanya kamu mengatakan omong kosong."

Watson menggeleng. "Kamu salah. Bahkan bisa jadi, Nona Perryza penyebab dari munculnya pembunuhan Mupsi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top