20

Watson berhenti melangkah.

Ada yang mengikutinya sejak keluar dari perpustakaan. Tidak. Sebenarnya dia sudah dibuntuti sejak pulang sekolah.

Watson bersedekap, tak merasa takut. Dia sudah terbiasa ditargetkan pelaku. Yang dia pikirkan, Siapa orang yang mengikutinya ini. Musuh baru? Sekutu? Bawahan Deon? Aiden? Atau dua teman lamanya itu? Atau mungkinkah Mupsi?

"Aku tahu kamu ada di sana," gumam Watson memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Entah apa yang kamu inginkan, tapi aku tak tahu apa-apa tentang kasus Mupsi."

Orang itu diam. Apa gertakan Watson kurang jelas atau terkesan kosong? Watson terlalu diremehkan.

Diam-diam Watson meloloskan revolver dari tas sekolahnya, masih bertahan dengan wajah datar dan suara tenang. "Jika kamu mengincarku, itu berarti kamu sudah membaca riwayatku. Apa kamu memanfaatkan aku yang tak bisa berkelahi agar bisa menyergap tiba-tiba?"

Orang itu tergelak. Oh, dia merespon? Watson memompa tukik pistol.

"Kamu memang pintar, Watson Dan, seperti yang dibicarakan. Kutebak kamu pasti sudah menduga hal ini, kan?"

"Bisa katakan apa yang kamu inginkan? Membuntutiku dari sekolah, itu bukan perilaku baik. Biar kuingatkan sesuatu padamu. Aku memang tak bisa berkelahi, tapi aku cukup mahir menggunakan senjata."

"Kamu mengancamku?"

"Ini bukan ancaman. Aku mencoba bernegosiasi. Katakan apa maumu, maka akan kulepaskan."

Orang itu mendekat dua langkah. "Bagaimana, ya? Permintaanku sulit. Aku ragu kamu bisa mengabulkannya." Di balik siluet kegelapan, sosok tersebut menyeringai. "Aku menginginkan identitasmu."

Tap, tap, tap!

Watson menoleh cepat, menodongkan moncong pistol ke pelaku, tapi eh? Yang ada di hadapannya sebuah jam saku dengan jarum jam bergerak-gerak. Bola mata Watson perlahan menghitam dan... kosong. Tangan Watson yang menggenggam pistol melemah kemudian jatuh. Dia berdiri seperti patung.

Orang itu terkikik, mengusap-usap kepala Watson. "Nah begitu dong, nurut. Jadi lah anak yang baik."

Bugh! Dia meninju Watson hingga Watson tersungkur ke tanah, dia tetap tidak menyadari apa yang terjadi padanya. Pandangannya kosong, seolah terputus dari kesadaran.

Orang itu mengangkat dagu Watson. "Dengarkan aku baik-baik, aku takkan membunuhmu karena kamu aset berguna. Mulai sekarang, aku akan meletakkanmu ke dalam koper. Jika kamu diselamatkan oleh seseorang secara tidak sengaja, jika mereka menanyakan tentang Aiden Eldwers, kamu harus bilang Mupsi akan datang membunuh mereka, lalu diam sampai aku sendiri yang menyuruhmu berbicara. Mengerti?"

Watson mengangguk layaknya robot.

*

"HAHAHA! Rencanaku berhasil... Setelah sekian lama, akhirnya balas dendamku terbayarkan. Kamu lihat itu, Kak?! Aku berhasil memberimu keadilan! Apakah Kakak sudah bisa tidur tenang? Momo benar-benar bahagia."

Orang itu sudah membuka topeng silikon yang dia pakai sepanjang waktu, membasuh rambutnya yang ternyata berwarna orange. Itulah cat hitam di tangan Erika, juga sempat mengenai Aiden.

"Bocah yang kamu cerca berada tepat di depanmu! Tapi kamu tidak mengetahuinya.Aku harus menahan diri tidak marah supaya rencanaku tidak gagal. Terpaksa aku turun tangan pura-pura memberi petunjuk."

Aiden berusaha duduk, tak peduli darah mengucur dari kepalanya berkat pukulan tongkat bisbol yang dilayangkan Watson Palsu. Grim sama payah kondisinya.

"Di mana... Di mana kamu menyembunyikan Dan? Kumohon lepaskan dia," lirih Aiden terbatuk-batuk.

Watson Palsu, alias Momozo Perryza, menatap datar Aiden. "Kamu lebih peduli pada gebetanmu daripada mantan dan dirimu sendiri? Kamu sungguh hina seperti kakakmu, Eldwers. Kamu bahkan tidak khawatir dengan teman-temanmu yang jatuh."

"Kenapa... kenapa kamu melakukan semua ini? Apa salahku?"

Dalang kasus Mupsi itu memutar-mutar tongkat bisbolnya, dia menyeringai lebar. "Apa kamu pikir kakakmu orang yang baik? Kamu pikir kakakmu laki-laki bersih? Kamu salah besar, Aiden."

"Apa maksudmu?" Grim bertanya.

"Baiklah. Akan kuceritakan semuanya." Momo duduk manis di kursi tua, menggendong boneka marionette, mengaktifkan toa yang sudah dia siapkan supaya Erika, Deon, Hellen, dan Jeremy juga bisa mendengarkan.

"Aku menggemari Kak Anlow karena jatuh cinta dengan kepandaiannya terhadap misteri. Aku mengaguminya, oleh karena itu aku ingin menjadi muridnya. Aku sangat senang Kak Anlow mengakuiku. Dia mengajariku banyak hal tentang detektif, termasuk trik hipnotis itu.

"Betapa senangnya aku saat aku mendengar kabar bahwa Kak Anlow berpacaran dengan saudara perempuanku, Kak Nola. Waktu itu aku benar-benar hanya merasakan kebahagiaan. Kakakku mencintai idolaku dan idolaku juga mencintainya. Tidak ada yang lebih membahagiakan melihat saudaramu tersenyum penuh gembira.

"Tapi, waktu pun mulai bergerak menciptakan masalah. Rasa cinta kakakku pada Kak Anlow sudah terasa aneh. Itu bukan lagi cinta melainkan maniak dan obsesi. Aneh, bukan? Apa yang terjadi sampai Kak Nola sebegitunya tergila-gila pada lelaki itu?

"Jawabannya kutemukan dari bola mata Kak Nola yang tak wajar. Hitam, tidak sadar dengan kehadiranku, seakan tak ada kehidupan. Aku langsung tahu kalau kakakku di bawah hipnotis seseorang, dan orang itu sudah jelas Kak Anlow!" Momo mengeraskan suaranya, mencengkram leher boneka Marionette di pangkuannya.

"Kalian ingat beberapa tempat yang kukunjungi tadi? Game Center. Toko boneka. Toko buku. Bimbel terbaik. Perpustakaan kota. Itu adalah daftar lokasi kencan terakhir Kak Anlow dengan kakakku sebelum dia mengajak kakakku ke hotel." Momo melompat dari sofa tua, menatap liar sekeliling. "Kamu pikir kakakmu baik? Tidak, dia tidak baik. Dia monster yang bersembunyi dari fake face. Menyembunyikan sisi gelapnya dari adik perempuan tersayang. Hotel inilah saksi bisunya. TEMPAT DIMANA KAKAKMU MELECEHKAN KAKAKKU!"

Deg! Aiden terdiam. Grim membisu. Erika di bawah sana berbinar-binar tak percaya, begitu juga yang lain.

"Orangtua kami mengusir kami ketika ketahuan kakak hamil, tak peduli pada janin kakak. Mereka bahkan mengusulkan agar kakak menggugurkan kandungannya. Frustasi dengan semua masalah yang menimpanya, kakakku pun bunuh diri."

Air mata Aiden tak berhenti mengalir deras. Anlow, kebanggaan keluarga Eldwers, melecehkan seorang gadis dan tak bertanggung jawab...? Kebenaran macam apa ini?

Aiden memukul-mukul dada, terisak. Dia tak peduli rasa sakit di kepalanya. Hatinya yang sangat sakit saat ini. Kenangannya bersama Anlow Eldwers berputar laksana video.

Anlow yang tegas. Anlow yang suka menolong. Anlow yang ramah. Anlow yang suka tersenyum. Anlow yang mengajari Aiden bela diri. Anlow si sulung dari keluarga Eldwers. Anlow pendiri klub detektif Madoka. Semua itu hanyalah topeng palsu?

"Aku tidak bisa menerimanya," kata Momo menatap hampa langit-langit. "Jika tidak ada keadilan diberikan kepada kakakku, aku sendiri yang akan memberikannya. Maka dari itu aku mengambil identitas Watson Dan sebab dia kunci sempurna untuk mempermainkan kalian semua.

"Pertama-tama, aku sengaja diam dan membiarkan kalian menganalisis karena aku sedang mencoba menyesuaikan suara Watson Dan. Itu berhasil walau masih terdengar berat, tapi bukan masalah, kalian tidak menyadarinya.

"Kedua, untuk menghapus kecurigaan kalian aku membuat drama penculikan Watson Dan dan sengaja juga melukai diri sendiri. Penyamaran sempurna harus berani totalitas.

"Ketiga, inspektur bodoh di bawah kakiku mulai bertindak mencurigaiku. Aku tak bisa secepat itu membuka kartu, makanya aku menghipnotis para petugas yang menjaga Chaka dan Gita lantas membunuh keduanya."

Momo berkacak pinggang, tersenyum miring. "Bagaimana? Aktingku bagus, bukan?"

"Tolong... Lepaskan, Dan, di mana pun dia. Dan tidak ada hubungannya dengan kakakku." Aiden bergumam tak jelas. "Aku tak peduli kalau kamu mau membunuhku, tapi kumohon... Bebaskan Dan... Jangan libatkan dia."

Grim menggigit bibir. Aiden sangat terpukul. Grim sendiri ada yang sesak di dalam dirinya.

Momo memasang wajah sedih yang dibuat-buat. "Sayang sekali aku tak bisa melakukannya. Setelah membunuh adik kesayangan Anlow dan tangan kanannya, setelah membunuh kalian berdua, aku akan bunuh diri mengikuti kakak. Watson Dan akan menjadi manusia hampa selamanya. Dia akan tuli, bisu, buta, amnesia selamanya. Hanya aku yang bisa membatalkan hipnotisnya."

"Apa?" Rahang Aiden mengeras. "BUNUH SAJA AKU! JANGAN BAWA-BAWA DAN! Aku memohon padamu... Aku merasa tidak ada gunanya lagi mejalani hidup yang kotor setelah tahu perbuatan kakak dambaanku. Tapi tolong, jangan libatkan Dan. Dia tidak berhubungan..."

"Aiden, jangan termakan provokasi—"

"Apa lagi yang bisa kusanggah, Grim? Katakan padaku, apakah ini kebohongan? Panutanmu, panutan kita semua, ini yang Anlow lakukan di belakang kita. Membunuh seseorang di balik kedok menolong." Aiden menggigit bibir, kecewa berat.

Momo mengangguk-angguk, mengarahkan tongkat bisbolnya ke kepala Aiden yang menunduk, menangis kencang. "Kamu katakan itu pada kakak brengsekmu di akhirat nanti. Kita akan pergi ke neraka bersama."

"TIDAK! AIDEN!!!"

Tangan Momo terangkat. Aiden memejamkan mata. Siap mati.

Dor! Satu peluru asing menembak lengan Momo. Tongkat itu jatuh dari tangannya, berdebam ke lantai. Dor! Satu peluru lagi menembus kakinya. Momo terduduk. Matanya memerah, marah luar biasa. Dia menoleh ke pintu.

"You game it's over, Faked."

Watson Dan yang asli datang bergabung!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top