1
"Kakak tidak bisa menangkap monster itu seorang diri. Mari kita tunggu paman, ya? Jangan terburu-buru."
"Ada sesuatu yang tidak bisa ditunggu oleh detektif, Aiden, yaitu keselamatan saksi. Hanya dia petunjuk yang tersisa."
"Lawan kita bukanlah manusia, Kak! Kakak tidak bisa melawannya sendirian. Aku akan-"
"Ini bukanlah hal sepele yang bisa kamu urus, Aiden. Serahkan kasus ini pada kakak."
Dan Anlow Eldwers pun tewas.
Aiden membuka mata. Walau mimpinya terkesan buruk, napasnya tidak memburu khas orang tersentak bangun karena kaget. Dia sudah terbiasa mendapatkan mimpi tentang kakaknya.
Aiden mengembuskan napas panjang, mengusap wajah. Sejelas itu dia berdoa agar bermimpi bisa melihat senyum Watson. Yang ada tema mimpinya jadi memeper.
"Kali saja doaku kurang khusyuk." Spontan Aiden menengadah tangan, memejamkan mata. "Kumohon, Tuhan, Dewa, berikan aku senyuman Dan. Hanya itu yang kuinginkan. Dan pasti sangat manis dan ganteng."
"Doa macam apa itu?" celetuk seseorang menangkap basah. "Punya anak lagi kasmaran begini lah."
Aiden menoleh, melotot sebal. "Mama! Kenapa kemari pagi-pagi, hah!" serunya galak. Jangan-jangan beliau mendengar doa barusan. Aduh, malunya.
"Tak perlu malu. Mama tahu kamu, ekhem, lovey-dovey with that boy. Watson Dan, isn't? Tak usah ditutup-tutupi." Beliau justru mendukung, mengacungkan jempol. Kan langka melihat Aiden malu-malu kucing. Bahkan beliau tidak pernah melihat Aiden salah tingkah sebegininya saat berpacaran dengan Grim.
Aiden mengusap wajah yang menghangat, siap-siap menuju kamar mandi, bersungut. "Kebiasaan menggoda anak. Nanti digoda balik ngambek. Mengancam tidak berbicara satu minggu. Menutup akses kredit. Sadar, Ma, sudah 34 tahun. Lagi pula aku tidak suka sama Dan, ah!"
Nyonya Eldwers melipat tangan ke dada, tersenyum, manggut-manggut. "Bagus, bagus. Silakan lanjutkan, sayang, sebelum Mama blokir ATM-mu."
Tuh, kan. Baru juga nebak.
Mengangkat bahu, Aiden pun pergi mandi. Tak tertarik berdebat dengan Mamanya yang suka merajuk.
Padahal Aiden dan Watson tak ada hubungan apa-apa. Mereka hanya sebatas anggota Klub Detektif Madoka. Walau Aiden diam-diam sedikit tertarik pada Watson, namun di sisi lain masih teringat Grim. Mantan sialan yang entah di mana sekarang.
Lima belas menit membersihkan diri, Aiden keluar dari kamar mandi dan segera memakai seragam sekolahnya.
"Dia melarikan diri seperti pengecut setelah menghilangnya kakak. Sungguh lelaki tak bertanggung jawab." Aiden bermonolog muak, meletakkan sisi bundar perak, membuka laci, mengeluarkan perkakas rambut.
Side ponytail. Itulah gaya rambutnya untuk hari ini. Setelah mengikat seluruh helai rambut ke samping dan membiarkan kuncirannya jatuh ke bahu, Aiden memakai bando dengan hiasan tiga love warna-warni. Terlihat manis.
Dia menghela napas panjang, menatap pantulan dirinya di cermin.
Aiden tidak pernah melupakan kasus yang diterima Anlow, kakaknya, si sulung Keluarga Eldwers. Grim yang memberikan kasus pembunuhan Marionette pada Anlow. Kasus sulit yang berakhir tak selesai karena Anlow terbunuh.
Menyambar tas, Aiden mengenakan kedua sepatunya. Lupakan soal mimpi atau Grim. Waktunya berangkat sekolah.
*
Mustahil tidak ada permohonan kasus.
"Selamat pagi, Hellen! Pagi, Jer. Kalian lagi baca apa?" tanya Aiden duduk di kursi, mencomot permen kenyal di mangkok. "Ini enak. Siapa yang membelinya? Jangan bilang hadiah dari fans."
"Sesuai tebakanmu." Jeremy berhenti membaca dokumen, memperbaiki posisi duduk, meluruskan pinggang. "Ada-ada saja permintaan warga. Minta tolong mencari cincin pernikahan yang hilang, mengganti seng bolong, memperbaiki lampu lalu lintas, dan blablabla. Maksudku, kita ini detektif. Bukan pekerja relawan. Ini membosankan."
Hellen terkekeh simpul. Sepertinya penduduk salah paham soal pekerjaan mereka di klub tersebut.
Aiden menoleh sana-sini. "Di mana Dan? Dia belum datang?"
Jeremy dan Hellen langsung mendengus. Keberadaan mereka tak dianggap di situ, hanya angin lalu. Aiden hanya fokus pada Watson, Watson, dan Watson. Dasar budak cinta! Paling tadi dia berbasa-basi sebelum menanyakan Watson.
Sebenarnya bulan liburan sudah datang. Sekolah sudah sepi, hanya dihuni siswa-siswi yang mendapat program remedial, kerja kelompok untuk ujian, atau kegiatan klub. Selebihnya sibuk merancang rencana musim panas.
"Kamu ini... bisa tidak sesekali tak menanyakan tentangku." Panjang umur. Pemilik nama muncul dari sofa panjang yang tertutup papan, menguap. Rambutnya berantakan. Terlihat mengantuk. "Peka sedikit sama mereka."
"Lho, Dan? Kamu menginap semalam?"
Lihatlah gadis ini, pandai sekali mengalihkan pembicaraan. Demikian maksud raut wajah mereka bertiga. Wajah berengut masam.
"Si Watson remedi sejarah, jadi dia begadang membaca buku." Hellen sukarela memberitahu, mengupas apel. "Tak kusangka kamu lemah dalam historiografi."
"Aku manusia biasa, Stern. Tidak selalu tahu banyak hal. Lagian aku salah baca materi, tidak punya persiapan." Watson menukas datar. Masuk ke toilet klub.
Aiden menatap Hellen penasaran. "Dan remedi? Memangnya nilainya berapa?"
"27."
"PFFT!" Aiden dan Jeremy sama-sama refleks menahan tawa.
27? Nilai apa itu! Apa yang Watson isi di kertas essai-nya? Makhluk luar angkasa menjajah bumi? Alien melakukan investasi dengan manusia? Atau perang manusia melawan robot dari masa depan?
Brak! Pintu kamar mandi dipukul dari dalam, menyumpal tawa Aiden dan Jeremy.
"Silakan saja mengejekku. Akan kudengar."
Jeremy angkat tangan, memutuskan lanjut membaca dokumen. Aiden sudah beringsut ke Hellen, bergosip. "Eh, bukannya Dan jago hukum, ya? Kok dia sampai dapat nilai separah itu?"
"Mana kutahu. Hukum dan sejarah beda Aiden."
"Kan sama-sama mengingat peraturan, konsekuensi, maklumat, dekrit, intrik negara, linimasa kejadian. Apa bedanya? Kalian seharusnya mencurigai Dan sengaja merendahkan nilainya."
"Sudahlah. Capek ngomong denganmu. Tidak mau kalah. Ya deh yang pintar. Apatah aku abu semesta."
Aiden manyun. Ke mana larinya itu.
Watson selesai mencuci muka, keluar dari toilet, melempar tatapan sengit pada Aiden yang ngacir ke kursi, memasang wajah tanpa dosa. Bisa-bisanya mencari ribut di pagi hari yang panas. Seharusnya Watson bisa tidur setengah jam lagi. Menyebalkan.
"Jadi, Watson," Jeremy berdeham, menopang dagu dengan tangan yang disilangkan. "Kasus siapa yang kita ambil hari ini?"
"Kita hanya mendapat permohonan kecil belakang ini kan, tidak ada kasus pembunuhan. Kenapa kalian tidak menolong Nyonya Lamberno menemukan anjingnya, atau memperbaiki atap Tuan Windoa." Dalam hati Watson tertawa penuh kemenangan. Musim panas yang damai, tidak ada kasus serius.
Aiden mendengus. Memang, kekuatan cinta (yang disangkal). Soal wajah datar Watson gadis itu seketika punya kekuatan baca pikiran, tahu apa yang dipikirkan otak licik Watson.
"Kamu mau seminggu ini kita tidak melakukan apa-apa?" Aiden melotot, fokus memarahi. "Kita harus cari permohonan kasus pembunuhan, Dan. Bukan diam-diam saja."
"Aiden... kamu seperti meminta ada penjahat yang merenggut nyawa orang."
"Bukan itu maksudku, Jeremy. Aduh! Kalian malah menganggap ambigu perkataanku. Kita ini detektif. Memecahkan teka-teki adalah pekerjaan kita."
Plok! Hellen menepuk tangan, menghentikan debat teman-temannya. "Kalau begitu kita ambil jalan tengah."
Aiden dan Jeremy menunggu. Beda dengan Watson yang kembali membaca buku. Bola besar di angkasa biru semakin terik menyengat.
"Kita liburan ke pantai saja!"
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top