Bab Tiga Belas

"Nav ... Navy? Sayang?"

Suara itu berulang kali mengusikku. Aku mencoba menggerakan mataku, dan perlahan secercah sinar berebutan menerobos mataku.

Yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata adalah wajah khawatir Mama. Desah lega terdengar dari bibirnya melihatku yang kini tersenyum lemah. Tak lama, aku merasakan usapan sayang di puncak kepalaku. Secara naluriah aku memejamkan mata saat tangan Mama begitu intens menyisihkan poni yang menutupi dahiku.

"Mama panggil dokter dulu, ya."

Aku mengangguk mengiyakan. Setelahnya, Mama meninggalkanku sendirian di kamar inapku. Aku hendak menutup kembali mataku, namun sebuah dehaman mencegahku melakukannya.

Kutolehkan kepalaku ke asal suara. Tersentak kaget saat lelaki dingin itu berdiri di dekat jendela, menatapku sambil bersedekap. Aku tidak menyangka dia juga berada di sini.

"Saya yang memberitahu keluarga kamu," jelasnya tanpa kuminta. "Saya juga memindahkan kamu ke Bandung, supaya mereka lebih mudah merawat kamu."

Mataku melebar, kupindai kamar inapku dengan seksama. Benar saja, kamar inapku ini berbeda dari kamar inapku yang sebelumnya.

"Kapan?" tanyaku dengan suara serak. "Kapan gue dipindahkan ke Bandung? Kenapa gue nggak tahu?"

Lelaki itu tersenyum miring. Seolah mengejekku karena melontarkan pertanyaan itu.

"Kamu jelas tidak tahu. Kesadaran kamu hilang setelah si brengsek itu mencoba membunuh kamu."

"Mem—membunuh? Siapa?" aku terbelalak kaget. Membunuh? Yang benar saja.

Lelaki itu mengendikkan bahu, membuatku semakin bertanya-tanya.

"Kenapa ada yang ingin membunuh gue? Emang gue salah apa?"

Tak kuduga, ekspresi lelaki itu kini menggelap. Meski kini matanya tak lagi mengarah padaku, aku sempat melihat kilatan amarah di mata yang berbingkai kacamata itu.

"Untuk melakukan sebuah kejahatan, seseorang nggak selalu membutuhkan motif." Tangannya yang semula terlipat di depan dada, kini tersembunyi di dalam kedua saku celananya.

Entah perasaanku saja atau apa, aku merasa suasana di kamar inap ini langsung berubah. Atu mungkin karena ekspresi lelaki itu yang semakin dingin membuatku merasa tidak nyaman.

Untungnya rasa tak nyaman itu lekas sirna saat Mama datang dengan dokter dan suster yang langsung memeriksaku. Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dokter itu katakan pada Mama, karena saat ini semua fokusku tertuju pada lelaki itu.

Lelaki dingin yang tengah menatap lurus ke luar jendela.

***

"Mama nggak istirahat di rumah aja?" tanyaku.

Mama yang tengah mengupas apel kini menghentikan kegiatannya dan menoleh padaku. Matanya sedikit menyipit, mencetak jelas keriput di pinggir matanya.

"Kalau Mama pulang, yang jagain kamu siapa?"

Kuusap punggung tangan Mama. "Nav bisa sendirian kok di sini."

Mama melotot tak suka.

"Kamu ini ya. Sudah masuk rumah sakit gak ngabarin orang rumah, sekarang malah nyuruh Mama pulang dan biarin kamu sendirian dirawat di rumah sakit. Kamu emang seneng lihat orang khawatir, ya?!"

Aku meringis mendengar ocehan Mama. Padahal maksudku bukan seperti itu. Aku menyuruh Mama pulang karena mengkhawatirkan kondisinya. Aku tidak mau Mama jatuh sakit lagi karena merawatku di sini.

"Lagian, Mama memang sengaja jagain kamu di sini. Awalnya Rega sama Sonia yang mau ke rumah sakit, tapi karena Mama mau meminta penjelasan kamu, makanya sekarang Mama ada di sini."

Raut muka Mama berubah serius. Ia kemudian menatap lurus ke dalam mataku. Sesuatu yang sering beliau lakukan padaku dan Kak Rega setiap kali kami berbuat kesalahan, dan Mama menginginkan kejujuran kami.

"Kenapa kamu dan Rizal menolak perjodohan itu?" tanya Mama telak.

Aku melepas genggamanku di tangan Mama. Susah payah aku menelan ludahku, merasakan sesuatu tercekat di tenggorokanku karena belum menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas ucapan Mama.

"Ah, itu Ma ..."

"Mama memang tidak pernah melarangmu melakukan apapun. Mama juga sangat tahu kamu pasti tidak menyetujui perjodohan ini." Mama mendesah. Aku tahu dia kecewa. "Tapi Nav, untuk kali ini, Mama sangat ingin melihatmu menikah."

Aku mengalihkan pandang ke arah lain. Saat ini aku tidak mau melihat sorot mata Mama yang menyimpan kekecewaan seperti itu. Hatiku mencelos, merasa bersalah.

"Mama tahu dari mana kalau Nav dan Rizal menolak perjodohan itu?" akhirnya tanya itu keluar dari bibirku setelah cukup lama bungkam.

"Tidak lama setelah Mama pulang dari rumah sakit, Mama menelepon Rizal. Kebetulan dia memang ada urusan di Bandung, jadilah dia datang ke rumah."

Lalu mengalirlah cerita Mama tentang Rizal yang didesak beribu tanya dari Mama. Aku bisa membayangkan seperti apa reaksi Rizal saat Mama menanyainya: "Gimana hubungan kamu sama Navy ke depannya? Kamu suka sama Navy?"

"Rizal bilang ini sudah keputusan kalian berdua." Mama menatapku penuh selidik. "Kamu nggak memperdaya Rizal supaya menolak perjodohan ini, kan?"

"Mama!" sahutku kesal. Tidak percaya Mama memiliki pemikiran seperti itu kepadaku. "Kok bisa Mama mikir gitu sih?"

"Mama tahu kamu itu seperti apa, Nav. Bukan nggak mungkin kamu mengancam Rizal supaya mengiyakan keinginan kamu itu."

"Aku nggak sepicik itu Ma," belaku. "Walaupun aku nggak menyukai sesuatu, aku nggak mungkin mengancam seseorang untuk mengabulkan keinginanku."

Mama tertegun sesaat. Diraihnya tangan kiriku dan menggenggamnya.

"Maksud Mama bukan seperti itu, Nav. Mama hanya—"

"Iya, Nav tahu, Ma," selaku. "Tapi Ma, kali ini aja biarin Nav nentuin siapa yang bakal menikah sama Nav." Aku memohon sungguh-sungguh.

"Apa dia alasan kamu menolak perjodohan ini?"

Dahiku mengernyit, tidak mengerti dengan perkataan Mama.

"Dia? Maksud Mama? Dia siapa?"

"Lelaki yang bersama kamu tadi. Dia yang membuat kamu menolak perjodohan dengan Rizal?"

"Lelaki? Lelaki yang ma—"

Aku menghentikan kalimatku saat pintu kamar inapku terbuka dan memuntahkan sosok lelaki berkacamata. Melihat tatapanku dan Mama yang mengarah padanya, ia lantas tersenyum dan menunduk sopan.

Saat sudah berdiri di dekat Mama, ia langsung meraih tangan Mama dan menciumnya takzim.

Kalau tidak mengingat betapa dinginnya lelaki ini, mungkin aku sudah terpesona dengan sikapnya barusan. Ah tidak, aku memang sedikit terpesona dengan sikapnya yang begitu menghargai Mama.

"Tante sudah makan? Dari tadi saya belum lihat Tante makan. Apa mau saya belikan makanan dulu untuk Tante?"

"Ah, nggak usah repot-repot. Tadi Tante sudah makan sebelum ke sini."

Lelaki itu tersenyum tipis. Pandangannya kini beralih padaku. Hatiku mencelos menyadari sorot ramah yang tadi ia berikan pada Mama telah berganti dingin saat melihatku.

"Bagaimana keadaan kamu? Feel better?"
"Ah ... iya. Sudah agak mendingan."

"Baguslah."

Lelaki dingin itu kemudian merogoh saku celananya, mengeluarkan gawai ber-merk terkenal yang harganya selangit itu. Dahinya mengkerut, tampak serius dengan sesuatu yang ada di ponselnya itu.

"Kamu siapanya Navy? Pacarnya, ya?"

Baik aku maupun lelaki itu tersentak saat Mama melempar tanya itu. Lelaki itu tersenyum tipis sekali, sehingga aku sangsi kalau ia tengah tersenyum, sebelum menyimpan kembali ponselnya ke saku celana.

"Maaf Tante kalau saya sudah lancang. Tiba-tiba menghubungi dan mengatakan kalau Navy dirawat di rumah sakit." Lelaki itu berkata begitu lancarnya. "Kebetulan Tante dan saya sudah bertemu, saya ingin meminta restu dari Tante secara langsung."

"Restu?" Mama tampak bingung.

"Maksud kamu apa?" aku tidak bisa menahan rasa penasaranku lebih lama.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah melanjutkan. "Saya ingin meminang Navy untuk menjadi istri saya. Sebelumnya saya sudah mengutarakan keinginan ini pada Navy, namun saya sangat tidak sopan kalau tidak meminta Navy secara langsung pada keluarganya. Kalau Tante berkenan menjadikan saya menantu, saya akan sangat berterima kasih."

"Kamu serius?" Mama menatap lelaki itu lekat. "Navy bukan wanita yang bisa dengan mudah menjadi istri yang baik."

"Mama!" protesku.

"Saya tidak keberatan, Tan. Saya siap menerima semua kekurangan dan kelebihan Navy."

Aku mendecih mendengar ucapan penuh kebohongan itu.
"Kalau Tante setuju, saya dan Navy akan menikah tiga minggu lagi."

Mataku melebar. Kutatap lelaki itu tidak percaya.

"Tiga minggu? Lo gila!"

"Navy!" tegur Mama. "Jaga ucapan kamu. Dia calon suami kamu."

"Mama! Dia bukan calon suami Nav. Apa-apaan menikah tiga minggu lagi!"

Mama menatapku dan lelaki itu bergantian. Jelas sekali Mama heran dengan ucapanku yang bertolak belakang dengan lelaki itu.

Seolah mengerti tatapan Mama lelaki itu kembali melanjutkan, "Navy masih marah sama saya karena menurutnya saya terlalu tiba-tiba. Padahal rencana ini sudah kami persiapkan jauh-jauh hari." Ia memasang tampang sedihnya saat melihatku. "Bahkan karena itulah Navy harus kecelakaan dan masuk rumah sakit. Maafkan saya Tante, karena secara tidak langsung sudah membuat Navy seperti ini."

"Lo!" telunjukku sudah mengacung ke arah lelaki itu. Namun pelototan tajam dari Mama membuatku harus menurunkan lagi telunjukku itu.

"Mau kamu apa Navy? Kamu tidak mau menikah? Ingat umur kamu sudah berapa." Mama kembali mengomeliku. "Beberapa bulan lagi kamu sudah 27 tahun, Nav."

Aku mendelik kesal ke lelaki itu. Gara-gara dia aku harus kembali diomeli Mama. Rasa kesalku bercampur malu karena Mama mengomeliku di depan orang asing seperti lelaki itu.

"Semua sudah saya persiapkan, Tan. Tinggal menunggu persetujuan Tante dan calon pengantin wanitanya."

Kalau saja melakukan tindakan kriminal tidak melanggar hukum, mungkin saat ini aku sudah melakukan sesuatu yang buruk untuk mengenyahkan lelaki itu dari hadapanku.

"Nav, kamu tahu kan apa jawaban Mama?"

Aku mendesah, tahu aku tidak bisa berargumen lagi.

"Iya, Ma. Navy tahu."

"Jadi pernikahannya tiga minggu lagi?" tanya Mama.

"Iya Tante."

"Bagaimana Nav? Kamu setuju?"

"Terserah."

Aku mengiyakan bukan berarti aku mau dan sukarela menerima lamaran lelaki gila itu. Hanya saja aku sadar, aku telah kalah sebelum sempat melawan.

"Menikahnya di Bandung, kan? Kamu tidak keberatan?"

"Iya. Tan. Navy sudah pernah bilang kalau dia cuma mau menikah di Bandung. Katanya dia ingin menikah di tengah keluarga besarnya."

Mama tersenyum. Aku tahu apa yang tengah di pikiran Mama saat ini. Mama pasti sedang senang karena kali ini aku menuruti keinginannya untuk menikah dj Bandung. Sebelumnya aku pernah mengutarakan keinginanku untuk menikah di Puncak karena menyukai suasana di sana.

"Kalau boleh tahu, nama kamu siapa? Dari tadi kamu belum menyebutkan nama."

Aku yang semula cemberut dengan muka kusut langsung menoleh pada lelaki itu. Bukan hanya Mama, aku juga penasaran dengan nama si asisten dingin Satria Augusta ini.

Berbeda dengan sebelumnya. Kali ini lelaki itu tampak ragu-ragu untuk menggerakkan bibirnya.

"Saya ... Satria." lelaki itu berujar susah payah. "Satria Augusta."

***

Aloha!
Gimana bab ini? Kalau menemukan typo atau kejanggalan dari bab ini, jangan sungkan memberi tahuku.

Jangan lupa juga memberikan votmen untuk bab ini.
Juga aku akan berterima kasih kalau kalian merekomendasikan cerita ini ke teman kalian.

Bab ini aku persembahkan buat Kak oktaehyun yang penasaran sama si abang asisten 😜. Semoga bab ini menjawab rasa penasarannya ya, Kak.

Dan untuk semua yang membaca cerita ini, semoga suka, dan ... selamat membaca. 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top