Bab Tiga
Melakukan sebuah liputan investigasi sebenarnya bukan hal baru untukku. Saat tahun kedua bekerja, aku pernah ditugaskan menginvestigasi salah satu anggota legislatif yang diduga korupsi dalam jumlah yang dapat membuat mulut orang-orang menganga lebar. Liputan yang kulakukan tidak membutuhkan waktu yang sebentar. Setahun lebih aku berusaha mengorek informasi mengenai anggota legislatif tersebut. Lega rasanya saat berhasil mengungkap kasus yang tidak banyak diketahui orang lain.
Meski porsiku dalam mengungkap kasus itu tidak besar, mengingat aku yang masih junior, tetap saja itu membuatku bangga. Aku senang berada dalam sebuah tim yang berhasil mengungkap fakta yang tersembunyi. Melakukan sebuah pelaporan mendalam tentu tidak bisa dilakukan sendirian. Butuh kerjasama tim agar kasus itu dapat terselesaikan dan membuat tanya publik terjawab hingga ke akarnya.
Dan kali ini, aku kembali ditugaskan untuk melakukan sebuah investigasi pada sebuah perusahaan yang disinyalir melakukan perdagangan gelap. Aku sedikit syok mendapati namaku berada dalam tim yang akan meliput tersebut. Aku ingin menyanggah, mengundurkan diri, tapi hasil rapat tersebut sudah fix dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
"Lo kenapa? Kusut banget."
Aster menyentuh pelan lenganku saat aku melangkah gontai meninggalkan ruang rapat. Aku menghela napas panjang. Pikiranku kini bercabang; liputan investigasi yang akan kulakukan, juga kondisi kesehatan Mama yang kini memburuk.
"As, boleh nggak gue diganti sama anak lain buat ngeliput investigasi ini?"
Aster menghentikan langkahnya. Menatapku bingung.
"Lo nggak bisa?" tanyanya. "Kenapa tadi nggak bilang? Mungkin Pak Bagus bisa langsung nyari nama lain kalau lo nggak bisa."
Lagi, aku mendesah. Dengan gerakan pelan aku duduk di bangku panjang yang ada di koridor. Aster yang masih menuntut penjelasanku ikut duduk di bangku tersebut. Matanya tak lepas sedetik pun dari wajahku.
Aku mendesah. Bingung harus bagaimana memulai untuk bercerita pada Aster.
"Mama sakit, jantungnya kumat. Gue udah lama gak ngelihat Mama, dan gue ngerasa kalau kali ini gue gak nengokin Mama, gue bakal jadi anak yang durhaka banget." Aku memijat dahiku yang terasa mulai pusing.
Walau tak melihat, aku dapat merasakan perubahan ekspresi di wajah Aster. Wanita itu menggenggam tanganku, memberi kekuatan.
"Di satu sisi gue pengen banget ikut andil dalam investigasi ini. Tapi, di sisi lain, gue pengen tau perkembangan kesehatan Mama. Lo tau sendiri, ngelakuin investigasi itu waktunya gak bisa ditebak. Kalau lagi untung, ya kita bisa cepet nyelesainnya. Kalau buntung, bisa bertahun-tahun kita ngulik satu kasus aja."
Aster menepuk punggung tanganku. Ikut memberikan simpatinya.
"Kalau misalnya lo gak ngerasa yakin bisa melakukan investigasi ini, gue bakal bilang sama Pak Bagus. Kali aja dia ada usulan nama lain yang bisa gantiin elo buat liputan nanti."
Aku menatap Aster yang tersenyum padaku. Kubalas senyuman itu dengan senyum penuh terima kasih.
"Thanks, As. Gue gak tau udah berapa sering lo nolongin gue kayak gini," kataku sungguh-sungguh.
Aster langsung menarik tangannya. Melipat kedua tangannya di depan dada sambil memanyunkan bibirnya.
"Gue nolongin elo gak gratis ya ..."
Aku tertawa, mengangguk mengerti.
"Iya, iya, coffe latte kayak biasa kan?" Aku menyebutkan salah satu kopi kesukaan Aster. Minuman yang sering aku belikan untuknya sebagai sogokan.
Aster tersenyum lebar sebelum bangkit berdiri. Ditepuknya pipiku pelan sambil nyengir.
"Good girl! Gue balik ke ruangan dulu ya, ada yang mau gue urus."
Aster langsung berlalu tanpa sempat aku membalas ucapannya. Setelah sosoknya menghilang di balik belokan, aku menyandarkan kepalaku ke dinding. Memikirkan Mama yang kini tergolek sakit sukses membuat air mataku luruh.
***
Aku dan Mama sebenarnya tidak terlalu dekat. Aku kadang iri melihat teman-temanku sering berbagi cerita dengan ibu mereka. Jalan bersama layaknya sepasang sahabat yang sebaya.
Namun, aku dan Mama tidak demikian. Beliau sibuk dengan usaha menjahitnya yang kecil-kecilan. Setiap minggunya akan ada saja order menjahit dari para tetangga. Bermula dari mulut ke mulut, usaha menjahit Mama sudah terkenal seantero komplek perumahanku. Bahkan pernah sekali, salah satu pejabat di daerahku menitipkan dasar kainnya untuk Mama jahitkan menjadi sebuah kebaya yang sangat cantik.
Setiap acara perpisahan, aku selalu dibuatkan Mama kebaya hasil desainnya sendiri. Kalau kebaya itu sudah tidak muat lagi di badanku, Mama akan menjual kebaya-kebaya itu pada salon yang menyewakan jasa kebaya.
Meski aku dan Mama tidak terlalu dekat seperti pasangan ibu-anak yang lain, aku tetap dapat merasakan kasih sayang Mama yang berlimpah dari semua tindakannya padaku. Tak pernah sekali pun Mama mengabaikan keperluanku, meski itu tidak penting sekalipun.
Kalau kalian mengira aku adalah anak yang penurut, kalian salah besar. Aku adalah anak yang pembangkang yang tidak suka diatur oleh siapapun, termasuk kedua orangtuaku. Mungkin karena jiwa mudaku masih bergolak dan terlalu dimanjakan karena aku anak bungsu dan perempuan, aku menjadi susah diatur.
Pernah sekali karena aku sangat marah pada mereka yang seolah mengatur-ngatur hidupku, aku nekat kabur dari rumah. Selama tiga hari aku menginap di rumah temanku. Tentu saja, temanku itu sudah kuancam agar tidak berkata di mana aku berada.
Aku tidak akan pernah pulang kalau tidak mendengar kabar jika Mama jatuh pingsan karena kelelahan mencariku kemana-mana. Kak Rega akhirnya berhasil menemukanku dan membawaku pulang. Tentu saja awalnya aku menolak, namun setelah mendengar mengenai kondisi Mama, akhirnya aku mau juga pulang ke rumah.
Saat itu aku merasa menjadi anak yang paling durhaka sedunia. Melihat selang di tangan dan hidung Mama membuatku menangis saat itu juga. Aku tidak pernah tega melihat Mama jatuh sakit ataupun kelelahan. Apalagi saat itu Mama jatuh sakit karena ulahku. Aku kemudian berjanji pada diriku sendiri akan menjadi anak yang penurut jika Mama bisa sembuh. Dan doaku terkabul.
Semenjak itulah, aku berubah menjadi anak yang lebih penurut. Aku selalu menjaga sikap dan tingkahku agar jantung Mama tidak kembali berulah.
Dan kali ini, saat mendapat kabar dari Kak Rega mengenai jantung Mama yang kembali berulah, membuatku menyesali keputusanku yang jarang pulang ke rumah. Padahal kalau aku mau, aku bisa pulang ke rumah menengok keluargaku setelah liputan. Tidak sulit untuk menemui mereka.
"Mama kangen kamu, Dek. Cepet pulang, ya." Kak Rega mengatakan itu sebelum memutuskan sambungan teleponku semalam. Sambungan telepon yang akhirnya membuatku menangis semalaman karena merasa rindu pada keluargaku.
Setelah mengompres mataku agar tidak terlihat sembab, barulah aku berangkat ke kantor. Begitu tiba di lobi sesudah liputan, aku melihat Aster langsung berdiri dari duduknya. Seolah memang tengah menungguku, dia langsung menghampiriku.
"Gak ada yang free, Nav. Lagian, investigasi ini udah pernah dibahas di beberapa rapat yang udah lewat. Lo-nya aja yang emang suka gak fokus pas rapat."
Aku mendesah. Tersenyum lemah sebelum mengangguk.
"Ya udah, nggak pa-pa. Gue bakal tetep gabung kok."
"Terus, nyokap lo gimana?"
"Nanti pas weekend gue nengok Mama. Kebetulan jadwal liputan gue juga kosong." Aku mencoba tersenyum pada Aster.
Ia mengela napas panjang sebelum mengangguk.
"Hm, yaudah deh. Salam ya buat nyokap lo. Semoga cepet sembuh."
"Iya, thanks ya, As."
***
Bab tiganya aku update. Yuhuu Vannie_Andrie megaoktaviasd primamutiara_ umaya_afs rachmahwahyu bettaderogers MethaSaja DeiaChoi brynamahestri silakan mampir
n.b : part ini belum melewati editing. Maklumin ya kalau ada beberapa kesalahan di dalamnya.
Happy reading 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top