Bab Sepuluh

Sudah seminggu sejak aku melakukan investigasiku. Tidak hanya Silver Group yang kudatangi, tapi juga beberapa perusahaan yang pernah dan sedang menjalin kerjasama dengan perusahaan itu. Kesan pertama yang aku dapatkan saat menginjakkan kaki di Silver Group adalah kantor itu memiliki kesan dingin yang begitu kentara. Bukan dingin yang diciptakan oleh pendingin ruangan, namun aura dingin lain yang menusuk tengkukku dan melumpuhkan tulang seketika.

Entah apa yang membuatku merasa tidak nyaman. Seharusnya aku yang melakukan pengintaian, namun nyatanya, aku yang merasa terintai diam-diam.

Seperti yang lain, aku juga melalukan penyamaran saat mendatangi kantor-kantor itu. Dan hari ini, tujuan pengintaianku adalah Augusta Corp. Sebuah perusahaan yang kata Aster memiliki CEO yang masih melajang. Perusahaan yang saat ini tengah melakukan penawatan dengan Silver Group untuk membangun sebuah kerjasama.

Aku sudah membuka berbagai situs untuk mengorek informasi mengenai Augusta Corp, bahkan majalah bisnis yang tidak aku mengerti pun menjadi bahan santapanku. Tapi dari sekian banyak sumber, baik media cetak, elektronik, maupun online, tidak ada informasi rinci mengenai CEO muda itu.

Hal yang membuatku berpikir ulang mengenai informasi yang Aster berikan padaku mengenai Augusta Corp. Aster tahu dari mana kalau CEO Augusta Corp masih muda dan lajang? Satu potret mengenai pemimpin perusahaan itu pun tidak berhasil aku dapatkan. Sekalinya aku berhasil mendapatkan potret dirinya, aku harus menelan kekecewaan karena itu adalah fotonya lima belas tahun yang lalu. Tentu saja saat ini pasti wajahnya memiliki berbagai perubahan dari wajahnya lima belas tahun yang lalu.

Hanya ada beberapa info penting yang aku dapatkan mengenai CEO Augusta Corp: namanya Satria Augusta, lulusan sekolah bisnis terkemuka di Inggris. Dan sudah hampir sepuluh tahun ia memimpin Augusta Corp setelah sebelumnya perusahaan itu dipimpin oleh Steve Augusta, ayahnya.

Minimnya informasi mengenai dirinya dan tidak pernah ada media yang berhasil mengekspos dirinya, membuat Satria menjadi sosok yang misterius. Bukan hanya bagi masyarakat awam, namun juga partner bisnisnya. Entah apa yang membuat lelaki itu memilih menutupi identitasnya dari banyak orang, tanpa terkecuali.

Saat ini aku tengah duduk di lobi kantor Augusta Corp. Seperti kantor-kantor lain yang pernah kudatangi, aktivitas di Augusta Corp tidaklah jauh berbeda. Ada dua wanita yang menjaga meja resepsionis yang selalu tersenyum ramah saat menyapa tamu yang datang. Tampilan kedua wanita itu tidak berlebihan hingga aku masih dapat merasakan kesan natural dari wajah mereka.

Gedung kantor Augusta Corp memang tidak semegah dan sebesar milik Silver Group, namun bangunan 15 lantai ini memberikan kesan nyaman tersendiri saat aku pertama kali memasukinya. Dinding kaca yang menyelimuti hampir seluruh bagian gedung membuat sinar matahari dengan mudah masuk menerangi ruangan. Sebuah alternatif untuk menghemat pemakaian listrik.

Berbeda dengan Silver Group yang setiap koridornya terasa begitu panjang dan memiliki penerangan yang entah sengaja dibuat sedikit redup atau memang seperti itu keadaannya. Silver Group memiliki banyak koridor yang membuatku tersesat saat melewatinya. Untungnya berkat bantuan seorang office boy yang melintas di dekatku, aku dapat keluar dengan selamat menuju lift dari koridor yang terasa bak labirin itu.

Mataku kembali memindai sekeliling. Setelah merasa cukup puas mengamati lobi dan sekitarnya, aku bangkit dari dudukku dan melangkah pelan menuju lift. Aroma segar pengharum ruangan tercium saat aku melewati ruangan yang pintunya terbuka sebagian. Aku mempercepat langkahku saat pintu lift yang semula tertutup perlahan terbuka.

Lift itu kemudian memuntahkan seorang wanita paruh baya yang masih tampak modis dengan setelan kerjanya, diikuti oleh beberapa lelaki necis yang tengah mengobrolkan tentang pekerjaan mereka. Aku menggeser tubuhku, memberi jalan pada orang-orang itu, setelah memastikan lift dalam keadaan kosong, aku mulai melangkah masuk.

Baru saja aku hendak menekan tombol di sisi kanan lift, seorang laki-laki melangkah mendekati lift, membuat gerakan tanganku terhenti. Melihatku yang masih bergeming, ia kemudian melenggang masuk ke dalam.

"Lantai 7," kata lelaki itu.

"Ah, oke."

Setelah menekan tombol lantai tujuan kami, hening langsung mendatangi. Lelaki itu berdiri kaku di sampingku, sedangkan aku memilih memainkan ponselku, mengecek kembali jadwalku hari ini. Gerakanku di layar ponsel terhenti saat merasakan kudukku meremang. Kutolehkan kepalaku pada lelaki itu, namun tidak seperti yang aku pikirkan, lelaki itu masih bergeming dengan tatapan lurus ke pintu lift.

Diam-diam kuamati lelaki itu dari ujung kaki ke ujung kepala. Kacamata yang membingkai mata serta adanya kumis tipis, membuatnya tampak penuh wibawa. Kemeja biru muda dengan jas dan dasi berwarna hitam melekat pas di tubuh tegapnya. Aku tidak tahu apa posisi lelaki itu di perusahaan ini, namun aku dapat menebak dari cara berpakaian dan gerak-geriknya, ia menduduki posisi yang cukup penting di Augusta Corp.

Aku mendesah, menghalau perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Berdua saja di dalam lift dengan orang asing memang bukan hal baru untukku. Hanya saja, bersama lelaki ini di dalam ruang tertutup seperti lift ini, aku merasa seperti terintimidasi oleh sosoknya.

"Apa pun yang kamu lakukan, tolong hentikan."

Suara bariton yang berasal dari samping kiriku membuatku tersentak. Seketika aku mengangkat kepalaku, menatap lelaki kaku di sampingku ini. Kutatap sekeliling, memastikan bahwa aku yang baru saja ia ajak bicara sebelum kembali menatapnya bingung.

"Kamu ngomong sama aku?" tanyaku tak yakin. Bisa saja kan aku berhalusinasi karena keheningan di antara kami begitu kentara. Bahkan aku sangat yakin, lelaki berkacamata ini sama sekali tidak menggerakkan bibirnya. Jadi, bisa saja kan aku memang berhalusinasi telah ia ajak bicara.

Tak kusangka lelaki itu menoleh. Tatapannya yang terhalang kacamata berbingkai tipis itu begitu menusukku. Aku bahkan dapat merasakan amarah dari matanya yang berkilat tajam. Bibirnya kemudian bergerak, mengeluarkan kalimat dengan suara pelan dan dingin.

"Demi kebaikanmu, tolong hentikan apa pun yang sudah kamu mulai sebelum terlibat terlalu jauh!"

Aku dapat merasakan penekanan dari setiap kata yang ia ucapkan. Mataku membulat, menatapnya yang juga menatapku lurus. Sungguh, aku tidak mengerti maksud dari ucapan lelaki ini.

Apa yang harus kuhentikan? Apakah laki-laki ini hanya mengigau?

Tak lama, lift pun berdenting. Gerakan pelan pintu lift yang terbuka membuat lelaki itu memutuskan kontak mata kami. Tanpa menoleh lelaki itu melangkah keluar. Meninggalkan jejak aroma laut dan musk yang bercampur menjadi satu di udara.

Meski kini pintu lift telah tertutup rapat dan kembali bergerak menuju lantai atas, sosok lelaki itu tidak hilang dari mataku. Seolah sosoknya membayang di pintu lift. Tapi, bukan sosok misteriusnya yang terus berputar di kepalaku, melainkan kata-katanya yang seolah penuh dengan ancaman.

***


Tidurku tidak tenang!

Sungguh, mataku sulit sekali terpejam. Malam sudah semakin larut, dan seperti malam sebelumnya, aku tidak bisa tidur dengan tenang. Aku meringkuk di kepala ranjang dengan ponsel di genggaman.

Baru saja aku mendapati kabar jika Ardan, salah satu anggota tim investigasiku masuk rumah sakit karena kecelakaan. Aku tidak akan setakut ini jika Ardan tidak kecelakaan setelah mencoba menyusup ke anak perusahaan Silver Group. Mencari informasi untuk melengkapi data investigasi kami.

Aku tidak tahu jelas seperti apa kronologi kejadiannya. Namun satu yang pasti, Ardan sengaja dibuat kecelakaan oleh seseorang yang entah siapa. Seseorang dengan sengaja membuat rem motornya menjadi blong.

Aku tahu, Ardan selalu mengecek kendaraannya sebelum berpergian, karena pernah suatu hari Ardan mendapati motorku sedang dalam masalah—yang aku tidak tahu apa karena tidak mengerti—dan dia langsung memperbaikinya. Sebelumnya juga karena aku tidak mengecek kendaraanku, akibatnya aku terjatuh di jalanan.

Ardan bilang mengecek kendaraan sebelum berpergian itu adalah harga mati. Kita tidak mungkin bisa berperang kalau senjata kita tidak memadai. Jadi tidak mungkin jika Ardan yang selalu mengecek kendaraannya bisa kecelakaan hanya karena rem yang blong.

Aku tersentak kaget saat ponselku kembali berdering. Nama Aster yang tertera di layar ponsel yang membuatku akhirnya menerima panggilan itu.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Aster langsung.

"Gue baik-baik aja." Tentu saja aku bohong. Mana mungkin aku baik-baik saja menerima kabar ini. Bahkan suaraku terdengar bergetar saat mengatakannya.

"Mengenai Ardan," Aster menghentikan ucapannya sementara aku menunggu dengan jantung yang berdetak kencang.

"Iya gue tahu. Semoga dia cepat sadar dan baik-baik aja."

Kudengar Aster menghela napas panjang. Namun hingga waktu berlalu, Aster masih membungkam mulutnya, membuatku menerka-nerka apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Nav," panggil Aster pelan. "Lo harus lebih hati-hati mulai sekarang. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi, karena itulah kita harus waspada demi mencegah kemungkinan terburuk."

Aku hendak membalas ucapan Aster saat suara sesuatu yang pecah terdengar nyaring dari arah depan menginterupsi percakapan kami. Sontak aku berdiri, mengabaikan Aster yang bertanya dengan panik dan khawatir. "Itu suara apa, Nav?"

"Nggak tahu, gue mau cek dulu ke depan."

Tanpa membutuhkan balasan Aster, aku segera mengakhiri panggilan itu. Meski di seberang sana pasti Aster menggerutu karena aku sudah tidak sopan mengakhiri panggilannya secara sepihak, namun sama seperti Aster, aku juga penasaran dengan suara benda yang pecah.

Dengan jantung yang berdegup kencang aku keluar dari kamar. Merayap di dinding demi mencari saklar untuk menghidupkan lampu di ruang tamu. Setelah cahaya lampu berpendar dan berkumpul di satu titik, aku akhirnya dapat mengetahui dari mana suara itu berasal.

Mataku melebar sempurna saat melihat serpihan kaca jendela yang berhamburan di lantai. Gegas aku melangkah mendekati jendela. Kubekap mulutku saat menyadari bahwa kaca jendela kontrakanku memang sudah pecah dihantam sebuah batu yang tergeletak tak jauh dari serpihan kaca itu.

Alih-alih membereskan kekacauan di depan mataku, aku malah bergeming di dekat jendela. Perlahan tubuhku merosot hingga terjatuh di lantai. Kakiku terasa lemas saat melihat sebuah kertas yang membungkus batu yang telah memecahkan kaca jendelaku.

Bahkan meski kertas itu masih memeluk batu dengan erat, aku dapat menebak kata yang ditulis dengan tinta merah yang sekilas tampak seperti warna darah itu. Bukan karena aku pintar menebak sesuatu, namun karena ini bukan kali pertama aku menerima 'kiriman' yang berupa batu yang dibungkus kertas dengan satu kata yang sama.

Tanpa bisa kucegah air mata mulai menetes dari pinggir mataku. Kupicingkan mata, mencoba menghapus kata-kata yang tertulis di kertas itu dari benakku. Tapi sekuat apa pun aku menghalau, satu kata itu terus membayangi pikiranku.

Mati!

***

Selamat pagi!
Sesuai jadwal, bab sepuluh aku posting hari ini. Jangan ragu untuk meninggalkan jejak berupa komentar, kritik, dan saran untuk bab ini dan bab yang lainnya.
Kalau berkenan, bisa juga klik tanda bintang untuk memberi voting.

Gimana bab ini? Feel-nya kurang greget atau malah biasa aja? Ditunggu komentarnya.

Happy reading. 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top