Bab Satu

Hujan baru saja reda saat aku keluar dari gedung Drianca Finance. Sebuah perusahaan yang baru saja me-launching program beasiswa bagi mahasiswa berekonomi rendah namun berprestasi tinggi.

Wawancara yang diselingi tawa tadi cukup menyita waktu dan tenaga. Bagaimana tidak, Arini Mellandri--humas Drianca Finance--sudah mengenalku sejak liputan pertamaku di perusahaan tersebut. Wajar saja jika setiap kali aku bertandang ke DF, wanita yang hampir berusia 50 tahun itu selalu menyapaku ramah. Menganggapku anaknya sendiri, sehingga wawancara yang kami lakoni mengalir begitu saja. Tak sekaku dan seformal wawancaraku dengan humas di beberapa perusahaan yang pernah kudatangi.

Kurenggangkan otot-otot yang sempat menegang. Tersenyum lega saat suara tulang yang bersinggungan mulai terdengar.

Aku menengadah menatap langit. Awan hitam masih terlihat, namun tak mendominasi seperti sebelumnya. Rencana untuk mampir di warung makan pinggir jalan langgananku langsung membuat perutku keroncongan.

Aku mengembuskan napas sebelum kembali melanjutkan langkah menuju tempat parkir. Mobil kesayanganku pasti sudah bosan menungguku di sana.

Sedikit lumpur akibat hujan deras yang tadi melanda sedikit merusak estetika Brio merahku. Aku sedikit merutuk kesal, mengingat mobil yang jarang kupakai ini harus kotor karena tadi aku melewati kubangan yang cukup besar.

Belum semenit aku menghidupkan mesin mobil, ponselku langsung menjerit dari dalam ransel. Segera kurogoh saku terdepan, tempat aku biasa menyimpan ponsel. Dahiku mengernyit melihat nama Aster tertera di layar ponsel. Tanpa pikir panjang, segera kujawab panggilannya.

"Lo di mana?" semburnya langsung. Dari nada bicaranya aku yakin saat ini ia tengah mondar-mandir di ruangannya.

"Masih di DF, habis wawancara. Kenapa emang?"

"Cepetan balik ke kantor! Berita lo ada yang mesti diubah."

Lagi, aku mengernyit. "Berita yang mana?" tanyaku bingung.

"Udah, pokoknya lo cepetan ke sini. Edit berita lo itu sebelum naik cetak dan beredar luas besok!"

Aster langsung menutup panggilan tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara lagi. Walau bingung dengan berita yang dimaksud Aster, kukemudikan mobilku menuju kantor. Melupakan rencana awalku untuk beristirahat sejenak di warung makan favoritku.

***

Langit malam sudah turun saat aku tiba di kantor. Baru selangkah aku memasuki ruangan Aster, ibu dua anak itu langsung berdiri.

"Edit berita lo sekarang!" titahnya tanpa cela.

"Hei! Gue baru dateng kali," cibirku.

"Salah siapa ngaret dua jam? Gue tadi kan nelpon lo jam setengah lima. Emang sejauh apa sih kantor DF sama nih kantor? Setengah jam make motor juga nyampe!" cerocosnya panjang lebar. Setelah mengembuskan napas panjang, Aster kembali berkata, "Lo pake motor, kan?"

"Lo lagi dapet apa kurang makan, sih? Marah mulu kerjaannya," balasku tak mau kalah. "Gue tadi pake mobil, gak pake motor. Mana tadi kejebak macet pula . Tahu sendirilah kalau jam pulang kerja itu macetnya kayak gimana."

Mendengar penjelasanku, Aster langsung mendelik. Ia mengembuskan napas sembari menggeleng pelan. Ia benar-benar terlihat kacau saat ini.

"Ngapain juga bawa mobil? Biasanya juga tiap kali ngeliput lo selalu pake motor. Kan lo tahu sendiri kalo bawa mobil itu ribet. Enakan juga pake motor, lo bisa sampe cepet ke lokasi kejadian. Kalau macet kan lo bisa nyalip-nyalip. Terus pake motor juga--"

"Gue habis liputan di Sukabumi," potongku sebelum Aster memberiku wejangan yang sudah aku hapal di luar kepala. "Lo lupa atau sengaja lupa? Kan elo yang nyuruh gue ngeliput di sana."

Kemudian hening menyapa kami. Baik aku ataupun Aster tidak ada lagi yang buka suara. Kulihat Aster menggeleng. Napasnya masih tak beraturan.

Aster mengibaskan tangannya sebelum duduk di kursi kerjanya. Mengedikkan bahu menunjuk laptop yang berada tepat di hadapannya. Aku mendesah pasrah, tahu Aster tidak mau berdebat lagi.

"Ada informasi yang mesti diubah ... atas permintaan narasumber," kata Aster saat aku mengecek berita yang semalam aku kirim via email.

Aku masih bungkam. Terlalu sibuk memindai kata demi kata yang tersaji di layar monitor di hadapanku. Apanya yang salah? Semua data dan informasi yang aku peroleh telah aku sajikan dalam tulisanku ini, tanpa ada penambahan ataupun pengurangan

"Lo harus edit bagian ini." Aster menunjuk salah satu paragraf. Mungkin ia menyadari ekspresi kebingunganku. "Kalau lo masih berani nerbitin berita ini tanpa menghilangkan bagian yang tadi ..." Aster mendesah, menatapku lekat.

Tanpa perlu Aster melanjutkan ucapannya, aku sudah tahu apa kelanjutannya.

Kalau aku masih berani menerbitkan berita seperti yang tersaji di hadapanku, sudah dipastikan kantor tempatku bekerja harus mengganti rugi. Dan aku tidak mau hal itu terjadi ... karenaku.

***

Menjadi seorang jurnalis ataupun wartawan itu gak semudah dan seasik kelihatannya. Terlebih untuk perempuan sepertiku.

Memang kelihatannya keren, tahu informasi lebih dulu dari orang lain. Bertemu orang hebat dan terkenal, bisa berkenalan dengan pejabat-pejabat penting. Berfoto bersama, bahkan tak jarang makan dalam satu meja yang sama.

Tapi percaya deh, seasik apapun kelihatannya, hal itu tetap melelahkan. Tenaga dan waktu kalian akan banyak terkuras demi mendapatkan berita faktual nan aktual untuk menjawab dahaga orang-orang yang haus informasi. Bahkan tak jarang, waktu untuk berkumpul bersama keluarga di akhir pekan hanya menjadi angan semu semata.

Saat baru menjadi wartawan, aku pernah ditugaskan di salah satu daerah yang tak tersambung listrik. Berharap bisa refreshing melihat pemandangan pedesaan yang bebas polusi, nyatanya aku malah ingin cepat-cepat pulang. Akses menuju desa itu sangat terbatas. Jembatan gantungnya begitu sempit dan sebuah sungai berarus deras begitu menantang di bawah sana.

Aku ingin menyerah. Tentu saja.

Setelah liputan dari desa terpencil itu, aku langsung membuat surat resign. Aku tidak tahan harus berada dalam antrean yang panjang hanya untuk mandi dan menuntaskan panggilan alam. Aku juga tidak sanggup dengan deadline berita yang membuatku mabuk layar laptop.

Tapi keinginanku untuk resign langsung surut setelah melihat Aster. Wanita yang lebih tua 6 tahun dariku itu begitu gigih menjalani aktifitasnya. Saat itu ia tengah hamil tua. Dengan perut yang makin membesar dan beban yang semakin berat, ia tidak goyah menjadi kuli tinta.

Dalam hati aku berkata: orang hamil aja tetep kerja, masa lo yang tenaganya masih full malah nyerah? Karena itulah, surat resign yang kubuat berakhir di tumpukan terbawah fotokopian makalahku semasa kuliah.

"Kalau lo nyerah sekarang, lo gak bakalan memetik hasilnya di masa depan."

Kata-kata Aster itu menjadi kekuatanku untuk bertahan hingga detik ini. Dan tidak terasa, sudah lima tahun berlalu semenjak hari itu. Bekerja sebagai wartawan dan melalui lima lebaran berturut-turut tanpa kehangatan keluarga.

Waktu tidurku juga berkurang. Membuat mataku begitu mirip dengan mata panda. Berkantung dan dibingkai warna hitam di bawah mata.

Tapi, kini, aku menikmatinya. Terlepas dari betapa sedikitnya waktuku untuk beristirahat dan berkumpul bersama keluarga. Aku menyukai pekerjaanku ini.

Waktu sudah merangkak naik menuju dua dini hari. Dan aku baru tiba di rumah setelah menyetor berita yang seharian ini aku dapatkan.

Setelah menyetor berita, belum tentu berita kita akan langsung naik cetak. Ada beberapa tahapan lagi sebelum berita naik cetak dan mendarat di tangan pembaca keesokan harinya.

Saat semua mata telah terlelap, kami sama sekali belum menutup mata meski kantuk mendera. Akan ada pengeditan, seperti yang aku lakukan di ruangan Aster tadi. Dan beberapa tahapan yang membuat mata dan tubuhku pegal bukan main.

Omong-omong, Aster sudah menjadi Redaktur. Hasil kerja kerasnya selama lebih dari sepuluh tahun bekerja.

Sebenarnya menjadi seorang jurnalis bukan cita-citaku. Sedari kecil aku bercita-cita menjadi seorang dokter. Menyembuhkan orang sakit, tersenyum melihat pasienku sembuh dan bisa kembali ke rumah mereka masing-masing dalam keadaan lebih baik dari sebelumnya.

Tapi takdir berkata lain. Aku tercebur bersama manusia lainnya di Ilmu Komunikasi. Memilih Jurnalistik sebagai penjurusan.

Sebenarnya, ada tiga penjurusan di kampusku dulu: Jurnalistik, Public Relation, dan Advertising. Aku tidak memilih PR karena aku tidak pandai berbicara di depan umum. Tidak juga Advertising karena aku tidak berbakat mendesain sesuatu. Di pikiranku kala itu, Advertising selalu membahas desain untuk periklanan.

Dan alasan lain kenapa aku memutuskan memilih Jurnalistik sangat sederhana; aku cuma bisa menulis. Tanpa ada keahlian lain yang bisa kubanggakan.

***

Halo, aku kembali membawa bab pertama dari cerita ini. Semoga suka. 😆

Cc : AndiAR22 , whiteghostwriter , NisaAtfiatmico , c2_anin deanakhmad , megaoktaviasd , Icha_rizfia , primamutiara_ , Vannie_Andrie , irmaharyuni , rachmahwahyu , umaya_afs , bettaderogers , MethaSaja , brynamahestri , DeiaChoi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top