Bab Lima Belas

Saya tidak pernah tahu jika di hari kelulusan SMA yang seharusnya menggembirakan, bertepatan dengan hari di mana Mama pergi dari dunia ini.

Begitu pulang, saya bertanya-tanya kenapa ada banyak sekali orang yang mendatangi rumah. Jantung saya berdetak cepat, ketakutan mulai menghampiri.

Pertanyaan di benak saya terjawab saat orang-orang duduk membentuk lingkaran, mengelilingi sebuah raga yang tertutup kain di tengah ruang tamu. Jantung saya terasa berhenti berdetak saat wajah Mama terlihat setelah saya menyingkap kain yang menutupi kepalanya.

Mata Mama terpejam dengan senyum yang tersungging di wajah. Tampak damai tanpa beban yang harus ia tanggung lagi.

Mama telah bebas dari segala kericuhan di dunia ini.

Meninggalkan semua hal-hal melelahkan di dunia dan menyongsong kehidupan baru yang lebih baik.

Tapi meski saya tahu kehidupan yang lebih indah telah siap menyambut Mama, tetap saja saya merasa tidak rela. Hari itu pertama kalinya saya menangis di depan orang banyak. Mata saya memerah, air mata mengalir jatuh begitu saja.

Saya tidak meraung-raung, meneriakkan nama Mama dan mengguncang tubuhnya. Saya hanya diam, dengan air mata yang terus mengalir. Menatap kosong saat raga Mama perlahan diturunkan ke tanah.

Saya dapat merasakan tangan saya bergetar saat turut menyambut jasad Mama untuk dikuburkan di liang lahat.

"Yang sabar, Sat."

Saya terus mendengar kata-kata itu hingga bosan. Ucapan berduka cita yang dibarengi sebuah tepukan di bahu.

Tanpa mereka katakan pun saya tahu, saya harus sabar. Menerima kenyataan kalau di hari-hari selanjutnya saya tidak bisa melihat sosok Mama. Saya harus terbiasa menjalani hari tanpa omelan Mama di pagi hari yang menyuruh saya bergegas ke sekolah.

"Kamu sudah bersiap?"

Papa muncul di kamar saya saat saya tengah menatap potret Mama. Saya menoleh, mengangguk pelan sambil mengedikkan bahu ke arah koper di dekat meja belajar.

"Sudah Pa."

Papa mengangguk sekilas sebelum berlalu. Untuk ke per sekian detik saya sempat melihat Papa terpaku. Matanya tertuju pada potret Mama yang tengah berada di genggaman tangan saya. Sama seperti saya, Papa juga masih belum terbiasa tanpa kehadiran Mama.

Terhitung hari ini sudah hampir tiga bulan Mama pergi meninggalkan kami. Melewatkan kesempatan untuk mengantar kepergian saya ke bandara.

Hari ini, saya akan bertolak ke Inggris. Bahkan sebelum saya duduk di kelas 3 SMA, Mama dan Papa sudah menyusun rencana pendidikan saya. Mereka mendaftarkan saya di sekolah bisnis terbaik di sana. Berharap setelah lulus dari sana, saya dapat menggantikan posisi Papa di perusahaan keluarga.

"Papa tidak bisa mengantar kamu sampai di sana." Papa berkata saat kami tengah terjebak kemacetan.

Saya mengangguk maklum. Semenjak Mama pergi, Papa semakin menyibukkan diri dengan urusan kantor. Entah kerjaan di kantor memang sedang banyak, atau Papa sengaja melakukannya untuk menghindari bayangan kehadiran Mama di rumah.

Tidak semudah itu melupakan sosok yang sudah lama masuk ke hidup kita.

"Jaga kesehatan kamu di sana nanti, jangan tidur terlalu malam."

Saya tersenyum mendengar pesan Papa. Kalimat itu sudah saya hapal di luar kepala. Pesan yang juga sempat Mama ucapkan saat saya menerima surat penerimaan dari universitas di Inggris.

"Iya, Pa," jawab saya kemudian.

Papa kembali melajukan mobil menuju bandara. Hening di antara saya dan Papa begitu kentara. Sepeninggal Mama, saya dan Papa yang tidak terlalu dekat menjelma bagai dua manusia yang tidak saling kenal namun hidup dalam satu atap yang sama. Kehilangan Mama yang selama ini menjadi penghubung kami, membuat kami kehilangan sesuatu yang akhirnya membuat jarak di antara saya dan Papa semakin terbentang lebar.

"Papa tidak bisa lama-lama di sini." Papa berujar pelan, matanya menatap lurus ke depan.

"Iya. Satria tahu," tukas saya.

Saya kemudian turun setelah Papa menghentikan mobil di depan terminal keberangkatan. Papa tidak turun, apalagi membantu saya mengeluarkan koper dari bagasi. Papa membiarkan saya melakukannya sendirian.

"Belajar jadi lelaki mandiri," kata Mama setiap kali saya menanyakan sikap dingin Papa terhadap saya.

Setelah mengeluarkan koper, saya memutar dan melangkah menuju sisi kanan mobil. Papa sedikit tersentak saat saya mengetuk kaca mobil. Dahinya yang mengkerut terlihat setelah kaca mobil itu diturunkan. Tanpa membuang waktu saya meraih tangan kanan Papa, menciumnya dan mengucapkan salam perpisahan.

"Satria pamit, Pa."

Saya meraih koper, melangkah menjauh dari mobil Papa. Baru beberapa langkah, saya terpaksa berbalik saat Papa memanggil saya. Papa langsung memeluk saya, tidak peduli tatapan orang-orang di sekitar kami.

Lagipula berpelukan di bandara merupakan hal lumrah, bukan?

Selama ini saya selalu merasakan pelukan hangat Mama, dan saya merindukannya.

Tapi, hari ini-saat Papa memeluk saya tidak kalah erat dari yang biasa Mama lakukan-saya yakin akan merindukan pelukan Papa. Pelukan yang tidak pernah saya duga sama hangatnya dengan pelukan Mama.

Papa mengurai pelukan kami. Saya dapat melihat mata Papa berkaca-kaca saat memegangi kedua bahu saya.

"Setelah lulus kamu langsung pulang."

Saya mengangguk. Terpaku pada netra Papa yang tertuju lurus pada saya.

Setelahnya, Papa tidak lagi menahan saya. Lelaki itu langsung berbalik pergi setelah saya melangkah masuk.
Tidak ada kata perpisahan lagi. Tapi saya tahu, tanpa mengucapkannya secara gamblang, Papa merasa sedih harus melepas saya melanjutkan pendidikan di negeri orang.

***

Seminggu berada di London, saya merasakan apa itu yang namanya home sick.

Saya rindu rumah. Rindu suasana macet di Jakarta. Rindu suara Mama yang membangunkan saya.

Sebulan berada di sini, tidak lebih baik dari sebelumnya. Perbedaan cuaca yang begitu kentara antara Indonesia dan Inggris sempat membuat saya sulit beradaptasi dengan sekitar.

Saya mencoba bertahan, memaklumi perbedaan yang harus diterima. Tapi sekuat apapun saya mencoba, saya akhirnya menyerah juga.

Saat cuaca ekstrim tengah melanda, saya dilarikan ke rumah sakit. Hipotermia-lah penyebabnya.

"Berisitirahatlah, kalau kau butuh sesuatu panggil saja aku. Aku mau merokok dulu." Albert, room mate-saya, menepuk bahu saya sekilas sebelum meninggalkan saya di kamar inap sendirian.

Saya menatap langit-langit kamar inap ini. Entah kenapa kenyataan bahwa saya terbaring di rumah sakit di negeri orang tanpa ditemani sanak saudara membuat saya merasa kesepian.

Saya baru saja hendak memejamkan mata untuk istirahat saat suara pintu yang terbuka menyapa telinga saya. Saya kira itu Albert, namun ternyata sosok yang tertangkap di mata saya bukanlah sosok lelaki berkulit gelap dengan rambut ikal yang selalu dikuncir, melainkan sosok seorang gadis berambut panjang sepunggung.

Peluh menghiasi wajah cantik gadis itu. Bahunya yang tertutup jaket kulit hitam itu naik-turun, seirama dengan napasnya yang terengah-engah.

Gadis itu merapatkan tubuhnya di daun pintu. Sesekali ia mengintip keluar melalui kaca kecil di pintu. Sesuatu yang membuat saya terpana tanpa sadar.

Saya tidak tahu apa yang membuat gadis itu kemudian menghela napas lega. Ia hendak memutar handel pintu, namun secepat kilat ia kembali bersandar di balik pintu. Saya tidak tahu apa yang membuatnya bertingkah aneh sedemikian rupa.

Harusnya saya membentaknya, menyuruhnya keluar karena sudah tanpa izin masuk ke kamar inap saya. Alih-alih mengeluarkan suara untuk mengusir wanita itu, saya hanya bergeming di tempat, mengamatinya.

Saya tidak tahu kenapa mata saya tidak bisa begitu saja melewatkan kesempatan untuk menatap sosok itu.

Seolah sadar tengah diperhatikan, gadis itu menoleh. Matanya menyipit sesaat sebelum meringis pelan, seolah meminta maaf. Dia melirik sekilas ke luar sebelum melangkah menuju saya.

"Sorry, aku tidak lama di sini," katanya menggunakan bahasa Inggris yang cepat. Saya bahkan hampir tidak bisa mengartikan ucapannya.

"Who are you?" tanya saya.

Gadis itu menoleh ke luar sekali lagi sebelum mengulurkan tangannya.

"Riana, kau bisa memanggilku Ann."

Walau sempat ragu, saya menjabat tangan Riana. Saat kulit kami bersentuhan, saya tidak bisa mencegah aliran listrik yang merambat di telapak tangan saya. Seolah tersadar akan sesuatu Riana langsung menarik tangannya, menekan telinga kanannya dengan dahi yang berkerut.

"Well, aku harus segera pergi." Riana menyunggingkan senyum tipis. "Terima kasih sudah mengizinkanku bersembunyi di sini."

Riana menepuk bahu saya sekilas, meneliti wajah saya hingga membuat saya memalingkan wajah. Kekehan pelan terdengar dari bibir Riana, begitu manis dan merdu di telinga.

"Orang Indonesia, ya?" tanyanya antusias.

Kali ini, gantian saya yang meneliti wajahnya. Riana yang berdiri di samping ranjang saya membuat saya dapat melihat wajahnya. Sekilas Riana tampak seperti warga lokal biasa, dengan kulit putih dan rambut blonde yang sedikit kusut, namun saya yakin ada darah Indonesia yang mengalir di tubuh gadis itu.

"Kamu Indo?" saya balik bertanya.

Riana mengangguk, tersenyum lebar.

"Iya, bokap gue yang orang luar. Nyokap sih pribumi asli."

Saya sedikit tercengang saat Riana menggunakan sapaan lo-gue. Seolah tahu apa yang ada di pikiran saya, Riana lekas berkata, "Gue suka balik ke Indonesia, kangen sama keluarga di sana," jelasnya tanpa diminta. "Ah iya, nama lo siapa?"

"Satria," jawab saya.

Riana mengangguk, mengulum senyumnya.

"Kalau gitu, gue pergi dulu, ya. Semoga lekas sembuh, Satria."

"Trims."

Riana melambaikan tangannya sebelum keluar dari kamar inap saya.

Meskipun pintu berwarna putih pucat itu tertutup sempurna dan sosok Riana tidak terlihat lagi, namun bayangan wanita itu tidak pergi dari kepala saya. Riana dengan rambut blonde yang tergerai bebas di punggungnya membuat jantung saya berdetak tidak karuan.

Saya bahkan tidak sadar bergumam pelan, karena membayangkan bisa bertemu gadis itu kembali.

"Nice to meet you, Riana."

***

Whoaa random tag biar greget
NisaAtfiatmico c2_anin deanakhmad whiteghostwriter Icha_rizfia irmaharyuni AndiAR22 rachmahwahyu Vannie_Andrie oktaehyun primamutiara_ umaya_afs glbyvyn MethaSaja brynamahestri DeiaChoi readniiza bettaderogers TiaraWales nurul_cahaya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top