Bab Empat Belas

Menikah?

Tiga minggu lagi?

Yang benar saja!

They're kidding me!

Oh, aku butuh samsak sekarang.

Sayangnya, yang ada di dekatku bukan samsak, melainkan makhluk bernama Satria. Lelaki bermuka datar yang kini tengah serius memainkan ponselnya.

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu ke nyokap gue?" aku memecahkan kesunyian di antara kami dengan mengajukan tanya padanya.

Mama sudah pulang tadi sore, dan Satria langsung mengajukan diri untuk menjagaku sampai besok pagi. Ia bahkan menyuruh Kak Rega dan Kak Sonia untuk membuat daftar nama para undangan untuk pernikahan kami nanti.

"Kita akan menikah. Tiga minggu lagi." Dia menatapku sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya.

"Kita?" tanyaku sarkas. "Lo aja yang nikah, gue nggak! Gue juga nggak kenal sama lo."

Aku mendengkus. Membuang mukaku ke arah lain, asal bukan ke wajah datarnya itu.

"Menikah nggak harus sama orang yang udah kita kenal lama."

Aku langsung menoleh. Kutatap laki-laki itu dengan mata yang melebar tajam.

"Lo pikir gue mau menjalani pernikahan yang tiba-tiba ini?" pekikku tanpa sadar. "Kita bahkan belum saling mengenal. Oh, astaga!"

"Saya tahu kamu nggak punya pilihan lain." Satria berkata dengan begitu percaya diri.

"Sok tahu banget sih lo. Kata siapa gue nggak punya pilihan lain? Gue bisa menolak lo dan—"

"Kalau kamu sayang sama mamamu, kamu nggak mungkin menolak keinginan terbesarnya. Apa kamu mau Mama kamu jatuh sakit lagi karena jantungnya kumat?"

Meski Satria berkata dengan nada datar, aku tahu dia tengah berada di atas angin. Satria benar, aku tidak mungkin menolak keinginan Mama yang ingin melihatku menikah. Dan ajakan menikah dari Satria yang mengaku sebagai kekasihku, tentu tidak akan sulit Mama setujui.

Aku memang akan menikah.

Tapi tidak sekarang.

Dan juga bukan dengan Satria yang tidak aku kenal sama sekali.

"Bisa nggak sih lo nggak ganggu hidup gue?" bentakku kesal.

"Saya nggak mengganggu kamu," jawabnya.

"Terus apa namanya kalau lo nggak ganggu? Pertama, lo nyuruh gue berhenti dari sesuatu yang kata lo udah gue mulai. Kedua, lo tiba-tiba muncul dan ngebawa gue ke rumah sakit karena ada orang yang mau nyiram gue make air keras. Ketiga, lo udah seenaknya ngomong sama Mama kalau kita akan nikah." Aku menjabarkan satu per satu kejadian yang aku alami dengannya.

"Lo bisa bayangin nggak sih jadi gue? Dan oh, shit, gue bakal nikah tiga minggu lagi! Lo gila kali ya, tiba-tiba ngajakin gue nikah kayak gitu?!"

"Jadi kamu mau saya melamar kamu seperi pasangan kekasih yang lain?"

Aku melotot, menganga tak percaya. Sebaliknya, Satria kini tengah menatapku lurus. Manik hitam kelam di balik kacamata itu seketika mengunci pergerakan bola mataku. Membuatku terpaku menatap netranya.

"Kamu mau saya berlutut dan menyodorkan cincin supaya kamu mau saya ajak menikah?"

Aku mengerjap. Entah kenapa kata-kata Satria memunculkan kawah panas di hatiku. Aku merasa ada sesuatu yang mendidih di kepalaku, membuatku tanpa sadar langsung meledakkan amarah.

"Lo pikir lo siapa?! Lo kira karena lo yang punya Augusta Corp, jadi lo bisa seenaknya sama orang yang di bawah lo? Lo pikir gue bakal teriak terus nangis bombay karena lo ngelamar gue sampe berlutut?" aku menatapnya geram. "Jangan karena lo kaya, lo bisa dapetin apa yang lo mau dengan mudah. Sampe lo berlutut pun, gue nggak bakal sudi nikah sama lo!"

Alih-alih membalas ucapan kasar yang tidak kusaring lagi itu, Satria malah tersenyum. Ia mengusap kepalaku penuh sayang layaknya lelaki yang tengah membujuk kekasihnya yang tengah merajuk.

Aku langsung menepis tangan Satria di dahiku saat melihat senyum lelaki itu semakin terkembang.

Apa dia pikir menaklukkanku itu mudah?

Jika iya. Sayangnya pemikiran itu sangat salah!

"Sebenarnya mau lo apa sih? Pasti ada sesuatu yang lo rencanain, kan?" selidikku. "Nggak mungkin lo tiba-tiba ngajakin nikah tiga minggu lagi."

Satria terkekeh pelan.

"Ternyata lima tahun menjadi jurnalis membuatmu menjadi pribadi cerdas dan tidak mudah percaya orang lain."

Aku merasa jantungku berdetak semakin cepat melihat netra itu semakin menggelap.

"Apa yang lo rencanain sebenarnya?" tanyaku susah payah.

Satria memasang kembali wajah datarnya. Meski mata kami tengah bersirobok, aku tidak bisa membaca netra hitam itu.

"Apapun yang ada di pikiran kamu, percayalah saya melakukan ini demi kebaikan kamu."

"Maksud lo apa? Asal lo tahu, gue bukan orang yang suka berteka-teki seperti ini."

"Saya cuma mau melindungi kamu dari dia. Bukan cuma kamu, saya juga melindungi keluarga kamu." Satria memicingkan matanya, tampak lelah. "Saya tidak mau dia mencelakakan orang lain lagi. Tolong mengertilah."

"Dia?" dahiku mengernyit. "Siapa yang lo maksud?"

Satria tidak menjawab pertanyaanku. Ia berdiri dari duduknya, mengusap kepalaku sekali lagi.

"Kita akan menikah tiga minggu lagi. Sebelum hari besar itu berlangsung, saya mau kesehatan kamu cepat pulih." Ia tersenyum untuk ke sekian kalinya. "Sampai hari itu tiba, saya tidak akan muncul di hadapan kamu. Saya harap dengan begitu kamu bisa bersiap menghadapi masa depan kita."

Aku masih ingin melempar kata padanya, namun Satria keburu pergi dari hadapanku. Membuatku terpaku menatap daun pintu yang telah menghilangkan sosok Satria.

***

Aku tidak menyangka, Satria menepati ucapannya. Setelah malam itu aku tidak lagi melihat sosoknya. Bahkan hingga aku keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah, lelaki itu tidak juga menampakkan batang hidungnya.

"Kalian lagi dipingit, nggak boleh ketemu dulu," sahut Kak Sonia saat melihatku tengah melamun di teras belakang. Ia pasti berpikir saat ini aku tengah merindukan Satria.

"Apa sih, Kak." Aku mencibir.

Kak Sonia tergelak sebelum duduk di sampingku.

"Kakak nggak nyangka kamu bakal nikah dua hari lagi." Kak Sonia menatapku sambil tersenyum. "Kakak kira kamu bakalan nikah sama Rizal, ternyata sama orang lain."

Susah payah aku menarik sudut bibirku. Andai Kak Sonia tahu yang sebenarnya. Aku sangsi ia akan tersenyum bahagia seperti ini.

Mengenai Rizal, lelaki itu sudah tahu mengenai pernikahanku dari Mama. Dia bahkan berkata akan menghadiri pernikahanku.

"Kak," panggilku pelan. Aku menggigit bibirku saat Kak Sonia menatapku.

"Kenapa? Kok gugup gitu, sih?"

Kekehan Kak Sonia tidak lantas membuat kegelisahanku sirna.

"Menikah itu ... seperti apa?"

Kak Sonia terdiam, membuatku merutuki pertanyaan yang kulontarkan.

"Kamu tegang, ya?" kulihat sorot geli di mata Kak Sonia. "Kakak juga dulu begitu sebelum menikah dengan Rega. Kakak sempat meragu, apa benar Rega yang terbaik? Apa pilihan untuk menikah adalah pilihan yang tepat. Semua pertanyaan membuat Kakak takut untuk menikah."

Kak Sonia tersenyum sambil sesekali terkekeh. Matanya menerawang ke masa silam.

"Ketakutan pra menikah itu wajar. Tapi percayalah, apapun yang kamu takutkan nggak akan terbukti selama kamu dan pasanganmu saling percaya. Cinta kalian akan lebih kuat dari apapun kalau dibarengi dengan kepercayaan dan komitmen."

Aku terdiam, meresapi kata-kata Kak Sonia.

Seandainya aku memang menikah dengan orang yang aku cintai, mungkin semua akan berjalan lebih mudah. Sayangnya, yang akan menikah denganku lusa adalah Satria. Aku dan Satria bahkan bukan sepasang kekasih.

"Ingat pesan Kakak, menikah itu nggak pernah mudah. Sekalipun kalian saling mencintai, pertengkaran akan tetap ada."

***

Waktu terasa begitu cepat untuk sesuatu yang tidak kita sukai.

Kurang dari satu jam lagi aku akan menikah dengan Satria. Sedari subuh aku sudah dibangunkan untuk didandani. Memakai ini itu untuk hari bersejarahku ini.

Meski aku akan menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai, aku tetap merasakan ketegangan yang tidak terhingga.

Untuk kesekian kalinya aku mondar-mandir di dalam kamarku yang sudah dihias sedemikian rupa. Bahkan seprei yang biasa aku gunakan telah berganti dengan seprei berwarna putih polos yang dihiasi kelopak mawar putih dan merah di atasnya.

Kehadiran Aster di kamarku bahkan tidak bisa menutupi rasa gugupku. Meski sempat marah karena memberitahukan pernikahanku secara mendadak, Aster tetap memelukku haru dan berbahagia karena sebentar lagi statusku akan berubah.

"Duduk aja kenapa, sih? Ntar kainnya rusak kalau lo ajak jalan terus."

Aku nyengir dan memilih mengikuti saran Aster. Setelah duduk hati-hati di pinggir ranjang, aku menatap Aster yang berdiri di depan tv. Mengawasi orang-orang yang hilir mudik di luar sana.

Tv di kamarku memang sengaja disambungkan dengan kamera yang ada di luar. Sehingga aku dapat melihat sendiri seperti apa prosesi ijab kabul nanti.

"Eh, laki lo udah dateng, Nav."

Aku merasa jantungku berdetak ribuan kali lebih cepat saat melihat rombongan keluarga Satria perlahan memasuki rumahku. Seminggu yang lalu, paman Satria dengan resmi melamarku, menggantikan kedua orangtua Satria yang sudah meninggal.

Dalam hati aku mengagumi Satria yang tampak gagah dengan beskap silvernya. Well, ia memang sudah gagah dan tampan. Hanya wanita berpenglihatan buruklah yang mengatakan kalau wajah Satria tidak tampan.

Kurasakan Aster memeluk bahuku saat Satria sudah duduk berhadapan dengan Kak Rega. Setelahnya proses ijab kabul pun dilakukan. Hatiku bergetar bahkan aku tidak bisa menahan air mataku saat Satria begitu lancar mengucap ijab kabul dengan tangan yang tergenggam di tangan Kak Rega.

Aku dan Aster mendesah lega saat para saksi mengucap kata sah setelahnya. Aster memelukku dan berulang kali mengucapkan selamat karena telah resmi menjadi seorang istri.

"Udah ah, jangan nangis. Air mata lo nanti bikin riasannya rusak." Ia memberiku selembar tisu yang langsung aku ambil dengan penuh terima kasih.

Saat pintu kamarku terbuka dan memunculkan sosok Kak Sonia yang tersenyum lebar, tahulah aku kalau sekarang saatnya aku bertemu dengan suamiku.

"Sekali lagi selamat, Nav," bisik Aster.

"Makasih, As."

***

Tidak ada yang memberi tahuku kalau prosesi pernikahan itu begitu melelahkan.

Setelah melakukan akad nikah di pagi hari, aku dan Satria langsung melangsungkan resepsi di malam harinya. Satria bilang melakukan pesta pernikahan di hari yang sama dapat mengirit biaya pengeluaran. Tentu saja aku setuju karena tidak mau repot.

Berdiri di atas panggung tenyata tidak semenyenangkan yang aku kira sebelumnya. Belum semenit aku duduk setelah menyalami tamu undangan, aku harus rela berdiri lagi karena harus menyalami tamu yang lain. Semua orang silih berganti seolah sengaja untuk tidak membiarkanku duduk.

Barulah setelah sang waktu merangkak naik ke pukul 11 malam, aku dapat merasakan nikmatnya duduk. Gedung yang kami sewa untuk resepsi pun mulai tampak sepi dari para undangan. Melihat itu, aku pun memilih turun dari panggung, menuju meja minuman karena kerongkonganku terasa kering.

Gelasku telah tandas saat sebuah tangan menepuk bahuku. Aku menoleh, melengkungkan senyumku saat melihat sosok Rizal berdiri di hadapanku.

"Hai." Ia menyunggingkan senyum tak kalah lebar. "Happy wedding day, semoga langgeng sampai kakek-nenek." Ia kemudian memelukku. Sebuah pelukan dari seorang teman ke temannya.

"Trims, Zal. Udah lama? Kok nggak bareng Tante Dea, sih?"

Tadi aku hanya melihat kehadiran Tante Dea dan suaminya. Padahal aku kira Rizal juga ikut serta bersama orangtuanya.

"Tadi ada urusan di kantor, makanya baru dateng sekarang. Rencananya sih emang mau bareng sama Mama."

"Oh, gitu." Aku meletakkan gelas kosongku ke meja. Menghindari tatapan Rizal yang tertuju padaku.

"Suami kamu mana?"

"Ah, suami aku ..."

Aku memindai tatapanku ke sekeliling. Tadi Satria memang sempat keluar setelah menerima telepon dari seseorang, dan aku bahkan tidak peduli di mana keberadaannya sebelum Rizal menanyakannya.

Seolah tahu tengah dicari, Satria menampakkan sosoknya dari balik pintu timur gedung. Mata kami bersirobok saat ia menyimpan ponsel ke saku jasnya. Tak lama, ia mendekat dengan langkah pelan. Saat sosoknya tak jauh berada di belakang Rizal aku memberitahukan keberadaannya pada lelaki itu.

"Suami aku ada di belakang kamu, yang lagi jalan ke sini."

Rizal sontak memutar tubuhnya, sesuatu yang membuat Satria menghentikan langkahnya. Kedua lelaki itu saling berhadapan dalam diam.

"Namanya Satria Augusta."

Aku menyebutkan nama lengkap Satria, namun tampaknya suaraku tak tertangkap di telinga Rizal. Lelaki itu malah menyebutkan sebuah nama asing yang membuat tubuh Satria tegang dan membeku di tempat.

"Carl?"

***

Woaaah... akhirnya bab ini selesai ditulis setelah mengalahkan rasa malas dan baper tingkat akut.

Gimana endingnya menurut kalian? Sesuai ekspektasi kaliankah? Atau jauh berbeda?

Satria itu Carl?

Yakin?

Jawabannya ada di bab-bab selanjutnya.

Kalau penasaran, jangan lupa masukkan cerita ini ke reading list dan library kalian untuk mengetahui lanjutannya.

Happy reading guys.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top