Bab Dua Puluh Tujuh

"Kita mendapat misi baru!"

Seruan Drew langsung membuat dua belas orang di ruang tengah langsung menatap lelaki itu. Sadar akan fokus semua orang yang tertuju padanya, Drew langsung menarik kursi hingga ke tengah ruangan dan mendudukinya.

"Ini misi yang cukup sulit, namun juga mudah jika kita tahu rahasia dan pola yang mereka lakukan."

Semua tampak tertarik. Bahkan Rean yang semula terlihat enggan dan lebih memilih mengelap senapannya, kini sepenuhnya mengalihkan perhatian pada Drew.

"Kalian tahu Black Company?" tanya Drew dengan mimik serius.

Beberapa orang menjawab tahu, sebagian lainnya menjawab tidak tahu, dan ada juga yang memilih diam. Seperti saya dan Ann.

"Bos besar meminta kita menyusup ke sana. Kalian tahu George? Yang tahun kemarin sempat tertangkap karena penjualan narkoba, namun berhasil keluar dari penjara karena polisi tidak menemukan bukti yang kuat."

"George? Yang benar saja!" Greg di samping Rean langsung memekik tak percaya.

"Dia pembunuh berdarah dingin." Wilson ikut angkat bicara. "Dia tidak akan segan menekan pelatuknya pada orang yang mengganggu bisnisnya."

"Yeah. Kalian benar. Karena itulah aku berkata jika misi kali ini cukup sulit, namun juga mudah di lain pihak." Drew menatap kami satu per satu. "Sayangnya, meski kalian menolak, Bos Besar sudah menentukan nama yang akan tergabung dalam misi ini."

Ann di sebelah saya langsung menguap. Tangan kanannya langsung menutup mulutnya yang terbuka lebar. Saya tahu belakangan Ann memiliki masalah dengan jam tidurnya. Ia selalu berkata jika hanya butuh tidur lebih banyak saat saya memintanya untuk bercerita jika ada masalah.

"Carl, Rean, dan Ann," suara Drew membuat kami bertiga seketika menoleh. Bahkan Ann yang terlihat mengantuk kini menatap Drew dengan tatapan sayu. "Kalian akan ikut bergabung dalam tim. Persiapkan diri kalian. Misi ini adalah misi yang lebih berat dan membahayakan dari misi kalian sebelumnya."

"Oke. Baiklah," sahut Ann malas. Tanpa mempedulikan ucapan Drew selanjutnya, Ann memejamkan mata perlahan. Ia bahkan menyandarkan kepalanya di bahu saya.

Saya tersenyum samar saat melihat wajah Ann. Gadis itu terlihat begitu nyaman tertidur di bahu saya. Entah kenapa, saya tidak bosan-bosannya menatap wajah Ann. Bagaimana pun kondisinya.

"Selain itu, kita juga harus menyusun strategi yang tepat untuk menyusup ke Black Company."

Suara Rean yang terdengar serius langsung mengentakkan perhatian saya dari wajah tidur Ann. Saya tidak tahu sudah berapa lama saya memandangi Ann, hingga tidak menyadari di ruangan ini hanya tersisa beberapa orang saja yang akan tergabung dalam misi menyusup ke Black Company.

"Aku rasa, kita membutuhkan satu personil lagi untuk meretas sistem keamanan di Black Company." Kali ini Marcus yang bersuara. Si kepala botak yang baru sembuh dari cidera akibat misi sebelumnya ini merupakan salah satu agen yang sering bertarung melawan ajal.

Dari Marcus-lah saya belajar melakukan berbagai aksi dalam mengendarai mobil, melakukan berbagai manuver yang bisa membuat jantung seseorang berdetak kencang. Marcus mengajari saya banyak hal, dan yang paling saya ingat adalah, dia yang mengajari saya dalam mengenali ekspresi lawan dengan sangat baik.

Bisa dibilang, Marcus adalah ahlinya dalam bidang mikroekspresi.

Malam semakin larut, dan perbincangan kami belum usai. Semua orang tahu jika George tidak akan membuat seseorang dengan mudah menyusup ke perusahannya, dan menganggu semua aset miliknya.

Setelah akhirnya disetujui seperti apa rencana penyerbuan ke Black Company, barulah semua orang pamit untuk beristirahat. Meninggalkan saya berdua dengan Ann yang masih terlelap di bahu saya.

Saya menyandarkan kepala ke kepala sofa. Meski bahu saya terasa pegal, saya tetap membiarkan kepala Ann bertumpu di bahu saya. Untuk terakhir kalinya saya tersenyum sambil mengamati wajah Ann, sebelum akhirnya kantuk membawa saya ke alam mimpi.

***

"Aku akan melakukannya."

Saya menatap Ann tidak percaya. Berharap semua yang Ann katakan adalah omong kosong belaka. Tapi hingga sebuah kata sepakat disuarakan, ekspresi Ann tetap sama. Serius dan penuh tekad.

"Kamu serius ingin menyamar jadi pegawai mereka? Itu berbahaya, Ann."

Saya tidak bisa menahan untuk menyuarakan isi kepala saya saat saya dan Ann berjalan menuju taman belakang.

"Kenapa tidak?" balas Ann tak acuh. Ia menghentikan langkah, menatap saya lekat.

"Kalau gagal, kamu tahu apa yang akan terjadi, Ann. Risikonya terlalu besar."

"Semua misi tidak selalu berakhir dengan keberhasilan, ada kalanya dia mengalami kegagalan. Jika misi kita kali ini gagal, itu sudah risiko dari pilihan yang sudah kita ambil. Lo nggak usah takut."

Ann kembali melangkah, meninggalkan saya di belakangnya.

"Saya memang takut jika misi ini gagal." Ann menghentikan langkah sebelum berbalik. Dahinya berkerut saat menatap saya. "Saya takut jika misi ini gagal maka saya akan kehilangan kamu. Saya mencintai kamu, Riana."

Mata Ann terbelalak kaget. Mulutnya hendak membuka sebelum tertutup kembali. Ia menunduk, sebelum memandang ke arah lain. Menghindari tatapan saya.

"Saya mencintai kamu. Saya tidak mau kehilangan kamu. Tolong jangan mengumpankan dirimu dalam bahaya."

"Gue udah sering bilang kan sama lo kalau kita nggak boleh saling mencintai." Ann menatap saya tepat di manik mata. Dada saya terasa perih saat melihat genangan di mata Ann. "Kita akan saling menyakiti, lalu kehilangan satu sama lain. Cepat atau lambat. Sebelum itu terjadi, tolong ... buang jauh-jauh rasa cinta lo ke gue."

"Ann," panggil saya lagi. Ann menghentikan langkah, tapi tidak menoleh. "Meski nanti misi kita ini gagal, bisa kamu berjanji akan tetap selamat apapun yang terjadi?"

Ann terdiam cukup lama. Posisi Ann yang masih membelakangi saya membuat saya tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. Tak lama, Ann kembali meneruskan langkah. Tapi sebelum gadis itu menjauh, saya masih bisa mendengar suaranya.

"Ya. Gue janji akan selamat. Apa pun yang terjadi."

***

Ann melakukan perannya dengan sangat baik. Sudah sebulam belakangan ia menjadi pegawai di kantor George. Selama itu pula ia memberikan informasi mengenai aktivitas di dalam Black Company, pola kerja mereka, dan apapun yang dibutuhkan dalam misi ini.

Saya yang berada di dalam van yang dipenuhi monitor dan peralatan elektronik lainnya bersama Zac—hacker muda yang ternyata berasal dari negara yang sama dengan saya—terus memantau gerak-gerik di dalam Black Company. Meski Zac baru satu tahun bergabung bersama kami, dia merupakan seorang hacker yang handal. Saat ini ia tengah berusaha menembus sistem keamanan ruang pribadi George di kantornya.

Dan saya di sini menemaninya memantau pergerakan di Black Company dari cctv yang berhasil kami sadap.

"Dia memakai sistem keamanan yang sulit ditembus. Gue rasa gue butuh waktu paling cepat sebulan untuk membobol keamanan yang dia pasang." Zac mengeluh sambil menunjuk sesuatu di monitor. "Itu Ann, kan?"

Saya mengerutkan dahi, menyipitkan mata saat mengikuti arah yang dituju oleh telunjuk Zac. Di monitor itu tampak seorang wanita berpakaian kerja tengah berjalan di koridor seorang diri.

"Iya, itu Ann," jawab saya.

"Ini aneh." Jemari Zac menari dengan lincah di atas keyboard. Ekspresinya terlihat tegang, tidak sedetik pun matanya beralih dari laptop di hadapannya.

"Apanya yang aneh?" tanya saya. Namun meski rasa penasaran menumpuk di dada saya, Zac tidak juga menjawab pertanyaan saya.

Kesal karena sampai detik ini Zac tidak juga menjawab pertanyaan saya, saya memilih berdiri dari sisi Zac. Mata saya menatap monitor satu per satu. Saat tengah asik melihat rekaman cctv yang terpasang di depan gedung Black Company, suara Drew langsung menyapa telinga saya.

"Ann tidak menjawab sampai detik ini!"

Saya menoleh cepat pada Zac yang masih sibuk berkutat dengan laptopnya. Air mukanya semakin tegang, bahkan saya dapat melihat peluh yang membanjiri pelipisnya. Dengan langkah panjang saya mendekati Zac. Menduduki kembali kursi di sampingnya.

"Kita kecolongan!" seru Zac. "Ini rekaman sehari yang lalu! Sepertinya kita ketahuan telah menyadap cctv mereka!"

Tak lama saya mendengar makian Drew dan rekan-rekan yang lain. Jantung saya berdetak semakin cepat saat melihat monitor yang masih menampilkan sosok Ann yang berjalan sendirian di lorong sepi itu.

"Zac, Carl, kembali ke markas! Right now!" seruan Drew membuat udara di sekitar saya terasa menghilang.

***

Napas saya memburu saat dari kejauhan melihat Ann berada di sebuah gedung tua dengan tangan dan kaki yang terikat di kursi kayu. Ann menyadari kehadiran kami, dan gadis itu hanya bergeming tanpa melakukan pergerakan yang berarti. Wajahnya memucat, matanya terlihat begitu sayu, bahkan bibirnya kini mengering karena tidak menerima asupan makanan dan minuman beberapa hari ini.

Saya, Drew, dan Neo berjalan mengendap di dekat jendela. Namun pandangan saya tidak sedetik pun lepas dari sosok Ann. Sesekali Zac memberikan arahan pada kami dari dalam van yang diparkirkan jauh dari tempat George menyekap Ann.

Di sisi lain gedung, Rean dan Marcus berusaha mempersingkat waktu dengan bertarung melawan anak buah George yang berjaga di sekeliling gedung. Rean sniper yang handal, dan Marcus adalah petarung yang hebat. Drew tidak terlalu mencemaskan mereka yang hanya berdua melawan belasan kaki tangan George yang terkenal buas.

"Arah selatan aman." Suara Zac kembali terdengar di telinga kami. Drew menoleh pada saya dan Neo, dan mengangguk pelan.

Awalnya semua berjalan mulus, hingga salah satu anak buah George menyadari kedatangan kami. Tiga tembakan berturut-turut langsung ia layangkan pada kami. Meski berhasil mengelak, salah satu peluru berhasil mengiris pelan pipi kiri saya.

"I'm okay," sahut saya saat Drew menatap saya.

Aksi saling tembak tidak bisa dihindari lagi. Drew dengan sigap bermain dengan revolvernya, sedangkan Neo dengan senang hati membidik dengan senapannya. Saya yang memang tidak pandai dalam menembak hanya dikantongi sebuah pistol dan sepuluh peluru cadangan. Berbekal ilmu beladiri dan latihan fisik di markas, saya beradu fisik dengan anak buah George yang lain.

Saya tidak pernah tahu jika saya yang tidak pandai menembak ini menjadi sasaran empuk peluru anak buah George. Drew langsung menembakkan pelurunya tepat ke kepala anak buah George yang telah berhasil menghadiahkan timah panas ke lengan saya.

"Sepertinya mereka tahu kamu tidak pandai berburu," canda Marcus.

Saya berusaha mengabaikan rasa sakit akibat tembakan tadi dan tetap melangkah meski darah mengaliri lengan saya dengan deras. Saat saya menoleh ke tempat Ann berada saya terkejut saat menyadari pipi Ann telah basah karena air mata. Bibirnya bergetar, menyuarakan sebuah kata.

"Pergilah."

Mata saya terbelalak saat pintu ruang penyekapan Ann terbuka lebar. Sosok Wilson langsung muncul dari balik pintu. Baik saya, Drew, dan Neo tidak bisa menutupi keterkejutan kami saat tubuh Wilson yang berlumuran darah terjatuh begitu saja di dekat kaki Ann.

Tak lama seorang laki-laki yang menenteng senapan masuk dengan seringain di wajah. Wajah Ann memucat, meski bibirnya tidak tertutupi apapun, saya tahu Ann sulit untuk menggerakkan bibirnya.

"Teman tololmu ini telah mati!" lelaki itu berseru dengan bangga.

Saya meringis saat melihat apa yang lelaki itu lakukan pada jasad Wilson. Seperti seorang pengecut, saya sama sekali tidak berdaya melihat pemandangan di hadapan saya. Bahkan hingga lelaki itu telah meninggalkan Ann dengan Wilson, saya masih bergeming di tempat.

"Kita terkepung!" suara Zac kembali terdengar. Seruan bernada panik itu langsung mengubah segalanya. "George semakin mendekat! Kalian harus segera pergi dari sana!"

Saya kembali menatap ke dalam ruangan, membuat mata saya bersirobok dengan mata Ann. Dada saya sesak saat melihat senyuman di wajah Ann. Dengan suara lirih yang terbawa angin, Ann kembali mengucapkan kata yang sama.

"Pergilah."

Saya berontak saat Drew menarik lengan saya menjauhi tempat persembunyian kami. Sialnya, karena kelelahan berkelahi dan adanya luka tembak di lengan saya, membuat tenaga saya terkuras hampir seluruhnya.

"Kita harus pergi! Jangan berlagak bodoh!" Drew masih berusaha menarik saya berdiri, namun saya masih berontak.

"Tapi Ann masih di dalam. Kita harus menyelamatkannya!"

"Dia akan baik-baik aja. Lo percaya sama gue." Zac ikut menimpali.

Sungguh, saat ini saya sangat ingin percaya. Tapi rasa percaya itu sulit sekali merasuki saya saat melihat lelaki yang tadi membawa jasad Wilson kembali masuk ke ruangan bersama seorang lelaki yang lain.

"Carl!"

Drew menyentak lengan saya dengan kuat hingga saya berdiri. Dengan langkah berat saya pergi dari sisi jendela. Tak sedikitpun mata saya melepaskan sosok Ann yang tengah tersenyum. Bahkan di tengah keremangan cahaya, saya dapat membaca jelas gerak bibir Ann.

Maafin gue. Maafin gue, Carl.

Dada saya mencelos sedih melihat tatapan Ann. Saya menghentikan langkah saat samar-samar mendengar derap langkah yang mendekat. Bukan satu, tapi belasan pasang kaki yang berderap dalam langkah-langkah panjang.

"Shit! Cepet pergi dari sini Carl! Jangan bertingkah bodoh dan menjadi umpan untuk mereka!" Rean yang baru bergabung bersama kami mengeram kesal. Peluh membasahi wajahnya yang letih.

Saya masih bergeming di tempat, membuat Rean menarik tubuh saya. Pergi dari gedung tua itu, bergabung dengan agen lain yang telah menunggu di luar pagar.

Saat saya membuang ludah karena merasakan darah di dalam mulut saya, saya menoleh ke belakang. Menatap Ann sebelum benar-benar meninggalkan gedung tua itu. Mata saya terbelalak kaget melihat George berdiri di samping Ann. Lelaki itu menyeringai sambil memegang rahang Ann.

Saya berontak dari rangkulan Rean dan Drew. Meraung-raung seperti orang gila dengan air mata yang perlahan jatuh dari pelupuk mata.

Suara desing peluru kemudian terdengar begitu menyakitkan. Saya hendak berlari masuk ke dalam gedung, namun seseorang dengan sengaja memukul punggung saya dengan keras. Hati saya mencelos saat tubuh Ann yang berdarah meluruh ke lantai.

Pandangan mata saya mengabur. Meski tahu mustahil, saya mengulurkan tangan saya ke arah Ann, menggerakannya seolah tengah menggenggam tangan Ann. Sebuah pukulan keras kembali bersarang di punggung saya, membuat mata saya terpejam dengan sempurna.

Saya tidak pernah menyangka, jika keesokan hari, saat saya membuka mata, Ann sudah tidak bisa lagi saya lihat secara nyata.

***

Bagaimana part ini menurut kalian?

Nah, siapkan hati menuju ending yang lebih kcau dari part ini.

See you soon.

WindaZizty

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top