Bab Dua Puluh Tiga

Sebuah ruangan VIP di salah satu restoran jepang menjadi tempat saya dan Rizal untuk membincangkan sesuatu. Rizal masih sibuk dengan ponselnya meski sudah hampir satu jam kami berada di sini.

"Mau kamu apa, Rizal?" tanya saya setelah detik demi detik berlalu sia-sia.

Perhatian Rizal pada ponselnya kini beralih ke saya. Setelah tersenyum singkat, ia meletakkan ponselnya ke atas meja. Menegakkan punggungnya dan menatap saya lurus.

"Kamu apa kabar? Udah lama banget kita nggak ketemu." Rizal meninju pelan lengan saya. Meski ia tertawa, tawa itu tidak lantas menular pada saya.

"Saya tidak ada waktu bermain-main dengan kamu."

"Dari dulu sampe sekarang, lo susah banget ya diajak bercanda." Rizal bersungut kesal. Ia bahkan tidak lagi menggunakan sapaan aku-kamu.

"Ada yang ingin kamu katakan?"

"Nggak sabaran banget!" Rizal menyeruput pelan ocha-nya. "Bisa nggak sih kita ngobrol-ngobrol santai? Kita udah bertahun-tahun nggak ketemu. Lost contact juga."

"Saya sibuk."

"Ya, ya, ya. Gue tahu, lo bukannya sibuk, tapi sengaja menyibukkan diri dengan kerjaan."

"Tidak usah berbelit-belit. Langsung saja katakan apa yang sebenarnya mau kamu katakan."

"Sabar, Bro. Gue tahu lo nggak sibuk-sibuk banget di kantor. Bukan hari ini aja, tapi semenjak lo mimpin Augusta Corp pun, tugas lo nggak berat-berat banget. Buktinya jam segini lo masih bisa berkeliaran di luar kantor."

"Kamu mengintai saya?" tanya saya curiga.

Rizal bungkam, mengendikkan bahu. Dia tidak menyangkal, atapun mengiyakan. Dari tingkah lakunya ini, tanpa perlu dia katakan, saya tahu apa jawabannya.

"Kenapa?" tanya saya lagi.

Dahi Rizal berkerut. Ditatapnya saya dengan ekspresi bingung.

"Kenapa?" ia membeo. "Apanya yang kenapa?"

"Kenapa kamu mengintai saya, mencari tahu tentang kehidupan saya?"

"Eits, bahasanya bisa lebih diperhalus?" Rizal langsung mengoreksi. "Pertama, gue nggak mengintai elo. Kedua, gue nggak dengan sengaja mengawasi elo dan nyari tahu tentang kehidupan elo di sini. Ketiga—"

"Mereka tahu?" potong saya. Saya tidak mau mendengar penjelasan Rizal yang terdengar panjang itu.

"Menurut lo?" Rizal balik bertanya.

"Saya tidak tahu, makanya saya bertanya."

Rizal menatap saya lekat, meneliti wajah saya dengan tatapan lelah.

"Semenjak lo mutusin berhenti, Drew nggak semudah itu ngelepasin elo. Apalagi kondisi lo saat itu lagi kacau-kacaunya." Rizal mengembuskan napas berat. "Lo kan tahu, lo salah satu anak asuh kesayangan Drew, dan jelas aja dia nggak mau lo kenapa-napa. Apalagi kalau sampe melakukan hal-hal gila."

"Jadi, Drew tahu?"

"Tahu kalau lo baik-baik?" Alis Rizal bertaut. "Tentu dia tahu. Dia tahu lo jauh dari kata baik-baik aja."

Saya memilih bungkam. Menghindari tatapan Rizal, saya menatap potongan sushi yamg tersaji di hadapan kami. Makanan yang kami pesan hanya sebagai formalitas saja, karena pada akhirnya kami tahu, baik saya ataupun Rizal, tidak ada yang akan dengan santai menyantap sushi di saat seperti ini.

"Drew ... apa kabar?"

"Dia ... baik."

Jawaban Rizal yang terdengar tidak meyakinkan itu membuat saya kembali menatap lelaki itu.

"Drew masih hidup, kan?"

"Tentu." Jawaban Rizal kali ini terkesan terlalu cepat dari jawabannya yang lain.

"Apa lagi yang kamu sembunyikan dari saya?"

"Maksud lo?"

"Kamu tahu apa yang saya maksud. Selama hampir dua tahun kita menjalankan misi yang sama."

"Ya, lo bener." Rizal mengendikkan bahu. "Dua tahun lalu Drew mendapat misi di Afrika. Dan setahun kemudian, tepatnya beberapa bulan yang lalu, kontak Drew terputus. Orang-orang di pusat langsung panik. Dan, sampai saat ini, baik Drew dan orang-orang yang dikirimkan ke Afrika demi melacak keberadaan Drew, masih belum bisa dihubungi."

"Lalu, kenapa kamu di sini?"

"Lo emang nggak suka ya, ngeliat gue? Kesannya lo ngusir gue banget."

"Kamu menjalankan misi juga di sini?"

"Ya iya lah. Misi yang kelihatan mudah tapi ternyata sulit." Rizal tersenyum tipis. "Lo mau tahu apa misi gue?"

"Saya tidak sedang membicarakan misi kamu," sahut saya. "Saya hanya ingin tahu, apa alasan kamu berdiri di samping mobil saya tadi."

"Gue kira lo lupa sama bahasan kita tadi. Ternyata malah ditanyain lagi."

"Berhenti bermain-main!"

"Oke, oke." Rizal menyerah. "Tapi, sebelumnya, gue mau nanya sesuatu sama lo. Dan tentu saja hal ini berkaitan dengan kehadiran gue saat ini."

"Katakan saja." Saya bersedekap. "Saya tidak mau membuang waktu saya secara cuma-cuma demi perbincangan yang tidak penting."

"Tentu ini penting. Karena ini menyangkut nyawa manusia."

"Cepat katakan! Jangan berbelit-belit!"

"Mengenai Navy," Rizal dengan sengaja memberi jeda, dan saya dengan sangat sabar menunggu kelanjutan ucapannya. "Kenapa lo menikahi Navy? Gue tahu, lo pasti merencanakan sesuatu. Nggak mungkin lo tiba-tiba nikah dengan cewek lain, sedangkan gue tahu, lo masih belum bisa lupain dia."

"Saya rasa, tidak baik membicarakan hal pribadi pada orang lain. Apalagi membicarakan pernikahan saya."

"Tidak kalau hal ini menyangkut Navy!" tambahnya cepat.

"Kamu menyukai gadis itu?" tanya saya. Dan tepat seperti dugaan saya, Rizal langsung bungkam. Tatapannya terarah lurus ke manik mata saya.

"Apa dia tahu siapa elo sebenarnya?"

"Kenapa harus? Dia hanya perlu tahu kalau saya adalah suaminya, dan dia istri saya."

"Lo nggak cinta sama dia. Kenapa lo mengikat dia di sebuah hubungan yang tidak kalian kehendaki?"

"Ini bukan urusan kamu!"

"Jelas ini urusan saya. Saya tidak ingin Navy celaka jika George tahu hubungan kalian."

Bahu Rizal naik-turun, napasnya memburu karena amarah.

"George tidak akan tahu."

"Lo nggak tahu George seperti apa, Sat."

"Saya tahu! Dan kamu nggak usah sok tahu dan ikut campur urusan saya!"

"Navy akan bahaya jika berada di dekat lo. Kenapa lo nggak biarin dia hidup dengan caranya sendiri?"

Berkebalikan dengan Rizal yang sudah terpancing amarahnya, saya tetap berusaha tenang. Meski degupan jantung saya sudah tidak normal lagi, saya tidak menunjukkannya pada Rizal.

"Saya tahu, Navy akan bahaya," kata saya pelan. "Membiarkannya masuk ke hidup saya memang membahayakannya. Tapi membiarkannya berkeliaran di luar sana tanpa perlindungan saya, jelas lebih membahayakannya."

Rizal langsung terbahak, sengaja mengejek saya.

"Lo sangat percaya diri sekali, Satria. Atas dasar apa kamu berkata seperti itu? Melindungi Navy seperti yang kamu bilang tadi, tidak dengan menikahinya. Kamu tetap bisa menjaga Navy tanpa ada hubungan di antara kalian, seperti beberapa orang yang harus kita lindungi beberapa tahun lalu."

Rizal benar, dan saya sangat tahu itu.

Tapi entah kenapa, melihat Navy, apa yang ia lakukan, serta tugas-tugas dari kantornya, membuat saya langsung mencetuskan ide gila tentang pernikahan itu. Saya juga sangat mengetahui, melindungi Navy bukan berarti saya harus menikahinya seperti ini.

"Dengan menikahinya, dia bisa mengetahui batasan-batasannya sebagai seorang istri. Termasuk larangan dari suaminya yang harus ia patuhi."

"Navy akan baik-baik saja tanpa elo menikahinya." Rizal masih berkeras.

"Navy tidak akan baik-baik saja jika kantornya ingin melakuan investigasi terhadap Silver Group."

Mata Rizal terbelalak. Dari ekspresinya saya tahu Rizal sama sekali tidak mengetahui tugas yang diembankan pada Navy.

"Silver Group? George?" tanya Rizal tidak percaya.

"Kantor tempat Navy sepertinya mencium sesuatu di Silver Group, dan Navy menjadi salah satu orang yang ditugaskan melakukan investigasi di sana. Kamu tahu betapa bahayanya George jika sarangnya diganggu."

"Tapi ... bagaimana bisa?"

"Saya harus menjaga Navy dari jangkauan George."

"Tapi lo tidak mencintai Navy. Sama saja lo mengorbankan kehidupan Navy!"

"Apa saya harus memiliki rasa cinta padanya jika harus melindungi seseorang?"

Rizal diam, tapi ketidakpuasan tampak jelas di wajahnya.

"George tidak akan menyentuh Navy."

"Ya, George tidak menyentuh Navy. Tapi sebelum saya mengajukan pernikahan, orang suruhan Navy sudah menjalankan aksinya. Saya yakin, kamu bahkan tidak tahu saat orang suruhan George hendak menyiramkan air keras ke wajah Navy."

"Lo bohong!"

"Saya tidak akan berbohong jika berhubungan dengan nyawa seseorang."

Rizal menggeleng. Masih tidak percaya dengan apa yang saya katakan.

"Sekali ini saja, percayalah, Navy akan baik-baik saja bersama saya."

***

Hayooo ...
Sebentar lagi cerita ini akan berakhir. Siap-siap, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top