Bab Dua Puluh Satu

Saya tidak menyalahkan jika pagi ini Navy berteriak setelah bangun dan tersadar dari tidurnya.

Dia sangat kaget melihat saya berada di ranjang yang sama dengannya.

“Lo ngapain di sini?” hardiknya seraya melayangkan telunjuknya ke arah saya.

“Tidur,” jawab saya pendek.

“Lo ngapain tidur di sini? Ini kamar gue!”

Navy langsung menggerakkan kakinya, menendang tubuh saya agar menjauh. Tendangannya semakin menjadi karena saya masih bergeming, tidak bergeser seinci pun.

“Terus, saya harus tidur di mana kalau bukan di sini?” tanya saya saat Navy mulai menghentikan aksi membabi butanya.

“Ya di mana kek. Asal bukan di sini.” Navy merengut. Kali ini sebuah bantal ia layangkan pada saya yang masih berbaring.

Saya sontak menegakkan tubuh. Membuang bantal itu ke lantai.

“Saya akan tetap tidur di sini. Terserah kamu mau suka atau tidak.”

“Nggak boleh! Lo nggak boleh tidur di sini. Ini wilayah gue.”

“Jadi, saya harus tidur di mana? Di ruang tamu?”

Navy mengangguk cepat. Bersedekap, menatap saya dengan dagu terangkat.

“Ide bagus. Lo tidur di ruang tamu!” putusnya.

“Kamu membiarkan saya tidur di ruang tamu?” tanya saya tidak percaya.

“Kenapa nggak?”

“Kita harus tidur di kamar yang sama.”

“Kenapa harus?” Navy masih tidak mau kalah.

“Kamu mau Mama kamu curiga karena kita tidak tidur di kamar yang sama?”

“Ngapain juga Mama harus curiga. Pokoknya lo nggak boleh tidur di kamar gue! Bukan muhrim!”

Ucapan Navy membuat saya tergelak. Di tempatnya Navy semakin merengut kesal.

“Bukan muhrim?” tanya saya setelah menghentikan tawa. “Kamu lupa kemarin kita sudah resmi menikah? Wajar kalau saya dan kamu tidur di kamar yang sama.”

Mata dan mulut Navy sontak melebar. Tidak percaya dengan ucapan saya. Saya tesenyum geli saat Navy mulai menatap setiap inci tubuhnya. Desah napas yang tertahan lolos dari bibirnya saat melihat cincin yang melingkar di jari manisnya.

“Nggak mungkin. Nggak.” Ia menggeleng berulang kali. Seolah semua ini hanya mimpi. “Ya Tuhan, jadi pernikahan itu, resepsi itu, ajakan nikah lo yang gila itu ... semua nyata? Gue kira gue lagi mimpi, tapi ternyata ...”

“So, wajar kan kalau saya tidur di kamar kamu, di ranjang yang sama dengan kamu?”

Navy menatap saya horor. Tak lama ia memekik, mengacak pelan rambutnya.

“Oh Tuhan, gue udah nikah? Demi apa ya Tuhan?!”

“Saya tidak harus tidur di ruang tamu, kan?” ulang saya.

Navy kembali menatap saya, secepat itu pula ia menggeleng.

“Nggak! Sekali nggak tetep nggak! Gue nggak mau tidur sama cowok yang nggak gue kenal!”

“Tapi cowok yang nggak kamu kenal ini sudah sah menjadi suami kamu. Dia berhak melakukan apa saja dengan kamu.”

“Maksud lo apa?” tanyanya berang. “Jangan harap lo bisa nyentuh-nyentuh gue, ya! Walaupun kita udah nikah, lo nggak bisa sembarangan ngapa-ngapain gue!”

Bibir saya berkedut. Tanpa Navy katakan pun saya tahu apa yang harus saya lalukan terhadapnya.

Saya tidak akan menyentuhnya. Seinci pun. Saya hanya akan melindunginya dari bahaya yang mengancam keselamatannya.

“Memang kata siapa saya mau ngapa-ngapain kamu?”

Mata  Navy kembali melebar, mulutnya sudah terbuka, hendak mengucapkan sesuatu. Tapi hingga detik berlalu, Navy tidak juga mengeluarkan sepatah kata pun.

Melihat keterdiaman Navy, saya kembali melanjutkan, “Kita akan tidur sekamar hanya saat berada di rumah ini. Setelah seminggu kita berada di sini, saya akan membawa kamu tinggal di rumah saya.”

“Kontrakan gue gimana?” protes Navy. “Gue udah bayar kontrakan sampe akhir tahun.”

“Saya tidak menerima penolakan!” kata saya tegas. “Bukankah sebelumnya juga saya pernah berkata kalau kita akan tinggal dalam satu atap? Meski kita tidak saling cinta, saya akan menunaikan kewajiban saya sebagai suami, yakni menjaga kamu.”

“Tinggal satu atap? Satu kamar juga?”

“Ya, kita akan tinggal satu atap. Kamu mau orang-orang membicarakan kita karena harus tinggal berpisah? Kamu lupa, kita ini pengantin baru.” Navy masih terlihat kaget, tapi saya mengabaikan ekspresi di wajahnya itu. “Kamu tidak perlu khawatir, karena kita tidak akan tinggal di kamar yang sama.

“Seperti yang sudah saya katakan tadi, dan beberapa hari sebelum menikah, kita tidak akan tidur di kamar yang sama. Saya sudah menyiapkan satu kamar kosong untuk kamu tiduri. Jadi kamu tidak perlu takut jika saya akan melakukan sesuatu terhadap kamu. Saya tidak akan sekurang ajar itu.”

Navy mengembuskan napas lega. Sebuah senyum terlukis di wajahnya setelah saya menjelaskan panjang lebar mengenai kehidupan kami ke depannya.

“Oke, kita bakal tinggal serumah.”

Untuk se per sekian detik, saya mengulas senyuman samar.

Navy tidak perlu tahu apa yang sudah saya persiapkan untuknya. Ia hanya perlu tahu kalau saya akan menjaganya. Sebagai suaminya.

***

Seperti yang saya janjikan, kami tidak akan tidur di kamar yang sama. Navy begitu bahagia saat mendapati dirinya akan menempati kamar yang berbeda dengan saya. Tapi senyuman di wajahnya tidak bertahan lama saat tahu letak kamarnya bersebelahan langsung dengan kamar saya.

“Nggak ada pintu penghubung antara kamar lo dengan kamar gue, kan?’

Sebelah alis saya menukik naik. Navy yang berdiri di hadapan saya tengah berkacak pinggang.

“Pintu penghubung? Buat apa?”

“Ya kali aja ada pintu rahasia yang sengaja elo buat supaya elo bisa mengendap-ngendap masuk ke kamar gue. Saat gue lengah lo bisa aja do something ke gue.”

“Sepertinya kamu yang sangat ingin saya ngapa-ngapain kamu, ya?” saya tersenyum miring. Dengan jari telunjuk, saya membenahi letak kacamata saya.

Navy tersentak. Saat matanya bersirobok dengan mata saya, ia sengaja menatap saya dengan dagu terangkat.

“Gue cuma ngasih peringatan aja ke elo. Lagian, siapa juga yang pengen diapa-apain sama lo. Gue cuma jaga-jaga aja. Jadi, kalau lo tiba-tiba menyelinap masuk ke kamar gue, gue udah siap siaga.”

“Kamar lo?” saya tersenyum miring. “For your information, ini rumah saya. Jadi otomatis semua ruangan di rumah ini adalah kepunyaan saya, termasuk kamar kamu. Anggap saja kamu menumpang di kamar saya. Jadi itu bukan kamar kamu.”

“Gue nggak nyangka, lo sebegitu perhitungannya,” cibir Navy kemudian.

“Cuma mengingatkan saja, supaya kamu berhenti berpikir yang tidak-tidak terhadap saya.” Saya berusaha menjelaskan. “Kalaupun saya melakukan yang tidak-tidak terhadap kamu, saya berhak melakukannya. Saya tidak berdosa jika melakukannya kepada kamu.”

Muka Navy langsung memerah. Saya tidak terlalu peduli apakah itu karena amarah atau tidak. Saya sudah berbalik dan hendak berlalu dari hadapan Navy saat gadis itu kembali bersuara.

“Inget ya, Satria, meski kita sudah nikah sekalipun, gue tetep nggak mau melakukan sesuatu sama elo. Bahkan sampai detik ini pun, gue masih bertanya-tanya apalasan elo nikahin gue kayak gini.”

Saya memilih bungkam. Tidak terlalu mengubris perkataan Navy. Bahkan menoleh untuk menatapnya pun tidak saya lakukan.

Saya memijit pangkal hidung saya. Melepas kacamata dan menyimpannya di saku kemeja saya. Setelah berusaha meredakan emosi di dada, saya mulai membalas ucapan Navy. Saya tidak peduli apakah kata-kata saya nanti akan membuat Navy semakin berang, atau tidak.

“Terserah kamu. Saya menikahi kamu karena saya ingin melindungi kamu.”

Dan setelah mengatakannya, saya berlalu dari hadapan Navy. Masuk ke kamar saya dengan menyisakan bantingan keras di pintu.

Saya tahu Navy adalah gadis yang keras kepala. Tapi saya tidak tahu akan seperti ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top