Bab Dua Puluh Empat

"Saya cinta kamu, Ann."

Ann yang tengah menyeruput teh inggris favoritnya langsung tersedak. Ia menepuk-nepuk dadanya, sedang matanya menyipit menatap saya.

"Lo tadi ngomong apa?"

"Saya cinta kamu, Ann." Saya mengulang kata-kata yang membuat aliran darah saya berdesir hebat. Tidak tahukah Ann, jika saya butuh keberanian ekstra untuk mengatakannya?

"Lo cinta sama gue?" tanya Ann memastikan. "Gue nggak salah denger, kan?"

"Kamu tidak salah dengar. Saya benar-benar mengatakan kalau saya mencintai kamu."

Ann tergeming. Dialihkannya pandangan ke arah lain, menghindari tatapan saya. Perlahan Ann mengembuskan napas pelan. Sepelan aliran udara di sekitar kami.

Saya ikut bergeming. Menatap lurus sungai kecil yang mengalir di hadapan kami.

Saat ini saya dan Ann tengah duduk di halaman belakang markas. Sebuah sungai yang mengalir tepat di belakang rumah memang sering dijadikan agen lain sebagai salah satu objek pelepas penat. Tidak terkecuali saya.

Suasana sepi hutan ditambah melihat aliran air sungai yang tenang, membuat hati saja merasakan apa itu kedamaian. Ditambah dengan seseorang yang selalu menemani saya di sini. Duduk di bawah rindangnya pepohonan dengan secangkir teh yang selalu diminumnya.

"Ann, saya mencintai kamu." Saya terus mengulang kata-kata itu. Berharap secuil harapan saya dapat terpenuhi karenanya.

"Kenapa?" setelah sekian lama bungkam, Ann akhirnya bersuara. Matanya terarah lurus ke mata saya, menuntut penjelasan.

"Maksud kamu?" tanya saya tidak mengerti.

"Kenapa lo bisa cinta sama gue?" tuntutnya.

"Saya tidak tahu," aku saya jujur.

"Bagaimana bisa lo bilang cinta sedangkan lo nggak tahu kenapa bisa cinta sama seseorang."

"Apa mencintai seseorang harus disertai alasan agar orang itu percaya?"

Ann kembali bungkam. Ia menggeleng, menarik salah satu sudut bibirnya sebelum melengos.

"Cinta nggak semudah itu, Carl. Cinta itu...."

Ann menghela napas. Menundukkan kepalanya, menatap jemari kakinya yang telanjang menginjak tanah.

Saya masih bergeming. Menunggu Ann melanjutkan kalimatnya. Namun, hingga waktu terus berlalu diiringi kebisuan dan belaian angin yang menampar pipi kami, Ann tidak juga menyambung kata-katanya.

"Cinta itu hal yang sederhana. Kamu hanya perlu percaya."

Ann mendongak, menatap saya tanpa berkedip. Tak lama ia tertawa pelan, kembali menggeleng.

"Cinta nggak akan sederhana untuk orang seperti kita, Carl."

"Kenapa tidak? Cinta itu hal yang wajar. Sesuatu yang normal dirasakan lelaki dan perempuan seperti kita. Saya mencintai kamu. Kenapa kamu tidak menganggap sederhana perasaan saya ini?"

"Kita akan sulit menemukan bahagia, Carl. Elo harus tahu itu."

Suara Ann terdengar serak. Saya terkejut saat menyadari buliran air yang menitik dari sudut matanya.

"Sat, elo tahu, hidup seperti kita ini nggak mudah. Nggak pernah mudah. Apa gunanya kita mengganti identitas kita kalau hidup sebagai agen adalah hal mudah?" Ann menyeka sudut matanya dengan jemari lentiknya. "Cinta memang bisa hadir pada siapa pun, tidak terkecuali kita. Tapi, apa enaknya kita mencintai dan dicintai jika pada akhirnya hanya ada luka yang akan kita tinggalkan?"

"Kamu hanya belum mencobanya, Ann. Kita bisa melewatinya bersama. Apa pun yang terjadi di masa depan, jika kita lalui bersama, kita akan kuat menjalaninya."

Ann memang tengah tertawa saat ini. Tapi saya jelas melihat sorot matanya berkebalikan dengan tawa di bibirnya.

"Berhentilah berkata tentang cinta, Carl. Kita tidak bisa menjalaninya dengan keadaan seperti ini."

Entah apa yang membuat saya kini berani menggenggam tangan Ann. Gadis itu menoleh, tampak terkejut, namun tawa kembali berderai dari bibirnya.

"Manusia tidak bisa menghindari kematian dan cinta." Ann menghentikan tawanya, menatap lurus ke depan. "Kematian bisa saja datang pada kita tanpa terkecuali, begitu juga dengan cinta. Kita tidak bisa menghindari keduanya, sekeras apa pun kita menghalaunya."

"Nggak. Kita nggak bisa, Carl. Hubungan ini nggak akan berhasil."

"Kita belum mencobanya, Ann. Bagaimana mungkin kamu bisa berkata kalau hubungan kita tidak akan berhasil?"

"Gue sudah pernah melihat contoh nyatanya, Carl. Jadi gue tahu kalau hubungan kita nanti nggak akan pernah berhasil." Ann melepaskan genggaman tangan saya. Ia menekuk lutut, memeluk dirinya sendiri.

"Kita hanya perlu mencoba, Ann."

Ann tetap bungkam. Tidak lagi membalas kata-kata saya, apalagi menatap saya seperti tadi.

Waktu terasa melambat. Bahkan rasanya, saya bisa mendengar debar jantung saya sendiri. Saya hendak berlalu meninggalkan Ann sendirian di sini, namun akhirnya saya memilih menetap. Ikut menekuk lutut seperti Ann.

"Lo tahu kan bokap gue yang nerusin kerjaan ini ke gue?"

Pertanyaan dari Ann sontak membuat saya menoleh. Posisi Ann masih sama seperti tadi. Tidak berubah seinci pun.

"Bokap pisah sama nyokap gara-gara pekerjaan ini. Bokap memilih ngelepasi nyokap demi melihat gue dan nyokap hidup bahagia. Saat itu gue masih kecil, belum tahu kenapa orang tua gue pisah, kenapa gue harus pindah rumah dan bokap nggak pernah balik-balik lagi.

"Pas SMP gue akhirnya tahu apa alasannya. Semuanya nggak sengaja gue ketahui. Bokap yang ternyata seorang agen, nyokap yang harus ditinggalkan karena keadaan bokap lagi bahaya banget. Karena alasan itu jugalah akhirnya gue nekat nyari beasiswa ke Inggris buat nemuin bokap. Dan gue berhasil."

Saya tidak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak Ann memulai ceritanya. Ann memang pernah bercerita jika orangtuanya berpisah saat ia berumur tiga tahun, tapi tidak dengan alasan dibalik perpisahan kedua orangtuanya itu.

"Dua tahun tinggal di Inggris bareng bokap, gue jadi tahu gimana cara dia kerja. Pola hidup dia, dan segala hal tentang dia yang nggak gue tahu." Air mata Ann perlahan mengalir, dan gadis itu sama sekali tidak berniat menyekanya. "Sampai suatu ketika, dengan mata kepala gue sendiri gue ngelihat bokap terbunuh. Gue menjadi saksi mata yang harus dilindungi. Jejak keberadaan gue di lokasi kejadian dihapus supaya pembunuh itu tidak tahu kalau gue melihat mereka membunuh bokap.

"Gue menolak berganti identitas, menjadi orang lain. Gantinya, gue menginginkan menjadi bagian dari mereka. Menggantikan posisi bokap. Mereka memang nggak pernah setuju, tapi gue maksa. Dan seperti yang elo lihat sekarang, gue kerja seperti bokap gue. Menjadi manusia yang hidup di antara garis kehidupan dan kematian yang tipis banget."

"Nyokap kamu gimana?" hanya itu yang bisa saya tanyakan setelah Ann menceritakan kisah hidupnya.

"Awalnya ia menolak. Tentu saja. Tapi nyokap nggak bisa berbuat apa-apa karena saat itu nyokap lagi hamil adik gue. Tapi sayangnya, adik gue itu nggak pernah lahir karena nyokap keguguran."

"Apa kamu tidak pernah terpikir untuk pulang?" tanya saya lagi. Ann memicingkan matanya, mendesah pelan.

"Dulu ... ya, gue pernah terpikir untuk pulang." Ann membuka kelopak matanya. Tatapannya berubah sendu. "Bertemu Mama dan saudara-saudara tiri gue, adalah hal termustahil yang hanya bisa jadi mimpi gue. Dengan keadaan gue yang seperti ini, bertemu mereka lagi malah akan membahayakan keselamatan mereka. Gue mau mereka hidup tenang. Bahagia. Dan itu tanpa kehadiran gue."

"Nggak ada yang mustahil di dunia ini, Ann. Saya yakin kamu pasti bisa bertemu mereka lagi."

Ann tersenyum, menepuk bahu saya.

"Thanks lo udah mau dengerin curhatan gue. Makasih juga karena lo mau menghibur gue. Semoga juga Tuhan ngasih gue kesempatan untuk bertemu mereka lagi. Gue rasa, gue ..." Ann tergugu. Menghentikan kalimatnya.

Melihat bahu Ann yang terguncang membuat tubuh saya maju dengan sendirinya. Ann terkejut saat saya tiba-tiba merengkuh tubuhnya, membawanya ke dekapan saya.

Suara isakan Ann terdengar jelas di telinga saya. Bahkan air matanya mulai membasahi bahu saya.

Meski saya tidak tahu seperti apa perasaan Ann pada saya, memeluknya seperti ini membuat semua hal terasa benar.

***

Semakin mendekati ending.

Yuhuuuu ... .

Ini nggak diedit lagi. Jadi kalau nemuin typo atau apapun itu, kasih tahu aja. Aku nggak ngigit kok. Hihi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top