Bab Dua Puluh Delapan
"Lo tahu kenapa kita pake identitas lain saat bergabung di sini?"
Saya menjawab pertanyaan Riana dengan gelengan. Melihat itu Riana tersenyum, sorot matanya langsung berubah sendu.
"Kita mempunyai identitas ganda karena jika kita gagal dalam bertugas, keluarga kita nggak bakal tahu apa penyebab kita meninggal. Nggak mungkin kan keluarga kita tahu kita meninggal karena dieksekusi oleh musuh. Bisa lo bayangin gimana sedihnya mereka saat tahu gimana kita bisa meregang nyawa?"
Riana tergelak, namun air mata mengalir dari sudut matanya. Air mata itu mengalir dengan cepat, dan secepat itu pula Riana menyekanya.
"Kehilangan satu anggota keluarga bisa ngebuat kita sedih banget, apalagi kalau tahu penyebab kita kehilangan mereka itu karena sesuatu yang mengenaskan."
Saya bergeming, menatap lekat wajah Riana yang tengah menatap lurus sungai di hadapan kami.
"Satria, bisa janji satu hal ke gue?"
Dahi saya mengernyit. Riana hanya akan memanggil nama asli saya jika dia tengah membicarakan hal-hal yang serius.
"Kalau suatu hari gue gagal dalam bertugas dan meninggal, lo bisa bantu gue buat jagain keluarga gue? Gue nggak mau ngelihat mereka sedih, karena gue sayang banget sama mereka."
"Kenapa kamu berkata seperti ini? Misi kita tidak akan gagal. Selama ini juga kita selalu berhasil mengerjakan misi yang diberikan."
Riana tersenyum, mengendikkan bahunya.
"Entahlah. Gue hanya ngerasa nggak akan pernah bisa ketemu mereka lagi. Sat, berjanjilah, jagain keluarga gue. Terutama adik-adik gue. Bisa?"
Saya diam. Tidak menolak ataupun mengiyakan. Kemudian Riana tersenyum tipis, menggenggam erat tangan saya ditemani angin yang berhembus pelan.
"Tolong jagain keluarga gue, Sat. Berjanjilah."
***
"John akan turun tangan langsung kalau lo mau."
Saya menatap Rizal yang sibuk dengan laptopnya. Di dekatnya Rean duduk sambil mengecek senapannya. Setelah mengetahui Navy berada di tangan George, Rizal langsung menghubungi John. Dan dengan senang hati, John mengirimkan agen terlatihnya, termasuk Rean.
"Kayaknya lo nggak bisa lepas dari si tua George." Rean menyeringai setelah mengucapkannya.
"Terima kasih," jawab saya sarkas.
"Sistem keamanan yang dipakai George lebih rumit dan sulit ditembus ketimbang sepuluh tahun yang lalu." Rizal memutar laptopnya, sehingga saya dapat melihat layarnya.
"Sialan satu itu semakin pintar rupanya!" desis Rean.
"Yeah! Kecanggihan teknologi membuatnya semakin sulit ditembus." Rizal mengendikkan bahunya. "Menurut lo, kita mesti gimana, Carl?"
"Pake aja cara yang biasa kita pake," usul Rean sambil lalu. "Tinggal sedikit diubah aja."
"Kalian tidak usah ambil pusing. Saya sudah menentukan cara agar bisa menyusup ke Silver Group."
Rizal dan Rean saling tatap sebelum menatap saya penuh tanda tanya. Saya menggaris senyum tipis sebelum mengeluarkan ide di kepala saya.
***
"Setelah melewati lorong itu, lo belok ke kiri."
Saya melangkah sesuai dengan arahan Rizal. Di samping saya, Rean melangkah tak kalah awas dari saya. Senapan kesayangannya bahkan sudah bergelayut manja di bahunya.
"Ruangan tempat Navy disekap ada di ujung lorong. Kalian hati-hati, akan ada dua orang yang berjaga di depan pintu."
Saya dan Rean saling pandang sebelum mengangguk mantap.
Seperti yang dikatakan Rizal, tepat di ujung lorong terdapat dua lelaki berbadan kekar dan bertampang seram tengah berdiri di depan pintu besi yang tertutup rapat. Dari penyadapan Rizal terhadap struktur bangunan Silver Group, ruangan itu adalah tempat di mana George menyekap Navy.
Hingga detik ini saya tidak tahu apa yang membuat Navy bisa tertangkap George.
"Zac, apa semuanya aman?" tanya Rean, matanya masih menatap sekeliling.
"Aman."
"Oke!"
Saya dan Rean maju dengan langkah mantap. Sekitar setengah meter sebelum kami tiba di depan pintu besi itu, saya menyemprotkan gas air mata ke kedua penjaga itu. Saat mereka lengah, saya dan Rean mulai beraksi. Dengan sigap Rean mengarahkan senapannya dan memukul kepala si penjaga yang berada di sebelah kiri. Sedangkan saya langsung menerjang lelaki satunya.
Satu pukulan berhasil menghantam dada saya, namun secepat kilat saya membalas pukulan itu. Darah mengalir dari sudut bibir saya setelah satu tinju berhasil mampir di wajah saya. Saya kembali menerjang lelaki itu, sebelum akhirnya membantingnya ke lantai dan memberikan tinju bertubi-tubi di wajahnya hingga lelaki itu kehilangan kesadarannya.
Setelah berhasil melumpuhkan dua penjaga itu, Rizal langsung membisikkan kami kode keamanan yang dipasang di pintu besi tersebut. Kurang dari semenit, pintu besi itu terbuka perlahan. Saya dan Rean langsung bergerak masuk. Mata saya terbelakak saat menyadari ruangan bercat putih itu dalam keadaan kosong.
"Zac, lo serius cewek itu ada di sini?" bentak Rean. "Ruangan ini kosong!"
"Gue serius. Nggak mungkin ruangan itu kosong." Rizal menjawab dengan panik. "Damn! Apa kali ini juga mereka tahu rencana kita?"
"Berengsek!" maki Rean geram.
"Sebaiknya kita keluar dari sini. Saya rasa George menjebak kita."
Rean mengangguk setuju. Tanpa pikir panjang kami berdua langsung keluar dari ruangan itu. Belum selangkah kami pergi dari ruangan itu, tiba-tiba sosok George muncul di hadapan kami. Lima pengawalnya mengekor di belakangnya.
Dia menyeringai puas saat melihat wajah kami yang memucat.
"Mencari wanita ini?" tanyanya.
Mata saya melebar saat salah seorang anak buah George memberikan Navy pada lelaki itu. Dengan mata yang tidak pernah lepas dari wajah saya, George merangkul Navy, mengarahkan moncong revolvernya ke pelipis Navy.
Navy kelihatan pucat, tapi ia memaksakan seulas senyum saat melihat saya.
"Satria ..." lirihnya.
Darah saya mendidih melihat Navy yang tidak berdaya. Apalagi saat dengan kurang ajarnya George semakin menekan lengannya ke leher Navy.
"Jauhkan tangan anda dari istri saya!"
"Saya tidak menyangka Anda sudah menikah, Tuan Satria Augusta. Ah, atau lebih tepatnya agen Carl." George tersenyum pongah. Memperlihatkan ekspresi kejamnya.
"Lepaskan gadis itu!" geram saya dengan rahang yang mengeras.
"Bukankah ini seperti kejadian sepuluh tahun yang lalu? Anda juga berusaha menyelamatkan gadis yang berada dalam tawananku."
Saya melotot kaget. Rean di samping saya juga menampakkan ekspresi keterkejutannya.
"Gimana bisa Si Tua itu tahu?" Rizal di seberang sana menyuarakan keterkejutannya.
"Saya selalu tahu pergerakan kalian dengan mudah." George menjawab dengan santai, seolah bisa menebak tanya di kepala kami. "Tikus kecil seperti kalian tidak akan bisa dengan mudah masuk ke kandang macan yang saya buat."
"Sialan! Lo denger itu, Zac? Si Tua ini terlalu percaya diri." Rean kembali menggerutu.
"Saya sudah mengira waktu seperti ini akan tiba. Kamu pasti akan datang, dan menuntut balas." George semakin menekankan revolvernya, membuat Navy meringis. Terlebih saat lehernya semakin tercekik lengan George. "Dan kali ini, apa saya bisa melihat secara langsung wajah penyesalan Anda yang tidak bisa menyelamatkan orang terkasih anda? Bukankah itu menarik ... Carl."
"Bangsat!"
Setengah berlari saya maju mendekati George. Serangan saya yang secara tiba-tiba membuat Navy terlepas dari pelukan George. Sebelum sempat saya dan Rean menyelamatkan Navy, sebutir timah panas langsung menembus lengan kiri saya. Seperti sepuluh tahun yang lalu.
Navy memekik kaget, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa saat anak buah George menyeretnya pergi. Dengan langkah sedikit terseok saya menyusul mereka. Aksi kejar mengejar itu tidak terlepas dari suara tembakan yang saling memburu.
Rean dengan sigap bermain dengan senapannya. Karena keahliannya dan jam terbangnya selama ini, anak buah George perlahan tumbang satu per satu. Melihat musuh yang semakin berkurang, saya mempercepat langkah, menyusul George yang kini membawa Navy ke atap gedung.
Navy terpekik saat tubuhnya dan George sedikit tumbang akibat peluru yang saya ledakkan ke kaki kanan George. Tapi, semua tahu George memiliki kekuatan yang tak terkalahkan, bahkan sebuah peluru yang mengoyakkan betisnya tidak membuatnya gentar sekali pun.
"Nice shoot, Carl." George kembali menampakkan seringai yang berisi ejekan itu.
"Lepaskan gadis itu!"
"Never!"
"Saya sedang tidak ingin bernegoisasi dengan Anda."
"Begitu juga saya, Carl."
"Berhenti menyebutkan nama itu!" Amarah saya benar-benar terpancing saat George memanggil nama lain saya.
"Kenapa? Bukankah itu memang nama Anda sebagai agen?" George membuang ludahnya. Menatap saya dengan sorot mengejek. "John dan anak buahnya yang payah. Tidak heran jika saat ini kalian tidak berhasil menangkap saya."
"Tutup mulut Anda!"
Saya langsung mengarahkan Beretta 92 milik Riana ke arah George. Benda di genggaman saya ini adalah satu-satunya peninggalan Riana yang saya simpan sejak ia pergi dari dunia ini.
"Wow! Mainan yang bagus, Carl."
George kembali mengarahkan revolvernya pada Navy.
"Bagaimana jika kita bermain adu kecepatan?" tantang George. Matanya berkilat dengan seringai yang tidak pernah luntur di wajahnya. "Mana yang lebih cepat, pistol milik saya, atau pistol milikmu itu."
"Cih! Permainan anda sangat tidak menarik, Tuan."
"Anda takut?"
Mata saya membesar karena amarah. Saya sangat tahu, George tengah berusaha membolak-balik emosi saya. Dan dia cukup berhasil memengaruhi pikiran saya.
"Saya tidak takut! Tidak pernah!"
Saya sudah akan menekan pelatuk saat Navy bersuara, "Jangan, Satria. Jangan lakukan itu."
Saya memicingkan mata sesaat sebelum menatap Navy yang tengah menatap saya dengan tatapan memohon.
"Semua ini tidak akan terjadi jika kamu menuruti ucapan saya."
Navy menitikkan air matanya. Menggeleng berulang kali.
"Maafin gue. Maafin gue, Satria."
Saya tersentak. Kalimat itu membuat dada saya seketika bergemuruh. Sesak.
Pandangan saya mengabur, membuat sosok Navy kini berubah menjadi sosok lain.
Seorang wanita berambut blonde kini menggantikan posisi Navy yang berada di rangkulan George. Mata saya terbelalak. Menggeleng keras, berusaha mengusir sosok itu dari pandangan saya. Namun, hingga tulang saya terasa melunak, sosok itu tidak juga kembali menjadi sosok Navy.
"Riana,"
Maafin gue. Maafin gue, Carl.
Saya berteriak keras saat suara itu kembali terdengar. Sekelebat kisah di masa lalu langsung terbayang di mata saya. Semua terlihat jelas, juga saat tubuh Riana yang terikat perlahan tumbang dan jatuh setelah peluru-peluru itu menembus tubuhnya.
Saya kembali berteriak saat menekan pelatuk dan memuntahkan peluru ke arah George. Desingan peluru susulan langsung terdengar sebelum bunyi benturan yang keras terdengar di telinga saya.
Saya bergeming dengan lutut yang melemas. Terperangah melihat tubuh yang bersimbah darah jatuh tepat di hadapan saya.
Udara di sekitar saya terasa menipis. Hawa dingin langsung menjalari tubuh saya.
Bahkan saat seseorang memeluk tubuh saya, dan membisikkan kata-kata penenang, saya masih bergeming. Syok saat melihat darah yang merembes perlahan dari raga yang sudah tidak berdaya itu.
Tanpa tedeng aling-aling, tubuh saya langsung ambruk. Saya tidak pernah menyangka George mengulang kejadian sepuluh tahun silam, tepat di hadapan saya. Begitu peluru saya melesat ke arahnya, di saat yang bersamaan George juga menekan pelatuknya.
"Gadis itu sudah pergi." Berulang kali Rean membisikkan kata itu. Bahkan saya dapat mendengar teriakan kesedihan milik Rizal. Dari suaranya saya tahu betapa frustrasinya lelaki itu.
Saya terduduk lemas. Tidak berdaya.
Untuk kedua kalinya, saya tidak bisa menyelamatkan nyawa seseorang.
Tolong jagain keluarga gue, Sat. Berjanjilah.
Air mata saya menetes tanpa dicegah. Saya mendongak, menatap langit malam yang bersih tanpa bintang. Angin yang berembus di sekitar saya ikut meneriakkan rasa frustasi saya. Membiarkan dada saya sesak dan hancur tak bersisa.
"Maafkan saya, Riana. Maafkan saya."
***
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, bagi yang menjalankan.
Gimana bab ini menurut kalian? Kurang nyesek, ya?
Akhirnya selesai juga. Aku seneng, hehe.
Cerita ini selesai?
Belum sepenuhnya.
Karena masih ada epilog yang akan aku update secepatnya.
Jangan lupa berikan komentar pada cerita ini, ya.
I mean it.
Xoxo
WindaZizty ❤
27 Mei 2017
Repost : 19 September 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top