Bab Dua Belas

Setelah membilas pergelangan tanganku yang terkena air keras, lelaki itu benar-benar membawaku ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan tidak ada kata yang keluar dari bibir kami, walaupun bibirku sudah gatal untuk mengeluarkan tanya, aku menahannya karena rasa canggung.

Bahkan hingga kami tiba di rumah sakit dan para dokter langsung menangani pergelangan tanganku, lelaki itu tetap tidak mengucapkan sepatah kata pun kecuali, "Tolong obati dia. Tadi wanita ini tidak sengaja terkena air keras."

Kata-katanya yang begitu dingin begitu sinkron dengan wajah datarnya.

Benang pikiran di otakku terasa sangat kusut. Teror yang menimpaku hingga penyiraman air keras di pergelangan tanganku membuat otakku seketika buntu untuk berpikir jernih. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menurut saja saat dokter menyuruhku untuk dirawat inap.

Dan di sinilah aku sekarang. Berbaring di ranjang rumah sakit ditemani lelaki dingin yang tidak juga mengeluarkan suaranya.

Aku mencoba menutup mataku, namun suara kursi yang bergeser di sampingku membuatku langsung membuka mata. Lelaki yang semula duduk di samping ranjangku kini bangkit berdiri.

"Sebaiknya kamu istirahat. Saya mau pergi dulu."

Sebelum sempat lelaki itu berlalu, dengan cepat aku menahan pergelangan tangannya. Dahinya mengernyit saat melihat tanganku yang mencengkram tangannya. Ia kemudian menatapku, sorotnya seolah meminta penjelasan atas tindakanku ini.

"Ehm, nama lo siapa, kalau boleh tahu."

Ia mengendikkan bahunya tak acuh, kemudian meraih tanganku, menjauhkannya dari tangannya.

"Apa gunanya kamu tahu nama saya?" salah satu sudut bibirnya terangkat. Sedangkan mata tajam di balik kaca mata itu seolah tengah menilaiku.

Aku terdiam. Lelaki itu ada benarnya, apa gunanya aku tahu namanya. Tapi, sangat tidak sopan kalau aku tidak mengetahui siapa nama lelaki yang telah menolongku, bukan? Demi etika dan kesopanan yang kujunjung tinggi, tentu aku harus berterima kasih pada lelaki dingin di depanku ini.

"Lo udah nolongin gue, jadi—"

"Kalau kamu berpikir ingin membalas pertolonganku atau mengucapkan terima kasih, saya tidak membutuhkannya," potongnya cepat. Meskipun kata-katanya begitu menusuk, aku tidak bisa menyanggah karena memang itulah yang sekarang tengah aku pikirkan.

"Nyebutin nama aja apa susahnya, sih?" sahutku ketus. "Gue tahu, lo itu asisten pribadinya Satria, yang sekarang mimpin Augusta Corp. Tapi setinggi apapun jabatan lo, sama sekali nggak berguna kalau lo nggak punya etika dan sopan santun!"

Kata-kata penuh emosi yang tidak kusaring itu ternyata menyentil emosi lelaki itu. Matanya kini melebar, tatapan tajamnya kian menajam setelah kata itu terlontar mulus begitu saja.

Aku kira setelahnya kami akan saling berdebat, melempar kata demi memuaskan emosi dan memenangkan argumen masing-masing. Ternyata ekspektasiku salah, karena kini aku dapat mendengar desah napas lelaki itu kembali teratur. Bahkan ekspresi menakutkannya kini sudah tergantikan oleh ekspresi datar yang biasa aku lihat.

"Sebagai seorang jurnalis yang sudah bertemu dan mewawancarai orang dengan berbagai jenis karakter, seharusnya kamu lebih tahu bagaimana bersikap dengan orang lain." Lelaki itu berbalik, sehingga aku tidak dapat melihat seperti apa ekspresinya kini.

Aku menunggu lelaki itu meneruskan kalimatnya. Namun hingga waktu berlalu, lelaki itu masih diam sambil berdiri membelakangiku.

"Di dunia ini ada beberapa hal yang memiliki batasan, dan kita nggak boleh melewati batas itu. Saya sudah memperingatkan kamu untuk berhenti, tapi kamu tetap saja meneruskan apa yang seharusnya tidak boleh kamu lakukan."

Aku bergeming di tempatku. Susah payah aku mengartikan kata-kata yang aku dengar barusan. Saat lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu, aku memanggilnya kembali.

"Maksud kata-kata lo itu apa? Dan berhenti? Maksud lo apa nyuruh gue berhenti?"

"Saya rasa, seorang jurnalis seperti kamu tahu maksud dari kata-kata itu. Permisi."

Aku berdecih mendengar kata-kata lelaki itu.

"Seorang jurnalis seperti kamu," aku membeo ucapannya, tidak suka. "Dia pikir dia siapa? Mentang-mentang ganteng dan punya posisi kerjaan yang oke jadi dia bisa seenaknya gitu."

Aku memutuskan untuk memejamkan mataku. Berharap dengan begitu, rasa kesalku terhadap lelaki itu perlahan dapat mengikis. Menyadari pikiran konyol yang mendatangiku, tanpa sadar aku bergumam pelan, "Memangnya aku berharap dia bersikap seperti apa? Kayak lelaki di novel?"

Aku meringis, menertawakan pemikiran bodohku.

***

Sudah dua hari aku menginap di rumah sakit. Tidak ada satupun yang tahu mengenai kondisiku saat ini. Bahkan Aster dan keluargaku tidak mengetahuinya. Bukan karena aku sengaja tidak memberi tahu mereka, namun saat ke rumah sakit bersama lelaki itu, aku lupa membawa ponselku dan meninggalkannya di kontrakan.

Setiap hari lelaki itu selalu datang menjengukku. Aku sedikit bingung karena lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktunya di sini untuk menemaniku ketimbang melakukan pekerjaannya di kantor. Apa dia tidak takut Satria akan memarahinya karena telah lalai dari tugas?

"Cuma memastikan kamu tidak kabur dari rumah sakit ini," katanya saat aku bertanya mengenai kehadirannya di kamar inapku.

Malam telah larut. Lelaki itu bahkan telah pulang sedari tadi, tak lama setelah aku berkata ingin istirahat dan membiarkan kantuk menguasaiku.

Aku tidak yakin saat ini aku masih tertidur atau telah terjaga. Tapi aku dapat mendengar derap langkah di lorong rumah sakit yang sepi. Langkah pelan dan hati-hati itu kemudian berhenti di depan kamar inapku. Tak lama setelahnya, kudengar suara pintu yang didorong pelan.

Sangat pelan hingga aku sedikit ragu apakah pintu itu benar-benar terbuka atau tidak.

Setelahnya aku tidak lagi mendengar derap langkah. Hanya suara jarum jam serta detak jantungku sendiri yang mendominasi pendengaranku.

Mungkin aku hanya salah menduga, mengira pintu kamar inapku yang terbuka, namun tampaknya pintu yang terbuka adalah pintu kamar inap di sebelahku. Karena saat ini aku sama sekali tidak mendengar derap langkah yang menuju ke arahku.

Semula, detak jantungku masih memiliki ritme yang beraturan. Tapi saat seseorang menyentak kepalaku kasar dan mengambil bantalku, detak jantungku tak lagi sama seperti sebelumnya.

Aku merasa pengap. Oksigen di sekitarku terasa begitu susah untuk kuhirup. Aku merasa sakit saat seseorang membungkam wajahku dengan bantal.

Aku berusaha menggapai apapun yang bisa kuraih. Namun hanya angin yang menyapa pelan tanganku yang melambai-lambai di udara.

Aku gelagapan. Mencoba mencari keberadaan oksigen, namun aksesku tertutup karena bantal yang menutupi wajahku tertekan begitu kuat.

Aku ingin menangis dan berteriak sekencang mungkin. Tapi seseorang—yang aku tidak tahu siapa—semakin menekan bantal ke wajahku.

Saat ini, waktu terasa bergerak lamban. Suara denting jarum jam terasa lebih nyaring dari biasanya. Jantungku berdetak kencang, campuran takut, kaget, was-was, gelisah, dan ... pasrah.

Entah ini sudah berapa lama sejak seseorang mendekap wajahku dengan bantal. Tanganku terasa lemas, napasku terasa lebih pendek dari biasanya, bahkan kini detak jantungku perlahan melemah.

Tanpa bisa aku cegah, kedua tanganku jatuh lunglai ke sisi tempat tidur. Mataku terpejam, begitu sulit untuk terbuka.

Sebelum kesadaranku benar-benar menipis, kudengar samar langkah kaki yang terburu-buru. Tak lama, suara dentuman keras kulit yang bertemu kulit memenuhi kamar inapku, disusul suara sesuatu yang jatuh keras mencium lantai.

Tubuhku terlalu lelah untuk melihat apa yang terjadi.

Aku merasa seseorang mengguncang tubuhku. Menepuk pipiku dan memanggil namaku berulang kali.

"Bangun! Navy, bangun! Sialan!"

Suara-suara itu semakin menipis. Tubuhku yang terasa lelah kini seolah tertarik. Aku berteriak, namun yang kudapati suaraku seperti memantul di sebuah lorong panjang tak berujung.

Aku yakin mataku masih terpejam sempurna, namun entah kenapa aku dapat melihat sosok Kak Riana berdiri tak jauh di hadapanku. Kakak perempuanku itu kemudian menoleh padaku, tersenyum tipis.

Kak Riana masih berdiri di tempatnya, sekitar satu meter dari tempatku saat ini. Aku juga dapat melihat bibirnya terkatup rapat, namun anehnya aku seperti dapat mendengar suaranya.

"Belum saatnya, Nav. Belum saatnya kamu di sini."

***

Tarik napas ... buang ....
Inhale ... exhale ....

Jujur, aku nggak tahu mau ngomong apa. Tapi, bab ini bagian yang bener-bener sulit aku buat. Aku ... gak tega. Gak kuat juga.

Apa kalian juga merasakan hal yang sama saat membaca bab ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top