Bab Delapan Belas

Yuhu...
Bab delapan belas is ready to read.
Happy reading!!

***

Riana melajukan mobilnya hingga masuk ke halaman sebuah rumah bergaya Eropa kuno.

Rumah itu berdiri tegak di tengah rimbunan pohon yang menjulang tinggi. Saya tidak habis pikir, ada orang yang mau membangun huniannya di tengah hutan seperti ini. Jauh dari keramaian kota, tanpa ada tetangga di sekitarnya.

Begitu mesin mobil berhenti Riana dan Rean bergegas keluar. Melihat hal itu, saya juga membuka pintu mobil dan keluar.

Riana berdiri di samping saya, menatap saya lekat. Saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Rambut blonde sepunggungnya melambai perlahan saat angin menyapa. Ujung rambutnya bahkan menyentuh pelan wajah saya. Meninggalkan jejak aroma jeruk campur mint yang menyegarkan.

Riana terkekeh pelan, meminta maaf saat melihat saya berupaya menyingkirkan ujung rambut Riana dari wajah saya.

“Ini rumah siapa?” tanya saya hati-hati saat Riana mulai melangkah.

Saya menanti jawaban Riana, namun bukannya menjawab, Riana hanya melempar senyum tipis pada saya. Ia mengendikkan bahu, memberi kode agar saya mengikuti langkahnya.

Meski penasaran, saya mengikuti langkah Riana tanpa menaruh curiga.

Sekitar sepuluh langkah menjauhi mobil, Rean menghentikan langkahnya. Ia berbalik, menatap saya dengan kerutan di dahi yang begitu kentara. Lagi, tatapan menilai itu ia lemparkan pada saya.

“Sebelum kamu melangkah jauh, aku harap kamu memilih mundur.”

Setelah mengatakan itu, Rean tersenyum miring. Memutar tubuhnya, menyusul Riana yang entah kenapa sudah berada di depan pintu masuk berukuran besar itu.

Saat ini, ribuan spekulasi bermunculan di kepala saya. Alarm tanda bahaya sudah berbunyi nyaring di benak saya, tapi saya mengabaikannya. Saya yakin, Riana dan Rean bukanlah orang jahat seperti yang sempat saya kira sebelumnya.

Pintu kayu berukuran besar itu perlahan terbuka saat Riana mendorongnya. Gadis itu langsung berjingkat senang saat seorang lelaki bertubuh besar menyambut kedatangan kami. Tepatnya kedatangan Rean dan Riana.

Who is he?” tanya lelaki itu dengan suara serak yang dalam.

Sekilas Riana menoleh ke arah saya sebelum memeluk pinggang lelaki itu.

Our new friend.”

Lelaki itu menatap saya. Jenis tatapan sama yang sedari tadi Rean berikan pada saya.

Rangkulan Riana di pinggang lelaki itu perlahan mengendur dan terlepas saat lelaki itu melangkah menuju saya yang masih berdiri di dekat daun pintu. Kaki panjang lelaki berkulit hitam itu begitu mantap, tanpa gentar sedikit pun.

“John.”

Tidak pernah saya duga, lelaki yang mengaku bernama John itu mengulurkan tangannya pada saya. Saya tatap tangan yang terulur dengan wajah lelaki itu secara bergantian. Meski agak canggung dan ragu, saya mulai menjabat tangan John.

“Satria.”

Setelah jabatan kami terlepas, John menampakkan senyuman samar. Setelah meneliti saya dari ujung kaki ke ujung kepala, John berbalik dan melangkah ke depan.

Saya masih berdiri di tempat semula. Menatap punggung ketiga orang di depan saya yang terasa memiliki aura berbeda dari yang sebelumnya.

Saya menatap sekeliling. Memandang tiap sisi ruangan yang saya duga adalah kamuflase dari sebuah ruang tamu. Di sisi kanan ruangan terdapat perapian yang apabila musim dingin tiba, akan menciptakan kehangatan untuk penghuninya.

Dari pengamatan saya, ruang tamu ini begitu bersih tanpa ada satupun bingkai foto yang melekat di dinding ataupun dipajang di atas bufet panjang dekat perapian.

Sofa warna marun berbahan beludru di sisi kiri pun terlihat hanya sebagai pajangan tanpa difungsikan sebagaimana mestinya.

Saya tidak tahu sudah berapa lama memandang ruang tamu ini. Saya tersentak kaget saat seseorang menyentuh lengan saya dengan lembut. Saat menoleh, wajah Riana langsung menyapa saya.

“Kok masih di sini, sih? Ayo masuk.”

Riana kemudian menarik tangan saya, membawa saya melewati lorong panjang dengan jendela berukuran sedang di setiap sisinya. Di ujung lorong itu Rean bersedekap dengan John di sampingnya. Berdiri di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat, seolah menantikan kedatangan saya.

Selain Rean dan John, saya juga melihat sekitar lima atau enam orang berwajah asing yang berdiri di dekat pintu yang sama. Dua di antara orang-orang itu adalah wanita yang saya taksir usianya tidak berbeda jauh dengan Riana.

“Aku nggak tahu apa yang ada di pikiran Riana sampai membawa kamu ke sini.” Rean berujar pelan saat saya sudah berdiri di dekatnya.

“Rean, gue sudah bilang kan tadi, Satria punya potensi.” Riana yang tentu saja mendengar perkataan Rean langsung membalas.

Rean berdecak, memutar bola matanya.

“Ya, ya, whatever!”

Are you ready, Boy?” tanya John langsung setelah Rean menghentikan ucapannya.

Reready? For what?”

For something, maybe.” John mengendikkan bahunya.

Riana terkekeh, menepuk pelan pundak saya.

“Jangan kaget, apalagi takut. Apapun yang nanti ada di pikiran lo, percayalah, kami tidak akan menyakitimu.” Riana berkata dengan suara lembut.

Meski bingung dengan kata-kata Riana dan John, saya akhirnya mengangguk saja.

“Oke.”

John tersenyum, sedangkan Rean menyeringai. Tak lama, John mendorong pintu di hadapan kami. Menampakkan isi ruangan yang sangat besar dan dinding yang dibuat menyatu dengan lemari besi yang terkunci rapat.

Di tengah ketersimaan saya melihat ruangan itu walau saya belum benar-benar masuk ke dalamnya, saya masih bisa mendengar bisikan pelan Riana di telinga saya.

Welcome Satria.”

***

Saya tidak pernah menyangka akan berada di sebuah rumah yang berisi puluhan orang dengan misi yang dipikul di pundak mereka. Kumpulan orang-orang dari berbagai penjuru dunia yang dengan tangannya harus membasmi tikus-tikus yang sangat meresahkan.

Rumah yang ternyata hanya kamuflase dari sebuah markas ini memiliki sistem pertahanan dan keamanan yang luar biasa. Jika dilihat dari luar, rumah ini akan terlihat seperi rumah kebanyakan. Rumah besar yang dibangun di tengah hutan yang jarang didatangi manusia.

Lagipula, manusia mana yang mau hidup di tengah hutan seperti ini?

“Justru disitulah letak tantangannya. Rumah di tengah hutan adalah salah satu hal yang bisa membuat manusia menghirup udara segar, tanpa polusi.”

Riana begitu bersemangat saat saya mengatakan pendapat saya mengenai markas mereka. Wanita itu bahkan tidak merasa takut harus pulang ke markas lewat tengah malam.

“Kamu nggak takut?” tanya saya saat semua teman-temannya sengaja meninggalkan saya dan Riana sendirian di ruang makan.

“Takut? Takut untuk apa?”

“Kamu itu perempuan lho, An.”

Riana tidak mau saya panggil dengan nama aslinya. Ia memperingatkan saya jika harus memanggilnya dengan nama Ann. Sebuah nama yang juga digunakan teman-temannya saat memanggilnya.

“Memangnya kenapa kalau gue perempuan?” Riana menaikkan sebelah alisnya. “Di sini, mau lo cewek apa cowok, nggak ada perbedaan, Sat. Kita di sini sama.”

“Tapi, kerjaan kamu ini berbahaya, Ann.”

Riana yang duduk di samping saya langsung mengubah posisi duduknya. Ia kini duduk menghadap saya dengan lengan kiri yang diletakkan di atas meja.

“Setiap pekerjaan itu berbahaha, Sat. Nggak ada satupun hal di dunia ini yang nggak memancing bahaya. Bahkan hal sepele yang kita lakuin sehari-hari pun bisa memancing bahaya.” Riana menatap saya lekat. Suaranya begitu pelan namun tedengar tegas.

“Iya, saya tahu."

“Kalau emang lo takut pekerjaan ini berbahaya buat gue, lo bisa mastiin sendiri.”

“Mastiin sendiri?” tanya saya bingung.

“Iya.” Riana berkata mantap. “Lo pikirin baik-baik tawaran Drew tadi. Kalau lo emang mau tahu pekerjaan gue ini berbahaya apa nggak, lo bisa mempertimbangkan apa yang tadi kita bicarain sama Drew dan yang lain.”

Saya tahu, setiap kata yang keluar dari bibir Riana memiliki aura persuasif. Saya seharusnya mengabaikan semua perkataan yang sebelumnya saya dengar. Tapi, jika mendengar langsung dari bibir Riana, entah kenapa, ada sesuatu yang menarik saya dan membuat saya susah untuk terlepas.

“Kami nggak pernah memaksa, Sat. Semua pilihan lo sendiri yang nentuin.”

Mata saya bersirobok dengan mata Riana. Binar di mata Riana membuat saya tahu apa yang akan saya pilih dari sekian banyak pilihan yang tersedia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top