Bab Delapan

Sebelum pagi menjelang, aku bergegas pulang ke Jakarta. Kak Sonia yang berada di rumah ikut membantuku berbenah. Ia bahkan telah membuatkan sarapan untukku, meski sebenarnya ia tidak perlu repot seperti itu. Padahal semalam suntuk ia menjaga Rada yang sedikit rewel akibat kelelahan bermain.

“Semuanya udah? Nggak ada yang tertinggal, kan?” tanya Kak Sonia, memastikan.

“Udah, Kak.” Aku langsung membawa ranselku masuk ke dalam mobil. Di belakangku, Kak Sonia hanya diam memperhatikanku.

“Kamu nggak nunggu Mama pulang dulu baru balik ke Jakarta?”

Aku memutar tubuhku, menggeleng pelan.

“Navy nggak ngambil cuti, Kak. Lagian, kata dokter besok Mama udah boleh pulang kok.”

“Oh, ya udah.”

Kak Sonia mendahuluiku masuk ke dalam rumah, ia duduk di sofa ruang tamu yang mengarah langsung ke pintu depan.

“Kata Rega, kemarin kamu sudah bertemu Rizal,” ujar Kak Sonia saat aku duduk di sampingnya. Aku yang tengah mengikat tali sepatuku langsung menghentikan kegiatanku itu. Sejenak aku melirik Kak Sonia, sebelum kembali mengikat tali sepatuku.

“Iya, udah. Kemarin dia datang ke rumah sakit, jengukin Mama.”

“Menurut kamu, Rizal orangnya gimana?”

Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.

“Ya, nggak gimana-gimana,” sahutku kemudian.

“Rizal baik?”

Aku mengangguk. “Baik kok.”

“Kamu tertarik sama Rizal?”

Pertanyaan Kak Sonia terlontar tepat setelah kedua tali sepatuku terikat sempurma. Aku menoleh pada Kak Sonia yang menatapku penasaran.

“Tertarik dalam artian suka?” Aku menatap Kak Sonia lekat. “Rizal lelaki yang bisa dengan mudah disukai wanita, Kak. Selain tampangnya yang oke, dia juga sudah berpenghasilan tetap. Tapi, hal itu sama sekali nggak membuatku lantas menyukainya semudah itu.”

“Kalau misalnya kalian ternyata—“

“Dijodohkan?” selaku. Kak Sonia tampak terkejut, tak lama ia mengangguk pelan.

“Kamu sudah tahu?”

“Rizal udah ngomong sama aku tentang perjodohan kami. Mama juga udah bilang, walau nggak sepenuhnya.” Aku menghentikan aksi pura-pura tidak tahuku. Jujur saja, aku bosan ditanyai pertanyaan yang sama berulang kali oleh orang yang berbeda.

“Kakak juga baru tahu tentang perjodohan ini,” kata Kak Sonia saat kami sudah berada di teras depan. “Rega cerita, kalian udah lama dijodohkan.”

Aku tersenyum simpul. “Iya, Navy tahu kok.”

“Rega juga cerita, sebenarnya Mama sudah mau melupakan perjodohan itu. Tapi ...” Kak Sonia menatapku lekat. Ia menghela napas panjang.

“Tapi apa Kak?” kejarku penasaran.

“Kamu itu perempuan Nav, dan pekerjaanmu itu sangat berisiko.” Kak Sonia mendesah. “Mama ingin kamu segera menikah dan berhenti dari pekerjaanmu itu. Mama gak berani bilang langsung, takut kamu tersinggung, bahkan marah. Karena itu, Mama pikir dengan menikah, kamu bisa berhenti dari pekerjaanmu itu.”

Aku bergeming. Sedari awal, Mama memang kurang setuju dengan pekerjaanku ini. Tapi melihatku yang gigih dan aku terus meyakininya dan membuktikan bahwa aku baik-baik saja dan bisa menjaga diri, Mama akhirnya mengalah.

“Tapi semuanya ada di tangan kamu. Kakak memang kurang setuju kamu dijodohkan seperti ini, mengingat di jaman se-modern ini masih ada perjodohan, jujur ini menggelikan.”

“Kalau aku menolak perjodohan ini, apa yang bakal terjadi Kak?” tanyaku setelah cukup lama bungkam.

Kak Sonia terdiam. Aku tidak tahu apakah ia tengah memikirkan jawaban yang tepat atau malah sama sekali tidak tahu apa jawaban atas pertanyaanku. Kulihat Kak Sonia menggeleng, mengedikkan bahunya.

“Kakak nggak tahu,” jawabnya pelan. “Tapi sepertinya Mama akan kecewa sama kamu, Nav. Lagian, apa salahnya menikah? Toh usia kamu juga sudah memungkinkan untuk melakukan sebuah pernikahan.”

Aku mengulas senyum tipis. Menikah? Siapa yang tidak ingin menikah? Semua wanita di dunia ini, pasti mempunyai mimpi tentang pernikahan mereka. Hanya saja, untuk saat ini, apalagi dijodohkan, menikah tidaklah menjadi impianku.

“Navy memang ingin menikah Kak. Lebih cepat lebih baik,” aku mendesah. “Tapi aku ingin menikah dengan orang yang aku pilih sendiri, bukan orang yang dipilihkan untukku melalui perjodohan.”


***

Setelah dari Bandung aku memutuskan untuk langsung pergi ke kantor. Saat baru memarkirkan mobilku, kulihat kehadiran Aster yang diantar suaminya. Setelah mobil suaminya berlalu dari hadapan, ia langsung mendekatiku yang baru turun dari mobil.

“Baru datang?” tanyanya berbasa-basi.

“Iya,” jawabku pendek.

“Nyokap lo gimana? Udah mendingan?”

Aku mengangguk, tersenyum kecil.

“Iya, Alhamdulillah udah. Kata dokter besok udah boleh pulang.”

Sesaat Aster menghentikan langkahnya. Hal yang membuatku ikut menghentikan langkahku.

“Kenapa gak besok aja lo pulangnya? Tanggung banget. Toh nyokap lo besok udah balik dari RS.”

“Nggak pa-pa,” jawabku singkat.

Kemudian hening menyapa kami hingga aku tiba di kubikelku. Aster hendak pergi ke ruangannya, namun ia langsung berbalik dan mendekatiku. Dahiku mengernyit saat beberapa map ia berikan padaku. Tadi dia memang sempat mampir ke ruangan Pak Bagus, dan aku tidak menyadari dengan map yang ia bawa kemudian.

“Apaan nih?” aku mengerucutkan bibir menunjuk map-map itu.

“Tugas lo buat investigasi nanti,” jawab Aster. Ia kemudian berlalu ke ruangannya. Meninggalkanku yang kebingungan dengan map di atas mejaku.

Dengan dahi berkerut, aku meraih salah satu map. Mataku melebar saat menyadari salah satu nama perusahaan tertulis di sana. Kutegakkan kepalaku, menatap pintu ruangan Aster yang tertutup rapat. Gegas aku berdiri. Tak lupa membawa map tersebut. Melupakan etika serta sopam santun yang kupunya, kudorong pintu ruangan Aster. Wanita itu tidak tampak terkejut dengan kedatanganku.

“Lo udah baca?” tanyanya.

“Ini,” aku menunjuk map di tangan kananku. “Aku harus melakukan investigasi ke Silver Group? Kamu tahu kan gimana susahnya dapet informasi dari perusahaan itu?”

Berbanding terbalik denganku yang aku yakin terlihat kacau, Aster justru tenang di kursinya. Ia melipat kedua tangannya, menatapku lurus.

“Karena itulah kita perlu melakukan investigasi ke sana.”

Aku mendesah. Tanpa Aster persilakan, aku menarik kursi di hadapannya dan mendudukinya. “Silver Group,” aku mendesah lagi. “Dua tahun lalu mereka diberitakan melakukan pembakaran besar-besaran di salah satu lahan, dan itu tidak terbukti. Setahun kemudian mereka kembali diberitakan atas penyelundupan narkoba, dan sekali lagi itu tidak terbukti. Dan sekarang—“

“Mereka melakukan perdagangan gelap, termasuk narkoba.” Aster berdiri dari duduknya. Ditepuknya bahuku pelan. “Gue yakin mereka milih lo buat ikut investigasi ini karena lo mampu. Mereka nggak bakal milih lo kalau kerja lo selama ini gak bagus, Nav.”

Aku bungkam. Kepalaku mulai berdenyut, dan ini bukan pertanda baik. Aku memilih mengabaikan segala kemungkinan terburuk yang akan aku hadapi nanti. Entah kenapa, aku merasa sedikit takut melakukan investigasi ini.

“Nggak semua hal bakal terjadi sesuai perkiraan kita, Nav.” Aster kembali ke kursinya. “Kemungkinan terburuk bisa aja terjadi, tapi bukan berarti hal-hal baik nggak bakal terjadi.”

Aku mengembuskan napas panjang. Aku tahu, Aster memyadari ketakutanku. Ia pernah berada di posisiku. Bahkan dia lebih berbahaya lagi karena harus melakukan investigasi ke bandar narkoba yang berkedok perusahaan pembuat obat.

“Berkas-berkas yang tadi gue kasih itu cuma sebagian kecil aja tentang mereka. Sisanya lo bisa cari sendiri.”

Ototku seketika melemas. Aku bahkan merasa tidak bertenaga saat kembali membuka map itu. Mataku membulat saat membaca list perusahaan yang akan bekerja sama dengan Silver Group.

“Augusta Corp.?” Pekikku tanpa sadar.

Kudengar Aster terkekeh geli melihat responku. Di sela tawanya ia berujar, “CEO-nya masih bujangan, lho. Kali aja nyangkut sama lo.”

“Nyangkut apaan! Informasi tentang dia aja cuma segini.” Aku menunjukkan sedikit bagian dari jari kelingkingku. Ralat! Bukan sedikit bagian jari kelingking, melainkan sedikit bagian dari ujung jariku. “Dari mana lo tahu dia masih bujangan? Kali aja dia kakek tua yang bentar lagi nyium tanah.”

Aster kembali terkekeh. “Lihat aja nanti,” ucapnya misterius yang membuatku mencebik kesal.

***

Gimana bab ini? Makin hancurkah? Haha

Bagian ini bebas tag, ya. Jadi siapa pun yang ingin membaca atau sekedar mampir, aku persilakan.

Jangan lupa kritik dan sarannya. Itu sangat membantu dalam penulisan naskah ini. Terima kasih juga yang telah memasukkan After That Month ke library ataupun reading list kalian. Semoga kalian menyukai cerita ini.

Xoxo
Winda 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top