Chapter 3 - Karena Memilih Dare (You)

Suara pensil yang patah memasuki indra pendengaranku. Aku mengumpat dalam hati saat mengetahui pensil itu patah untuk yang keempat kalinya. Mengesalkan? Sangat.

Namun, aku kembali mengambil pensil yang baru meskipun masih tersisa sedikit kekesalan di dalam hatiku. Rasa kekesalan ini membuatku teringat dengan kejadian kemarin. Kejadian yang membuatku cukup kesal dan ingin melempar sesuatu.

***

Hari ini adalah tepat hari di mana aku akan memulai kehidupan baruku di bangku SMA. Tentunya dengan rumah mungil yang baru saja kutinggali beberapa hari. Rumah yang sempat dijadikan topik pembicaraan oleh orang tuaku beberapa minggu yang lalu. Tepat di saat aku memutuskan untuk tinggal seorang diri saat memasuki masa SMA.

Memang, pada awalnya orang tuaku menolak. Mengatakan jika aku masih belum sanggup untuk tinggal seorang diri dan masih perlu bergantung pada mereka. Namun, aku yang keras kepala ini tidak semudah itu menuruti perkataan kedua orang tuaku. Justru aku diberikan syarat oleh mereka. Jika aku mendapat peringkat pertama di kelas—aku tahu hal ini sangat mustahil—aku diperbolehkan untuk tinggal selamanya di rumah ini. Namun, jika aku gagal, maka aku harus kembali ke rumahku yang lama. Jikalau hal itu terjadi, barang bukti yang kusembunyikan pasti akan diketahui dalam waktu dekat.

Tentu saja, aku tidak ingin kedua hal itu terjadi.

Jadi, selama satu semester pertama di kelas satu SMA ini, aku benar-benar harus rajin belajar. Aku tahu ini terdengar sangat mustahil kulakukan dikarenakan aku bukanlah anak yang suka duduk di depan meja selama berjam-jam dan belajar di sana. Alhasil, mau tidak mau aku harus melakukannya.

Kembali lagi pada realita saat ini. Aku sudah tiba di kelas beberapa saat yang lalu. Sebentar lagi, upacara pembukaan untuk siswa-siswi kelas satu akan dimulai. Tentu saja, aku harus berpatisipasi di sana meskipun sebenarnya aku ingin menolak. Lagi pula, apa gunanya pidato kepahlawanan yang akan disampaikan oleh kepala sekolah nanti? Yang kubutuhkan saat ini adalah cara agar mendapatkan peringkat satu, bukanlah pidato kepahlawanan yang isinya serupa dengan film-film yang sering kutonton.

Para murid mulai berbaris di lapangan. Menunggu sang kepala sekolah naik ke atas podium dan memulai pidato membosankannya itu. Aku sendiri sudah menguap berkali-kali. Mataku pun telah berair. Yang kuingat setelah upacara pembukaan itu hanyalah aku yang sudah duduk di kelas. Dengan air conditioner yang membuat suasana sejuk seketika.

"(Y/n)-chan!"

Aku menoleh ketika namaku dipanggil. Pemilik suara yang sudah sangat kukenali itu menatapku dengan antusias. Sontak aku mengernyit. Apa yang membuat Yuuna tampak bersemangat hari ini?

"Apakah kau ingin bermain truth or dare?" tanyanya kepadaku.

Sama sekali tidak kuingat kapan terakhir kali aku memainkan permainan itu. Seingatku aku tidak pernah memilih truth ketika memainkan permainan itu. Entahlah, aku pun tidak terlalu mengingatnya karena kejadian itu sudah sangat lama.

Pada akhirnya, aku mengangguk. Sambil menunggu wali kelasku datang, aku, Yuuna serta beberapa siswi lain pun bermain truth or dare. Salah satu dari kami memutar bolpoin di atas meja. Untuk putaran pertama, bolpoin itu berhenti pada Yuuna, temanku sejak sekolah dasar.

"Eh, aku yang pertama ya?" gumamnya.

"Truth or dare?" Aku berinisiatif untuk bertanya.

Yuuna tampak diam sejenak. Ia pun membuka mulutnya dan menjawab, "Truth!"

Sudah kuduga ia akan menjawab dengan truth.

"Apakah kau memiliki seseorang yang kau suka?"

Pertanyaan itu jelas bukan dariku. Meskipun aku dan Yuuna telah bertahun-tahun lamanya menjadi sahabat, tidak pernah sekalipun aku bertanya tentang siapa dan bagaimana orang yang ia sukai. Mungkin terlihat aneh oleh orang lain ketika seorang sahabat tidak pernah bertanya tentang hal itu. Namun, bagiku tidak aneh sama sekali. Menurutku hal tersebut telah menjadi privasi di antara kami. Aku pun tidak pernah memaksa Yuuna untuk mengatakannya.

"T-Tentang itu..."

Yang kulihat saat ini, wajah Yuuna memerah, tatapannya menatap ke arah lain. Memberitahukan tanda kepada kami bahwa Yuuna memang memiliki seseorang yang ia suka.

"Aku... harus memberitahu namanya?" cicitnya.

Teman-teman baruku itu mengangguk dengan yakin. Membuat nyali Yuuna semakin menciut. Ya, aku sendiri mungkin akan bereaksi yang sama ketika mendapat pertanyaan itu. Mungkin.

"N-Namanya..."

Yuuna kembali diam. Wajahnya benar-benar memerah hingga ke telinga. Melihat hal itu, aku merasa iba. Aku pun menghela napas sangat panjang sebelum berkata, "Sudahlah, jangan paksa Yuuna. Sebagai gantinya, kalian bisa menyuruhku melakukan sesuatu karena aku akan memilih dare."

Apakah aku berlagak seperti seorang pahlawan? Tidak, Teman. Aku hanya berusaha menyelamatkan Yuuna dari tatapan penuh rasa penasaran yang ditujukan padanya.

"Kau berani sekali, (F/n)-chan!" Salah satu dari mereka yang tak kuketahui namanya berkata demikian.

Aku hanya meringis. Setengah terpaksa, setengah lagi untuk membantu Yuuna.

"Kalau begitu, kau harus mencalonkan dirimu sebagai ketua kelas nanti!" usul salah satu dari mereka. Hei, jangan menghujat diriku karena aku yang tidak mengetahui nama mereka kecuali Yuuna.

Mendengar apa yang diusulkan olehnya, aku membulatkan mataku. Terkejut? Tentu saja. Namun, bukan itu yang kukhawatirkan ketika mendengarnya. Melainkan aku memiliki kejadian buruk berkaitan dengan sebuah jabatan bernama "ketua kelas".

"O-Oi! Apapun akan kulakukan yang pasti bukan itu!" seruku menolak.

"(Y/n)-chan... gomen." Suara pelan milik Yuuna membuatku menoleh. Bukan, ini bukanlah salahnya. Aku sendiri yang telah memilih dare. Maka dari itu, aku harus bertanggung jawab.

"Baiklah. Aku menerimanya," ucapku yakin.

Kami pun menghentikan permainan itu. Aku pun memutuskan untuk berkenalan dengan mereka. Karena kupikir sangat tidak sopan apabila aku memanggil seseorang dengan "hei" atau "oi".

Salah satu lelaki yang duduk di dua baris dari belakang menarik perhatianku. Ia tengah menatap ke luar jendela. Aku merasa hanya dirinya saja yang belum kuketahui namanya. Aku pun mendekatinya dan menyapanya.

"Ano... aku belum mengenalmu. Siapa namamu?"

Ketika ia menoleh padaku, sontak wajahku terkejut. Wajah miliknya pun tak jauh berbeda denganku. Wajar saja jika aku bereaksi demikian. Karena lelaki yang ada di depanku adalah lelaki menyebalkan yang mengatakan hal buruk padaku. Bahkan di detik pertama setelah ia melihatku.

"Kau!"

Tepat ketika aku selesai mengatakannya, wali kelasku masuk ke dalam kelas. Ia mengedarkan pandangannya ke satu kelas. Kemudian, menyuruh kami memperkenalkan diri.

"Chinen Miya."

Mendengar suara itu, aku pun menoleh ke sumber suara. Ah, ternyata itulah namanya. Bahkan dari namanya saja ia terdengar angkuh. Dari sekian banyaknya sekolah menengah atas, mengapa kami harus berakhir di sekolah yang sama? Bahkan di kelas yang sama pula. Mengingat fakta itu, membuatku kesal.

"Perkenalannya telah selesai. Sensei harap kalian bisa menjadi akrab." Wali kelasku itu tersenyum. "Baiklah, kalau begitu mari kita lanjutkan untuk pemilihan pengurus kelas."

Aku yang sudah merasa malas di hari pertama ini pun hanya acuh dan mengabaikan wali kelasku itu. Tatapanku tak sengaja melirik pada bocah lelaki sombong dan menyebalkan yang baru saja kuketahui namanya. Kini sepertinya Kami-sama sudah tidak berpihak padaku.

"Jika di antara kalian ada yang ingin mencalonkan diri sebagai ketua kelas, silakan maju ke depan."

Sontak bahuku ditepuk dari belakang. Hana, orang yang memberikan dare padaku itu tampak tengah memberikanku kode untuk maju ke depan. Aku pun bangkit dari kursiku diiringi tatapan satu kelas. Rasanya aku ingin pulang saat ini juga.

"Minna-san, kalian harus memilih di antara mereka berdua. Yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi ketua kelas."

Dapat kurasakan tatapan satu kelas tertuju padaku dan seorang lelaki di sebelahku. Aku tidak bisa mengingat nama lelaki itu meskipun aku telah berkenalan dengannya.

Setelah selesai voting, jumlah suara pun mulai dihitung. Hingga saat di mana kertas terakhir akan dibuka, jantungku berdetak sangat kencang. Aku berharap yang tertera pada kertas itu bukanlah namaku. Namun, harapan hanyalah harapan. Mungkin karena author fanfiction ini memiliki dendam pribadi padaku, nyatanya namakulah yang tertulis di kertas itu. Yang berhasil membuatku resmi menjadi ketua kelas untuk satu tahun ke depan.

"Selamat, (F/n)."

Lelaki di sebelahku yang kulupakan namanya itu memberiku selamat. Senyumnya tercetak pada wajahnya yang tampan. Aku hanya memberikannya cengiran kuda yang menunjukkan betapa bodohnya wajahku ini. Karena aku mendapatkan suara terbanyak, maka akulah yang menjadi ketua kelas. Sementara lelaki di sebelahku itu menjadi wakilku.

Aku pun bertanya-tanya mengapa teman-teman sekelasku memilih aku yang memiliki wajah tidak bisa diandalkan ini sebagai ketua kelas. Aku tidak terlalu yakin jika aku bisa menjadi ketua kelas yang sesuai dengan standar dan ketentuan. Sudah kupastikan aku bisa saja menyimpang dari standar dan ketentuan itu.

Sepertinya karena aku menanyakan nama mereka semua di saat sensei belum masuk ke dalam kelas membuat mereka menganggapku ramah—mungkin ini terlihat memalukan karena aku memuji diriku sendiri—dan mereka pun berakhir memilih aku. Padahal menurutku lelaki di sebelahku ini lebih bisa diandalkan. Wajahnya saja tampan dan senyumannya menambah damage padaku. Oke, aku memang berlebihan.

Namun, yang pasti, aku yakin seratus persen jika bocah sombong itu memilih aku sebagai ketua kelas. Siapa lagi jika bukan Chinen Miya? Bukannya aku berpikiran negatif tentangnya, melainkan firasatku yang berkata demikian. Jarang sekali firasatku salah.

Aku melemparkan tatapan penuh kebencian padanya. Yang bisa kulakukan saat ini memang hanya itu. Tunggu saja pembalasanku, Chinen Miya.

***

Yo minna!

Sekarang udah tau kan kenapa Miya dapet lirikan penuh kebencian dari (Y/n)?🗿

Udah hampir seminggu aku gak update cerita ini wowkwokwowk. Maap minna, aku lupa, lagi—

Btw, terima kasih banget yang udah baca serta vomment. Aku sayang kaliannn!!🥺💖

I luv ya!
Wina🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top