Chapter 1 - Kebencian di Dalam Halaman Rumah (You)
Aku terbangun karena mimpi aneh yang kulihat. Mimpi itu bahkan terlalu aneh untuk dikatakan sebagai mimpi. Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas. Terlalu jelas hingga sulit untuk kulupakan.
Di dalam mimpi itu, aku sedang tertidur. Aku yang sedang tertidur itu pun bermimpi. Alhasil, mimpiku adalah aku yang sedang bermimpi juga. Lalu, di dalam mimpi aku yang sedang bermimpi itu aku pun bermimpi.
Oh, lupakan saja. Bahkan paragraf narasi di atas terlalu sulit untuk dipahami. Aku sendiri tidak paham bagaimana menjelaskannya.
Sambil melirik ke arah jam dinding, aku mengernyit. Menatapnya beberapa saat untuk melihat di mana jarum panjang dan jarum pendek itu berada. Terkadang secara sekilas mereka terlihat sama. Pernah sekali hal itu membuatku panik dan berakhir tersandung karpet yang menggulung karena aku yang tengah terburu-buru.
Alasannya sederhana. Aku mengira jam dinding itu telah menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Namun, ternyata masih jam sembilan pagi. Tujuanku hanya satu; menyembunyikan barang bukti yang lebih baik tidak kalian ketahui dari ibuku.
Inilah alasan mengapa nilai Matematika-ku selalu di bawah angka tujuh puluh.
Setelah puas memandangi jam dinding yang sepertinya galau karena bentuknya menyerupai lingkaran namun tidak sepenuhnya lingkaran, aku pun beranjak keluar kamar. Hari masih terlalu pagi untuk beraktivitas di hari Minggu. Aku pun terbangun secara terpaksa karena mimpi aneh yang bisa membuat para pembaca fanfiction ini kebingungan.
Sekilas aku menatap pantulan diriku pada cermin. Masih bisa dikatakan aku terlihat keren di sana meskipun piyama yang kukenakan telah lusuh dan rambutku yang tidak jelas sedang mengarah ke mana.
Aku berhenti di dapur ketika kulihat ibuku tengah berkutat di sana. Awalnya aku ingin menawarkan bantuan. Namun, niat itu kuurungkan karena suara seksi milik Levi Ackerman menyapa telingaku. Bukan, bukan berarti lelaki yang dicap sebagai husbu sejuta umat itu telah menjadi nyata, tetapi karena nada dering ponselkulah yang demikian.
"Di mana ponselku?"
Pertama-tama aku mencarinya di sofa. Namun, aku tidak menemukannya di sana. Kemudian, aku berlari ke kamar mandi. Barangkali aku meninggalkannya di sana dan lupa untuk membawanya keluar. Ternyata tidak ada.
Aku yakin bunyinya sangat dekat denganku tadi. Meskipun aku sudah mengelilingi rumahku tiga kali, hasilnya tetap sama. Aku tidak menemukannya di manapun.
Kesal, aku pun menghembuskan napas. Aku berkacak pinggang dengan tatapan yang masih menyapu sekitarku. Berharap ponselku yang terselip entah di mana itu berbunyi lagi.
Benar saja. Suara Levi terdengar lagi. Kini bahkan lebih jelas. Kalimat yang kujadikan nada dering hanyalah berupa perintah yang menyuruhku untuk melupakan mimpiku dan mati saja. Namun, aku tidak akan mati sebelum ponsel terkutuk itu kutemukan.
Aku pun menemukannya. Di tempat terdekat yang selalu menempel denganku. Ingin tahu?
Di dalam genggaman tanganku sendiri.
Kini kuakui, aku memang bodoh dan pintar. Bodoh karena sejak tadi aku memegang ponselku dan juga pintar karena suara Levi yang terus menyuruhku untuk mati itu tidak pernah kulaksanakan.
Percayalah, author yang mengetik cerita ini tengah berusaha untuk menambahkan sensasi humor di dalam narasinya. Meskipun kini narasi itu terlihat cringe dan unik. Ingat, "unik" adalah kata yang lebih halus daripada "aneh".
"(Y/n)! Kau belum bangun? Bukankah hari ini kau akan mengambil kotatsu*?"
Suara ibuku yang berasal dari dapur seolah menarik diriku kembali ke realita. Aku ingat, mulai hari ini aku akan tinggal sendiri. Tidak lagi bersama dengan ayah dan ibuku.
Alasannya simple. Aku yang selalu mandi sendiri ini hanya ingin menjadi lebih mandiri. Dengan tujuan lain yaitu menjauhkan barang bukti itu dari ayah maupun ibuku.
Ideku hebat, 'kan? Sambil menyelam, minum air. Meskipun pada kenyataannya aku tidak pernah meminum air dari kolam renang tempat di mana aku menyelam.
"Aku sudah bangun, Kaa-san."
Aku yang telah kembali ke realita mulai berjalan mendekati ibuku. Duduk di meja makan. Maksudku, di kursinya.
"Sarapan dahulu, (Y/n)."
Kuanggukkan kepalaku. Lalu mulai menggigit roti yang telah diberi selai kacang. Tak lama kemudian, ayahku pun datang. Ikut bergabung dengan kami.
Selesai sarapan, aku bergegas mandi. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya aku pun siap untuk pergi dengan ayahku.
***
"Kau benar-benar ingin tinggal sendiri, (Y/n)?"
Lagi-lagi, ayahku bertanya hal yang sama untuk kesekian kalinya. Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.
"Ya. Aku ingin hidup mandiri, Tou-san." Aku pun menjawab dengan kalimat yang sama. Ya, ya, aku tahu. Kami memang tidak kreatif untuk memikirkan pertanyaan maupun jawaban yang lain.
Terdengar helaan napas darinya. Aku pun hanya menatap ke luar jendela hingga akhirnya kami tiba di rumah yang menjadi tujuan kami sejak awal.
Aku berniat untuk mengambil kotatsu dari seseorang yang sudah tidak membutuhkannya lagi mengingat musim dingin yang akan datang dalam waktu dekat. Memang bisa saja dibuang, namun akan memerlukan biaya yang sangat besar sehingga lebih baik diberikan pada orang lain. Aku pun merasa terbantu dengan itu sehingga tidak perlu membeli yang baru.
Dari luar, rumah itu tampak asri. Banyak tanaman yang tidak kuketahui namanya tumbuh di halaman rumah. Aku yakin pemiliknya pernah menjabat sebagai tukang kebun. Aku tahu, aku hanya bercanda.
"Terima kasih sudah mau mengambil barang kami."
Suara wanita yang kuyakini sebagai pemilik rumah ini terdengar ramah. Bahkan lebih ramah daripada ibuku sendiri. Aku berkata jujur.
"Terima kasih kembali. Justru kamilah yang harus berterima kasih." Ayahku menyahut kalimat wanita itu.
Aku? Aku hanya sibuk berpikir mengapa ayahku tidak tergoda dengan keramahan wanita di depannya itu. Yang sangat berbanding terbalik dengan sifat ibuku.
"Siapa?"
Suara seseorang menginterupsi percakapan di antara kami-lebih tepatnya di antara wanita itu dan ayahku karena aku sendiri sibuk bernapas dan tidak ingin ikut berbincang.
"Mereka adalah orang yang akan mengambil kotatsu dari rumah kita," jawabnya.
Dilihat dari wajahnya, kuakui ia terlihat tampan. Namun, dengan tatapan matanya yang menatap remeh dan senyumannya yang mengejek itu membuatku menarik kalimat pujian yang kuutarakan di dalam hati tadi.
"Oh, orang miskin rupanya."
Mataku terbelalak kaget mendengar ucapannya. Takut-takut, aku melirik ayahku. Beruntung ia tidak mendengar apa yang anak sialan itu katakan. Jika ia mendengarnya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Miya-kun, jangan berbicara seperti itu!" Wanita di sebelahnya yang kuduga sebagai ibunya itu pun menegurnya. Aku yakin, jika ibuku yang mendengar aku berkata seperti itu, maka hanya akan ada namaku saja yang tersisa dari diriku.
Tidak mengucapkan maaf maupun raut rasa bersalah, ia mengedikkan bahunya dan melangkah keluar. Aku sempat bersitatap dengan manik emerald-nya. Meskipun ia sangat menyebalkan, harus kuakui ternyata ia lebih tinggi beberapa centimeter dariku. Hanya beberapa centimeter yang telah membuatnya menatap rendah diriku.
Setelah melemparkan tatapan kebencian pada lelaki bersurai hitam itu, ia pun meluncur dengan skateboard-nya. Cih, ia ingin berlagak rupanya.
Kini kebencian yang mulai tumbuh dengan lebat di dalam hatiku hanya tertuju pada lelaki bermanik emerald itu.
***
Yo minna!
Udah lama banget aku gak ngetik pake sudut pandang orang pertama. Aku lebih sering pake sudut pandang orang ketiga.
Kupikir, saat ini ada baiknya jika aku mulai ngetik lagi pake sudut pandang orang pertama. Jadi, kemampuanku gak lenyap gituಥ‿ಥ
Terima kasih banget kalian sudah meluangkan waktu untuk baca dan juga vote di cerita ini. Jujur, aku cukup senang dengan reaksi yang kalian berikan di cerita ini. Makasih bangett🥺💖
I luv ya!
Wina🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top