Special Chapter

Cuma satu kali lagi aja ya aku publish sampe sahur. Sistem buka tutup gini di dua akun agak ribet. Oke?

Yang permanen akan dipublish di lapakku.

Happy Reading, Gals 😘

***

Napas mereka memburu dan berkejaran. Erangan panjang Gabby disusul geraman kepuasan Max.

"Aku mencintaimu, Manis," gumam Max di sela napasnya yang masih memburu.

Max berguling dan membawa serta Gabby bersamanya. Gabby bersandar nyaman di dadanya, menutupi sebagian tubuh Max. Ia tidak ingin membebani Gabby dengan bobot tubuhnya yang berat. Geraman kepuasan sekali keluar dari mulutnya ketika Gabby mencoba mencari posisi nyaman di dadanya.

Dengan gerakan malas, Max mengusap lengan telanjang Gabby. "Apa aku menyakitimu?" tanyanya.

Usapan telapak tangan Max di lengan Gabby membuatnya merasa nyaman. Namun pertanyaan Max membuat semburat merah menjalar di pipinya. Gabby hanya sanggup menggeleng tanpa menatap mata Max. Ia semakin menenggelamkan kepalanya pada dada Max yang berotot. Menghidu aroma maskulin Max yang bercampur dengan aroma percintaan panas mereka.

"Tatap aku, cintaku," ucap Max.

Dengan malu-malu, Gabby menatap mata Max yang memancarkan cinta padanya.

"Apa aku menyakitimu?" Max kembali bertanya.

Gabby menggeleng. "Tidak. Itu.. itu luar biasa. Oh, apakah kita harus membicarakannya?" Gabby bergumam saat mengendalikan aliran panas yang kembali merambati wajahnya.

Sekali lagi Max terkekeh. Bangga pada dirinya sendiri karena berhasil membuat Gabby merasakan kenikmatan yang juga dirasakannya, alih-alih memikirkan dan merasakan rasa sakitnya.

Mereka menikmati keheningan yang tercipta setelahnya. Berusaha mengembalikan napas mereka untuk kembali normal. Meskipun demikian, keduanya tidak pernah berhenti saling menyentuh. Max mengusap bagian tubuh Gabby yang bisa dijangkaunya dengan gerakan malas. Dan Gabby menelusuri dada berotot Max yang masih berkilat oleh keringat setelah aktivitas intim mereka.

Telunjuk Gabby membuat lingkaran-lingkaran kecil di dada Max. Membuat otot Max berkedut meresponnya. Kekehan senang Gabby disambut dengan geraman rendah Max.

"Jangan menggodaku, Manis."

Mengangkat kepalanya dari dada Max, Gabby menatap manik biru Max yang perlahan kembali menggelap. Seperti langit sebelum badai yang akan menggulung Gabby ke dalamnya.

Gabby tersenyum. Dengan berani mengecup cepat bibir Max yang sensual. Ia menyelipkan punggung tangan untuk menopang dagunya.

"Jika bercinta sangat menakjubkan, bagaimana kau bisa menahannya selama ini? Kau pernah mengatakan alasannya. Kau mengalihkan hasratmu dengan sesuatu yang berguna. Tetapi menekan hasrat yang membara terlihat sangat sulit setelah aku merasakannya sendiri," ujar Gabby.

Kekehan Max terdengar. Matanya memancarkan spekulasi sebelum memberikan jawabannya. Max mengembuskan napasnya setelah mengambil keputusan.

Manik mata Max berubah menjadi menggoda. "Aku tidak sesuci itu. Kau benar. Terkadang sangat sulit untuk menahan hasrat yang membara." Max sengaja menggantungkan penjelasannya.

Manik cokelat Gabby berbinar dengan penasaran. Dengan sabar menunggu kelanjutan dari penjelasan Max.

Max berguling menyamping. Lengan kanannya menjadi bantalan yang menopang kepala Gabby. Mata mereka bertatapan dengan intens. Dengan tangan kirinya yang bebas, Max mengambil segenggam rambut merah membara Gabby. Menimbang sejenak bobotnya, merasakan teksturnya yang lembut bagai satin dan menghidu aroma bunga bakung yang samar.

"Terkadang, pikiranku membuat wanita imajiner. Yang menemaniku dengan senyuman indah. Rambutnya merah membara. Wanita itu selalu mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku." Max melepas rambut Gabby dari genggamannya. Membuat rambut itu tersebar di lekuk manis pinggang Gabby. Kemudian Max membawa tangan Gabby yang bersandar pada dadanya untuk dikecup. "Saat aku memikirkan wanita imajiner itu, aku memuaskan diriku sendiri," ujar Max seraya membawa tangan Gabby pada bukti gairahnya.

Mata Gabby melebar ketika implikasi penjelasan Max merasuki otaknya. "Kau melakukannya sendiri?" tanya Gabby dengan takjub.

"Ya. Sentuh aku, Gabby," ucap Max dengan nada parau.

Dengan patuh, Gabby menyentuhnya. Terkejut ketika Max meresponnya. Membuat tangannya hampir terlepas jika Max tidak menahannya.

"Kau membayangkan wanita imajiner yang mirip denganku?" tanya Gabby. Tangannya mulai mengusap pelan dengan ragu. Merasakan diri Max yang lain.

Erangan rendah keluar dari tenggorokan Max. "Aku tidak tahu." Napas Max kembali terengah. Sentuhan Gabby yang polos dan ragu-ragu sangat membuatnya menderita. "Wanita imajinerku selalu muncul ketika aku mulai ragu dengan keputusanku untuk berselibat. Seakan dia ingin menawarkan sebuah ikatan yang lebih daripada kepuasan seksual," ujar Max dengan terbata-bata karena gairahnya yang memuncak.

Gerakan tangan Gabby semakin berani ketika intensitas geraman rendah Max semakin meningkat di bawah sentuhannya. Membuat Gabby bangga karena bisa menguasai Max. Gabby masih terpana dengan wanita imajiner yang diciptakan Max saat melalui malam-malam sepinyaㅡwanita yang mirip dengan dirinya. Hatinya membentuk kekaguman liar akan sosok Max.

"Cukup," geram Max. Dengan mudah, Max mengganti posisi miring berhadapan mereka dan membuat Gabby kembali telentang di bawah kekuasaan Max. Tangan mereka terpaut menjadi satu di sisi kepala Gabby.

"Aku ingin kau lepas kendali," bisik Gabby dengan sensual.

"Dan aku tidak ingin membuang benihku di tanganmu," balas Max.

Mereka kembali bercumbu rayu. Menikmati kebersamaan awal mereka sebagai pasangan hidup.

***

Ketukan tajam di pintu kamarnya yang terkunci membuat Max berusaha membuka kelopak matanya yang melekat bagaikan lem. Gabby menggeliat pelan di sisinya sebelum kembali pada pelukan sang mimpi.

Max terkekeh senang. Sadar bahwa dirinya yang membuat Gabby kelelahan setelah melakukannya berkali-kali semalam.

Intensitas ketukan di pintunya semakin sering dan keras. Membuat Max mengumpat lirih dan berusaha bangun untuk mengumpulkan kesadarannya. Dengan cepat, ia kembali memakai celananya.

"Ya Tuhan, aku akan menunggu kalian di ruang duduk bagian selatan!" ujar seseorang di luar kamarnya.

Max mengernyit. Mengenali suara tersebut sebagai suara Evelyn. Ia menyugar rambutnya dengan frustrasi. Mengapa adiknya bertamu sepagi ini?

Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk bersiap, Max berjalan santai menuju salah satu ruang duduk kediamannya. Ia membiarkan Gabby beristirahat dengan tidak membangunkannya.

Max melihat kedua adiknya sudah duduk di salah satu sofa. Jadi ia segera duduk di sofa yang tersisa.
"Ada apa?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Evelyn memutar bola mata sedangkan Juliet terkikik di sebelahnya.

"Di mana Gabby?" Evelyn balas bertanya.

Satu alis gelap terangkat. "Dia sedang beristirahat. Menurut pendapatku, masih terlalu pagi untuk melakukan kunjungan," ujar Max dengan sinis karena kedua adiknya mengganggu jam tidurnya.

"Tidak ada kata terlalu pagi untuk mengunjungi kakakku sendiri," ujar Juliet.

Dagu Evelyn terangkat. "Pendapat bagus, Juliet."

Desahan pasrah keluar dari bibir Max. Ia tidak pernah memenangkan adu pendapat jika lawannya adalah kedua adiknya. "Baiklah, kalian benar. Jadi, ada perlu apa?"

"Satu minggu lagi pesta dansa Duke dan Duchess Richmond. Kami yakin kau sudah menerima undangannya dan belum membalas undangan tersebut," Evelyn berujar dengan nada menuduh samar dalam suaranya.

"Jawablah dengan kesediaan kalian, " sambung Juliet.

"Biarkan mereka melihat kebenarannya setelah pernikahan tiba-tiba kalian menjadi gosip terpanas di kalangan ton. Aku yakin Gabby tidak ingin selamanya dijauhi. Dia harus berbaur dan diterima di masyarakat. Itu nasihat Mama, omong-omong," tutup Evelyn.

Max menghela napas kasar. "Baiklah. Aku akan mengirimkan jawaban kesediaanku," ujar Max setelah menyadari kebenaran kata-kata tersebut. Ia ingin Gabby diterima di kalangan ton.

***

Mereka menunggu giliran untuk diumumkan kedatangannya. Semakin sedikit antrian di depannya, Gabby semakin gugup. Ia menyadari jika keputusannya menikah dengan terburu-buru hanya berselang dua minggu setelah perkenalannya menimbulkan kegemparan di kalangan ton.

Spekulasi-spekulasi negatif menyebar seperti virus penyakit mematikan. Oh, Gabby mendengar beberapa di antaranya. Seperti Gabby merayu Max untuk naik ke atas ranjangnya. Atau yang paling tidak masuk akal, Gabby sudah tercemar karena mengandung anak haram dan sang duchess memaksa Max untuk menikahinya.

Ia tidak heran jika spekulasi buruk ditujukan padanya. Gabby berasal dari Amerika. Ia pewaris. Dan setiap pewaris menjual kekayaannya untuk menggaet suami bangsawan.

Setelah menghindari acara sosial selama satu minggu setelah pernikahannya, suaminya memutuskan bahwa pada akhirnya, spekulasi tersebut harus dimusnahkan. Suaminya. Gabby tersenyum dan secara naluriah mengeratkan tautan lengan mereka.

Usapan ringan di sepanjang lengannya yang tertutup sarung tangan satin membuatnya menengadah untuk menatap manik Max yang memesona.

"Kau gugup?" tanya Max dengan nada penuh pengertian.

"Sedikit," jawab Gabby dengan kejujuran.

Mereka maju beberapa langkah ketika tamu berikutnya diumumkan.

"Tidak perlu takut. Aku bersamamu."

Inilah yang Gabby cintai dari Max. Kasih sayang Max terasa nyata. Menembus hatinya yang kebingungan kala itu. Gabby berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu membahagiakan Max. Ia tidak ingin hanya menerima.

Senyuman terbit di bibir Gabby. "Max, saat aku melihatmu di pesta pertunangan kakak sepupumu, aku merasakan telah menemukan sesuatu. Seakan aku telah menyempurnakan hidupku," bisik Gabby.

Senyum Gabby menular pada Max. "Aku juga merasakan hal yang sama. Saat melihat rambut merahmu kala itu, wanita imajiner yang aku ciptakan seperti berbisik bahwa aku sudah menemukannya."

"Bagaimana bisa?" tanya Gabby seraya menatap Max dengan perasaan yang mendalam.

"Karena, cintaku, hati kita saling memanggil," ujar Max.

Senyuman Gabby semakin lebar. Max menundukkan kepalanya dan mengecup ringan pelipis Gabby.

"Earl dan Countess of Westcliffe!"

Mereka berdua terperanjat ketika nama mereka diumumkan. Max segera menjauh dari tubuh Gabby.

Tetapi terlambat. Para tamu undangan telah melihat kemesraan mereka berdua. Bagaimana mereka saling menatap dengan tatapan yang tidak dimiliki sebagian kaum aristokrat terhadap pasangannya.

Dari cara mereka berinteraksi setelahnyaㅡ bagaimana Lord Westcliffe begitu menjaga Lady Westcliffeㅡmembuat para ton menyadari satu hal. Pernikahan itu terjadi karena keduanya saling mencintai. Seperti yang terjadi pada anak dan cucu mendiang Duke of Moreland ke-7.

***

Fin

Aw. Tadinya mau tatapan. Tapi aku teringat dengan Everything and the Moon. Jadilah sebuah ciuman singkat. Hehehe

Ini benar-benar yang terakhir.

Regards

DSelviyana
300517

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top