Enchanting 5
Ada yang menunggu Max?
Happy Reading, Gals 😘
***
Pipinya merona merah karena kegiatannya. Musim dingin tidak memengaruhi semangatnya yang sempat turun karena jauh dari tanah kelahirannya dan pria yang dicintainya.
Gabby berpisah dengan Max di pintu masuk tempat mereka berjanji untuk bertemu. Sepatu luncurnya sudah ia kembalikan pada Max.
Senyum tersungging di bibirnya. Ia baru mengetahui bahwa meluncur adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Saat mereka tinggal di New York, Gabby tidak memiliki kesempatan untuk mencoba olahraga ini. Ia hanya menghabiskan harinya di rumah. Sangat membosankan mengingat dirinya sangat menyukai kegiatan di luar rumah.
Bibirnya masih tidak bisa berhenti tersenyum. Jantungnya belum kembali dalam detakan normal. Hatinya diselimuti perasaan bahagia. Seperti seseorang yang menikmati keindahan berbagai bunga yang mekar pada musim semi.
Gabby meluncur tanpa beban. Meski ia selalu terjatuh ketika Max melepaskan pegangannya. Hal itu tidak membuat Gabby takut dan berhenti. Ia terus berusaha menyeimbangkan tubuhnya di atas es yang licin. Dan ketika akhirnya ia bisa, Gabby terus berputar-putar di atas danau yang membeku.
Masih dengan senyum yang menampilkan satu lesung pipinya, Gabby mengendap-endap menuju kamarnya. Matanya tidak berhenti untuk melihat ke segala arah. Ia tidak ingin siapa pun memergoki dirinya yang berkeliaran dan mengetahui kebohongannya. Juga kebohongan Emma jika ia terlihat baik-baik saja. Ia sangat bersyukur karena kediaman sang duke dilapisi karpet tebal di setiap lorong-lorongnya. Membantu langkah Gabby untuk tidak menimbulkan banyak suara tanpa perlu berjingkat
Emma awalnya menyarankan jika mereka terkena radang dingin. Namun usul itu Gabby tolak karena ia adalah orang yang kuat. Emma juga menyarankan jika mereka harus berpura-pura pingsan, tapi saran itu akan membawa dokter ke kediaman ini dan memeriksa mereka yang sebenarnya tidak apa-apa. Juga akan menghancurkan rencana Gabby untuk menyelinap diam-diam. Lagipula, Gabby bukan wanita yang mudah pingsan. Akan sulit baginya meskipun itu hanya kepura-puraan.
Gabby tiba di kamarnya dengan selamat. Tidak ada yang melihatnya. Dan ia bersyukur atas hal tersebut. Dengan perlahan, ia membuka pintu kamarnya yang diminyaki sehingga tidak akan menimbulkan suara. Ia melongok ke dalam kamar sebelum memasukinya ketika ia hanya melihat Emma yang bergelung di atas tempat tidurnya.
Gabby menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Membuat suara berderit yang sangat halus namun berhasil membangunkan Emma yang masih bergelung. Senyuman manis Emma menyambutnya.
"Apakah menyenangkan?" Emma bertanya.
Gabby bangkit dan memandang Emma dengan tatapan tidak mengerti. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Kau baru saja melakukan kenakalan. Karena kau tidak segan untuk menjadikan sakit sebagai alasan untuk tidak terlihat." Senyum Emma berubah menjadi seringai. "Jadi? Apa yang telah kau lakukan? Apakah itu menyenangkan?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Kau harus tahu bahwa ibuku juga orang Amerika. Mama tidak hanya duduk tegak di ruang duduknya untuk menghabiskan waktu. Aku yakin Mama mengetahui siasat kita. Mama tidak berkata apa-apa karena ia tidak ingin mengekang jiwa kita yang bebas," Emma menjelaskan kemudian mengedipkan matanya dengan menggemaskan.
Pipi Gabby merona. Ia menggerakkan tangannya menyapu udara. "Jadi semua ini percuma? Bibi Laura mengetahui semuanya?"
Emma tertawa senang seraya menganggukkan kepala. "Tentu saja."
"Lalu mengapa kau berpura-pura sakit jika ibumu tahu kebohonganmu?" tanya Gabby. Rona merah masih menghiasi pipi putihnya.
Emma mengangkat bahunya. "Aku hanya ingin menghindari seseorang yang menjengkelkan." Emma mengerutkan hidungnya. Terlihat benar-benar kesal. "Jadi, apa yang kau lakukan?"
Gabby tidak bisa menghindar lagi bukan?
"Aku meluncur," ujar Gabby dengan singkat.
"Dan?" pancing Emma.
Pipinya kembali merona. Entah bagaimana, bibirnya menampilkan senyum malu. "Dengan Lord Westcliffe," ujar Gabby dengan sangat pelan.
Meskipun pelan, sepertinya Emma mendengarnya. Karena sepupu jauhnya itu langsung terlonjak bangun dan langsung menghampiri Gabby.
"Lord Westcliffe!" serunya tidak percaya. "Ceritakan padaku, bagaimana kau bisa pergi bersamanya. Bersama seorang lord yang bertahun-tahun ini selalu dingin terhadap wanita-wanita yang mendekatinya."
Pertanyaan terus mengalir dari Emma. Membuat Gabby harus kembali mengingat kegiatan yang membuat jantungnya berdebar keras. Tentu saja, dengan menghilangkan fakta mengenai ciuman manis yang memabukkan dari seorang tampan. Dan perasaannya sendiri yang selalu bergetar jika bersamanya.
***
Gabby tidak langsung kembali ke kamar setelah makan malam yang mendebarkan. Ia tidak bisa melepas pandangannya dari Max. Gabby sendiri tidak tahu alasannya. Ia hanya merasa, jika dirinya memalingkan pandangannya Max akan pergi. Sungguh perasaan yang aneh.
Ia berjalan melewati kamarnya dan menuju kamar orang tuanya yang hanya selisih beberapa kamar darinya. Gabby membuka kamar tersebut tanpa mengetuk pintunya.
Bukan bermaksud tidak sopan. Namun sepertinya kedua orang tuanya sedang berdebat mengenai sesuatu. Hal yang jarang terjadi meskipun ibunya orang yang sangat suka mengomel.
Samar-samar, ia mendengar suara ayahnya yang ditekan agar tidak terdengar hingga ke lorong.
"Gillian! Apa kau tidak merasa jika ini berlebihan? Gabby berhak tahu keadaan Benjamin. Mengapa kau menahan surat-suratnya? Dan membukanya tanpa seizin Gabby?" tekan ayahnya.
Gabby mematung di tempatnya berdiri. Ia baru saja menutup pintu di belakangnya. Dan perkataan ayahnya sungguh seperti sebuah pukulan. Jadi selama ini surat balasan Ben ada pada ibunya?
Tangannya terkepal erat. Buku jarinya menancap pada kulit telapak tangannya yang lembut. Menciptakan rasa perih di sana. Tapi tidak seperih hatinya yang tercabik. Dan dadanya yang sesak. Seperti ditimpa benda yang sangat berat.
Gabby tidak percaya jika ibunya begitu berambisi untuk mendapatkan suami bergelar bangsawan untuknya. Tidak percaya dengan ambisi ibunya sehingga berani bertindak sejauh itu padanya.
Matanya memanas. Siap mengeluarkan air mata karena berbagai emosi yang dirasakannya. Marah, kecewa, dan tidak percaya. Ini terlalu berlebihan untuknya.
"Aku harus menahan suratnya atau Gabby akan bersikeras untuk kembali ke Texas tanpa mendapatkan suami bangsawan!" geram Gillian.
"Tapi tidak dengan menahan surat-suratnya! Ya Tuhan, apa kau tahu bagaimana resahnya Gabby saat Ben tidak menjawab surat-suratnya!" Harrison balas berteriak.
"Apa benar begitu, Mama?" Gabby bertanya dengan suara tercekat.
"Gabby!" Kedua orang tuanya menoleh ke tempatnya berdiri dan berseru bersamaan.
"Di mana surat-surat Ben, Mama? Di mana kau sembunyikan semuanya?" Gabby berusaha agar tidak meninggikan suaranya. Membuat suaranya bergetar hebat.
"Gabbyㅡ"
"Tidak, Mama." Gabby merentangkan lengannya ke depan. Ia belum siap jika ibunya mendekatinya. Kepalanya menggeleng samar. "Mengapa?" Gabby bertanya dengan pelan.
Ibunya kembali mencoba mendekatinya. Tetapi Gabby kembali menggeleng samar.
"Mengapa kau melakukan itu?" ia kembali bertanya.
"Gabby." Gillian benar-benar menyesal. Ia tidak bermaksud menyakiti putrinya. Cara yang ia lakukan salah sehingga Gabby pasti kecewa padanya.
"Jawab pertanyaanku, Mama."
Gillian berjengit. Harrison menghela napasnya mendengar nada suara Gabby yang sangat menunjukkan kekecewaannya.
"Ben bukan pria terbaik untukmu, Gabby," Gillian akhirnya berujar dengan lemah.
Kali ini gelengan kepala Gabby semakin keras. "Kau salah, Mama. Ben adalah pria yang terbaik untukku. Dan aku sangat mencintainya."
Gillian sudah membuka mulutnya untuk menjawab. Namun Harrison menyelanya.
"Selama ini ayah berdiam diri saat kau dekat dengan Benjamin. Tetapi ibumu benar, Sayang. Ben bukan pria baik. Dan kau juga tidak mencintainya. Yang kau rasakan padanya hanya perasaan sayang terhadap saudara, Nak. Karena kau anak satu-satunya kami dan hanya Ben yang usianya tidak terpaut jauh darimu," jelas Harrison.
Gabby menggeleng keras. "Tidak, Papa. Aku tidak menganggap Ben sebagai saudaraku. Aku mencintainya," ujar Gabby dengan keras kepala.
Ayahnya tersenyum dengan menenangkan. Berjalan mendekati Gabby yang masih berdiri di dekat pintu.
Kali ini Gabby tidak menghentikan ayahnya yang ingin mendekat. Gabby membiarkannya. Ia juga tidak melepaskan diri ketika sang ayah merengkuhnya sejenak kemudian menuntunnya untuk menuju kursi di dekat perapian.
Gabby duduk dengan lemas. Tubuhnya bergetar hebat karena kelembutan ayahnya. Akhirnya, air mata mulai mengalir di pipinya yang halus. Ia terisak pelan.
"Aku mencintai Ben, Papa," ujar Gabby berulang-ulang. Seakan meyakinkan dirinya sendiri jika itu memang perasaannya yang sebenarnya.
"Gillian, ambil surat-suratnya. Dan berikan pada Gabby. Biarkan Gabby tahu apa yang ditulis Ben sebagai balasan surat-suratnya," Harrison berujar seraya menatap istrinya yang masih mematung di dekat tempat tidur.
"Gillian," ia memanggil istrinya yang masih diam. Menaikkan sedikit nada suaranya.
Gillian tersentak. "Ya. Ya, aku akan mengambilnya." Ia bergegas menuju untuk mengambil kotak kayu yang ia simpan di lemari. Gillian memberikan kotak tersebut kepada anak gadisnya yang masih terisak.
Gabby membukanya dengan tergesa. Ia menatap surat-surat dengan segel lilin yang terlepas. Tanda bahwa surat tersebut telah dibaca.
Ia meraih semuanya. Ada tiga surat yang dikirimkan Ben sebagai balasan dari suratnya. Gabby mulai membaca surat dua bulan yang lalu.
Ia kembali terisak. Ben menceritakan perubahan yang terjadi di perkebunan ayahnya. Juga betapa kesepian dirinya tanpa kehadiran Gabby di sana.
Surat kedua bertanggal dua minggu setelahnya. Ben menulis ambisinya untuk memiliki sebuah peternakan sendiri dan pergi dari perkebunan ayahnya. Hal tersebut membuat Gabby semakin terisak. Mengapa Ben tidak menyertakan Gabby dalam ambisinya? Tidak ada kalimat yang menunjukkan bahwa Ben akan membawa serta Gabby untuk meraih impiannya.
Pada surat ketiga Ben menulis sesuatu yang membuatnya semakin terisak hebat. Ben menjelaskan bahwa surat tersebut akan menjadi surat terakhirnya karena Ben akan mencari hewan ternak yang bebas dan belum ditandai. Ia akan memulai semuanya tanpa Gabby. Ben juga menulis permohonan maafnya karena ia tidak bisa mencintai Gabby. Ben hanya menganggapnya sebagai teman.
Gabby semakin terisak keras. Membuat ibunya berlutut di hadapannya dan menggenggam erat tangan Gabby.
"Maafkan aku, Nak. Aku memilih cara yang salah untuk melindungimu," ucap Gillian. Air matanya ikut menetes menuruni pipinya.
"Ke mana Ben?" tanya Gabby.
Harrison berdiri dan menghela napas panjang. Sejujurnya, ia juga tidak terlalu menyukai Ben. Tidak seperti istrinya yang menunjukkan ketidaksukaannya secara gamblang, Harrison lebih memilih untuk diam dan membiarkan Gabby untuk menyadari dengan sendirinya. Namun ternyata putrinya sangat keras kepala seperti istrinya. Menganggap perhatian Ben sebagai suatu perasaan halus padahal hatinya tidak berkata demikian.
"Dua minggu yang lalu aku mendapatkan surat balasan dari manajer perkebunan. Dia menjelaskan mengenai kondisi terakhir perkebunan. Dia juga menulis tentang Ben." Harrison berhenti sejenak dan menatap Gabby dengan pandangan pengertian seorang ayah. "Ben tertangkap karena mencuri hewan ternak yang telah ditandai. Bukan hanya satu. Tetapi lima hewan ternak."
Gabby tiba-tiba berdiri dan menggeleng keras. "Tidak! Itu tidak mungkin Ben."
"Ayahmu tidak berbohong. Aku juga membaca suratnya," ujar Gillian setelah sekian lama diam karena melihat perasaan yang berkecamuk pada anak tersayangnya.
Lagi-lagi Gabby menggeleng. "Tidak!" serunya.
"Aku telah menilai Ben sebagai pria bajingan dari awal ayahmu mempekerjakannya. Dia selalu mabuk-mabukan dan tidur dengan banyak gadis bar. Aku tidak melarangmu untuk berteman dengannya. Tapi sepertinya kau belum bisa memahami perasaanmu sendiri terhadap Ben. Ayahmu benar, Gabby. Kau hanya menganggap Ben sebagai saudara yang tidak kau miliki.
Karena itu aku membawamu ke Inggris. Bukan karena aku ingin membuktikan bahwa orang kaya baru juga bagian dari warga elit New York. Bukan untuk membuktikan bahwa kita bisa mendapatkan seorang bangsawan sebagai suamimu. Meskipun terpaksa, kalangan aristokrat Inggris telah membuka pintu rumah mereka untuk kaum pekerja seperti keluarga kita. Dan aku menginginkan dirimu untuk mendapatkan banyak teman di sini. Belajar untuk menilai seseorang. Membedakan penjilat yang mengagung-agungkan kita namun menjelekkan di belakang kita dan orang yang tulus menyambut kita.
Kau belum bisa menilai kesungguhan Ben padamu, Sayang. Kau memutuskan jika Ben orang baik dan kau mencintainya karena kau kesepian," jelas Gillian dengan sabar. Berharap putrinya benar-benar menyadarinya.
"Tidak! Kalian salah! Aku mencintai Ben dan dia adalah pria baik dan bertanggung jawab," katanya dengan keras kepala.
Dengan perlahan, ia berbalik dan berlari meninggalkan kamar orang tuanya.
"Gabby!"
"Tidak apa-apa, Gillian. Biarkan putri kita menenangkan diri setelah kebenaran yang tidak dipercayainya terungkap." Harrison menahan lengan istrinya yang hendak mengejar Gabby.
"Aku takut dia keluar estat, Harry. Salju sedang turun," ujar Gillian dengan nada khawatir.
"Jika penilaianku benar, Gabby akan aman bersamanya."
"Bersamanya? Siapa yang kau maksud?" tanya Gillian tidak mengerti.
"Lord Westcliffe," ucap Harrison dengan mantap.
Mata Gillian membelalak. "Tapi itu akan memicu skandal," serunya dengan nada tidak percaya.
Harrison menggeleng. "Tidak akan ada seorang pun yang akan melihatnya. Penghuni estat akan berdiam diri di kamar masing-masing setelah makan malam dan salju yang turun."
"Tapi bagaimana jika Lord Westcliffe mengambil keuntungan dari putri kita?" tanya Gillian dengan keras kepala.
Harrison terkekeh pelan. "Putri kita akan baik-baik saja, Gillian. Lord Westcliffe tidak akan mengambil keuntungan dari putri kita meskipun otaknya menyuruhnya demikian. Namun hatinya akan menolak dengan keras karena dia adalah seorang gentlemen sejati."
***
Gabby berlari seperti takut api akan menjilat kakinya jika ia tidak segera melarikan diri. Air matanya masih mengalir menuruni pipinya.
Ia masih tidak percaya dengan penjelasan orang tuanya. Tidak dengan alasan mengenai kepergian mereka dari Texas ke Inggris. Tidak pula dengan penjelasan mengenai perangai buruk Ben dan perasaan Gabby yang sebenarnya terhadap Ben.
Gabby terus berlari. Mengandalkan ingatannya untuk menuju sebuah kamar. Dan ia terus berdoa agar ingatannya tepat.
Napasnya berkejaran ketika ia berdiri berhadapan dengan sebuah pintu. Gabby mengetuknya dengan keras. Berharap seseorang membukanya dengan segera.
Pintu terbuka. Menebarkan aroma maskulin yang sangat dikenalnya. Tanpa melihat wajah seseorang yang telah membukakan pintu, Gabby menghambur ke dalam pelukan hangatnya. Pelukan yang memberinya rasa nyaman dan aman. Seakan memerintahkannya agar tidak pernah pergi dari pelukan tersebut.
"Gabby, apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?" pria itu bertanya padanya.
Gabby mendongak dan menatap mata pria itu. "Tolong aku, Max," mohonnya dengan air mata yang kembali mengalir di pipinya.
"Tidak apa-apa." Dengan lembut, Max mengusap air matanya. "Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Bawa aku kembali ke Texas, Max. Aku ingin kembali ke Texas," ujar Gabby.
Max menatap matanya dengan pandangan tidak mengerti. "Mengapa kau ingin kembali ke Texas?" tanya Max dengan lembut.
Gabby menggeleng. "Aku ingin menemui seseorang yang penting untukku. Aku ingin bertemu dengannya." Ia kembali terisak.
Ya Tuhan. Gabby tidak tahu bagaimana rupa wajahnya saat ini. Ia sudah mngeluarkan banyak air mata. Gabby yakin jika pipinya pasti memerah. Menambah keanehan pada rambutnya yang merah.
Tapi Max tidak berkata apa-apa mengenai penampilannya yang sangat berantakan. Pria itu dengan lembut menuntunnya untuk duduk di sofa depan perapian. Sama seperti yang ayahnya lakukan padanya.
"Aku tidak mengerti alasanmu mengapa kau ingin kembali ke Texas. Jadi, bisakah kau jelaskan padaku? Aku mohon berhentilah menangis, Gabby. Aku tidak bisa jika melihatmu bersedih."
Gabby menatapnya. Kata-kata Max sungguh membuatnya ragu untuk bercerita. Tidak ingin jika Max menjauhinya setelah ini.
Sepertinya Max mengerti kekhawatiran yang menyerangnya. Senyum tipis yang melembutkan mata tajam Max muncul. Membuat jantung Gabby satu detak lebih cepat.
"Di Texas. Aku memiliki seseorang yang kucintai." Gabby berhenti dan menatap Max yang berusaha keras agar tidak menunjukkan air muka yang menunjukkan perasaannya. "Dia Ben. Salah satu pekerja perkebunan ayahku. Aku mengenalnya saat umurku tiga belas tahun. Dia satu-satunya yang mendekati umurku. Karena itu aku sangat dekat dengannya. Aku merasa kalau aku mencintainya," jelas Gabby dengan isakan pelan yang masih tersisa.
Max masih diam. Mencerna semua pengakuan Gabby mengenai kisah cintanya. Dadanya sesak karena bukan dirinya yang Gabby cintai. Bukan dirinya melainkan pria lain yang sudah bersamanya sejak mereka masih anak-anak.
"Lalu ibuku meminta ayah untuk pergi ke Inggris setelah sebelumnya warga New York tidak menerima kami karena kami hanyalah orang kaya baru. Ibuku berkata jika aku harus menemukan suami dari kalangan aristokrat agar keluargaku tidak lagi dikucilkan. Aku menolak dan meminta Ben untuk membawaku pergi. Hidup berdua sebagai suami istri yang bahagia. Tapi Ben menolak saat ia berbincang dengan kedua orang tauku.
Setelah itu aku ada di negeri ini. Mempelajari tata krama dan segala hal mengenai kalian. Saat itu kami masih berkorespondensi hingga dua bulan yang lalu. Dan aku baru mengetahui jika surat balasan Ben disimpan dan dibaca oleh ibuku," Gabby menjelaskan dengan terbata-bata karena isakan kecilnya.
"Kau tahu isi suratnya dan orang tuamu menjelaskan alasan mereka menyembunyikan surat itu darimu. Itukah alasan kau ingin kembali ke Texas?"
Gabby mengangguk. Kecerdasan Max dalam berpikir cepat selalu membuatnya tercengang. "Mereka menjelaskan alasan sebenarnya mengapa mereka membawaku ke Inggris. Mengenai penilaian mereka tentang Ben. Juga perasaanku yang sebenarnya. Mereka mengatakan jika Ben bukanlah pria baik. Dan perasaanku padanya hanyalah perasaan yang aku rasakan untuk saudara. Bukan perasaan mendalam dan cinta terhadap lawan jenis.
Aku tidak memercayainya. Aku.. perasaanku padanya pasti perasaan cinta. Dan Ben adalah pria baik yang memiliki banyak impian. Juga ambisi. Tetapi ayahku mengatakan jika Ben.. Ben mencuri ternak yang sudah ditandai. Karena itu aku ingin kembali ke Texas untuk memastikan semuanya. Sifat Ben. Dan perasaanku padanya." ungkapnya.
"Aku tidak melarangmu jika kau memastikan semuanya. Tetapi aku tidak bisa membantumu ke Texas saat ini. Tidak hingga musim semi. Berlayar pada musim salju sangat berisiko," ujar Max.
"Tapiㅡ"
"Manis, dengar. Kau bisa memastikannya saat ini. Mengenai perasaanmu padanya," ujar Max seraya mengakup lembut pipi Gabby.
"Bagaimana?" tanya Gabby.
Max mendekatkan wajahnya pada Gabby dan mengecup cepat bibirnya sebelum menjauhkan kembali kepalanya.
Mata Gabby terbelalak. Isakannya berhenti dan pipinya semakin merona. Jantungnya berdebar dengan keras.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Max.
"Aku.. jantungku berdebar keras," ujar Gabby dengan pelan.
"Apa kau pernah mendapatkan ciuman dsri pria itu?"
Gabby mengangguk di dalam kehangatan tangan besar Max yang tidak bersarung tangan. Ia semakin merona ketika menyadarinya.
"Apa yang kau rasakan?"
Gabby menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," ucapnya dengan jujur.
Max mengangguk. Melepaskan tangannya pada pipi Gabby hanya untuk membawa gadis itu ke dalam dekapannya.
"Jantungmu berdebar dengan keras. Bersahutan dengan jantungku. Apa kau bisa merasakannya?"
"Ya," ucap Gabby.
"Ketika kau merasakan pelukan pria itu, apa kau merasakan apa yang kau rasakan saat ini? Saat aku memelukmu seperti ini?"
Gabby menggeleng. Membuat kepalanya menggesek kemeja katun Max yang halus.
"Aku yakin kau merasa aman di dalam dekapanku. Juga merasakan kenyaman. Kau tidak ingin melepas pelukanku. Apa aku benar?"
Gabby hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia terlalu malu untuk mengungkapkannya.
"Saat kau bersamanya, apakah kau merasakan waktu terasa sangat singkat padahal kau masih ingin terus bersamanya?"
Lagi-lagi Gabby menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Max untuk memahami perasaannya sendiri.
"Apakah kau merasakan hal itu bersamaku saat kita berdansa waltz dan meluncur?"
"Ya." Gabby membuka suara. Ia benar-benar merasakan waktu berlalu dengan sangat cepat ketika ia bersama Max. Ia merasa tidak cukup dan ingin menambah waktu yang ada. Dengan Ben, ia tidak mempermasalahkan waktu yang berlalu.
"Apakah kau sudah bisa memahami perasanmu sesungguhnya?" tanya Max dengan hati-hati. Ia berharap Gabby menyadarinya. Hatinya akan mati jika Gabby masih bersikeras mengira dirinya jatuh cinta pada pria di Texas. Max benar-benar tidak bisa menyebut namanya.
"Akuㅡ"
***
TBC
😂😂😂😂
Ya ampun. Percakapan Max sama Gabby benar-benar melenceng dari draft awal. Wkwkwkwk
Enjoy the story. Give me ur vote n comment.
Regards
DSelviyana
100517
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top