Enchanting 3

Waktu aku nulis Seb, Jordan dianak tirikan. Sekarang gantian anaknya Seb yang ku anak tirikan karena Jordan 😅

Happy Reading 😉

***

Rasa tidak nyaman menyelimuti Gabby ketika ia baru saja tiba di aula dansa. Oh bukan karena acaranya. Acaranya sungguh indah. Ia hanya tidak nyaman karena setidaknya selalu ada lima gentlemen yang mengerubunginya seakan ia adalah makanan untuk serangga.

Ya Tuhan. Ia tidak ingin menarik perhatian. Tapi mengapa para gentlemen ini berlomba mengajaknya berdansa untuk dansa yang sama? Tentu saja Gabby tidak bisa menerima ajakan dansa tersebut. Karena masih ada lady lain yang belum mendapatkan pasangan dansa. Lagipula ia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri karena selalu menginjak kaki pasangan dansanya.

Rasa tidak nyaman itu semakin kental ketika salah satu kerabat sang tuan rumah, Mr. Michael Lawlerㅡyang menurut Emma adalah bajingan paling diincarㅡterus menempel pada dirinya seperti lintah. Membuat Gabby ingin sekali mendorongnya hingga terjengkang. Ia yakin sentuhan-sentuhan 'tidak disengaja' yang dilakukan Mr. Lawler adalah bagian dari rayuannya.

Gabby hampir memutar maniknya ke atas ketika para gentlemen tersebut tidak ingin melepaskannya. Menghalangi pandangan Gabby untuk melihat ke depan. Mereka terus berusaha menciptakan percakapan remeh seperti kegemaran mereka bertaruh di pacuan kuda atau hal remeh lainnya yang dilakukan oleh seorang gentlemen. Well, tentu saja Mr. Lawler adalah pengecualian. Pria muda tersebut lebih memilih untuk menyentuh rambutnya, leher belakangnya, juga memasukkan lengan Gabby ke dalam lekukan lengan pria itu.

Gabby mengeluarkan suara geraman rendah dari tenggorokannya. Matanya memelototi Mr. Lawler yang ada di sisi kanannya. Namun, bangsawan itu hanya mengangkat alis untuk kemudian terkekeh dengan pelan. Demi Tuhan!

Gabby menggeser tubuhnya ke kiri. Dan tiba-tiba empat gentlemen di depannya terbelah. Mengekspos keberadaan Gabby dan memberinya jalan untuk keluar. Tentu saja, Mr. Lawler masih bergeming di tempatnya.

Otak Gabby menyuruhnya untuk mengambil langkah pergi dari kerumunan ini. Tapi matanya menangkap sesuatu yang sangat tajam. Sesuatu yang membuatnya terpaku di tempatnya. Sesuatu yang mungkin menusuk setiap punggung gentlemen yang mengerubunginya sehingga pria-pria itu membelah dan memberikan jalan.

Tubuhnya gemetar ketika mata biru tajam yang mengingatkannya pada langit Texas saat musim panas terus menatapnya dengan intens. Gabby menelan ludah. Sesuatu yang menggelitik dan bermula dari kakinya semakin menjalar ke atas, berakhir di payudaranya yang tertekan korset. Napas Gabby dicuri dari paru-parunya.

Mata biru itu terus menatapnya dengan tajam dan dalam. Menarik Gabby ke dalam pusaran arus yang begitu deras. Menenggelamkan jiwanya hingga ke dasar. Pria pemilik mata tersebut berjalan mendekatinya. Membuat jantung Gabby terus berdebar dengan kencang.

Gabby tidak memedulikan para gentlemen yang entah mengapa pergi dari sisinya. Hanya menyisakan Mr. Lawler di sebelah kanannya.

Saat pria itu tiba di hadapannya dengan cepat karena langkahnya yang lebar, mata mereka masih saling bertatapan. Masing-masing enggan untuk mengakhiri momen tersebut.

"Myㅡ"

Gabby tercekik ketika mendengar suaranya. Suara yang dalam dan berat. Juga sedikit serak. Ia tidak bisa mencegah tubuhnya untuk bergidik.

"Miss Edgerton," sela Mr. Lawler dengan keras.

Kontak mata itu terputus karena pria itu mengalihkan tatapannya pada Mr. Lawler. Matanya menyipit. Mempertajam tatapannya yang bisa membuat siapa pun gemetar dan lari. Tapi Mr. Lawler menghadapinya dengan santai. Bahkan menunjukkan seringai tidak pedulinya.

"Dengar, Michael! Perbuatanmu terhadap Miss Edgerton sangat tidak sopan. Apa kau tidak menghormati wanita?" ujarnya dengan nada menggurui.

Mr. Lawler memutar bola matanya ke atas. "Ya Tuhan, aku hanya ingin merayunya, Max. Dan kau bersikap seolah-olah aku menidurinya dengan paksa," sanggah Michael tenang.

Max menggeram karena jawaban tersebut.

Gabby terkesiap. Bukan karena perkataan Mr. Lawler mengenai topik vulgar yang ia ingat tidak boleh diucapkan di depan seorang lady. Well, pria playboy itu tidak salah. Gabby bukanlah seorang lady. Ia hanyalah putri dari seorang petani kapas. Jadi kesopanan remeh seperti itu tidak akan membuatnya syok meskipun diucapkan di hadapannya.

Ya Tuhan. Lupakan Mr. Lawler.  Pandangannya tidak bisa beralih dari sosok tinggi di hadapannya. Tatapannya jatuh pada bahu lebar sang lord. Gabby yakin bahu tersebut tidak disumpal dengan busa. Emma memberinya informasi bahwa banyak pria pesolek yang menambahkan busa pada bahunya agar terlihat lebih tegap dan lebar. Tapi bahu lebar itu menarik Gabby untuk bersandar.

"Pergilah, Michael!" hardik Max.

Hardikan tersebut sekali lagi membuat Gabby tersentak dan kembali tersadar dari lamunannya. Ia menolehkan kepalanya ke kanan. Melihat Mr. Lawler mengangkat alis seraya menimbang perintah pria di hadapan Gabby. Lalu yang Gabby tidak mengerti adalah Mr. Lawler menyeringai dengan lebar.

"Wow!" Mr. Lawler maju berhadapan dengan pria itu dan menepuk bahunya dengan keras. "Jadi akhirnya kehidupanmu sebagai Santo telah berakhir?" ujarnya. Ia berbalik menatap Gabby dan mengedipkan sebelah matanya.

"Semoga berhasil mencairkan gunung es di hadapanmu, Sayang," ujarnya pada Gabby.

Ia masih diliputi perasaan bingung dengan pernyataan Mr. Lawler ketika dehaman berat lagi-lagi membuatnya tersentak.

"Missㅡ"

"Gabriella Edgerton," ucapnya dengan cepat. Lalu, rasa panas menjalari wajahnya. Membuat semburat merah terlihat di pipinya. Semburat itu menjalar ke telinganya ketika Gabby melihat pria itu tersenyum kecil. Senyum kecil yang merubah tatapan tajam pria itu menjadi lebih lembut.

"Berikan aku kehormatan untuk berkenalan denganmu, Miss Edgerton," ujar Max seraya mengulurkan lengan kanannya.

"Kita belum berkenalan?" tanya Gabby dengan bodoh. Karena terlalu terpesona dengan semua hal mengenai pria di hadapannya. Melupakan siapa saja yang telah diperkenalkan padanya.

Max menggeleng pelan dan kembali mengulas senyum kecilnya. "Bolehkah?" Ia kembali bertanya.

Gabby menyambut uluran tangan tersebut dan merasakan desiran aneh di dadanya. Seakan memberitahu bahwa di sinilah tempatnya. Dalam pelukan pria ini.

***

Jantung Max berdegup dengan kencang. Otaknya yang biasa berpikir cepat entah mengapa saat ini terasa lamban. Ia mungkin tidak bisa berpikir sama sekali. Sepertinya otaknya berpindah pada bagian bawah tubuhnya yang terus berdenyut. Nafsunya seakan ingin mengambi alih. Ia ingin membawa gadis ini ke ranjangnya dan bercinta dengan liar.

Jadi untuk menguatkan pertahanan dirinya, Max lebih banyak berdiam diri. Ia juga sangat marah pada sepupunya. Karena saat kerumunan pria-pria itu terbelah, Max melihat sepupunya menyentuh ringan tubuh gadis di sampingnya. Ia menyemburkan kalimat-kalimat sinisnya kepada sepupunya yang terang-terangan merayu Miss Gabriella Edgerton.

Dan saat lengan mereka saling terkait, Max merasakan desakan untuk memilikinya saat ini juga. Sungguh, keadaannya saat ini tidak bisa ia jabarkan dengan logikanya.

Mereka berjalan menuju pendamping Gabby dan orang tuanya. Max bisa melihat jelas wanita di samping duchess yang menjadi sponsor dan pendamping Gabby. Wanita tersebut jelas penuh ambisi. Ia melihat Max dengan tatapan menilai yang tajam.

Max memperkenalkan diri dan menjelaskan maksudnya kepada ketiga orang di hadapannya. Setelah menyebutkan gelar kehormatan yang dibawanya sejak lahir, tatapan ibu Gabby melembut padanya. Dan Max mengumpat dalam hati. Sial! Pemburu gelar! Dan mengenalkan diri beserta gelarnya di hadapan ibu Gabby adalah kesalahan. Mereka akan menganggap Max sebagai tangkapan yang bagus. Calon Marquess yang berpengaruh. Meskipun gelar tersebut tidak akan ia dapatkan dalam waktu singkat. Karena ayahnya masih sangat sehat dan bugar.

Insting pertamanya adalah ia ingin memaki keluarga Gabby dan membenci keluarga tersebut. Dan tentu saja, menjauhi Gabriella Edgerton. Namun sesuatu menahannya.

Max menoleh ketika akhirnya mereka semua menyetujui perkenalannya. Miss Gabriella Edgerton terlihat tertekan. Sepertinya gadis itu tertekan dengan ambisi yang dimiliki ibunya.

Max menelan ludah. Ia tidak ingin menjauhi Gabby. Ya Tuhan. Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya?

"Duchess, maukah kau mengizinkanku untuk mengajak Miss Gabriella Edgerton menjadi pasangan dansaku?" Pertanyaan itu tercetus begitu saja dari mulutnya tanpa proses seleksi di otaknya.

"Miss Gabriella Edgerton, maukah kau memberi kehormatan untukku dengan menjadi pasangan dansamu?" Kali ini ia bertanya pada Gabby dengan mengulurkan telapak tangannya setelah mendapat persetujuan dari sang duchess.

Jika Max tidak salah ingat, dansa selanjutnya adalah waltz. Ia masih menanti jawaban yang akan Gabby berikan.

"Berdansalah dengannya, Gabby," ujar Mrs. Edgerton.

"Gillian!" Mr. Edgerton mengingatkan istrinya.

"Oh diamlah! Gabby harus menerima permintaan dansa Lord Westcliffe. Mereka hanya berdansa, Harry. Bukan membuat skandal. Lagipula, Duchess of Weddington sudah mengizinkannya," ucap Mrs. Edgerton.

"Miss Edgerton?" Max kembali berusaha untuk mendapatkan jawaban.

Ia melihat Gabby menggigit bibir bawahnya untuk berpikir. Dan Max ingin sekali menggantikan gigi Gabriella dengan mulutnya.

"Suatu kehormatan untuk dapat berdansa denganmu, My Lord," jawab Gabby pada akhirnya. Menyambut uluran tangan Max.

Mereka menuju lantai dansa bersama pasangan lainnya. Banyak ruang yang tersisa di lantai dansa karena pasangan yang berdansa bisa dihitung dengan jari. Musik belum dimainkan. Memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk berbincang.

"Kau akan menyesal mengajakku berdansa, My Lord," ujar Gabby. Tidak ada nada percaya diri di dalamnya.

"Dan mengapa demikian?" tanya Max dengan alis terangkat. Bibirnya tidak bisa menahan senyuman. Ia bisa menebak dengan pasti alasan Gabby.

Gadis itu kembali menggigit bibirnya. Membuat Max mengerang tertahan. Apakah gadis itu tidak menyadari tindakan kecilnya bisa membakar gairahnya dan menumpulkan pertahanan diri Max?

"Aku akan selalu menginjak kakimu, My Lord." Ucapan Gabby berhasil menyadarkan Max dari pusaran gairah yang mulai menariknya.

Alunan waltz dimulai. Max membimbing Gabby untuk berpegangan pada bahunya. Max menarik pinggang Gabby agar lebih dekat dengan lembut. Ia senang ketika suara kesiap keluar dari bibir ranum Gabby. Membuatnya kembali tersulut gairah.

"Terlihat dari wajahmu," ucap Max dengan suara serak karena gairahnya.

Gabby mengerjapkan kelopak indahnya. Manik cokelatnya memancarkan tanda tanya.

Max ikut menatap mata tersebut. Mencatat dalam hati bahwa tebakan awalnya ternyata tepat. "Matamu," ujar Max menggantung.

"Mataku?" tanya Gabby tidak mengerti.

Max mengangguk. "Matamu memancarkan kebebasan liar dan semangat membara," jelasnya dengan hati-hati. Sesungguhnya ia ingin mengatakan gairah membara. Tapi ia tidak ingin Gabby menilainya sebagai pria aneh.

"Aku sudah memperingatkanmu," ujar Gabby mengalihkan penilaian mengenai pancaran matanya. Ini topik yang sangat pribadi. Tapi entah mengapa ia merasakan hatinya menghangat ketika mengetahui Max memahami dirinya hanya dengan tatapan mata.

Max tertawa kecil. "Aku tahu. Kau tidak perlu khawatir. Sepatuku sangat kuat menahan injakan kakimu," candanya. Ia dapat merasakan gerakan Gabby yang ragu-ragu sehingga tubuhnya sangat kaku. Dengan lembut, Max membelai punggung Gabby untuk membuat tubuh gadis itu relaks.

"Uhh...," Gabby bergidik karena belaian tersebut. "A-ku akan meminta maaf sekarang. Sebelum dansa sudah terlalu jauh. Ini memalukan. Bahkan pelajaran dansaku dengan Duke of Weddington sangat kacau. Aku berkali-kali menginjak kakinya dan membuatnya meringis kesakitan. Sang duke tidak mengaku untuk menjaga perasaanku. Tapi aku tahu ia sangat kesakitan dari kernyitan di antara kedua alisnya. Hanya dansa Quadㅡ"

"Quadrille," Max mengangguk. Menghentikan ucapan cepat yang tanpa sadar dilakukan gadis itu. "Dan dansa yang memiliki irama cepat. Kau bisa menguasai dansa tersebut," lanjutnya.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Gabby dengan takjub.

Max tidak bisa menjawabnya karena ia memutar tubuh Gabby. Ia kembali mendekapnya dan membimbing gadis itu untuk melangkah sesuai dengan ketukan nada. "Sangat sesuai dengan semangatmu," ujarnya.

Gabby menatapnya dengan mata terbelalak. Sepertinya ia mengejutkan gadis itu karena mengetahui sifatnya.

Gadis itu tidak menyadari jika mereka terus melangkah, berputar, kembali melangkah. Hingga nada-nada terakhir waltz terdengar. Max menyadari jika langkah dansa barusan membawa mereka berada di tempat terjauh dari pendamping dan orang tua Gabby.

Mereka memberi hormat ketika musik yang mengumandangkan tarian waltz berakhir. Max bisa melihat keterkejutan dari manik cokelat di hadapannya.

Max mengulas senyum. "Aku yakin sepatuku baik-baik saja," ujarnya seraya menuntun Gabby untuk kembali pada keluarganya. Max sengaja melambatkan langkah mereka. Tidak ingin percakapan mereka berakhir singkat. Ia masih ingin berlama-lama menyentuh Gabby.

***

Gabby masih terdiam ketika Max kembali memulai pembicaraan. Ia belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya baru saja menyelesaikan satu dansa waltz tanpa menginjak kaki pasangannya. "Bagaimana bisa?" tanya Gabby pada dirinya sendiri.

Namun Max mendengar pertanyaan tersebut. "Kau hanya belum menemukan pasangan yang tepat, Gabby. Bolehkah aku memanggilmu Gabby?"

Gabby merasakan bahwa pernyataan Max memiliki makna ganda. Ia belum menemukan pasangan yang tepat? Dan jantungnya. Ya Tuhan. Jantungnya seperti merasakan kebahagian dengan berdegup kencang. Semua karena Max menyebut nama kecilnya.

"Gabby?" panggil Max sekali lagi.

Cara Max memanggilnya terasa menggairahkan. Setiap huruf dalam namanya diucapkan dengan nada yang dalam dan serak. Membuat tubuhnya kembali merasakan gelenyar nikmat. Perasaan itu mengusiknya. Ia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Bahkan tidak dengan Ben. Pria itu telah memanggil nama kecilnya berkali-kali. Hampir seumur hidupnya. Dan ia tidak pernah merasakan gelenyar aneh seperti saat Max memanggil namanya.

Ya Tuhan. Ia tidak bisa mengkhianati kekasih yang telah menunggunya. Sadarlah, Gabby! Kau tidak boleh terpesona pada lord tampan yang sedang menuntunmu!

Suara berat dan dalam itu kembali memanggil namanya. Dan sekali lagi tubuhnya merespon seketika. "Y-ya, My Lord," ujarnya dengan gugup.

Gabby menatap nanar ketika mereka akhirnya tiba di tempat keluarganya berdiri. Hatinya merasakan keengganan karena ia harus melepas penyatuan lengannya dengan lengan Max.

***

Setelah mengembalikan Gabby pada keluarganya, Max merasakan kehilangan yang sangat dalam di hatinya. Ia tidak rela jika sentuhan mereka berakhir. Max ingin terus menyentuh bagian tubuh Gabby. Juga hatinya.

Kesadaran itu menerjanganya. Ia kembali memikirkan ketertarikannya pada Gabby. Ini terlalu cepat. Bisakah hal itu tumbuh dengan begitu cepat? Hanya dengan satu dansa dan perasaannya menguat. Ingin memiliki gadis itu selamanya. Ia ingin gadis itu selalu ada di hidupnya.

Max berjalan kembali ke tempat orang tuanya. Ayahnya sudah menyambutnya dengan seringai menjengkelkannya.

"Hmm.. pada akhirnya aku bisa melihat berbagai macam ekspresi di wajahmu, Nak," ujar Sebastian jemawa.

"Diamlah, Ayah," hardiknya dengan kesal. Mengapa ayahnya sangat suka menggodanya? Max tidak mengerti pikiran ayahnya.

"Paman Haroldmu berbicara pada ayah. Dan sepertinya, kau akhirnya menemukan wanita yang memorakporandakan logikamu," ungkap Sebastian.

Max mendengkus dan ibunya tersenyum maklum. "Berjuanglah, Nak," ujar Louisa.

"Dan cepatlah menyadari perasaanmu sebelum terlambat," ujar Sebastian.

"Jangan seperti ayahmu," sambung Louisa dengan binar geli di matanya.

Kali ini, Max mungkin harus memikirkan nasihat orang tuanya. Dan ia harus segera mendapatkan Gabby.

***

TBC

Menemani malam minggu kalian 😂
Ditunggu vomment nya 😉

Regards

DSelviyana
220417

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top