Enchanting 1
Texas, 16 Agustus 1878
Matahari bersinar dengan sangat terik. Membuat kulit siapa pun akan merasakan panasnya yang seperti terbakar api neraka. Tapi panas bulan Agustus tidak separah bulan Juli. Di mana matahari dengan riang dan dermawan memberikan sinar panasnya.
Well, ia sudah melewati neraka terpanas di bulan Juli. Dan ia selalu bisa bertahan hingga bulan Agustus berakhir.
Tentu saja, Miss Gabriella Edgerton melewati teriknya matahari Texas dengan berenang bebas di danau. Tidak perduli dengan omelan yang akan ia dapatkan dari Mrs. Gillian Edgerton, ibunya yang cerewet itu.
Dengan riang, ia melompat-lompat kecil menuju danau yang ada di sebelah barat rumahnya. Danau itu juga berfungsi sebagai saluran irigasi kebun kapas ayahnya yang memiliki luas ratusan hektar. Musim panen sudah berakhir Juli lalu. Para pekerja pemetik kapas saat ini membantu untuk pengiriman kapas-kapas ke daerah lain. Termasuk kota New York. Rumahnya beberapa bulan yang lalu sebelum keluarganya memutuskan untuk meninggalkan kota besar itu dan kembali ke Texas.
Ibunya yang menyarankan keluarganya untuk bermigrasi ke New York. Ibunya juga yang membuat mereka harus kembali ke Texas. Ibunya yang ambisius namun berhati lemah. Ibunya tidak bisa menghadapi cacian warga New York yang tidak bisa menerima kehadiran orang kaya baru. Keluarga mereka terkucil meskipun ayahnya memiliki kekayaan yang tidak sedikit. Mereka tidak bisa menerima bahwa dulunya, ayah hanya seorang petani pemetik kapas. Pengucilan mereka membuat ibunya sedih dan tertekan. Sehingga ayahnya kembali membawa mereka ke Texas. Tanah kelahirannya dan rumahnya. Dan Gabby tentu saja sangat senang karena bisa kembali. Ia menutupi perasaan senangnya karena tidak ingin membuat ibunya marah.
Gabby melepaskan gaun siangnya yang sederhana. Menyisakan kamisol katun baju dalamnyaㅡ hasil dari pabrik kapas ayahnya. Ia tidak perlu khawatir pekerja pemetik kapas akan memergokinya. Karena mereka semua sibuk membagi kapas yang akan dijual mentahannya dan kapas yang akan dibuat sebagai bahan baku pembuat pakaian.
Ia tersenyum ketika merasakan kesejukan yang ia dapatkan ketika telah menyelesaikan satu putaran. Senyuman yang menampilkan satu lesung pipi di pipi kanannya. Membuat gadis itu terlihat cantik dan menawan.
Setelah melakukan tiga putaran, Gabby memutuskan untuk menyudahi kegiatan berenangnya. Ia keluar dari danau dan mengeringkan tubuh dan rambutnya dengan handuk yang ia bawa bersama pakaian gantinya. Well, kali ini matahari Texas membantunya untuk mempercepat proses pengeringan tubuhnya yang basah.
Ia harus pulang ke rumah sebelum ibunya mengirimkan pasukan perangnya yang akan membuat Gabby kelelahan karena harus berontak. Gabby bergegas mengenakan kembali gaun siangnya dan berlari kecil menuju rumahnya.
***
Ayahnya, Mr. Harrison Edgerton, pria paruh baya yang masih terlihat gagah, menyambutnya dengan lengan terentang lebar. Wajah ayahnya masih memperlihatkan sisa-sisa ketampanan masa mudanya. Membuat Gabby tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya untuk merasakan pelukan hangat ayahnya.
"Berenang lagi?" tanya ayahnya dengan berbisik ketika merasakan rambut anak gadisnya terasa lembab.
Gabby melonggarkan pelukan ayahnya dan menyeringai lebar. Ia mengedipkan satu matanya. Membuat ayahnya tertawa dengan keras.
"Apa yang kalian tertawakan?" suara ibunya datang dari dalam rumah. Perlahan sosoknya terlihat di pintu utama rumah mereka yang besar.
Ibunya memicingkan matanya ketika melihat penampilan Gabby. "Apa yang kukatakan mengenai etika lady dan berenang?" ujar ibunya dengan datar.
Gabby berdeham dan mengerling ke arah ayahnya. "Berenang membuat tubuh kita terekspos?" jawab Gabby yang terdengar seperti pertanyaan menantang.
"Dan kau, Young Lady! Selalu berenang dengan hanya mengenakan pakaian dalammu!" Ibunya menunjuk dirinya dan berbicara dengan nada gusar.
Gabby yang sudah kebal terhadap omelan ibunya, menampilkan senyum termanisnya dengan lesung pipi yang tercetak di pipinya. "Aku berhati-hati terhadap sesuatu yang akan mengintipku. Pekerja Papa juga sedang sibuk di gudang dan pabrik katun kita," ujar Gabby seraya mengangkat bahunya.
Ibunya mendengkus kesal dan menatap tajam ayahnya yang sedari tadi hanya diam dan mendengarkan perdebatan kecil mereka. "Inilah akibatnya karena kau terlalu memanjakannya!" pekik ibunya.
Ayahnya terlihat serba salah dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gabby diam-diam menyembunyikan senyumnya dari ibunya. Jika ia ketahuan tersenyum di saat ibunya sedang mengomel, letusan senjata api yang beruntun akan meledak memekakkan telinga. Dan menebarkan bau bubuk mesiu yang tajam dan pekat pada indera penciumannya.
Ia kembali menipiskan bibirnya dan menggigit bagian dalam mulutnya ketika lelucon mengenai omelan ibunya terbersit di kepalanya.
"Gillian, aku tidak ingin kau kelelahan karena sering mengomel," ucapan ayahnya terdengar di antara rentetan omelan ibunya.
"Apa kau bilang?! Jadi aku sering mengomel, begitu?! Lalu mengapa kau menikahi wanita cerewet sepertiku!" hardik ibunya.
Gabby melihat kesempatan yang baru saja ayahnya berikan agar ia bisa kabur dari omelan ibunya. Dengan perlahan, ia menggeser tubuhnya menjauh dari sang ayah yang saat ini sedang menenangkan ibunya. Ia berjingkat ketika berhasil menjauh dari ayah dan ibunya.
Baru dua langkah, seruan ibunya terdengar memekakkan telinga Gabby. "Mau ke mana kau, Gadis Nakal! Aku belum selesai denganmu!"
Gabby berjengit kaget. Ia membelalak ketika melihat tangan ibunya sudah berada di udara. "Mama! Jangan menje... Awww!" Perkataannya berubah menjadi pekikan kecil kesakitan ketika tangan ibunya mendarat di telinga kirinya.
"Mama! Hentikan jeweranmu!" pekik Gabby.
"Kau memang pantas mendapatkannya, Gadis Nakal! Dan kau!" seru ibunya seraya menunjuk sang ayah. "Kemarilah!" lanjutnya.
Ayahnya meringis dan mengikuti perintah ibunya. Sesaat kemudian, tangan ibunya yang bebas juga mendarat di telinga ayahnya.
"Ya Tuhan, Gillian! Ada banyak hukuman menyenangkan yang bisa kau lakukan selain menjewer telingaku!" ujar ayahnya.
"Diamlah, Harry!"
Mereka lebih masuk ke dalam rumah dengan tangan ibunya yang masih setia menjewer Gabby dan ayahnya.
***
"Harry, aku ingin kita pergi ke Inggris," pernyataan ibunya yang tiba-tiba saat makan malam berlangsung, membuat Gabby dan ayahnya menghentikan kegiatan mereka masing-masing.
Gabby ternganga ketika akhirnya pernyataan konyol ibunya tertangkap oleh otaknya yang tiba-tiba melamban. Sedangkan ayahnya hanya menaikkan satu alisnya dengan tidak mengerti.
"Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan balasan surat dari Laura, adik sepupuku yang saat ini masih bergelar sebagai Duchess of Weddington. Kita akan pergi ke Inggris dan mendapatkan suami untukmu, Gabby. Tentu saja, suamimu nanti adalah seorang bangsawan dengan gelar tertinggi.
Aku sudah lama berkorespondensi dengan Laura. Aku bertanya bagaimana sistem kebangsawanan di Inggris dan mengenai bangsawan pria yang mencari istri. Laura menjelaskan bahwa banyak pria bangsawan usia menikah yang membutuhkan sokongan dana untuk mempertahankan estat mereka. Dan aku melihatnya sebagai kesempatan untuk menunjukkan pada dunia bahwa orang kaya baru juga pantas untuk dihormati di masyarakat.
Jika kau menyetujuinya, Harry. Kita akan berangkat secepatnya pada musim gugur. Laura mengatakan season telah berakhir pada saat itu. Jadi kita bisa mempersiapkan Gabby dengan seluruh aturan bangsawan Inggris sebelum season tahun berikutnya dimulai," jelas ibunya dengan panjang lebar.
Ayahnya menghela napas dan berkata, "Apa kau yakin, Sayang? Kau tidak akan menyerah seperti saat kita mencoba tinggal di New York?" tanya ayahnya.
"Aku yakin, Harry. Bangsawan Inggris lebih sopan daripada manusia keji New York. Lagipula, mereka membutuhkan kita sebagai penyokong kehidupan mereka kelak. Mereka tidak akan mencaci kita. Setidaknya, tidak di depan kita dan secara terang-terangan seperti manusia-manusia keji itu," ucap ibunya dengan yakin.
Gabby tidak memedulikan apa yang ibunya katakan. Otak dan hatinya terus menjerit untuk menolak lelucon yang sedang ibunya lemparkan padanya.
Ya Tuhan. Tidak! Aku tidak ingin pergi ke Inggris.
"Aku tidak akan meninggalkan Ben! Tidak! Aku tidak ingin pria selain Ben yang akan menjadi suamiku!" jeritnya.
"Gabby, pemetik kapas tidak akan memberikan kita kehormatan seperti para bangsawan! Benjamin Warner hanya pekerja ayahmu!"
"Ayah bisa sukses seperti sekarang karena kerja kerasnya, Mama. Apa kau meremehkan usaha bertahun-tahun yang ayah lakukan? Ben juga pekerja keras dan aku yakin dia bisa seperti ayah nantinya!" sanggah Gabby.
"Aku tidak meremehkan usaha yang ayahmu lakukan. Tapi, kerja keras kita tidak memberikan kita gelar dan kehormatan!" sergah ibunya.
Gabby menggeleng dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menoleh ke arah ayahnya yang sejak tadi hanya diam. "Kau tidak akan menyetujuinya kan, Papa?" tanyanya dengan suara bergetar.
Ayahnya tampak serba salah dan menatapnya dengan tatapan sedih. "Aku ingin membahagiakan ibumu, Cantik," ujar ayahnya yang menusuk hati Gabby.
"Jadi kebahagianku tidak ada dalam rencana kalian?" Gabby tidak bisa lagi menahan air matanya.
Ia bangkit dari meja makan dan bergegas untuk keluar dari rumahnya. Mengabaikan panggilan ayah dan ibunya.
Gabby terus berlari. Ia tidak peduli dengan sakitnya tanah bercampur kerikil tajam yang ia rasakan pada telapak kakinya karena ia tidak mengenakan alas kaki.
Ia terus berlari hingga akhirnya tiba di salah satu pondok pekerja ayahnya. "Ben! Ben! Aku mohon buka pintunya!" Gabby terus berteriak memanggil Ben disertai dengan isakannya.
Pintu terbuka tidak lama kemudian. Menampilkan pemuda gagah yang hanya mengenakan kemeja dan celana katunnya yang longgar.
"Ya Tuhan. Gabby, apa yang terjadi?" tanya Ben.
Gabby menghambur ke dalam pelukan Ben. "Bawa aku pergi, Ben. Kita akan kawin lari," ujar Gabby yang masih terisak di dada bidang Ben yang kecokelatan.
Ben menguraikan pelukan Gabby. "Apa yang terjadi, Gabby?"
"Aku tidak ingin pergi ke Inggris. Aku tidak ingin mendapatkan suami bangsawan Inggris. Aku hanya ingin bersamamu, Ben. Kita harus pergi besok. Kita akan kawin lari dan hidup bahagian berdua." Gabby memandang kekasihnya dengan tatapan memohon.
"Aku tidak bisa membawamu pergi, Gabby. Kita tidak bisa melakukan kawin lari," ujar Ben dengan air muka sedih.
"Kita bisa! Kau sangat baik, Ben. Tapi aku tidak menginginkan kebaikanmu saat ini. Kita harus pergi secepatnya!" pekik Gabby dengan putus asa.
"Pulanglah, Gab. Yakinkan ibumu untuk tidak membawamu ke Inggris. Yakinkan ibumu jika hubungan kita serius," ucap Ben.
Gabby menggeleng dan kembali pada pelukan Ben. Ia kembali menangis karena kekasihnya tidak ingin menjemput kebahagiaan mereka dengan pergi dari ayah dan ibunya.
"Bawa aku pergi, Ben," lirihnya.
"Aku akan mengantarmu pulang. Kita akan berbicara dengan orang tuamu. Tunggulah di luar. Aku harus mengenakan pakaian pantas untuk bertemu orang tuamu," ujar Ben. Ia kembali mengurai pelukan Gabby dan meninggalkan Gabby di luar.
***
London, Pesta Pedesaan Marquess of Huntingdon
Maxmillian Blakely, Earl of Westcliffe, pewaris gelar Marquess of Huntingdon ketujuh mengernyit ketika ia melihat salah satu tamu undangan ibunya membuka kipasnya dengan lebar dan memberikan kode pada Max untuk mengikutinya. Membuat Max mendengkus dan mengalihkan tatapannya pada kumpulan pedansa yang sedang menarikan nada-nada Waltz untuk menutup set keempat dansa.
Ia menatap orang tuanya yang menjadi salah satu peserta dansa. Berputar seirama dengan gerakan luwes yang tidak terpengaruh oleh usia mereka. Ayahnya masih sangat gagah dan sehat. Dan ibunya, masih sangat cantik seperti wanita muda. Mereka tetap terlihat menawan meskipun kerutan dan helaian perak menghiasi wajah dan rambut keduanya.
Max kembali mengarahkan tatapannya pada wanita yang tadi mengundangnya untuk kenikmatan singkat yang akan terjadi di ranjang. Dan ia kembali mendengkus ketika wanita itu terburu-buru membuka lagi kipasnya untuk menunjukkan gestur mengundang.
Kasihan sekali suami yang saat ini berdiri di sebelahnya. Max berujar dalam hati ketika menyadari bahwa wanita itu adalah Lady Craven yang datang bersama suaminya, Viscount Craven.
Ia mendengar nada Waltz telah berakhir. Max kembali mengabaikan undangan tersebut dan melemparkan pandangannya pada lantai dansa. Orang tuanya berada di sudut terjauh dari dirinya ketika dansa berakhir.
Max mengetukkan sepatunya dengan tidak sabar. Sudah dipastikan bahwa orang tuanya akan berjalan seperti siput untuk kembali ke posisi di mana Max berdiri saat ini. Mereka akan berbicara dengan kedekatan yang berlebihan dan mengabaikan orang lain yang pastinya akan membicarakan keintiman mereka.
Waktu terasa seperti selamanya ketika ia menunggu dua orang tersebut. Ia mendesah lega ketika akhirnya orang tuanya tiba di sampingnya.
Max sudah membuka mulutnya untuk berbicara ketika suara ayahnya terdengar. "Kau kaku sekali, Boy. Bersenang-senanglah sedikit," ujar Sebastian.
Max mengalihkan tatapannya pada ibunya yang sedang tersenyum. Mata biru menakjubkan itu saling bertatapan. Ia mengangkat satu alisnya dengan tatapan memohon yang dapat diartikan sebagai 'Katakan pada ayah bahwa aku ingin melarikan diri dari pesta membosankan ini'.
"Max ingin melarikan diri dari pesta kita, Sayang," ujar Louisa dengan senyuman geli di wajahnya.
"Bagaimana kalian melakukannya? Tidak, tidak. Bagaimana kau bisa membaca gerakan alis dan tatapan mata pria dingin di hadapan kita?" tanya Sebastian dengan nada sarkatis.
"Aku ibunya, Seb. Aku tahu keinginan anak-anakku," Louisa kembali berujar.
"Aku pergi," ucap Max dengan nada datar.
Sebastian menahan bahu Max. Membuatnya berbalik dan menatap ayahnya dengan pandangan bertanya.
Sebastian menghela napas dan berujar, "Aku tidak pernah mendengar gosip jika dirimu memiliki wanita simpanan atau kekasih, Boy. Apa kau tidak merasakan kebutuhan seorang pria? Apa kau baik-baik saja? Senjatamu masih bisa tegang, bukan?" rentetan pertanyaan Sebastian membuat Max mengerang kasar dan Louisa memekik seraya memukul pelan bahu suaminya dengan wajah merona.
Sebastian tertawa puas ketika pernyataannya memancing reaksi kuat dari istri dan anak sulungnya. Tawa yang mengundang perhatian para tamu mereka.
Ia berdeham ketika merasakan cubitan kecil bersarang di lengannya yang masih berotot. "Kau terlalu kaku, Boy. Bersenang-senanglah karena kau masih muda. Dan carilah seorang istri ketika kau sudah siap untuk berkomitmen. Nikahilah wanita yang kau cintai, Nak."
"Cinta hanya perasaan konyol yang tidak berlogika, Ayah. Aku tidak memercayainya," ujar Max dengan datar.
"Kau akan merasakannya, Nak. Segera," janji Sebastian.
***
TBC
Meski belum mateng, ditulis aja deh keburu bubar idenya 😂😂😂
Semoga suka 😊
Dan jangan lupa tinggalkan jejak 😘😘😘
Regards
DSelviyana
080417
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top