Prolog
"Aku ingin bertanya, apakah kau masih mengingat pertemuan pertama kita?"
———
Enchanted by Kianana
Natsu Dragneel x Reader
Fairy Tail © Hiro Mashima
.・゜゜・
"KAU tak diinginkan siapapun di sini."
"... jangan pernah muncul di hadapanku lagi."
"Omong kosong."
"Bukankah sebaiknya aku mati ...?"
***
Aku tak pernah merasa setenang ini dalam hidupku. Saat ketika aku melepas segalanya.
Meski diriku belum bisa berdamai hingga kini, setidaknya aku bisa membebaskannya dari benalu kehidupan.
Memang benar jika air mata ini masih mengalir, darah masih mendidih, dan hatiku masih belum bisa menerima. Tetapi jika kulanjutkan, hanya akan ada nestapa tanpa ujung.
Lagipula, ini melegakan. Di mana aku tak perlu lagi mengekang harapanku dengan kebohongan.
Aku mungkin belum memenangkan pertarungan, tapi aku tak pernah kalah dalam melawan.
Jadi, mari tersenyum dan tertawakan kelindan takdir yang telah kusut ini.
Dan jadilah congkak, sebelum segalanya hancur.
***
Tanah-tanah merah itu berderak seperti hendak meledakkan isinya. Warnanya membara, merah merona berkat dilalap api yang bernoda darah. Asap masih membumbung tinggi menggelapkan angkasa sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di mana-mana. Segalanya nampak gelap dengan kelabu yang mencuat dari awan-awan yang berarak. Matahari tampak begitu enggan untuk memunculkan diri. Bahkan untuk sekadar berbelasungkawa pun, ia tetap kukuh bersembunyi di balik gumpalan para awan di atas sana.
Lalu di tengah itu semua, aku berdiri. Terdiam memaku pandangan pada nyawa-nyawa yang menghilang ... sendirian. Digempur suhu rendah, bau asap, dan aroma amis yang mengudara, entah bagaimana aku tetap mampu untuk mempertahankan posisi ini.
Benar, aku tetap berdiri. Meski dengan belikat berlubang yang mengucurkan darah segar. Kepalaku aman, tapi sekujur tubuhku justru berlomba-lomba mengeluarkan darah terbanyak. Nyaris membuatku berendam dalam kubangan darahku sendiri. Dan itu bukan kabar baik. Aku mungkin bisa mati karena kehilangan banyak darah. Nyawaku di ujung tanduk. Hanya dengan sentilan jari Sang Maut dan aku pasti telah terbang ke Nirwana. Aku akan kehilangan jatah hidupku dan tak akan bisa melihat lagi hari esok.
Tetapi, bukan itu yang kukhawatirkan sekarang.
Melainkan pada sosok yang kini terbujur kaku di hadapanku. Tubuhnya tak lagi berkedut sejak beberapa menit yang lalu. Hilang tangan, hilang kaki. Darah sudah membanjiri tubuhnya. Jangan tanya bagaimana kabar jantungnya, karena organ tubuh yang satu itu telah hancur dibabat habis.
Menghancurkan satu-satunya penopang hidup orang itu dalam sekejap.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Kenapa ini bisa terjadi?
Di mana letak kesalahannya?
Siapa yang salah? Siapa pula yang harus disalahkan?
Tidak.
Sejak awal ... keberadaanku-lah yang salah.
Aku seharusnya tak pernah ada di dunia ini.
Aku terlahir dengan membawa kutukan, di mana pun aku berada.
Aku monster, kuakui itu.
Dan sekarang, sosok yang seharusnya menjadi harapan dan cahaya semua orang itu ... telah tiada.
Karena diriku.
"... Ha. Haha ... Haa!!!!!" Kucengkram erat rambutku yang telah kusut masai sementara mulutku melepaskan sumpah serapah dan lolongan putus asa.
Nyaris gila. Kewarasanku hampir direbut paksa menyaksikannya. Ini terlalu menyakitkan ....
Karenanya tanganku refleks menggenggam perut yang terbalut syal putih bernoda merah demi mengingat detik terakhirnya. Miliknya, yang ia titipkan padaku juga sebagai upayanya untuk menutup lukaku demi menghentikan pendarahan. Walau sayangnya semua itu sia-sia.
Seharusnya aku menyadarinya sejak awal, dan bukannya bermain-main dengan takdir yang penuh tipuan itu. Seharusnya tak seperti ini ... seharusnya semuanya baik-baik saja ....
Ya, terlalu banyak kata 'seharusnya' di sini. Semua itu hanya pengharapan bodoh.
Sekarang semuanya sudah terlambat. Tak ada yang bisa kulakukan lagi, selain ....
Kuhampiri ia, yang tubuhnya tak lagi bergerak atau sekedar menghembuskan napas. Ia telah pergi. Bersama dersik angin kudekap ia dengan erat. Melepas segala perasaan pada raganya yang telah mendingin. Setidaknya dengan begini, aku masih bisa menyalurkan rasa hangat untuk yang terakhir kalinya. Juga menyampaikan sebuah rasa yang terlambat kuutarakan.
Aku tahu, jiwanya telah terbang bersama para malaikat menuju Nirwana. Mengecap ajal dan bersanding dengan Sang Penguasa.
Tetapi aku tak bisa menerimanya. Tidak dengan cara kematian yang seperti ini.
Maka dari itu, biarkan aku menyelamatkannya kali ini. Itu harapanku. Hanya itu. Dan akan kubuat itu jadi nyata.
Jadi aku tersenyum, untuk memberi penghormatan terakhirku.
Kudekap ia semakin erat dan kubisikkan satu kalimat pengharapan.
"... sehingga kau dapat hidup kembali."
Bersamaan dengan itu, cahaya kekuningan membias di antara dekapan tubuhku. Cahaya itu mengudara sementara jiwaku ditarik pergi, dengan perlahan.
Nah, aku tidak menyesal. Sama sekali. Akan kulepas ia dengan senyuman.
Kutatap lagi kelopak mata yang runcing itu. Dilihat dari dekat, kesan berani yang terpancar darinya memang amat kuat. Jadi aku kembali tersenyum.
Ah, aku bahkan masih mengingat ketika kami baru pertama kali bertemu.
Itu kejadian yang sudah sangat lama, tapi rasanya baru kemarin hal itu terjadi. Di mana aku masih mengingatnya sampai saat ini. Mendekap kenangan itu sebagai memori paling indah yang kumiliki.
Cahaya itu semakin memancar membentuk kubah cahaya hingga membuatku tak kuasa lagi membuka mata. Tanah di sekitarku bergetar sebab cahaya-cahaya kekuningan itu meledak hingga ke langit dan membelah gumpalan awan—membentuk menara cahaya yang teramat terang.
Maka untuk yang terakhir kalinya, di antara gempuran cahaya yang menyilaukan, air mata itu muncul dengan sendirinya. Setelah berjanji untuk tak lagi menangis pada diriku sendiri, pada akhirnya aku tetap mengingkari janji itu. Air mata itu ... terus mengalir bahkan tanpa bisa kutahan.
Aku menangis seperti bayi yang baru lahir.
"Hei," Nah, kurasa ini saatnya mengucapkan salam perpisahan kepadanya.
"Jika kita bertemu lagi suatu saat nanti ... aku, aku berjanji akan mengatakannya padamu ...."
Janji. Aku mengucapkannya lagi, janji dusta itu.
"... bahwa aku ...—"
Segalanya telah berakhir, bersama diriku yang dibawa pergi.
"Mencintaimu ...."
Senyumanku tersungging beriringan dengan menghilangnya diriku.
Selamanya ....
"Jadi, tetaplah hidup, ya ... Natsu."
𝐄𝐍𝐂𝐇𝐀𝐍𝐓𝐄𝐃
⊹ ⋰ ׅ─๋╼┈─̸─۪━┈ׂ݊┈━۪─┈╾─̸๋─ׅ ⋱ ⊹
08 | 10 | 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top