Sembilan belas

If I was dying on my knees,

You would be the one to rescue me,

And if you were drowned at sea,

I'd give you my lungs so you could breathe..

(BROTHER – Kodaline)

▽△▽△▽

Bordeaux, Perancis.

January 26th. Pukul 7:02 A.M.

~

"ku dengar teman satu apartemenmu kali ini seorang detektif perempuan,"

Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring mengiringi obrolan di meja makan malam ini.

Logan mendongak, menatap laki-laki yang duduk di seberangnya. Laki-laki itu masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu, kecuali rambut hitamnya yang terlihat berubah menjadi keabu-abuan. Laki-laki yang sama yang mewariskan mata birunya ke Logan.

Ia mencari ekspresi yang 'seharusnya tidak disana' di wajah ayahnya.

Namun ia tak mendapatkan apapun. Ekspresinya normal. Tidak ada yang tidak wajar.

Seakan ayahnya tidak tahu menahu mengenai Alondra.

Bersamaan dengan berangkatnya gadis itu ke Indonesia, Logan juga berangkat ke sisi lain bumi untuk menemui ayahnya. Awalnya ia tak berniat untuk pulang, bukan karena hubungannya dengan ayahnya, namun karena ia paling tidak suka perjalanan udara yang melelahkan. Belum lagi ditambah duduk berjam-jam di atas pesawat. Ia lebih suka ayahnya yang mengunjunginya ke Kanada.

Kini ia telah berhasil sampai di Bordeaux dengan selamat dan duduk santai di depan ayahnya, menyantap makan malam Bersama ibu dan kakak barunya.

Suasanya seperti ini sebenarnya sudah lama tak ia rasakan, sejak kejadian yang menimpa ibunya beberapa tahun silam.

"konsultan detektif," ujar Logan mengoreksi. "dan dia bukan pacarku." Tambahnya, menanggapi nada tersirat di pertanyaan ayahnya barusan.

Seorang wanita yang sekarang menyandang status sebagai ibunya tersenyum menatap Logan. "tidak perlu malu, Logan."

Semua yang ada di ruangan tergelak, kecuali Logan yang hanya menatap datar orang-orang di sekelilingnya.

"tapi jika boleh aku mengatakan, ia cocok juga untukmu. Maksudku, dari wajah saja kalian sudah terlihat seperti kami-pasangan-harmonis-dan-saling-mencintai-sampai-mati." Daniel mengedipkan sebelah matanya ke Logan, yang membuat Logan terbatuk akibat kata-katanya barusan.

"kurasa kau harus berhenti menyuruh orang-orangmu menguntitku sepanjang waktu, Dad. Aku sudah besar sekarang."

"bukan menguntit, Logan, tapi mengawasi."

Logan menggeleng. "for god sake.."

Bukannya Logan tidak tahu ayahnya mengutus beberapa orang bayaran untuk menguntitnya hampir setiap hari. Untungnya tingkat waspada yang ia miliki jauh di atas rata-rata, hal itu membuatnya dapat dengan mudah membedakan mana orang-orang bayaran ayahnya di antara kerumunan orang-orang Kanada.

Sejujurnya ia cukup terkesan dengan keahlian mereka menyamar, mereka bisa saja menjadi pelayan di café yang sering ia kunjungi, mereka bisa menjadi polisi yang sedang mengatur lalu lintas, mereka bisa menjadi pemusik jalanan, mereka bisa menjadi supir taksi mereka bisa mnejadi siapa saja di sekeliling Logan.

Bahkan ia sempat mencurigai sanak saudara Mr & Mrs Thiago yang pernah berkunjung. Bukannya merasa aman, hal itu membuatnya tidak nyaman.

Memang sudah seharusnya ia membicarakan hal ini pada ayahnya.

"bagaimana jika aku ikut ke Kanada dan mengawasimu dengan mataku sendiri?"

Atau ia relakan saja suruhan ayahnya menguntitnya, dari pada harus berada di bawah pengawasan ayahnya langsung. Terakhir kali ia berada dalam pengawasan langsung ayahnya, ia terpaksa tidur di luar karena ayahnya menguncinya di luar akibat ia pulang tidak tepat waktu.

"jangan pernah memikirkan hal itu."

Daniel tergelak.

Ruangan kembali sepi hingga masing-masing dari mereka menyelesaikan makannya.

"Alondra adalah gadis yang extraordinary, bukankah itu yang dicari setiap laki-laki? Gadis yang tidak pada umumnya."

Ekspresi Logan yang datar semakin bertambah datar. "dia sangat biasa bagiku."

"benarkah itu, Logan?" tanya Sheal, kakak tirinya, dengan nada menggoda sambil menyikut lengan Logan yang duduk di sampingnya.

Ketika kakaknya berkunjung ke Kanada untuk sebuah pemotretan, bukannya menempati hotel yang khusus dipesan untuknya, Sheal lebih memilih untuk mengunjungi Logan. Ia ingin mengenal adiknya lebih dekat. Akibat kegiatan yang tak pernah absen dari hari-harinya, Sheal selalu melewatkan acara makan malam keluarga yang dilakukan sebagai pertemuan sebelum ibunya menikah dengan ayah Logan. Hal itu membuatnya memerlukan waktu lebih lama untuk bisa mengenal keluarga barunya lebih dekat.

Ia tak menyangka Logan bertahan tinggal satu apartemen dengan gadis yang ia anggap tidak sama seperti gadis pada umumnya. Gadis itu aneh, tapi aneh yang baik dan sebenarnya Sheal juga langsung menyukai Alondra ketika ia pertama melihatnya. Alondra mungkin bukan gadis paling ramah dan menyenangkan yang pernah ia temui, namun karakter yang dimiliki gadis itu ditambah pengetahuan yang bertumpuk di kepalanya membuat Sheal sedikit kagum.

Dari cerita yang diceritakan Daniel, Sheal mulai mengerti Logan seperti apa. Ia adalah laki-laki yang langsung pergi menjauh jika orang yang ada di sekelilingnya bukan orang yang ia rasa benar dan baik untuknya. Jadi melihat Logan dapat bertahan beberapa minggu bersama Alondra membuatnya ikut gembira karena akhirnya Logan mendapatkan zona nyamannya kembali.

"shut up."

"dan akuilah, kau paling lama tinggal satu apartemen dengan orang lain bersamanya bukan? Tiga kali dirimu memilih berbagi satu apartemen dengan orang lain, tiga kali juga kau pindah dalam jangka waktu dua bulan."

Daniel mengangguk setuju dengan ucapan Helene barusan. "sekarang sudah berapa lama kau tinggal bersamanya? Tiga bulan?"

"jangan berlebihan, Dad. Kami baru tinggal Bersama sebulan."

"suatu pencapaian yang fantastis." Daniel bertepuk tangan dengan ekspresi haru yang dibuat-buat terpasang di wajahnya.

Sekarang rasanya Logan hendak mengubur dirinya sendiri dalam-dalam Bersama Leton.

"suatu hari nanti, ajaklah ia kemari." Helene menatap lembut Logan, anak tirinya. "aku ingin mengenalnya."

Helene, ibu baru Logan adalah wanita yang lembut. Siapapun yang berada di dekatnya pasti seakan merasakan berada di dekat ibu kandung mereka sendiri. Sisi keibuannya memang kuat. Walaupun pertemuan Logan dan Helene baru dua kali berlangsung, Logan merasa nyaman dengannya. Diam-diam dirinya bahagia ayahnya memilih wanita yang tepat.

"apa kau sudah mengunjungi Mom?"

Senyum di wajah Daniel memudar. Helene dan Sheal memutuskan untuk sibuk dengan makanan mereka saja.

"aku ingin mengunjunginya bersamamu."

Logan mengalihkan pandangannya ke sendok dan garpu yang sedang ia pegang. Pikirannya menimbang-nimbang pilihan yang ada, dua duanya bukan pilihan yang mudah. Setelah beberapa saat, Logan kembali menatap ayahnya, dan berujar dengan nada yang tegas.

"kalau begitu ayo kita jenguk ibu besok."

▽△▽△▽

Mereka sampai di depan sebuah ruangan besar, yang dibagi menjadi dua oleh satu dinding kaca. Ruangan yang telah beberapa kali keduanya kunjungi. Tak banyak furniture yang menghiasi, dindingnya berwarna putih, menambah kekakuan dan kesan dingin di dalam ruangan.

Di hadapan mereka, di sudut ruangan yang lain sesosok wanita terbaring di ranjang yang tak di alasi apapun, hanya berupa persegi aluminium yang dingin. Gaun tidur putih yang dikenakannya menjaganya untuk tetap hangat. Tak ada selimut, bantal, dan ornamen tempat tidur lainnya. Di dinding kaca itu, terdapat sebuah papan nama berwarna hitam dengan sebuah tulisan di atasnya.

Diana Adler Weine.

Status : Red.

Nafas Logan berubah berat. Kedua tangannya yang membawa buket bunga daisy mulai gemetar. Ia bisa merasakan ujung jemarinya berubah menjadi dingin dan terus naik hingga telapak tangannya. Ada banyak hal yang ingin Logan ucapkan sejak tadi, namun dirinya bahkan perlu usaha keras untuk dapat menatap sosok wanita di depannya, yang dulu pernah menimang-nimang dirinya, yang dulu selalu tersenyum ketika melihatnya. Kerinduan itu bercampur dengan sedih yang sellau datang setiap Logan mengunjungi Diana. Ibu kandungnya.

"M- Mom.." panggil Logan setelah sekuat tenaga ia memaksa suara itu keluar dari tenggorokannya.

Suara itu terdengar samar, namun berhasil membuat mata wanita di hadapannya terbuka dan menoleh ke arahnya.

Logan tersenyum.

Namun hatinya terluka.

Dan goresan luka itu semakin dalam ketika ia mengingat kembali kenangan masa kecil dirinya Bersama Diana dan Daniel.

"mom.. ini aku, Logan." Kini bukan hanya tangannya, suara Logan juga ikut bergetar."aku datang Bersama Dad."

Diana membuka kelopak matanya ketika telinganya mengnangkap suara yang begitu familiar di ingatannya.

Ada rona merah yang menghiasi pipi Diana, membuatnya terlihat lebih baik dari keadaannya beberapa bulan yang lalu saat terakhir kali Logan menjenguknya.

Diana mendongak, membuat rambut tersingkap dari wajah dan lehernya, memperlihatkan sebuah bekas luka melintang di leher yang tak akan pernah hilang.

Bekas luka yang selalu berhasil membuat Logan menangis ketika melihatnya.

Daniel melangkah maju, kemudian meletakkan telapak tangannya di tembok kaca tersebut. "Diana, sayangku, kami merindukanmu."

Kemudian tatapan Diana beralih dari Logan ke Daniel.

Secara mengejutkan Diana bangkit dan berlari menuju kedua laki-laki itu dengan kemarahan yang jelas di wajahnya. Daniel yang terkejut melangkah mundur sementara Logan masih diam di tempat. Diana terlihat seakan berteriak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu membuat pita suaranya tak dapat berungsi dan membuatnya tak bisa mengeluarkan suara apapun. Mata biru lautnya melebar, tangannya memukul dinding kaca di hadapannya berusaha menghancurkan dinding itu.

"mom, tenanglah." Bisik Logan dari balik dinding kaca, ditatapnya Diana dengan tatapan yang luar biasa tenang. Ia memperlihatkan buket bunga Daisy di tangannya ke hadapan wanita yang amat ia cintai. "aku membawa bunga yang kau suka."

Diana masih terus mengamuk, memukul dinding kaca tanpa henti. Tangannya sudah mulai berubah warna menjadi merah, membuat waktu Logan untuk bertemu ibunya semakin menipis. Jika ia terus berlama-lama di ruangan ini, ibunya akan mencelakai dirinya sendiri.

"kutinggalkan bunga ini disini ya, akan kuminta salah satu staff yang ada di sini membawanya ke ruanganmu."

Logan meletakkan bunga itu di sebuah meja yang ada di sudut ruangan. Kini Diana mulai membenturkan tubuhnya sendiri ke dinding kaca, menandakan waktu Logan sudah habis.

"aku akan menjengukmu lagi nanti," Logan melangkah mundur, ditatapnya lagi Diana untuk terakhir kalinya hari ini. "sampai jumpa, Mommy."

Seiring dengan langkah beratnya keluar ruangan, terngiang kembali ucapan sang ibu ketika dirinya berada di sel tahanan polisi waktu itu.

Suatu saat nanti kau akan tumbuh menjadi orang yang hebat, Logan. Ibu sayang padamu.

Sementara itu Daniel mengikuti Logan di belakang. Berjarak hanya beberapa langkah saja. Entah kemana mereka hari ini akan pergi, yang jelas tujuannya tidak akan ke rumah. Mereka membutuhkan tempat untuk mengosongkan pikiran sejenak. Dan seperti biasa, mereka pergi ke sebuah taman kecil yang sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang disana.

Di taman itu terdapat sungai kecil dengan air jernih yang mengalir pelan. Baik Logan dan Daniel saling tak berujar. Daniel menunduk, menatap beberapa angsa putih yang sedang mandi di sungai kecil itu. Sedih yang dirasakannya membuat dadanya terasa berat. Bulan lalu, ia mengunjungi Diana ketika Diana sedang dalam pengaruh obat tidur karena staff pusat perawatan itu melaporkan bahwa Diana sudah tiga hari terjaga.

Logan sebenarnya sadar bahwa lukanya ini akan terus terbuka setiap kali ia mengunjungi Diana, namun kerinduan itu begitu tak tertahankan, ia rela terus terluka asal dapat melihat wajah wanita yang melahirkannya. Ia rela, bahkan jika membutuhkan waktu lama baginya untuk menyembuhkan luka itu.

Kemudian, entah bagaimana, pikirannya kembali pada Alondra.

"Dad apa kau ingat taruhan kita dua tahun yang lalu?"

"tentu, aku tidak akan pernah lupa."

"aku akan mengajukan permintaan itu sekarang."

Daniel menatap Logan lama, menerka kira-kira apa permintaan yang diinginkannya.

"baiklah, apa yang kau inginkan?"

"aku ingin kau menjawab pertanyaanku secara jujur, tanpa ada kebohongan di dalamnya."

"okay."

"apa yang kau tahu ketika mendengar nama Alondra? gadis yang ada di halaman depan koran dengan tulisan bahwa ia anakmu?"

Logan menatap tajam ayahnya tanpa berkedip, mencari ekspresi yang ia tunggu akan muncul. Terkejut, takut, perasaan bersalah.

Namun tanpa ia sangka, ayahnya hanya tersenyum. Ekspresi yang tak ia duga akan ia lihat.

"Jelaskan semuanya padaku."

"aku tidak bisa." masih dengan senyum di wajahnya, Daniel menolak. Hal itu membuat Logan kesal karena sejak kecil ia selalu diajarkan untuk menepati janji oleh ayahnya, namun sekarang, ayahnya yang berusaha lari.

"ayah, kau harus menepati janjimu."

Daniel sebenarnya sadar ia tidak bisa menghindar dari topik ini. ia sadar sejak awal, ketika anak buahnya memberikan laporan atas gadis yang tinggal satu apartemen dengan anaknya, ketika ia sadar bahwa gadis itu berkaitan dengan masa lalunya, bahwa cepat atau lambat Logan akan menanyakan hal ini dan ia harus menjawabnya dengan jujur.

Ia tahu, sekali saja ia mengecewakan Logan, maka ia akan kehilangan anak semata wayangnya.

Namun jika ia membocorkan hal ini - termasuk masa lalunya - pada anaknya, maka ia juga menukarkan nyawanya. Membuatnya bisa terbunuh kapan saja oleh para agen rahasia pemerintah yang ditugaskan mengawasi peredaran rahasia negara dari mulut ke mulut.

Daniel menimbang.

Selama beberapa menit ia menimbang. dan akhirnya sampai pada keputusan final dimana ia yakin bahwa jika suatu hari nanti ia terbunuh karena menceritakan hal ini pada Logan, maka itu sudah menjadi resikonya.

"kau tahu? kukira kau akan menanyakan apa yang terjadi dengan ibumu," Daniel memutar sedikit badannya untuk menghadap Logan. "baiklah, aku akan memberitahumu semua yang kutahu."

▽△▽△▽

Sesuatu hal yang secara sadar kita pikirkan sebelum tidur, dan hal itu mengganggu kita baik dalam skala kecil maupun besar pasti tidak akan membiarkan kita tidur dengan nyenyak. Sheal terbangun dari tidurnya bukan karena masalah yang sedang menari-nari di pikirannya, namun karena perutnya protes minta diisi sesuatu. Gadis itu melangkah turun dari tempat tidur dan bergegas menuju dapur, tempat dimana terdapat banyak sekali bahan makanan yang siap di transfer ke perutnya.

Sereal dan susu coklat, adalah pilihannya malam ini.

Gadis itu mengunyah dalam diam. Pikirannya berkelana menuju ke banyak tempat. Suara langkah samar membuatnya berhenti mengunyah dan menoleh ke pintu masuk dapur untuk melihat siapa kali ini yang akan bergabung dengannya untuk midnight snack.

Logan.

Keduanya saling pandang selama beberapa saat, hingga akhirnya Sheal memberikan Logan isyarat untuk duduk di dekatnya.

Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi.

Seharusnya Logan sudah tertidur sejak empat jam yang lalu karena pukul tujuh pagi nanti ia harus sudah di perjalanan ke bandara. Penerbangannya kembali ke Kanada pukul Sembilan pagi.

"kau lapar?" tanya Sheal.

Logan menggeleng.

Setengah dari pikirannya masih berkutat dengan informasi yang ayahnya berikan kemarin sore. Hal itu juga lah yang membuat matanya tak dapat terpejam malam ini. Logan duduk di counter bar dapur di seberang Sheal, membuat gadis itu dapat melihat raut Lelah di wajah Logan yang tak biasa ia lihat. Lelah Logan kali ini berbeda dari lelah laki itu biasanya.

"apa kau baik-baik saja?"

Logan mengangguk, namun tak membalas tatapan Sheal.

"Logan, is everything okay? you know eyes can't lie."

Logan tak memjawab pertanyaan Sheal, melainkan hanya mengehembuskan nafas panjang.

"kau bisa jujur padaku, cerita apa saja padaku, mengeluh tentang apa saja padaku," jemari Sheal bergerak meletakkan sendoknya di mangkuk sereal yang kini telah setengah kosong. "aku akan mendengarkanmu, Logan."

Logan beranjak menuju lemari yang khusus menyimpan minuman beralkohol dan wine. Matanya menyusuri tiap botol, mencari minuman yang terkadang menjadi pengalih pikirannya. Domaine Leroy Chambertin Grand Cru. Wine dengan harga nyaris menembus angka $4000 ini adalah wine kesukaannya. Walaupun ayahnya tidak menyukai wine ini, ia selalu membelikannya untuk Logan dan memastikan wine itu tersedia di rumah ketika Logan pulang.

"wine?" Logan mengangkat botol wine itu ke udara dan menawarkannya ke Sheal.

Sheal menggeleng pelan. "no, thank you."

Wine bukanlah minuman favorit gadis itu.

Logan mengangguk kemudian beranjak duduk di seberang Sheal. Bahkan dibawah cahaya lampu dapur yang redup, gadis itu bisa melihat mata sembab adiknya, walaupun mereka jarang sekali saling bertemu dan mengobrol untuk mengenal satu sama lain lebih jauh, Sheal tak perlu bertanya apa yang menyebabkan mata laki-laki di hadapannya memancarkan semburat merah.

"kau pasti sudah mendengar hal yang terjadi pada ibuku.." ujar Logan memecah keheningan.

Kali pertama ia mengetahui apa yang terjadi pada ibu Logan adalah dari ibunya sendiri. Helene. Ketika ia mengunjungi Logan di Canada, ia melihat bahwa taka da lagi guratan kesedihan yang dating ketika membahas Diana, ibunya. Ia bahkan bisa tersenyum sambil menceritakan bagaimana masa kecilnya ia habiskan dengan sang ibu.

Mungkin karena jarak yang jauh dan waktu yang memudarkan memori buruk akan ibunya, sehingga hari ini ketika Logan kembali ke perancis, dan bertemu kembali dengan ibunya, kenangan buruk itu hadir kembali.

Tak aka nada seorangpun yang mampu melihat seseorang yang mereka panggil ibu kini tak tampak seperti ibu.

Sheal mengangguk pelan. "bukan hal mudah, aku tahu."

"terima kasih telah mengerti."

"sayang sekali ia memiliki 0% kesempatan untuk sembuh,"

"kata siapa?"

"dokter yang merawatnya."

Sheal terdiam.

"kadang kala aku berpikir untuk merelakannya pergi daripada terus menahannya di dunia dalam kondisi seperti itu." Logan mulai menangis. "hatiku berkata aku menyiksanya."

Isakan tangisnya memenuhi ruangan.

Sheal beranjak dari duduknya kemudian membawa Logan ke dalam pelukannya, memberikan laki-laki itu waktu untuk mengeluarkan segala jenis beban yang mengisi hatinya. Beban yang tak bisa ia tuangkan ke dalam kata-kata.

"Logan,"

"ya?"

Sheal melepaskan pelukannya. "apa kau selalu mengunjungi ibumu bersama ayahmu?"

Logan menangguk.

Sheal mulai merasakan jantungnya berdegup semakin kencang ketika keterkejutan datang tanpa peringatan. Jawaban Logan sama seperti yang ia duga. Banyak sekali hal yang ia ingin utarakan pada Logan namun ia harus menyaringnya dan mengeluarkannya secara bertahap agar tidak ada kerancuan yang menyebabkan kesalahpahaman. Maka kini, ia berusaha mengatur nafasnya dan mengutarakan hal yang mengganggu pikirannya dengan pelan.

"ada satu hal yang ingin aku sampaikan mengenai ibumu."

Logan menengadahkan kepala, menatap mata hijau kakaknya. Sementara itu Sheal masih menatap lantai di bawahnya. Ia menimbang. Mengumpulkan keyakinan.

"aku.."

Sheal memejamkan matanya, kemudian menghembuskan nafas panjang.

"aku mengunjungi ibumu beberapa hari yang lalu."

Sebuah tanda tanya besar tampak jelas di wajah Logan.

"dan ada satu hal penting yang harus kuberitahu, ibumu tampak normal."

Kini Logan memicingkan matanya. Mencari tahu apa maksud ucapan Sheal. "apa maksudmu dengan normal?"

"aku berbincang dengannya.. meskipun ia tak mengeluarkan suara saat berbicara, aku bisa mengerti apa yang ia ucapkan dari gerak bibirnya."

Mata Logan melebar mendengar apa yang barusan terucap dari bibir Sheal.

"petugas penjaga yang ada di sana terkejut ketika melihatku bersama ibumu melalui kamera pengawas."

"kemudian ia memberitahuku bahwa di antara reaksi yang ibumu berikan padaku dan reaksi yang ibumu berikan padamu dan ayahmu sangatlah berbeda. Ia mengajakku ke ruang control, dan memperlihatkan rekaman terakhir ketika kau dan ayahmu mengunjungi ibumu."

Sheal sangat menyayangkan peraturan untuk mengunjungi pasien yang berada di pusat perawatan itu sangat ketat. Ia tidak bisa membawa barang apapun masuk ke dalam ruang kunjungan selain badan dan pakaian yangmelekat di badannya. Hal logam sekecil apapun tak diperbolehkan untuk dibawa masuk ke dalam ruangan.

Padahal jika saja ia bisa membawa handphonenya masuk, atau sebuah tape recorder, ia bisa membuktikan hal ini pada Logan dan setidaknya memberitahu laki-laki itu bahwa ada sesuatu yang tidak beres diantara ibu dan ayahnya.

"mungkin kau bertemu orang yang berbeda, Sheal. Mungkin itu bu-."

"Adler Weine," Sheal memotong kata-kata yang hendak terucap dari bibir Logan. "Diana Adler Weine."

"sepertinya kau salah." Logan menggeleng. Sebenarnya ia tahu bahwa Sheal bisa saja benar karena selama ini ayahnya telah mengatur agar tidak ada siapapun yang tahu mengenai ibunya selain ia, ayahnya, dan beberapa sanak saudara terdekat.

Dan sekarang Sheal berdiri di hadapannya menucapkan nama lengkap Diana, dan berkata bahwa ia berkomunikasi dengan ibunya dengan normal.

Logan berusaha untuk percaya, namun hatinya menolak.

"kau harus percaya padaku," Walaupun teka-teki ini bukan temasuk teka-teki hidupnya, Sheal bertekad membantu Logan menyelesaikan semuanya. Mengisi kolom-kolom yang kosong. Karena saat ia mengunjungi Diana, Sheal telah berjanji dengan wanita itu untuk menjaga Logan. Menjaga agar tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padanya.

"tidak mungkin itu ibuku, Sheal. Bertahun-tahun aku menemuinya ia tidak pernah sekalipun tidak histeris saat melihatku."

"kumohon percayalah padaku."

"Sheal.."

"Logan," Sheal menyentak Logan, ingin memberitahunya bahwa kali ini ia lebih serius dari sebelumnya. "ibumu bilang ada sesuatu yang disembunyikan ayahmu, dan kau harus mencari tahu itu."

~

hai semuanya!! wah maaf banget baru bisa post sekarang T_T beberapa minggu terakhir fal teralihkan dari kegiatan tulis menulis. bukan cuma kalian yang kangen sama Alondra, Fal sebenernya udah kangen tingkat akut nih T_T oh ya di part kali ini khusus untuk edisi Logan ya. xixixixi bukan cuma Alondra aja yang banyak rahasianya, ternyata Logan juga! BTW semoga kalian suka yaa! kalau ada kritik dan saran monggo langsung tuangkan di comment section! oh ya THANK YOU FOR 14K READS & 1K VOTE! me lovv you guys xo

- Fal

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top