Delapan
Feeling it, loving it,
Everything that we do,
And all along, I knew I had something special with you,
But sometimes you just gotta know that these things fall through,
I can't hide my connection with you..
(NEVER FORGET YOU – Zara Larsson)
▽△▽△▽
3 bulan sebelumnya...
Udara dingin Irlandia membuat Alondra merapatkan jaket yang dikenakannya. Sudah seminggu lebih ia berada di Irlandia dengan tujuan memecahkan misteri orang hilang dari client nya. Awalnya ia was-was saat berada di bandara menuju keberangkatannya ke Irlandia, menunjukkan paspornya. Ia was was jika para petugas bandara curiga mengenai dirinya. Namun ternyata ia berhasil sampai ke Irlandia tanpa masalah apapun.
Suara langkah kakinya menemani disela rintik hujan. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Walaupun ia adalah seorang heavy sleeper, entah kenapa malam ini dirinya sama sekali tidak merasakan kantuk.
Area yang sedang ia lewati sekarang adalah area yang menurut masyarakat Irlandia merupakan area terlarang, dimana mereka sering mendengar teriakan kesakitan dan minta tolong dari sesuatu yang tidak mereka lihat. Alondra tidak mempercayai hal itu sebelum ia mendengarnya sendiri, jadi malam ini ia memutuskan untuk mengambil jalan memutar, melihat apakah mitos itu asli atau tidak.
Dua menit memasuki area ini, kakinya menginjak sesuatu yang membuatnya terpeleset dan terjatuh. ia melihat ke sekeliling, berharap tidak ada yang melihat ia terjatuh dengan posisi memalukan. Alondra berdiri, membersihkan mantel panjang coklatnya dari pasir jalanan. Matanya mencari benda apa yang barusan ia pijak. Beberapa meter dari tempatnya berdiri ia melihat suatu benda yang tidak ia sangka akan ia temukan disini.
Sebuah selongsong peluru.
Beberapa meter setelahnya banyak lagi selongsong peluru yang tergeletak di tanah. Ia terus mengikuti jejak selongsong itu sampai akhirnya ia sampai di tengah area, dimana ia mendengar percakapan antara dua orang yang ia harap kaki mereka menapak di tanah.
Alondra berjalan mendekati asal suara dan berhenti melangkah saat dilihatnya beberapa orang berdiri di dalam gedung kosong yang tidak memiliki kaca jendela. Di dalam gedung berdiri seseorang yang berpakaian amat sangat mencolok dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku sementara ada sekitar lebih dari lima orang yang menodongkan pistol ke arah laki-laki mencolok tersebut.
Perkiraannya adalah ada sebuah adu tembak yang terjadi di sini beberapa saat lalu, dilihat dari tidak adanya suara yang dikeluarkan oleh tiap tembakan membuktikan bahwa pistol-pistol tersebut pasti dilengkapi dengan peredam suara.
Saat Alondra sedang mempelajari situasi, ia tidak menyadari bahwa laki-laki tadi menatapnya dengan ekspresi terkejut.
"well well, we have a guest."
Suara bernada rendah itu membuat Alondra terhisap kembali ke dunia nyata setelah berkutat di dunia pikirannya, mata Alondra mengarah ke atas dimana seluruh orang yang ada di dalam gedung itu menatapnya.
'oh shit!'
Jantungnya berdegup kencang. Ia mengutuk dirinya sendiri karna tidak bersembunyi dan memilih berdiri terang-terangan didekat orang-orang yang terlihat berbahaya itu.
"hi everyone!" sapa Alondra diikuti senyum canggung.
"what the frick frack is she doing here?" gumam salah seorang pria yang mengenakan setelan mencolok berwarna biru.
"aku hanya lewat saja, silahkan lanjutkan kegiatan kalian. Have a good day everyone!" Alondra kemudian berbalik dan melangkah menuju jalan yang sebelumnya ia lewati. Jangan salah, ia tau persis mereka itu apa dan sama sekali tak berniat untuk menelfon polisi karna ia tau polisi pun tidak akan dapat menahan pasukan mafia.
Ya mereka adalah mafia.
Baru saja ia berjalan beberapa langkah, sebuah peluru melesat di samping kakinya, membuatnya refleks berhenti melangkah.
"satu langkah lagi maka kupastikan peluru itu menuju tengkorak mu," ujar si pria ber jas biru dan berkepala botak.
"get her," perintah pria botak pada para anak buahnya. Tiga orang berpakaian hitam-hitam dibelakang pria itu mulai berjalan ke arah Alondra.
"hey Diego, dia hanya gadis kecil, come on kau harus melepaskannya. She wouldn't do anything." laki-laki yang berdiri sendirian berhadapan dengan pria berkepala botak itu mencoba membela Alondra.
"you better shut your mouth up, Tion," tentu saja pria botak bernama Diego itu tidak akan melepaskan Alondra dengan mudah.
Alondra mungkin saja tidak tau siapa yang ia hadapi saat ini, namun ia tau kemana ini akan berakhir. Ia sudah pernah mengalami ini sebelumnya, dan ia tau lari bukanlah pilihan terbaik. Alondra mencoba mengatur nafasnya, memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dari tiga orang yang dilihatnya membawa pistol kedap suara buatan swiss.
Dua orang pria berbadan besar itu meraih tangan kanan Alondra.
"i can walk by my self." Ucap Alondra dengan nada tenang sambil menarik kembali tangannya, membuat kedua orang pria yang tadinya mencengkeram lengannya terdiam.
Bagaimana tidak terdiam, biasanya wanita akan meronta dan mencoba sekuat tenaga untuk melepaskan diri mereka dari situasi seperti ini, berbeda jauh dengan apa yang Alondra lakukan.
Kakinya bergerak melangkah perlahan untuk bergabung bersama gerombolan orang berpakaian hitam dengan pemimpin yang tidak memiliki rambut itu, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia dapat merasakan pistol yang di acungkan tepat di belakang kepalanya, yang siap menembaknya jika Alondra berani kabur.
Sesampainya di dalam gedung, barulah Alondra sadar seberapa berat situasi yang ia hadapi. Di hadapannya tergeletak tubuh-tubuh yang entah masih bernyawa atau tidak. Jelas sekali terdapat baku tembak sebelumnya di tempat ia berdiri sekarang.
"siapa kau?" tanya Diego pada Alondra. Diego menatapnya dari atas kebawah.
"nobody," jawab Alondra. Matanya terpaku pada seorang laki-laki yang berdiri jauh di depannya, laki-laki bernama Tion, yang kemungkinan besar adalah pihak yang berlawanan dengan para pria yang mendongkan pistol padanya sekarang.
Kemeja yang dikenakan Tion berwarna pink terang, dipadukan dengan setelan jas dan celana panjang berwarna ungu tua. Bahan yang digunakan untuk membuat setelan itu sudah pasti bukan bahan murah, hanya dari jahitan dan teksturnya saja Alondra tahu setelan ini dibuat berdasarkan permintaan oleh pelanggan.
Wajahnya tegas, dengan rambut berwarna coklat terang yang sedikit berantakan. Alis nya yang tegas berhasil membuat kedua mata Tion terlihat sangat tajam. Kedua sudut bibirnya tertarik keatas, membentuk sebuah senyum yang terlihat samar. Ada sesuatu dalam mata Tion yang membuat Alondra bersemangat. Laki-laki itu terlihat menakutkan namun membuatnya penasaran. Hell, ia juga sangat tampan.
Terlebih lagi...
Ia menyadari satu hal yang membuatnya tertarik pada Tion.
Deduksi yang ia coba lakukan pada laki-laki itu tidak menghasilkan apa-apa.
Diego melangkah mendekati Alondra. "apa yang kau lakukan disini?"
"hanya kebetulan lewat," jawab Alondra, kali ini pandangannya beralih ke Diego.
"really?" tanya Diego. Ia memiringkan kepalanya sambil memicingkan mata, tampak ragu tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Alondra barusan.
Diam-diam Alondra mencoba melakukan personal deduction pada Diego.
Pria itu tidak terlalu tinggi, jauh lebih pendek dari pada Alondra. ia menggunakan jam tangan di tangan kanannya, kemungkinan kidal. Dari pertanyaan yang diajukannya yang jelas sekali menunjukkan keraguan membuat Alondra langsung tahu bahwa laki-laki ini tidak sepintar dan sekuat yang ia duga seperti sebelumnya. Ia tidak bersenjata, yang berarti ia mengandalkan anak buahnya dalam setiap kondisi yang mengancam nyawanya. Perawakannya juga tidak memungkinkan dirinya untuk bergerak dengan cepat.
Dia lemah.
Alondra mengangguk, menjawab pertanyaan Diego yang jelas sekali tidak penting. Diego kemudian memandang satu-satu anak buahnya, kemudian kembali menatap Alondra, tapi kali ini dengan kebengisan yang muncul di wajahnya.
"shoot her." Perintah Diego ke salah seorang anak buahnya yang berbadan paling kurus.
Mendengar hal itu, jantung Alondra seakan berhenti berdetak.
Tentu ia tidak ingin mati di sini, di tempat yang jauh dari Leton, sahabatnya dan bahkan ia belum menemukan orang tuanya.
"wait what?! no no No nO NO NO!! HOLD ON!" Alondra menggelengkan kepalanya dengan kedua tangan terangkat keatas.
"aku akan menghitung mundur," ujar Tion dengan seringai di wajahnya.
Alondra menoleh sekilas ke arah Tion, sempat terpikir untuk melempar tas nya yang lumayan berat ke wajah laki-laki itu.
Kali ini ia tidak punya pilihan lain selain melawan. Ada kurang lebih lima orang yang harus ia lawan tidak termasuk Tion dan Diego yang tampaknya tidak ahli dalam berkelahi dengan tangan kosong. Alondra menyadari betapa tingginya resiko yang ia hadapi sekarang, namun ia telah belajar untuk selalu optimis saat menghadapi lawan. Ia telah belajar untuk tidak sedikitpun menunjukkan rasa takutnya di hadapan lawan.
"kau ingin menelfon seseorang dan menyampaikan pesan terakhir?" tanya Diego.
"uh... tidak. Sebenarnya aku ingin membuat kesepakatan." Alondra berusaha mengulur waktu sementara ia menjatuhkan tas nya dan membuka kancing jaketnya agar ia bisa bergerak dengan lebih leluasa.
Tion yang berdiri tak jauh dari mereka menyadari apa yang akan Alondra lakukan hanya dari gelagatnya saja. Orang lain mungkin akan mengira gadis itu ingin bernegosiasi, namun tidak dengan dirinya.
Diego berbalik, melangkah menjauhi Alondra yang kini dikepung oleh anak buahnya. ".... just shoot her guys."
Dengan gerakan yang amat sangat cepat, Alondra mulai menyerang kelima orang tadi dimulai dengan melucuti setiap senjata yang melekat di tubuh mereka. Walaupun gerakannya cepat, beberapa pria berbadan besar itu mampu setidaknya memberikan pukulan demi pukulan baik ke wajah maupun tubuhnya. Setelah ia berhasil melucuti senjata lawan-lawannya, Alondra mengincar salah satu syaraf yang terletak di leher bagian samping bawah mereka.
Ada satu teknik yang ia pelajari dari agen Hazley, butuh waktu yang lama sampai akhirnya ia berhasil menguasai teknik yang amat sangat sulit itu, yaitu teknik menghilangkan kesadaran seseorang dengan vulcan pinch nerve.
Baik Diego dan Tion terperangah menyaksikan Alondra vs lima orang anak buah Diego. Mereka tidak menyangka bahwa gadis asing ini mampu melawan lima orang sekaligus dan mampu bertahan dari pukulan demi pukulan yang ia terima.
Setelah akhirnya Alondra selesai melumpuhkan lima pria tadi, ia kemudian berdiri diam, mengatur deru nafasnya. Dengan jaket dan baju yang kotor oleh debu serta noda darah, dan wajah yang juga dihiasi luka, Alondra tampak menyedihkan.
"hey!"
Alondra yang masih terengah setelah menghadapi lima pria sekaligus kemudian berbalik untuk berhadapan dengan orang yang baru saja memanggilnya. Dilihatnya Diego telah berdiri di belakang Tion dengan tangan yang menodongkan pistol ke pelipis kiri Tion.
"drop your weapon or i'll shoot your boss!" teriak Diego. Suaranya menggema di sela hujan yang mulai turun.
Alondra terhenti sejenak, berusaha memproses apa yang baru saja ia dengar.
"he's not my damn boss," ujarnya kemudian.
Alondra berbalik membelakangi mereka untuk meraih ranselnya.
"tidak usah berkilah, aku tahu kau adalah salah satu penjaganya. Ah... it all make sense now. Kini akan kutawarkan sesuatu padamu, setelah aku membunuhnya kau bisa bekerja padaku dengan bayaran lima kali lipat bayarannya padamu." Diego mengokang pistol di tangannya.
Alondra yang masih belum bisa bernafas dengan normal merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan kemudian menoleh ke belakang untuk menatap Diego... dan Tion.
"sudah kubilang dia bukan boss-ku. Sekarang silahkan selesaikan urusan kalian berdua, aku pulang." Ujar Alondra sambil mengelap darah di sudut alisnya yang mengalami luka sobek kecil.
DOR!
Sebuah tembakan dilepaskan, mengenai lantai beton di kiri Alondra sesaat sebelum ia melangkah turun melalui tangga.
"apakah ini salah satu trikmu?" teriak Diego lagi.
Alondra menarik nafas panjang kemudian menghelanya, berharap kesabarannya terkumpulkan kembali. Tanpa menghiraukan tembakan yang dilepaskan Diego tadi, ia kembali melangkah turun.
"bitch you are not going anywhere!"
DOR!
Tembakan yang dilepaskan diego tepat mengenai kaki kiri Alondra.
Alondra terjatuh dengan posisi berlutut. Diliriknya kaki bagian paha yang kini mengeluarkan darah. Ia meringis pelan. Kali ini habis sudah kesabarannya.
"WORK FOR ME!" teriak Diego untuk kesekian kalinya.
"I SAID NO!" Dengan gerakan yang amat sangat cepat, ia meraih pisau kecil milik salah satu anak buah Diego yang sempat terjatuh ke lantai. Tanpa perlu memperhitungkan jarak mereka, Alondra melempar belati kecil itu sehingga tepat mengenai punggung tangan yang digunakan Diego untuk menodongkan pistol ke Tion.
Refleks Diego menarik tangannya yang mulai mengeluarkan darah. Pistol miliknya pun ikut terjatuh. Dengan sigap Alondra berdiri dan menyeret kakinya untuk melangkah lebih dekat ke Diego tanpa mempedulikan Tion yang melangkah menjauh.
"don't mess with me," bisik Alondra setelah ia berada di atas pria tadi, kemudian ia berlutut dan memukul pipi kiri pria tersebut dengan kepalan tangan kanannya yang masih baik-baik saja.
BUG!
BRUK
Tak Alondra sangka, pria itu langsung jatuh pingsan di pukulan pertama. Tubuhnya tergeletak di dekat kaki Alondra dalam posisi aneh. Alondra yang terkejut mengibas-ngibas tangannya yang agak sakit setelah memulul Diego tepat di hidung pria itu. Paling tidak setelah ini diego akan butuh ke rumah sakt untuk hidungnya yang patah.
'what the heck? Padahal aku baru saja mulai' batinnya.
Saat ia menengadah, Tion sudah menghilang, meninggalkannya bersama beberapa pria berbadan besar dan bos mereka yang hidungnya berdarah-darah.
Ia berdiri, rasa sakit di sekujur tubuhnya terutama peluru yang masih bersarang di kakinya semakin terasa setelah adrenalinnya untuk bertarung berkurang. Dengan perlahan ia membungkuk untuk mengambil ranselnya, kemudian berjalan dengan tertatih keluar gedung tua itu dan berencana untuk menuju klinik kecil yang berada tak jauh dari hotelnya.
Ia tidak tahu siapa orang-orang tadi dan pikirannya masih terlalu kacau untuk mencerna apa yang barusan terjadi, yang jelas Alondra ingin cepat-cepat peluru yang bersarang di tangan dan kaki kirinya dikeluarkan. Tentu ia tidak pernah menyangka bahwa hari terakhirnya di Irlandia akan berakhir seperti ini. selama perjalanan keluar dari area ini, pikirannya tak bisa lepas dari Tion dan mata yang dimiliki laki-laki itu.
Baru saja Alondra hendak berbelok keluar dari area terlarang, dua buah mobil SUV berwarna putih memotong jalannya dan berhenti tepat di depannya. Dua pria berpakaian coklat dengan tato laba-laba di leher keluar, membuat badan Alondra menegang. Ia mungkin sanggup melawan dua orang ini namun bisa dipastikan ia akan semakin dipenuhi luka setelahnya.
Kedua pria itu kini telah berdiri di depannya namun tanpa senjata di tangan mereka berdua, tangan Alondra bergerak menjatuhkan ransel yang ia bawa, kemudian memejamkan matanya untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga terakhir yang ia sendiri tidak yakin akan cukup untuk bertahan.
"whoah relax pumpkin."
Mata Alondra yang sebelumnya terpejam langsung terbuka mengetahui siapa pemilik suara itu.
Tion.
"aku tidak akan bekerja untukmu juga." Alondra menegakkan tubuhnya dari posisi siap melawan.
Tion berjalan mendekat dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku mantel coklatnya. Senyum misterius yang ada di wajahnya membuat Alondra mengira-ngira apa yang laki-laki ini pikirkan. Setelah jarak di antara mereka hanya tinggal satu meter jauhnya, barulah mereka berdua sama-sama bisa melihat wajah masing-masing dengan lebih jelas.
Alondra, di bawah sinar lampu jalan berwarna kuning dapat melihat dengan jelas kedua mata Tion yang masing-masing berbeda warna.
Tion, dibalik bayangan gelap lampu jalan dapat melihat dengan jelas lebam keunguan yang mulai muncul di wajah Alondra.
Saat di gedung itu ia berhadapan dengan salah satu musuh besarnya, Diego Bonazias, salah satu pemasok narkoba terbesar di Irlandia. Awalnya mereka hanya berencana untuk bertransaksi karna sebelumnya Diego memesan beberapa senjata api buatan Tion, dan pembayaran akan dilakukan di area terlarang Irlandia agar tidak ada kecurigaan dari pihak kepolisian yang selama ini memburu mereka. Hell, bahkan pihak kepolisian pun takut dengan takhayul hantu di area tersebut.
Diego berjanji akan membayarnya senjata khusus pesanannya dengan uang. Secara cash. Namun saat pertemuan transaksi dilakukan, Diego memaksa untuk membayar dengan narkoba yang tentu saja di tolak mentah-mentah oleh Tion. Selama bisnisnya dimulai, ia telah menetapkan aturan itu, yaitu menerima pembayaran melalui emas, permata, artefak, dan uang, tapi tidak akan pernah menerima pembayaran dengan narkoba dan obat-obat terlarang sejenisnya, apalagi perempuan.
Bukan sebuah rahasia bahwa Diego juga terlibat dalam perdagangan manusia di black market.
Saat Tion hendak membatalkan transaksi dan pergi, mendadak serangan dilancarkan oleh anak buah Diego yang menyebabkan hampir setengah anak buah Tion tewas. Terjadi baku tembak selama beberapa saat. Untungnya senjata yang dipesan oleh Diego dapat segera diamankan oleh anak buah Tion yang lain, sayangnya, Tion terjebak. Dan di saat-saat terakhir itulah Alondra muncul. Gadis yang memberinya kejutan di pertemuan pertama mereka dengan secara tidak langsung menyelamatkannya.
"siapa bilang aku memintamu untuk bekerja denganku?" Tion maju selangkah mendekati Alondra.
"then why do you blocking my way home?" tanya Alondra tetap berdiri tak bergeming sedikitpun walaupun darah masih mengalir dari luka di kakinya.
Tion mengedarkan pandangannya ke sekeliling mereka. Merekam suasanya di sekelilingnya untuk kemudian disimpan di dalam ingatannya. Anggap saja dirinya aneh karna sebelumnya ia tidak pernah tertarik pada makhluk yang disebut 'perempuan', tapi kali ini perempuan yang ditemuinya bukanlah perempuan biasa. Ia tahu pasti perempuan didepannya memiliki sesuatu yang disembunyikan.
Ia terkejut, mendapati perempuan ini sama sekali tidak menampakkan emosi apapun.
Jangan salah, menjadi seseorang yang selalu di pandang seperti monster membuat Tion haus akan rasa takut dari tiap orang yang ditemuinya. Sejak awal Alondra dibawa ke dalam gedung oleh kedua anak buah Diego, ia mencari rasa takut itu dari tiap tindakan maupun ekspresi Alondra, namun hasilnya nihil. Seakan rasa takut tidak pernah hadir di hidup perempuan di depannya.
Tion melangkah semakin dekat, kemudian berhenti tepat di depan gadis itu.
"it's cold outside," bisik Tion.
Tanpa disangka-sangka, Tion melepas syal putih yang dikenakannya. Dengan mata yang masih terpaku di mata Alondra, Ia melingkarkan syal itu di leher gadis dengan mata yang sama dengan warna matanya.
"come with me. You need a doctor."
"aku bisa pergi kesana sendiri," Alondra menolak.
"kau telah menyelamatkan nyawaku, shouldn't i do a payback?"
"well, technically i didn't save your life, i was defending my self but accidentally saved your life too." Alondra melangkah maju, "and you don't have to do a payback, a simple 'thank you' would be enough."
Kilatan petir menyambar beberapa saat setelah Alondra menyelesaikan perkataannya. Hujan yang tadinya sudah perlahan berhenti kembali turun dengan deras, membasahi apapun yang ada di bawahnya.
"thank you." ujar Tion.
"you'rewelcome. now leave me alone."
"just go inside the car.. would you?"
"aku masih bisa berjalan," Alondra melangkah berjalan melewati Tion, tidak akan ambil resiko diculik oleh laki-laki menarik namun mencurigakan itu.
Hanya karna pria itu memberikannya syal, bukan berarti pria itu bisa ia percaya.
"aku tidak akan menyakitimu, kau tahu itu bukan?" ucap Tion masih dengan suara husky yang mengirim rasa dingin ke tubuh Alondra.
Alondra tetap berjalan. "kau tidak bisa menjamin itu, Tion."
Kedua anak buah Tion hendak melangkah mengikuti Alondra, namun dihentikan oleh Tion yang kemudian mengikuti Alondra yang berjalan terseok-seok. Ucapan Tion barusan sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun pada Alondra, membuat Tion semakin tidak sabaran. Tion kemudian berjalan lebih cepat hingga ia berhenti di depan Alondra, menghalangi langkah gadis bermata coklat dan biru itu.
"just go inside the f#ckin car," geram Tion yang kini telah menodongkan pistol di kening Alondra. Membuat Alondra tertegun selama beberapa saat karna baru saja Tion mengatakan bahwa ia tidak akan menyakitinya.
Alondra berpikir, apa yang akan dilakukan laki-laki itu padanya jika ia menuruti perintahnya. Apa Tion akan membunuhnya dan menjual organ tubuhnya di black market? Apa Tion akan menawannya, menjadikannya budak? Apa Tion akan menjualnya di pasar perdagangan manusia? Atau Tion benar-benar mengantarkannya ke rumah sakit? Ia tidak bodoh untuk mengetahui bahwa jarang sekali ada mafia yang masuk ke area publik seperti rumah sakit. Biasanya para mafia lebih memilih mempekerjakan dokter pribadi.
Hembusan angin malam Irlandia menelusup di celah antara Alondra dan Tion berdiri, menari-nari dengan bebas seakan tidak ada yang keberatan dengan tarian yang membawa suhu di sekitarnya turun beberapa derajat. Tarian yang membuat siapapun yang merasakannya menggigil, termasuk Alondra yang telah basah oleh air hujan.
Ia juga heran, mengapa seserang sering kali memaksa orang lain dengan menggunakan kekerasan.
Alondra mengeraskan rahangnya, berjuang untuk tidak kehilangan kesadaran dari hujaman rasa sakit dan tarian dingin angin. Biasanya ia bisa bertahan di kondisi yang lebih parah, namun kali ini ia merasa ingin sekali menyerah dan tertidur di trotoar jalanan yang sepi agar sejenak bisa mengumpulkan tenaga kembali. Rasa lelah akibat tenaga dan pikirannya yang telah terkuras selama beberapa hari ini diperparah oleh denyutan rasa sakit dari luka tembak yang diterimanya membuatnya beberapa kali memejamkan matanya dan meringis.
Ditatapnya dua bola mata yang berbeda warna itu dengan tenang.
"you wouldn't kill me." Bisik Alondra sambil meraih pergelangan tangan Tion yang mengacungkan pistol di keningnya.
Tion yang sama sekali tidak basah karna dipayungi oleh anak buahnya tampak sedikit terkejut. "why wouldn't i?"
Angin kembali berhembus dengan kencang seiring hujan yang semakin lama semakin menunjukkan pada siapapun yang berada di bawahnya bahwa mereka tak akan menghentikan pertunjukkannya. Pada akhirnya, kaki Alondra tak mampu menompang tubuhnya lebih lama lagi.
Alondra terjatuh.
Sebelum ia bisa membalas perkataan Tion, keseimbangan dan kesadarannya melayang pergi dari tubuhnya, menyerah dari perjuangan yang dipaksakan menit demi menit yang berlalu, meninggalkannya terbaring dibawah hujaman ratusan air hujan dan tatapan mata Tion. Hanya dengan menatap matanya dan meraba nadi di pergelangan tangan Tion selama beberapa saat, Ia tahu pasti, dan ia yakin... Tion menyukainya.
PRESENT TIME
Tion's Private Jet Plane. Pukul 4:42 A.M.
Location : unknown
Mata Alondra bergerak di bawah kelopak matanya yang tertutup. Cahaya matahari yang menelusup jendela pesawat menghangatkan tangannya. Perlahan Alondra mulai membuka mata, mendapati pemandangan sekelilingnya yang masih sedikit berbayang-bayang karena kepalanya yang sakit. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali hingga akhirnya berhasil melihat dengan jelas apa yang ada di sekelilingnya.
Hal pertama yang ia lihat adalah Tion, yang duduk di sampingnya dengan tatapan mata lurus ke laptop di hadapannya.
Alondra menatap Tion lama, mengagumi bagaimana karya Tuhan yang satu itu. Bibir merah Tion menyunggingkan senyum. Tentu ia menyadari bahwa gadis kesayangannya telah tersadar dari tidurnya.
"i always can smell the scent of blood when you're coming." ujar Tion pelan. Suaranya yang berat menggelitik telinga Alondra. ia belum pernah mendengar suara seberat dan se husky itu.
Mendengar hal itu, Alondra menyunggingkan senyum geli. Tion mungkin bukan laki-laki yang dapat dengan mudah mengekspresikan perasaannya melalui kata-kata yang tepat, namun ia selalu mengerti makna di balik kata-kata yang Tion ucapkan.
"yeah, aku juga merindukanmu, Tion," Balas Alondra. kali ini ia memutuskan untuk mengarahkan pandangannya ke lautan awan di luar pesawat.
"are we heading to your place?" Alondra merapatkan mantel putih milik Tion yang sebelumnya ia kenakan.
Dua orang pelayan laki-laki berlalu lalang di dalam pesawat jet milik Tion, ada sekitar tujuh orang anak buah Tion yang duduk beberapa meter dari mereka.
Tion mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop di hadapannya, dan bergumam dengan pelan. "correct."
Alondra memutuskan untuk istirahat sejenak melihat laut yang mengintip di sela awan-awan putih di sekeliling pesawat, tangannya meraba saku bagian dalam mantel Tion dan mendapati pistol emas miliknya. Ia mengeluarkan pistol emas itu, memandanginya lama. Jemarinya menghapus sedikit bercak darah yang menempel di pelatuk pistol emas di tangannya, tidak ingin ada sedikitpun noda yang mengotori pistol itu.
Musik klasik yang lembut mengisi kesunyian pesawat, menelusup di telinga siapapun yang bisa berfungsi dengan normal, mengalun-alun menghapus rasa relah tiap orang di pesawat. Tak ada seorangpun yang mengira, bahwa Tion menyukai musik classic.
Tion akhirnya mengalihkan mata biru dan coklat itu ke Alondra saat cahaya matahari yang masuk dari jendela terpantul oleh pistol emas pemberiannya.
"kau menyukainya?" tanya Tion.
Alondra beralih menatap Tion, menjawab pertanyaan laki-laki itu dengan sebuah anggukan.
"kau butuh lebih? I'll make it more." Kali ini nada suara Tion melembut menandakan bahwa ia sedang memiliki mood yang bagus.
Alondra yang tenggelam di dalam mata indah milik Tion hanya tersenyum dan kembali mengangguk.
"okay, cherry." cengiran muncul di wajah Tion.
Seakan tersadar dari buaian mata itu, Alondra tersentak.
"huh? What? okay apanya? apa yang barusan kau katakan?" kemudian Alondra sadar apa yang Tion tawarkan, matanya melebar dan kepalanya menggeleng dengan cepat. "no nO NO. Aku hanya butuh satu, i don't need more of this."
"you sure?" kedua alis Tion terangkat. "kalau begitu bagaimana dengan uang? Apa kau butuh uang? Katakan berapa yang kau butuhkan aku akan mentransfer sejumlah yang kau butuhkan langsung ke rekening mu. Atau kau butuh cash?"
"Tion," Alodra memberikan tatapan datar pada Tion, memperingatkan laki-laki itu agar tidak bertindak lebih jauh.
"emas?" tanya Tion, kali ini ia benar-benar telah berpaling dari laptop yang berisi data-data penting mengenai perusahaan underground nya.
Alondra memejamkan mata sambil menggeleng. Kemudian sebuah ide muncul di kepalanya.
"marshmallow... dan coklat. Aku butuh itu." Ujar Alondra saat ia membuka matanya.
Ekspresi Tion berubah dengan cepat.
"i don't have that shit," Tion menoleh ke seberangnya dimana salah satu anak buahnya duduk dengan menatap kedua pasangan ini dengan ekspresi geli. "do we have that shit, Paulo?" tanya Tion.
Paulo menggeleng sambil berusaha menjaga ekspresinya tetap dingin, namun akhirnya ia tergelak pelan.
"kalau begitu aku tidak membutuhkan apa-apa."
Alondra kembali menatap lautan awan di luar pesawat, hingga ia teringat akan sesuatu yang sebenarnya amat sangat ia butuhkan. Ia berbalik untuk menatap Tion yang ternyata masih menatapnya seakan tau apa yang ada di pikirannya.
"sebenarnya aku butuh sesuatu," Alondra memasang cengiran di wajahnya, berharap Tion mengabulkan permintaannya.
"what is it? say it."
"i want-"
"mobil? kau ingin yang harga kisarannya berapa? Ingin yang dilapisi baja anti peluru?" Tion kembali memotong ucapannya.
"oh god.."
Tion tidak mempedulikan reaksi Alondra dan tetap terus menggodanya. "perhiasan?"
Hal ini benar-benar membuat Tion terhibur. Walaupun gadisnya tau bahwa dirinya melakukan hal itu dengan sengaja, ia tidak akan keberatan memberikan apa yang ditawarkannya jika Alondra berkata ya pada semua hal yang ia tawarkan.
Lain halnya dengan Alondra. setelah membaca kisah nyata cinta yang tertulis di sebuah buku pemberian Mrs. Thiago dan menonton film romansa saat ia bosan, ia menetapkan bahwa tidak semua perempuan menginginkan sesuatu yang mewah ataupun berkaitan dengan uang.
Terkadang beberapa perempuan hanya membutuhkan untuk dicintai, di hargai, di lindungi dan di hormati. Semua itu juga sudah cukup baginya.
Alondra mengangkat telapak tangannya ke udara, tepat di hadapan Tion, mencoba menghentikan laki-laki itu agar ia bisa melanjutkan kata-katanya.
"aku ingin-"
"hmm?" Tion memandangnya lekat lekat, membuat Alondra gugup.
"kulkas." Lanjut Alondra, senyum di wajah Tion menghilang.
Higi dan dua orang anak buah Tion yang tak sengaja mendengar percakapan dua pasangan itu sejak awal kemudian saling berpandangan, ketiganya heran bagaimana dua jenis manusia berberda dengan latar belakang sifat yang saling berlawanan ini dapat saling menyukai dan bisa bersama di ruangan tertutup tanpa berusaha saling membunuh.
Terlebih lagi, kebingungan mereka bertambah dikala mendengar permintaan aneh Alondra.
"kulkas?" ulang Tion, meragukan apa yang barusan ia dengar.
"yep. Kulkas."
Setelah jeda yang cukup lama, akhirnya Tion buka suara. "you don't need that shit,"
"i do! Kulkas dengan dua pintu yang besar dan hemat energi. Intinya kulkas tercanggih yang bisa kau dapatkan,"
"i won't buy you shit like that,"
"the name is fridge, Tion. Stop calling it shit because your food won't last longer without it."
Tion menatap Alondra lama, kemudian mengangguk. "you've got a point."
Selama sekitar satu jam selanjutnya Alondra habiskan dengan membaca buku yang ada di pesawat Tion hingga pesawat itu landing di sebuah bandara yang tak diketahui Alondra. jujur saja ia terkejut saat tahu bahwa Tion juga suka membaca sama sepertinya.
Selain menyadari bahwa luka di perutnya masih sangat menyakitkan, ia menyadari bahwa ada yang salah dengan dirinya. Dimulai dari rasa aneh yang ia rasakan tiap kali ia mulai berdiri. Saat Alondra hendak menuju toilet pesawat, ia terhuyung hampir terjatuh jika saja salah satu anak buah Tion tidak menangkapnya. Pusing yang dirasakannya semakin menjadi.
Setiap kali ia mencoba untuk berdiri dan berjalan, bumi seakan berguncang. Ia tidak dapat menjaga keseimbangannya, membuatnya harus memegang atau bersandar pada sesuatu yang kokoh setiap kali ia melangkah.
'god damn it, Al. Get a grip!' batinnya pada dirinya sendiri.
Sebelumnya ia pernah merasakan hal ini, hal yang sama yang ia rasakan sebelum akhirnya ia harus berada di rumah sakit selama beberapa malam.
Tekanan darahnya amat sangat rendah.
Tentu Tion menyadari hal itu.
Dan ia amat sangat khawatir. Ia tidak ingin mengakui bahwa ia khawatir tapi perasaan itu terus menganggunya sejak ia melihat gadisnya tergantung di ruang tawanan sepupunya dengan kondisi yang menyedihkan. Walaupun ia tau sepupunya tidak akan menghancurkan wajah perempuan, tapi ia tau sepupunya akan melakukan apapun untuk mendapatkan informasi dari tawanannya hingga akhirnya, Lui akan membunuh tawanan itu. Sama seperti apa yang hendak lui lakukan pada Alondra jika ia tidak datang tepat waktu.
Tumbuh besar dengan beban yang berat di bahunya, ia membangun benteng baja di hatinya agar tidak luluh terhadap apapun. Ia membangun benteng yang amat sangat kuat hingga ia tidak bisa merasakan rasa bahagia dan hangatnya kasih sayang yang ia terima dari orang-orang di sekelilingnya. Tidak sampai ia bertemu dengan Alondra.
Gadis itu..
Gadis yang terus menerus mencoba menerobos benteng kokoh di hatinya yang mati bersamaan dengan kedua orangnya yang terbunuh.
▽△▽△▽
haiiiii guyssss. akhirnya bisa update juga^^ maaf lama yaaaa. baru dapet tempat yg ada wifiya huehuehue. next chapter will be up soon. jangan lupa vote yaaa xx
- Fal
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top