#5 Glints on Broken Glass

Haiiii, selamat bermalam minggu
Lama juga ya Jou ga apdet Emotion.

Happy Readingggg

__________________

08.22 PM

30 Januari 2020


"Dia membaik," Samuel berkata.

Aya menekankan telapak tangannya ke wajah. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kau tahu cuaca dingin memang tidak pernah bersahabat dengannya." Samuel menyentuh bahu Aya.

"Apa yang terjadi? Bukankah setelah pencangkokkan itu, bisa dipastikan penyakitnya takkan kumat?"

Seandainya di sana tidak benar-benar hening, Samuel mungkin takkan mendengar suara lirih dan bergetar Aya.

"Selama ini kami hanya memberikan pilihan, tidak pernah ada yang benar-benar pasti di dunia ini." Aya belum bereaksi, jadi Samuel melanjutkan dengan suara rendah. "Di musim dingin, pada umumnya pembuluh darah manusia menyempit untuk memerangkap panas, dan itu kabar buruk untuk penderita Sickle Cell Disease. Sel-sel darah merah mereka yang abnormal terperangkap, menyumbat pembuluh darah. Itu bisa berakibat apa saja; stroke, serangan jantung, gagal ginjal, asma, lumpuh anggota badan."

Tubuh Aya menegang di bawah tangannya. Samuel tidak menemukan tanda-tanda apakah wanita itu bernapas. Ia beringsut melintasi celah dingin di kursi tunggu, menarik Aya ke dadanya. Dalam jarak sedekat itu, ia bisa mendengar napas Aya yang berat dan pendek.

"Tapi kita bisa mencegah itu terjadi," bisiknya. "Kau dan aku. Kau bisa melakukannya, untuk selalu ada untuknya apapun yang terjadi. Aku memerlukanmu untuk tetap kuat, Aya."

Aya mengangguk, perlahan-lahan ketegangan di bahunya mengendur.

"Sekarang, tengoklah dia," kata Samuel lembut.

Perlahan-lahan Aya menarik diri, beranjak untuk menghampiri pintu ruangan tempat Raka dirawat. Ia melemparkan pandangan sekilas pada Samuel sebelum genggamannya memutar kenop dengan hati-hati. Berbaring di ranjang brankar, terhubung oleh selang-selang ke tabung oksigen, infus dan mesin EKG, Raka bergeming seperti benda mati. Begitu tenang dan pucat. Aya menyelipkan tubuhnya dan menutup pintu tanpa suara.

Ia tidak bisa membayangkan kekacauan beberapa saat lalu, betapa terguncangnya ia sampai tidak ada yang bisa ia lakukan. Dan ketika ambulans datang, petugas kesehatan mengangkatnya ke atas tandu, sementara Samuel terus berada di sisi Raka untuk memantau keadaannya selama perjalanan, barulah kenyataan itu menghantam Aya; Raka bisa terenggut darinya kapan saja.

Dan mungkin ia takkan pernah bisa melihat Raka lagi.

Takkan mendengar suaranya lagi.

Untuk selamanya.

Matanya terpejam rapat dan ia menggigit bibirnya kuat-kuat ketika bayangan hidup tanpa Raka terbayang dalam benaknya. Tapi sekarang Raka ada di hadapannya, hidup dan lemah. Ia membuka mata dan dengan perasaan panik yang tidak masuk akal, menatap lama-lama ke monitor detak jantung. Bunyi bip konstan dari mesin itu tidak berbohong, bukan? Aya menyentuh pipi Raka, merasakan jemarinya seolah tengah meraba permukaan kaca jendela di musim dingin. Jari telunjuknya meratakan seuntai rambut ke sisi pelipis, lalu Aya mencondongkan tubuh untuk menekankan bibirnya di kening Raka. Ia menyaksikan bulu mata Raka bergetar samar, sudut bibirnya berkedut dan desahan syukur meluncur dari mulut Aya Hirano.

Rasanya agak sulit menahan diri untuk tidak menghambur memeluk Raka erat-erat. Ia harus mengingatkan diri bahwa perlakuan itu akan berakibat buruk untuk sekarang. Jadi ia bertahan, merasakan gelombang kehangatan membuncah memenuhi rongga dadanya, membuat tubuhnya gemetar, memburamkan sudut-sudut penglihatannya. "Ya, aku di sini, Sayang. Aku di sini."

Menarik kursi untuk duduk, ia menelusupkan jemarinya ke celah-celah jemari dingin Raka, meremasnya dan hanya duduk di sana sambil memandanginya. Entah bagaimana ia lupa caranya tidak tersenyum.

***

"Nah, kau adik kecil yang rewel. Jaga kesehatanmu." Suzanne Carlyneth, kakak adopsi Raka yang berambut pirang kuning dan mata hijau pucat, menangkup wajah adik laki-laki yang tidak lebih tinggi darinya. Ia melanjutkan sambil memeluk, "Aku sungguh tidak ingin pergi, kalau saja ini bukan bagian dari pekerjaan. Kau selalu membuatku khawatir. Sekarang, berjanjlah padaku."

"Tentu saja, aku janji."

"Tidak, aku tidak yakin. Bersumpahlah."

Raka balas memeluk. "Aku bersumpah."

"Bagus." Susan tersenyum, namun itu tidak bisa menyamarkan mata merahnya. Ia beralih pada Aya, mengulangi hal yang sama dan membisikkan beberapa kata dengan suara rendah. Ia mengedip sebelum berbalik lalu menarik kopernya, bergabung di belakang antrian pemeriksan barang. Sebentar saja punggun rampingnya sudah lenyap.

"Kita pulang?" tanya Aya pada Raka. Tangannya terulur menggapai tangan Raka, menghangatkannya. Di sekeliling, suara-suara orang bercakap, ketuk sepatu, bunyi roda koper di lantai serta pemberitahuan dari pengeras suara memantul di langit-langit, memenuhi udara.

Salju tidak turun pagi itu. Namun udara beku tetap bertahan sampai bernapas saja terasa sakit. Dan walaupun matahari tidak muncul, aktivitas kota tidak lantas menurun. Dengan sigap orang-orang memanfaatkan cuaca cerah untuk membersihkan sisa-sisa lapisan salju semalam dari jalanan, mobil dan halaman rumah. Anak-anak bermain salju di luar dengan mantel dan lilitan syal yang membuat mereka tampak gemuk, peliharaan-peliharaan dilepaskan dan stalaktit-stalaktit es yang menggantung dari atap dikikis.

Mungkin cukup sekali ini saja Aya membiarkan Raka berada di luar di musim dingin begini; demi mengantar kakaknya ke bandara. Ia sudah melakukan apapun untuk menjaga laki-laki itu tetap berada dalam rumah, terhindar dari udara beku yang jahat; melayangkan permohonan cuti ke perusahaan tempat Raka bekerja, dan memastikan selalu mengawasi Raka, kapanpun, di manapun. Ia berkonsultasi banyak hal pada Samuel selama Raka dirawat, bagaimana pola makannya, apa yang bukan dan bisa menjadi pecetus penyakitnya. Dalam tiga hari yang panjang, Aya duduk berjam-jam di depan laptopnya, mengumpulkan informasi sebanyak yang ia bisa. Membaca dan terus membaca untuk lebih memahami Sickle Cell Disease.

Raka pernah menjalani pencangkokkan sumsum tulang belakang pada usia lima belas tahun, dan saat itu Aya remaja belum memiliki keinginan untuk mencari tahu lebih banyak. Pun sejak pencangkokkan yang sangat berhasil tersebut, ia tidak pernah melihat Raka sakit lagi. Hubungan mereka tidak lebih dekat daripada sekadar tetangga, yang mengerjakan tugas bersama diam-diam, terkadang berusaha untuk tidak tampak menyetujui gagasan bahwa arah sekolah dan rumah mereka sama. Keluarga Raka adalah imigran yang baik hati. Terlalu baik untuk menjadi saksi bagaimana kacaunya pemerintah dalam menangani kasus rasisme.

Meskipun separuh darah Mr. Brennan adalah Finlandia, ia tinggal di negara tropis di ekuator. Dan istrinya, adalah personifikasi dari kata anggun. Ia memiliki semua yang diajarkan alkitab untuk masuk surga (seandainya surga itu nyata); lemah lembuh, ramah dan tidak pernah berlaku maupun berkata-kata kasar. Aya tidak pernah menemukan manusia seperti Nyonya Anwitra. Sebagai kaum minoritas, ia tidak pernah menunjukkan kebencian. Dan bersama-sama Mr. Brennan, mereka menjadi pasangan paling sempurna dalam pandangan Aya remaja.

Dan begitulah, orang-orang baik selalu terenggut lebih dulu dari dunia. Aya sedang menempuh studinya di California saat kabar itu mencapainya. Enam tahun yang lalu.

Jika diingat-ingat lagi, itu sama sekali bukan waktu yang sebentar.

Aya langsung menyalakan pemanas udara sampai level maksimal setibanya di dalam mobil. Ditangkupnya jemari Raka dalam kedua telapak tangannya.

"Aku sudah cukup hangat," gumam Raka lembut setelah beberapa saat.

"Sungguh?"

"Ya. Hampir terasa seperti neraka di dalam sini."

Ia melihat wanita itu tertawa dan menarik diri. Aya memasang sabuk pengaman untuk dirinya sendiri seraya berbicara tentang cuaca dan betapa senangnya ia karena terbebas dari udara rumah sakit yang bau obat. Sekarang ia beralih menatap layar smartphone-nya, lalu memekik dan sibuk mengetik, alisnya mengerut, bibirnya mengerucut ke satu sisi. Raka bisa duduk di sana berjam-jam hanya memandangi Aya. Tidak, mungkin bahkan seumur hidupnya—seraya mengira-ngira tentang bagaimana Tuhan membuat skenario hidupnya. Mungkin begini, 'Aku memberimu semua yang kau butuhkan di dunia dalam wujud makhluk mungil bernama Aya Hirano, dan sedikit kerikil berupa penyakit mematikan agar kau lebih menghargai keberadaannya.'

Ia mengulurkan tangan memegang dagu Aya, menolehkannya. Tanpa memperdulikan tatapan bertanya wanita itu, ia mempertemukan bibirnya dengan bibir Aya.

Untuk sedetik, Aya terlalu terkejut untuk bereaksi. Ketika Raka berusaha bersikap sopan hanya dengan menjepit dan menghisap bibir bawahnya, Aya merenggut bagian depan mantelnya, membalas dengan lebih menggebu. Menekan, menuntut, mereguk dan mencecap lebih banyak. Usaha Raka untuk mencium dengan lembut, lenyap. Api menjalar secepat bagaikan bertemu gasolin. Bibir wanita itu terasa sehangat matahari musim semi, Raka tidak sadar seberapa besar tubuhnya mendamba dan merindukan kehangatan itu sampai napas Aya menyatu dengan miliknya. Ia menarik Aya menyeberangi jarak sempit di antara kursi, mendudukkannya di pangkuannya dan merengkuh tubuh mungil wanita itu dalam keposesifan yang fatal. Tangannya tidak bisa berhenti bergerak dan ia tidak bisa membuat dirinya peduli terhadap itu.

Suara-suara kecil sarat dengan kebutuhan menyeruak dari dasar kerongkongan Aya. Rambutnya jatuh tergerai di sisi wajah Raka seperti tirai. Menelusupkan jemarinya di rambut Raka, ia terengah-engah, berjuang untuk tidak terbakar ketika lelaki itu menyelipkan tangannya ke balik sweater-nya. Kulit pinggangnya di bawah sentuhan Raka memanas dengan cepat. Seluruh tubuhnya berdengung seakan dialiri listrik. Ia menginginkan setiap sentuhan, setiap gesekan, tidak bisa membuat dirinya berhenti. Aya menengadah, merasakan bibir Raka membentuk jejak basah dan panas menuruni rahangnya. Ibu jari laki-laki itu tergelincir masuk menyapu lidahnya dan Aya mengatupkan mulut, menghisap dengan lembut. Raka mendesis di lehernya

"Raka," Aya berucap di sela-sela napasnya. Perlu segenap akal sehat untuknya menyadari bahwa mereka masih berada di dalam mobil. Ia menoleh ke sekeliling dengan mata separuh terpejam. Di luar basement, salju mulai turun.

"Hmm?"

"Kau harus menyetir pulang," desahnya mengingatkan.

"Bukan masalah," bisik Raka serak, telapak tangannya di punggung Aya, mengusap dengan intensitas yang memabukkan dan wanita itu menahan diri untuk tidak melengkungkan tubuhnya. "Aku sangat merindukanmu."

"Orang-orang akan melihat. Kita bisa..." Napas Raka berembus di dadanya. "... melanjutkannya di rumah."

"Bagaimana jika aku ingin bercinta denganmu di sini," Bibirnya kembali mencumbu setiap senti kulit Aya, lehernya, sudut rahang, naik menuju bibir Aya yang telah terbuka untuknya. "... sekarang?" Ia tidak mendengar Aya menyetujui, tapi Raka tahu tubuhnya telah berkata lain.

Dan mereka kembali berciuman seolah tidak ada hari esok. Seolah mereka sedang berada di penghujung waktu dan dunia akan hancur sedetik lagi. Setiap belaian, setiap desahan yang lolos adalah perwujudan dari akumulasi kerinduan yang terpendam, harapan dan keputusasaan, menyatu menjadi pusaran hasrat tak terkendali.

Aya menangkap gambaran sekumpulan orang memasuki basement ketika memiringkan kepalanya. Ada banyak mobil terparkir di sekeliling mereka, tapi ia menegang dan langsung mengatupkan mulut. Ia merasakan rambut Raka menyentuh tulang selangkanya. Lalu tiba-tiba tangan lelaki itu menekan bokong Aya ke bawah, bersamaan dengan miliknya menghunjam naik. Lidah Raka di payudaranya. Aya mengerang tanpa bisa menahan suaranya, rambutnya terlempar ke punggung ketika ia mendongak. Mulutnya terbuka oleh perasaan penuh dan nikmat. Menggapai ke atas, telapak tangan Raka buru-buru menutup mulut Aya.

Seseorang yang sedang memegang smartphone, berdiri lima meter dari mobil, refleks menoleh. Namun kemudian temannya memanggil dari balik bagasi.

Jemari Aya mencengkeram bahunya. Raka meringis ketika Aya menggigit tangannya. Mereka menunggu susah payah dengan jantung berdentam-dentam, sepenuhnya bukan karena was-was.

Tiga mobil menderu meninggalkan basement.

Perlahan-lahan telapak tangan Raka meninggalkan mulutnya, beralih memegang pinggul Aya dan menggerakkannya. Pikiran Aya berhamburan. Rasa nikmat tak tertahankan mencapai ubun-ubunnya, membuatnya pusing. Ia mendengar Raka mengerangkan namanya, sementara tak ada yang dapat ia lakukan selain bertahan untuk tidak kehilangan kesadaran ketika mendaki menuju puncak kenikmatan.

Di luar, salju telah turun lebih deras, menyerap suara-suara. Hamparan monokrom sepanjang mata memandang.

Aya bersandar dengan mata terpejam di leher Raka, menikmati deru napas dan bunyi degup jantung lelaki itu, sepenuhnya lupa bagaimana kacaunya dia beberapa hari yang lalu ketika menunggu Raka sembuh. Kehangatan dalam mobil perlahan-lahan menurun. Lengan Raka mengusap bahunya dengan lembut.

Dan sesaat ketika Aya berpikir bahwa segala sesuatunya sempurna, lelaki itu berkata, "Menikahlah denganku, Aya."

....

A.N
Maaf yeee, Author kurang bisa menulis sex scene. Kalo kurang panas, bacanya sambil duduk di atas kompor gas nyala gitu. Pasti hot. Dan untuk yang pernah baca Emotion versi beheula, mungkin terkejut dengan perubahan besar-besaran di plotnya BAHAHAK. Kukatakan, welcome to Emotion versi Mature.

Dan kalau pengen Fallen ada sex scene, boleh kok. Asal Emotion mencapai ratusan vote. Wohohoho *dikeplak

See ya next chapter.

_____________________________

Behind The Scene

_____________________________

"Jadi," kata Samuel, mengamati neck-collar yang melilit leher Aya. "Ada apa dengan lehermu?"

Wajah Aya memerah hingga ke telinga. "Ini... ermmm...."

Raka menepuk bahu Samuel. "Kami bercinta di mobil, dan ketika dia orgasme, kepalanya terantuk langit-langit."

"Oh."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top