#4 Ache

Tiap kali ia mencoba membuka mata, seluruh bagian kepalanya disengat rasa sakit luar biasa. Sungguh, rasanya ia ingin menekankan kepalanya pada sesuatu yang dingin dan empuk, atau mengalihkannya dengan rasa sakit yang lain; menghantamnya dengan benda keras....

Aya Hirano mengeryit ketika cahaya masuk melalui celah sempit kelopak matanya. Ia mengerang samar, mengerjap-ngerjap, lalu memejam kembali. Sekujur badannya terasa remuk redam.

Sebuah tangan membelai kepalanya, lalu menyingkirkan rambutnya dari wajah. Entah mengapa sentuhannya terasa hati-hati, sesekali ragu namun menyenangkan di sisi lain. Ia mengerang ketika rasa sakitnya dengan cepat menggantikan kenyamanan sesaat itu.

"Kau pemabuk yang buruk." Seseorang berkomentar.

Butuh waktu sesaat bagi Aya untuk bereaksi. Ia membuka mata, dengan mudah menemukan warna biru lautan dalam milik Dev.

"... Dev? Ba-bagaimana--" Kedekatannya denga lelaki itu membuatnya ngeri. Ia menoleh ke sekeliling untuk memastikan. Mata hijaunya terbelalak ke sekeliling. Ini kamarnya. Tirai berwarna peach, rak buku, meja rias, dinding bercat ungu pastel dan pintu lemari yang terbuka, menunjukkan baju-baju berantakan... Aya beralih memeriksa pakaiannya. Masih lengkap. Ia dapat merasakan bahwa ia mengenakan celana di balik selimut dan dengan tanpa alasan pelan-pelan mengembuskan napas.

Seprai berkeresak ketika Dev bergeser. Lengannya yang kokoh membantu Aya untuk beranjak duduk. Wanita itu masih menatapnya bingung dengan sepasang mata mengantuk, namun tidak menarik diri. Rambut pirang kecokelatannya yang kusut menumpuk di bahu. Kerah sweaternya telah tersibakkan sedemikian rupa hingga Dev bisa melihat kulit yang lebih pucat di bawah tulang selangkanya. Ia berdegham, mencoba mengingatkan bahwa ia telah berbuat cukup jauh dengan meninggalkan banyak jejak di sepanjang leher Aya.

"Setidaknya kau mengenaliku. Sebentar, di mana kau menaruh obat-obatan?"

Aya memejamkan mata, mengurut keningnya. "Di... dekat akuarium, di dindingnya ada kotak... kaca." Lalu sontak ia memegangi perut. Tanpa banyak berkata-kata bergegas melompat turun dari ranjang, terhuyung pada langkah pertama lalu berlari menuju kamar mandi.

Samar-samar terdengar suara muntahan hebat bersamaan dengan keran menyala.

"Kau baik-baik saja?" Dev mengetuk pintu.

"Jangan masuk! Jangan—uh!"

Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa selain kembali memuntahkan semua isi perutnya, sementara entah bagaimana laki-laki itu telah berada di belakangnya. Jemari Dev menyingkirkan rambutnya ke punggung, lalu mengusap bahunya. Rasanya sangat memalukan.

"Kau bahkan minum lebih banyak dari aku," ucap Dev seraya mengulurkan sekotak tisu.

"Benarkah?" Aya melirik dari celah rambutnya, dengan mata merah dan berair. "Aku tidak ingat."

"Aku tahu," sahut Dev muram.

Setelah Aya meyakinkan diri bahwa dirinya takkan muntah lagi—bahkan tidak ada yang bisa ia muntahkan selain cairan pahit kekuningan dari lambungnya sendiri, Dev menggendongnya ke sofa di ruang tengah. Lelaki itu memberinya segelas air dan beberapa obat. Jelas sekali Dev mengambilnya secara asal dari kotak obat, mungkin hanya dengan membaca sekilas namanya, lalu memutuskan untuk meraup semuanya. Di antaranya malah ada obat pencahar yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hangover.

"Terimakasih," ucap Aya pelan, memejamkan mata sambil bersandar ke sofa, memeluk perutnya. Pelipisnya masih berdenyut-denyut. Tapi sudah cukup ringan ketimbang dari saat ia terbangun tadi. Dev mengusap-usap bahunya dengan gerakan menenangkan, "Karena telah mengantarku pulang, dan lainnya." Ia membuka mata, menyipit ke arah Dev. "Apa kita... melakukan sesuatu?"

Dev tersenyum. "Kau berdua sama-sama mabuk." Terasa terlalu formal. Seolah mereka sedang membicarakan bisnis dan bukannya perbuatan memalukan karena pengaruh alkohol.

Adanya percakapan ini pun sama mengganjalnya dengan keformalan itu. Sudah menjadi protokol jamak di manapun, bahwa ketika urusan malam selesai, salah satu pihak harus meninggalkan ranjang dan berpura-pura tak ada yang terjadi. Bersikap seperti tidak pernah ada apa-apa, dan kembali melanjutkan hidup. Tapi Dev ada di sini, menemaninya dengan sabar.

"Kau tidak punya sesuatu yang harus dilakukan?" tanya Aya lirih.

"Ini hari minggu."

"Mhm. Aku tidak bermaksud mengusir, tapi situasi ini... tidak menyenangkan. Bagaimana jika ada yang mencarimu...."

"Maksudmu, partnerku? Tidak akan ada," kata Dev. "Aku sudah sembuh dari kelainan itu. Kau ingin sesuatu? Aku akan membuatkan sarapan."

Kelainan, kelainan orientasi seksual? Aya menggeleng pada tawaran Dev. Benaknya tengah berkelana seputar ingatannya sebelum mabuk.

"Apa aku melakukan hal bodoh semalam?"

Ia merasakan tangan Dev terhenti di bahunya. "Kau memanggilku dengan namanya."

Pada akhirnya, bahkan d alam bawah sadarnya, hanya ada kenangannya, namanya. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal mengapa ia berakhir bersama Dev di ranjang yang sama adalah ia sedang berusaha melarikan diri, mencoba mengalihkan.

"Aku tahu. Masih terasa berat bagimu untuk melupakannya." Dev beringsut mendekat, menyentuh pipinya dengan lembut. "Aku akan tinggal kalau kau meminta. Biarkan aku menemanimu."

Betapa ia menginginkan hal itu seandainya bisa dilakukan. Aya menahan napas, sesuatu di balik rusuknya terasa sakit lagi. Rasa sakit yang begitu ingin ia lenyapkan.

"Pergilah. Aku ingin sendiri."

***

Sinar matanya mulai redup, menatap hampa ke satu arah, persis seperti ketika Dev mengamatinya duduk di sendirian di bar. Entah apa yang ia pikirkan, mengenang? Sedalam apa ikatannya dengan Raka sehingga bisa membuatnya sekacau ini?

Dev sangat ingin membantunya: apapun untuk membuat Aya pulih, untuk mengembalikan sinar kehidupan pada tatapannya. Okelah setengahnya mungkin nyaris seperti nafsu—ia adalah laki-laki normal. Tapi ada hal lainnya. Namun Aya membuatnya sama sekali tidak mudah. Selalu saja seolah ada dinding tidak tertembus yang dibangun gadis itu di sekelilingnya, mencegah siapapun masuk ke kehidupannya. Laki-laki itu begitu frustrasi memikirkan bagaimana caranya.

Ia memang baru bertemu dengan gadis suram itu semalam, setelah bertahun-tahun terpisah karena kehidupan masing-masing. Ia tidak mengira—tidak pernah sekalipun, mungkin karena dulu ia hanya tertarik pada laki-laki, akan menemukan dirinya terpikat pada Aya Hirano. Mata yang indah juga sedih. Ada sesuatu pada pandangan sayu dan ekspresi muram gadis itu, yang mampu membuat Dev merasa ingin... entah apa tepatnya.

"Kau yakin?" tanya Dev.

Aya mengangguk tanpa memandangnya. Owen, anjing husky-nya, mendongak dari lantai untuk mengajaknya bermain. Tapi gadis itu hanya memandanginya.

Dalam keheningan sesaat itu, tiba-tiba bel pintu depan berbunyi. Aya menoleh dengan enggan.

"Biar kulihat," ucap Dev seraya bangkit menuju pintu.

Dua orang dari masa lalu dalam sehari, pikir Dev ketika pintu terbuka dan ia terpaku lama berusaha mengenali seseorang yang berdiri di hadapannya.

"Dev?"

"Sam? Ya, kau pasti Samuel. Astaga, kapan terakhir kita bertemu?" Dev mengangkat tangan untuk menepuk bahu teman lamanya itu. Namun terhenti di udara ketika Aya muncul di belakangnya, bersuara dengan serak.

"Sam? Ayo, masuk," kata gadis itu seolah tidak acuh. Ia berbalik, tepat sedetik sebelum sesuatu menghantam daun pintu dan ia mendapati Dev memegangi hidungnya yang berdarah.

"Sam, apa yang kaulakukan?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top