#3 Hope
Please listen to Stay High by Tove Lo
And feel it.
Happy Reading.
Seperti dingin yang mengekal, atau angin membekukan yang membawa janji-janji akan musim dingin yang panjang. Harapan tentang sinar matahari pertama yang akan melelehkan es terasa mustahil.
Harapan adalah hal termewah di dunia ini.
Yang takkan pernah berani Aya miliki.
***
Pada akhirnya tidak ada yang bisa Samuel lakukan ketika pekerjaan menuntutnya untuk pergi. Rumah sakit sedang memerlukannya dan musim dingin kali ini membawa masalah lebih banyak ketimbang biasanya. Ia tidak bisa memercayai apa yang diucapkan gadis itu atau anggukan yang Aya berikan tanpa berpikir ketika Samuel berpesan sebelum pergi. Sama sekali tidak menenangkan, meninggalkan seorang gadis dengan kondisi mental berbahaya tanpa pengawasan... Oh, tolonglah, tak adakah yang dapat ia lakukan?
"Aku sudah menghubungi Catherine untuk menemanimu," ucap Samuel. Bukan hanya untuk menemani, tapi juga memastikan Aya tidak melakukan hal-hal berbahaya pada nyawanya sendiri. Catherine Wilson sangat dekat dengan mereka sejak bersama-sama pernah menempuh sekolah menengah tinggi dan tidak pernah putus kontak sampai sekarang. Ia tinggal di tepi kota sebagai penulis lepas. Gadis yang periang dan suka berbicara. Fakta itu cukup membantu nantinya.
Aya mengangguk. Wajahnya pucat dengan bayangan gelap di bawah mata yang menjadikannya tampak kontras. Setidaknya Samuel telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa gadis itu telah mengisi perutnya, meminum anti-depressan tanpa memuntahkannya kembali, walaupun masih sepenuhnya mengabaikan keberadaan Owen, anjing husky-nya yang menjadi satu-satunya makhluk paling bersemangat di antara mereka.
Tapi tetap, tak ada yang tidak mungkin jika itu menyangkut seseorang seperti Aya Hirano.
Detik ini ia bisa terlihat waras, namun tidak ada jaminan untuk yang berikutnya.
"Jaga dirimu baik-baik. Aku akan menghubungimu nanti." Samuel meraih puncak kepala Aya lalu mengecup keningnya. Gadis itu memaksakan senyum kaku seperti robot, tetap berdiri di tempatnya seraya mengamati kepergian Samuel sampai mobilnya menghilang di ujung jalan.
Aya mendongak menatap langit muram kebiruan. Seingatnya ini masih siang namun matahari telah lenyap.
***
Ia ingat suara menggonggong keras dari Owen ketika ia mengunci pintu apartemennya. Suaranya bergema sesaat di belakang pikirannya. Hanya itu dan entah bagaimana, sekarang ia sedang menyetir melewati jalanan. Aya memutuskan menepi untuk menghilangkan disorientasinya. Bagaimana ia bisa sampai di sini?
Setidaknya dirinya yang setengah tidak sadar tadi telah memakaikannya pakaian yang cukup untuk musim dingin: sweater, mantel dan jeans. Jadi pikirannya masih waras. Tangannya menyentuh syal yang melilit lehernya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia berada di jalanan kecil dengan bangunan-bangunan rendah di sisi jalan. Ada banyak mobil terparkir.
Iris hijau Aya tertuju pada bangunan cukup jauh di depannya. Bangunannya bertembok cokelat, dengan lampu-lampu kuning, serta area parkir yang luas. Di hadapannya, tidak terlalu tinggi dari atap-atap mobil yang terparkir, adalah sebuah plang dengan lampu neon biru bertuliskan 'Wild Pony.'
Raka pernah mengajaknya ke sana beberapa tahun lalu untuk merayakan ulang tahun Catherine, bersama teman-teman semasa sekolah yang kini sebagian besar sudah tidak diketahui di mana rimbanya. Pemiliknya adalah paman dari Dev, Steven, duda beranak satu yang ramah dan lucu. Waktu itu mereka hanya berenam: Aya, Raka, Samuel yang anti-alkohol-tapi berakhir minum paling banyak dan pacarnya, Grace Brisbane, juga ada Dev Pearson-atlet softball namun sialnya gay dan tentu saja Catherine, mood-booster. Mereka bertanding minum semalaman dan membuat lelucon masa sekolah yang manis dan menyenangkan. Seperti membolos, guru killer atau siswa-siswa nyentrik yang pantas dibully. Bahkan saat itu membicarakan masa depan terasa konyol, mengundang tawa, seolah mereka hanya hidup untuk hari itu.
Sebenarnya itu bukan sesuatu yang ingin Aya ingat. Terutama karena tak beberapa lama setelahnya, penyakit lama Raka naik ke permukaan. Gejala pertama sejak sickle cell disease-nya dinyatakan sembuh. Sekali lagi, kenangan yang benar-benar salah untuk diingat di waktu sekarang.
Aya menyetir menuju bar yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari tempatnya menepi. Di sana ramai---ia bahkan bisa menerka dari luar, tentunya orang-orang yang hendak menghangatkan diri, melarikan diri dari masalah bersama botol-botol minuman atau menyingkirkan akal sehat untuk semalam.
Kehadirannya langsung disambut aroma campuran asap rokok dan alkohol, dengung obrolan, tawa dan lagu yang terus berputar-tempat yang bagus untuk membuat benaknya sibuk. Dari salah satu sudut, terdengar orang-orang bermain billiar; bunyi bola-bola saling bertabrakan dan menggelinding serta sesekali bercampur umpatan. Hanya sebagian kecil meja yang kosong dan di dalam sana separuh biru akibat berpuluh-puluh nyala bohlam mungil di dekat meja bartender. Mereka menaruh lilin dalam mangkuk merah di atas tiap meja.
Aya melepas mantelnya seraya menghampiri meja bar, mendadak merasa seperti astronot jika dibandingkan para waitress yang mengenakan rok mini dan baju tanpa lengan. Bartender bertopi koboi itu sedang cukup sibuk. Jadi Aya hanya menatap kosong ke arah lemari kaca berisi botol-botol minuman.
"Pesan apa?" Seorang pria paruh baya dengan brewok tipis menghampirinya setelah nyaris setengah abad berlalu. "Aya!" Ia berseru tepat ketika mata cokelatnya menemui wajah Aya. "Sudah lama sekali, huh?"
Masih orang yang sama. Steven Leonardo. Kecuali jika ia sekarang tampak sedikit tua. Waktu cepat sekali berlalu.
"Kau masih di sini ternyata. Bir saja." Aya tersenyum seraya menyambut jabat tangan bersemangat Steve. Jemari mungilnya dengan mudah tenggelam dan pria itu menggoyang-goyangkannya sesaat.
"Apa kau sudah cukup umur, gadis kecil?" goda Steven. Garis-garis kerutan halus muncul di sudut matanya ketika ia tersenyum lebar.
Tawa yang keluar dari mulut Aya adalah murni tanpa paksaan. "Aku sudah hampir kepala tiga dan kau masih menganggapku gadis kecil."
"Lihat dirimu, sama sekali tidak menua. Hampir enam tahun sejak terakhir kalian ke mari."
Kalian. Tentu saja, semua orang.
"Kau juga masih terlihat bugar, Steve."
"Teman, hidup terlalu singkat untuk dikeluhkan. Silakan." Steven menyodorkan sebotol bir ke hadapan Aya. "Minum sendirian?" Iris cokelatnya sejenak mencari-cari teman yang mungkin bersama Aya, namun tidak menemukan.
Aya meneguk minumannya. Matanya memejam rapat-rapat dan berdesis ketika merasakan minuman beralkohol itu mengalir menuruni tenggorokannya. "Ya. Tidak kalau kau ingin menemaniku."
"Tunggu, ada seseorang yang juga butuh teman minum. Sebentar, kukira tadi aku melihatnya," ucap Steven cepat. Kepalanya berputar dan ia berseru keras. "Dev!"
Dev? Terlalu cepat untuk bertemu teman lama. Ia tidak menyiapkan diri untuk itu.
"Temani gadis kecil ini minum, okay. Aku akan meninggalkan kalian." Steven berlalu, beralih ke sisi meja yang lain untuk melayani orang-orang.
Aya meneguk minumannya kembali dan seseorang di sebelahnya berucap khawatir. "Pelan-pelan saja, Aya. Kau minum seolah sedang berada di penghujung hidup."
Ia memang berniat minum sampai mati. "Hai, Dev. Apa kabar?"
Senyum lelaki berambut cokelat tua dan mata hijau kebiruan menawan itu terkembang. "Luar biasa baik. Lihat siapa yang kutemukan, Aya Hirano-ku yang manis." Ia membentangkan lengannya.
Dengan terpaksa Aya menyambut undangan itu. Ia tidak pernah merasa benar-benar semungil ini sebelumnya, bahkan meski Samuel sering memeluknya. Tubuh atletis Dev membuatnya terlihat benar-benar seperti gadis kecil.
"Jadi apa yang membuatmu nyasar ke bar koboi ini?" canda Dev.
"Bersenang-senang."
"Oh benar, kau memang tampak butuh bersenang-senang. Lihat wajah sepucat vampir itu. Aku benci mengatakannya tapi kau berantakan."
Aya mengusap matanya dan mengerutkan kening. Ia melirik ke arah meja-meja bundar, mencari sudut yang bagus. Namun ternyata bar semakin ramai tanpa ia sadari. "Baiklah. Kau akan menemaniku atau tidak?"
"Tawaran yang mustahil ditolak." Dev mengajak Aya ke salah satu dari dua meja kosong yang tersedia lalu memulai percakapan panjang tentang masa lalu dan hal-hal sepele. Alkohol membuat segalanya terasa lucu dan pantas ditertawakan. Dan ketika laki-laki berdarah Skotlandia itu menyinggung soal meninggalnya Raka, Aya sedang memulai botol ketiganya.
"Mhm, dia. Ya, dia sudah mati," ucap gadis itu ringan, nyaris tertawa. Kata-katanya mulai dikuasai pengaruh alkohol.
"Aku turut berduka. Kalian berdua sangat cocok."
Tiba-tiba smartphone Aya bergetar di saku. Mata mengantuk Aya melirik layarnya dengan enggan. Samuel memanggil. Gadis itu menggeser jarinya ke arah ikon telepon berwarna merah, lalu cepat-cepat mematikan smartphone-nya tanpa berpikir.
"Sudah cukup membicarakannya? Aku sedang tak ingin mengingat lelaki kejam yang tega meninggalkanku itu, okay. Ayo minum lagi."
Dev mengangguk dan mengangkat botolnya. Matanya mengamati semburat kemerahan pada kedua pipi dan ujung hidung Aya, membuatnya kian manis. Gadis itu sudah mabuk dan sekarang bahkan belum jam sepuluh.
Tidak jarang ia menemukan orang-orang seperti Aya yang minum untuk melupakan sesuatu, menghindar dari kenyataan. Biasanya ia akan menolak ajakan untuk menemani-depresi bisa menular dan ia takut itu menular padanya-namun kini seorang Aya Hirano ada di hadapannya, teman sekolahnya yang dikenal periang dan baik hati. Sedikitnya Dev ingin membantu. Ia tahu rasanya kehilangan seseorang yang berharga dan satu hal lainnya yang ia pahami dari orang-orang yang tengah mengalami depresi; pada suatu titik terendah, manusia memiliki kecenderungan untuk menggali lebih dalam, menghancurkan dirinya sendiri.
Bar semakin ramai sementara malam beranjak tua. Suasananya kian meriah. Lagu demi lagu berputar, menghentak lantai dansa. Orang-orang menari dengan siapapun; bahkan orang asing yang mereka temui semenit yang lalu di dalam bar.
Aya tidak yakin entah bagaimana mulanya dan mengapa ia merasa tidak harus mempermasalahkannya; sebelah tangan Dev telah berada di pinggangnya dan mereka bergerak mengikuti musik di antara pasangan-pasangan dansa. Ia mendengar suara tawa, kemudian tersadar bahwa itu tawanya. Dev memindahkan tangan Aya ke lehernya dan kembali berputar.
Dev menariknya merapat, dan meskipun musik cukup menghentak, gerakan mereka melambat. Aya merebahkan kepalanya di dada Dev, mencari kenyamanan sekaligus berusaha menutup benaknya dari suara-suara yang tidak pernah lelah mengingatkannya. Ia tidak peduli. Apapun, ia hanya ingin bersenang-senang dan melupakan rasa sakitnya.
Lelaki jangkung itu menunduk, napas hangatnya menyapu pipi Aya. Ia menimbang-nimbang sedetik, lalu mempertemukan bibirnya. Bibirnya menyapu lembut dan ketika Aya mulai membalas, ia memberanikan untuk melakukan lebih jauh. Sepasang lengan kokohnya melingkari pinggang gadis itu dengan posesif.
Aya merasakan telapak tangan besar Dev menekan tengkuknya untuk memperdalam ciuman. Laki-laki itu terasa hangat nyaris membakar, sedikit getir dari alkohol dan aroma jeruk nikmat dari napasnya. Tapi tidak cukup untuk membuat benaknya teralihkan dari salah satu kenangan yang naik ke permukaan. Bibir Raka yang lembut, lalu rasa manis berpadu pahit dari kopi dan campuran aroma maskulin...
Tiba-tiba Aya menarik diri, terhuyung mundur dan ekspresinya berubah panik.
"Ada apa?" tanya Dev bingung.
Mata besar Aya mengerjap-ngerjap, perlahan-lahan terfokus pada wajah tampan Dev. Ia mengulurkan tangan untuk mencengkeram bagian depan jaket Dev dan menyentakkan bibir Dev ke bibirnya, putus asa menghilangkan bayangan dalam benaknya. Dengan senang hati Dev menyambutnya dan lidahnya langsung menyusup dalam.
Bagus sekali, jangan beri celah untuk benaknya berpikir. Jangan biarkan ia kembali mengingat.
"Dev." Napasnya tersengal dan pandangannya mulai tidak fokus. Bibir Dev meluncur turun menyerang lehernya. Tangannya menyingkirkan syal Aya. "Bawa aku---" racau Aya. Ia mencengkeram rambut cokelat gelap lelaki itu dan menengadah. "--ke mana saja." Matanya separuh memejam ketika Dev mencium tulang selangkanya.
Ke mana saja selain kenyataan.
"Sesuai maumu, manis."
***
Seolah seseorang telah melolosi semua tulangnya satu-persatu lalu meninggalkan rongga dadanya kosong melompong.
Samuel menyapu rambut cokelatnya yang dipotong rapi ke belakang tanpa berniat menutupi kegelisahannya. Ia mengalihkan pandangan dari punggung Joice yang berjalan melewati pintu laboratorium. Aya tidak ada di apartemen. LAGI. Dan Catherine yang telah dimintanya untuk menemani gadis depresi itu mengaku tidak bisa menemukan Aya di tempat-tempat yang Samuel sebutkan.
Ia tidak bisa pergi. Di saat seperti ini ia harus menunggu hasil tes kreatinin dari laboratorium sebelum menentukan langkah selanjutnya untuk pasiennya.
Samuel merasa seolah akan gila detik itu juga.
***
08.43 PM
29 Desember 2019
Aya benar-benar tidak istirahat semenitpun hanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ketika segalanya siap, ia melirik arloji dengan jantung berdebar. Semenit lagi sampai Raka pulang, lelaki itu telah lebih dulu memberi kabar padanya bahwa akan pulang sedikit terlambat.
Lampu sudah dipadamkan dan mereka berdiri di balik pintu ruang tengah, menunggu aba-aba.
"Sabar. Jangan lupa bernapas," Samuel berkata pada Aya, sebelah tangannya telah berada di atas sakelar.
"Aku tahu, aku tahu. Sebentar lagi dia sampai," bisik Aya bersemangat.
Orang-orang berbisik-bisik di belakang mereka. Aya mengundang semua orang: teman-teman dekatnya dan Raka, tetangga apartemen lantai sembilan, tidak lupa juga kakak Raka, Susan.
Di luar perkiraan, lebih dari lima menit kemudian barulah Aya mendengar tanda-tanda seseorang tiba di depan pintu. Orang-orang langsung berhenti berbisik-bisik, hening. Tangan Aya sudah bersiap di sebelah lengan Samuel untuk memberinya kode agar lampu dihidupkan detik itu juga.
Mereka sama-sama mendengar kerincing kunci, ketukan sepatu dan suara parau Raka.
"Aku pulang, Sayang."
Suara ketukan sepatu lagi dan keresak mantel dilepaskan.
"Aya?"
Pintu terbuka. Aya menghitung mundur dari tiga.
Lampu sontak menyala.
"SURPRISEEE!!!"
Raka membuka mulut, belum pulih dari keterkejutan. "Apa yang---" Sejurus kemudian menghela napas seraya tertawa, "Kalian...."
"Selamat ulang tahun yang ke-27!"
"Raka semakin tua saja."
Aya menghampirinya, cahaya lilin menari-nari di wajahnya yang ceria. "Ayo, buat harapanmu!"
"Harapan?" ulang Raka ragu.
Aya mengangguk dengan bersemangat. "Iya."
Harapan? Raka bertanya-tanya dalam kepalanya. Berapa banyak? Apa dia boleh menyebutkan semuanya? Tepat saat ini tiap kata tengah saling berebutan untuk menjadi prioritas, menggantung berat di lidahnya, menanti untuk diucapkan.
Iris cokelat berbinar-binar Aya masih menatapnya, ia dapat merasakan semua orang menunggu.
Tapi rasa sakitnya tidak bisa menunggu. Cuaca dingin memperburuk semuanya.
Ia menyentuh pipi Aya dengan sebelah tangan. Tangannya yang sebeku es terasa kontras di kulit Aya yang hangat. "Aku ingin...."
Kata-katanya terhenti. Aya menyaksikan kelopak mata Raka sontak memejam menahan sakit, rahangnya menegang, jemarinya meluncur dari pipi Aya untuk mencengkeram dadanya sendiri.
Kue di tangan Aya oleng dan meluncur jatuh sementara ia mematung di tempat. Susan memekik.
Samuel masih sempat menahan kepala Raka ketika temannya itu tiba-tiba merosot lemas ke lantai. Ia meraba denyut nadinya dan mengernyit, merasakan kulit Raka sedingin es. Napas tersendat-sendat Raka adalah satu-satunya sumber suara di ruangan.
"Seseorang telepon ambulans sekarang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top