#1 Arms

21.16

7 Desember 2019

Aya Hirano tidak ada di mana-mana.

Ia sudah mendengar beritanya dan satu-satunya yang terlintas di benaknya detik itu juga adalah Aya. Ia bersyukur operasi pasien daruratnya tadi berjalan lancar, meskipun memakan waktu lebih lama dari yang seharusnya. Dan entah bagaimana ia bisa melewatinya tanpa menjatuhkan apapun.

Dan kini, setelah tidak ada lagi tuntutan untuk bersikap tenang atau berkonsentrasi pada sesuatu, ia panik.

Kecemasannya meningkat ketika ia tidak menemukan wanita itu di rumahnya, di rumah sakit, tidak ada jawaban dari smartphonenya dan teman-teman sejawatnya tidak bisa memberikan informasi yang cukup menenangkan. Ia sempat bertemu Susan. Kakak perempuan Raka itu berkata bahwa ia bersama Aya di rumah sakit, namun wanita itu menghilang begitu saja ketika Susan berbicara dengan dokter yang memeriksa Raka. Dan itu enam jam yang lalu! Demi Tuhan, apa pun bisa terjadi dalam rentang waktu selama itu.

Mobil Aya masih di basement, dan itu berarti ia mungkin... Mencoba untuk memikirkan apa saja kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi --dan itu cukup sulit mengingat ia dituntut untuk selalu memperkirakan kemungkinan terburuk dalam mendiagnosa, Samuel memacu mobilnya melintasi jalanan sekitar rumah sakit, memikirkan rute yang diambil wanita itu. Ia terus mencoba menghubungi nomor smartphone Aya, namun sia-sia. Tidak ada yang mengangkat bahkan sampai dering terakhir. Tapi Samuel tidak menyerah.

Pria berambut cokelat itu menghentikan mobilnya di dekat sebuah taman kosong, lalu melangkah keluar, membanting pintu. Gundukan salju di mana-mana, menutupi bangku-bangku panjang, pangkal lampu dan semak-semak gundul -badai menghantam kota dua jam yang lalu. Napasnya sedikit terengah ketika berlari-lari kecil di sepanjang jalanan sepi. Beberapa kali sepatunya melesak dalam salju.

"Aya!" panggilnya keras-keras.

Suaranya teredam. Keheningan ini mengerikan. Tengah malam telah berlalu sejak lama.

Iris biru Samuel menoleh ke kanan dan ke kiri seraya terus mencoba menghubungi nomor smartphone Aya. Darah menderu di belakang telinganya.

Pencariannya berujung nihil. Samuel berpegangan di besi pegangan jembatan, kehabisan napas. Ia sudah mengelilingi lebih dari empat blok. Juga memeriksa tepian sungai Sneiden, gang-gang sempit, tempat-tempat yang memungkinkan keberadaan wanita itu luput dari perhatian orang-orang. Pria itu melirik layar smartphonenya yang telah menunjukkan peringatan baterai lemah.

Di mana wanita itu? Apakah ia hanya terlalu paranoid? Mungkin saja Aya berada di suatu tempat, sedang berusaha menaikkan kadar gula dalam darahnya.

Tapi ia Samuel sangat mengenal Aya Hirano. Ia tumbuh bersamanya dalam rentang waktu yang cukup lama untuk mengetahui sisi lain wanita itu.

Mulai terasa terlalu dingin. Samuel merapatkan mantelnya, uap seputih kapas berembus ketika ia menghela napas. Dengan jemarinya yang sekaku es, ia melakukan usaha terakhirnya dengan sisa baterai terkutuk itu.

Samuel mungkin terlalu frustrasi sampai tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana jelmaan harapannya. Karena ia merasa mendengar sesuatu selain napasnya.

Your Call - Secondhand Serenade berputar samar di suatu tempat.

Ia cukup yakin telinganya tidak salah mendengar. Sungguh, ini bukan efek samping karena terlalu paranoid.

Samuel tidak dapat merasakan kakinya ketika ia bergegas menuju sumber suara. Napasnya tertahan di dada. Di seberang jembatan, tertutup lapisan tipis salju, benda persegi itu menyala terang, menampilkan fotonya dan bergetar. Hanya benda itu.

Mendadak semuanya terasa jelas. Gemericik aliran lambat sungai Sneiden yang dalam, membawa kepingan es. Pantulan belantara neon di permukaannya...

Tidak.

Ya.

***

Pegangan besi jembatan itu tidak bereaksi. Sebaliknya buku-buku jemarinya yang bergetar dan sebelum nyerinya berhenti berdenyut, Samuel menghantamkannya lagi sekuat tenaga. Darah menetes dari jemarinya dan entah bagaimana mulai terasa menyenangkan mendapati bahwa kesakitan itu tidak ada apa-apanya. Ia menarik napas tajam, mencoba menyingkirkan himpitan tak kasat mata yang kini menekan rusuk-rusuknya. Tapi tidak berhasil.

Segalanya terasa salah dan membuatnya marah dengan mudah; suara gemericik itu, keterlambatannya atau gundukan salju di bawah pepohonan gundul dan kesendiriannya. Samuel menendang lapisan salju di atas tanah, menyebabkannya berhamburan sesaat. Dan sedetik setelah ia berpikir bahwa ia bisa melakukan hal ini sepanjang malam, mengutuk, mengamuk dan sebagainya sampai kelelahan, sampai ia siap pada kenyataan lainnya, lalu kakinya mengenai sesuatu yang padat di balik salju.

Matanya bergerak menelusuri bentuk samar di atas tanah dan dengan kakinya ia menyingkirkan lapisan salju yang menutupi benda itu.

Sebuah kaki... terbungkus sepatu boot cokelat.

Samuel langsung bersimpuh, dengan panik mengenyahkan gundukan salju lalu menemukan kilasan rambut pirang kecokelatan panjang yang tampak mencolok. Pemiliknya tidak tampak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sel sarafnya terasa seolah disentakkan sampai putus. Ia mendengar suara parau seseorang menyebut nama Aya, lalu tersadar bahwa itu suaranya sendiri. Tidak membiarkan benaknya berpikir dua kali, Samuel menyelipkan lengannya di bawah tubuh sedingin es itu lalu menggendongnya menuju arah mobilnya terparkir secepat yang ia bisa.

Tangan Aya Hirano menggantung kaku. Menghindari gerakan tiba-tiba yang bisa memicu serangan jantung, Samuel mendudukkan Aya di kursi penumpang. Ia menyetel pemanas udara sampai level maksimal, lalu melepaskan mantel Aya yang sekaku papan. Tangan Samuel beralih mengambil gunting pada tool-kit di laci dasbor dan menggunting sweater krem wanita itu, melemparkannya ke kursi belakang. Dengan hati-hati laki-laki itu membebaskan kaki Aya dari sepatu boot. Ia melepaskan mantelnya kemudian menyelimuti sahabatnya. Telinganya merasa mendengar helaan napas yang teramat samar ketika ia meraih tumpukan selimut di kursi belakang dan menambah lapisan penghangatnya.

Samuel meraba pembuluh nadi di bawah rahang Aya. Amat lemah. Dan terhitung hanya empat kali helaan napas tidak kentara dalam semenit.

Setengah mati ia bersyukur jalanan cukup sepi sampai ia bisa memacu mobilnya kencang-kencang.

Biasanya butuh lima belas menit untuk sampai di rumah, tapi kali ini jauh lebih singkat dari itu. Ia menggenggam kunci rumahnya di satu tangan, lalu bergegas memutari mobil. Aya masih tidak bergeming ketika Samuel menggendongnya dengan hati-hati. Wajahnya yang sepucat kapur dengan bibir membiru bersandar di dada Samuel

Di dalam rumah terasa hampir sepanas neraka. Pemanas udara yang disetel maksimal ditambah api perapian yang berkobar besar. Seolah itu masih belum cukup. Samuel merendam kaki Aya di dalam sewadah air panas kemudian kembali membungkus tubuh mungil wanita itu dalam tiga lapisan selimut tebal. Ia memeluknya dengan hati-hati, membiarkan panas tubuhnya meresap menghangatkan sahabatnya. Seandainya ia bisa melakukan itu seumur hidup. Meskipun ia tidak yakin bisa melelehkan es dalam hati wanita itu. Setelah apa yang terjadi.

Beberapa saat berlalu dalam hening, selain bunyi gemeretak kayu. Ia dapat merasakannya: napas satu-satu Aya di lehernya, gerakan naik turun samar di kedua bahunya dan Samuel tidak bisa beryukur lebih dari ini. Aya Hirano dalam lingkaran lengannya, hidup dan bernapas, meski sepenuhnya tidak sadarkan diri.

Dan akan berbeda ketika Aya terbangun nanti.

Laki-laki itu mendapatinya dirinya hampir tertidur. Kelegaan benar-benar membuatnya terlena. Sesaat telinganya menangkap suara rengekan samar.

"Aya."

Wanita itu bereaksi terhadap suaranya. Perlahan-lahan ia beringsut lebih rapat pada Samuel, menyandarkan kepalanya di leher laki-laki itu seraya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dengan bibir gemetar. Sepasang kelopak matanya masih terpejam dan Samuel membiarkannya.

Biarlah Aya menganggapnya sebagai seseorang yang ia inginkan berada di sebelahnya saat ini. Dengan pemikiran itu, Samuel tersenyum muram, mengeratkan pelukannya dan berpura-pura segala sesuatunya sempurna.

A.N

Emotion adalah cerbung pertamaku yang berakhir cuma dengan 6 chapter, kuposting di Fb waktu jaman SMA. Cerita original-nya sendiri udah kubuat sejak SMP, di buku tulis-mencuri-curi waktu di kelas, bahkan pernah kena sita ama guru. Tapi mau bagaimana lagi, cuma di kelas aku bisa lancar menulisnya karena ide mengalir tanpa henti, berbanding terbalik dengan jika aku menulis di kamarku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top