35. Kecewa

Mau sampai seribu kali pun ia bertanya 'kenapa' pada cowok itu, cowok itu tidak akan pernah mengatakan apa-apa padanya.

• • •

"Pengumuman, untuk Freedays minggu ini, tidak ada satu pun para siswa yang diizinkan keluar asrama. Karena kami sedang mencari pelaku dari tindak penerobosan jendela kamar yang terjadi beberapa hari lalu. Terima kasih."

"YAAAAHHHH!" Tiba-tiba seruan yang sama terdengar dari segala penjuru asrama sesaat setelah mengetahui pengumuman melalui speaker. Padahal baru saja mereka bersenang ria, tidak sabar menyambut dua hari yang datangnya hanya satu minggu sekali.

"Ga, lo dipanggil, tuh, sama Pak Hanung di ruangannya."

"Ngapain?" Laki-laki yang bertubuh gempal dan rada pendek bernama Angga bertanya singkat.

"Gak tau." Seseorang yang memberikan informasi itu menggedikkan bahunya tak acuh. "Suruh jadi saksi kali. Lo kan yang teriak pertama kali pas ada penyusup di kamar 368."

"Ck, bakal ribet, nih, pasti urusannya. Nyesel gue udah teriak waktu itu," Angga merutuk sembari berjalan malas-malasan.

🍐

Di kala anak-anak asrama yang lain tengah sibuk meributkan Freedays yang tidak free itu, lima anak yang menghuni kamar 257 nampak stres mendengar informasi tersebut. Baru kali ini, kamar yang biasanya tidak pernah tidak berisik, kini senyap. Mereka semua terdiam, lantaran sibuk dengan pikiran masing-masing yang memikirkan nasib diri mereka, jika ada yang tahu bahwa pelaku penerobos yang sedang dicari-cari itu adalah mereka.

"Gue bener-bener gak tau apa yang bakal bonyok gue lakuin ke gue, kalau sampe gue didepak dari Lawden," Lukas yang sejak tadi bengong memikirkan nasibnya, mengeluh. Memecah kesenyapan yang membaluti kamar 257.

"Ini semua gara-gara lo, Nan!" tuding Daniel, tanpa melihat seseorang yang ditudingnya.

Yudan mengusap wajahnya frustrasi. "Parah lo, Nan, udah bikin kita-kita dalam bahaya, hasilnya cuma begini. Sia-sia. Dan malah memperkeruh keadaan."

Semua menyalahkan Adnan. Tapi tidak dengan Ethan. Karena menurut Ethan, tidak ada gunanya juga main salah-salahan. Semua sudah terjadi.

Adnan terdiam, tidak melakukan sanggahan sepatah kata pun. Karena semuanya memang salah dia. Menurut Adnan, tidak ada lagi yang patut disalahkan dalam hal ini selain dirinya. Adnan yang menyebabkan empat teman-temannya nekat memanjat, Adnan yang merusak jendela kamar 368, Adnan juga yang mengajak teman-temannya untuk menerobos kamar 368. Dengan demikian, sebenarnya hanya Adnan-lah yang harus mempertanggungjawabkan semuanya. Ia sungguh merasa bersalah pada teman-temannya.

Ternyata apa yang dikatakan Ethan benar. Ia salah tuduh. Salah mencurigai orang. Dan sekarang semuanya malah menjadi runyam. Bagaimana jika dua orang itu mengenali wajahnya dan teman-temannya? Lalu melaporkannya pada Madam Loly, dan kemudian Madam Loly melaporkannya lagi pada Kepala Asrama? Jika sudah seperti itu, bukan hanya dirinya saja yang dalam bahaya. Teman-temannya otomatis juga ikut terancam untuk dikeluarkan.

Adnan mengacak rambutnya. Kepala Adnan benar-benar sakit memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Meskipun sebetulnya, Adnan juga kecewa ketika mengetahui bahwa kecurigaannya tidak berbuah. Karena kalau teman-temannya saja merasa kecewa dengan alasan lelah mereka menjadi sia-sia, sejujurnya yang Adnan rasakan jauh lebih dari itu. Malah jika dibandingkan dengan yang lain, Adnan-lah yang paling kecewa dan lelah akan semuanya. Karena itu berarti semua hal yang dilakukannya sejak kemarin cuma membuang-buang waktu semata. Tidak lebih. Dan kini bukan hanya tiga temannya yang menyalahkannya atas kejadian ini. Bahkan ia pun menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja ia tidak gegabah, semuanya tidak akan menjadi seperti ini.

🍐

"Coba kalian ceritakan pada saya sedetil-detilnya, tentang kejadian kemarin. Saya ingin Raka dan Ken, yang menceritakannya lebih dulu."

"Kejadiannya sekitar jam empat sore. Pas saya dan Ken lagi ngobrol di kamar saya, tahu-tahu saya denger suara orang yang berteriak kalau ada penyusup di kamar 368." Raka mulai bercerita apa yang dia tahu. "Tapi, saat saya sama Ken mau cek ke jendela, salah satu di antara pelakunya itu langsung nendang jendela kamar saya. Karena takut terkena pecahan kaca, saya dan Ken langsung refleks mundur dan membalik badan, melindungi diri."

"Lalu?"

"Setelah kami berbalik badan lagi, mereka sudah pada meloloskan diri. Karena kami sudah tidak mendapati lagi orang-orang itu. Yang kami lihat, jendela kamar 368 sudah benar-benar rusak. Dan ID card Satria yang tadinya ditaruh di meja, saat itu sudah tergeletak di atas lantai. Sepertinya saat saya dan Ken masih berbalik sebelumnya, mereka langsung menerobos masuk, terus ngambil ID card itu buat buka pintu kamar," akhir Raka.

"Kenapa kalian gak kejar mereka?"

"Kami udah coba ngejar, Pak, tapi kami kehilangan jejak di belokan lorong," kini Ken menambahkan.

"Mereka ada berapa orang? Kalian ingat?"

"Ada sekitar..." Raka menggantungkan kalimatnya sembari mengingat-ngingat. "sekitar empat atau lima oranglah. Iya gak?" lempar Raka pada Ken.

"Iya." Ken diam sejenak. Kemudian meralat lagi, "Eh, tapi kayaknya empat orang, deh."

"Iya kah?"

Ken mengangguk. "Iya."

"Iya, mungkin empat orang, Pak. Saya kurang inget jelas, soalnya mereka beramai-ramai," jelas Raka pada Pak Hanung agar gurunya itu tidak bingung.

"Kalau kamu, Angga." Sesaat Pak Hanung mengalihkan perhatiannya dari Ken dan Raka. Kini giliran Angga yang diberi kesempatan untuk menceritakan apa yang dilihatnya kemarin sore. "Coba kamu menceritakan bagaimana kamu bisa melihat mereka kemarin?"

"Saya gak ada cerita apa-apa, Pak. Itu juga saya ngeliatnya gak sengaja. Terus spontan saya teriak." Angga tidak mau repot menambahkan kalimat-kalimat penjelas yang lain untuk menceritakan apa yang diketahuinya.

"Yang kamu lihat mereka ada berapa orang?"

Karena tidak mau pusing untuk mengingat lagi, dan takutnya juga yang ada dia malah salah mengingat lantaran matanya yang saat itu tidak pakai kacamata, akhirnya dia menjawab dengan jawaban yang sama dengan yang Ken berikan. Empat orang.

"Sudah? Itu saja yang kalian tahu? Tidak ada lagi yang ingin kalian ceritakan?"

Dengan kompak mereka bertiga menggeleng, walah sebelumnya sempat saling melirik satu sama lain.

"Saya harap kalian tida berbohong. Karena kalian saya anggap sebagai saksi atas kejadian kemarin. Jadi jangan coba-coba untuk bercerita bohong atau membuat kesaksian palsu. Apalagi sampai bekerja sama untuk menyembunyikan identitas para pelaku itu. Kalian akan tanggung akibatnya. Paham?"

"Paham, Pak."

"Yasudah, kalian boleh keluar sekarang."

Di saat Ken dan Raka sudah keluar, Angga masih berdiri di depan meja Pak Hanung, menahan langkahnya. "Maaf, Pak, saya mau tanya."

"Tanya apa?" ucap Pak Hanung yang hendak kembali melanjutkan kegiatannya.

"Freedays minggu ini, kami bener-bener gak dibolehin ke mana-mana, Pak?"

"Saya tidak perlu menjawab. Karena saya yakin, kamu pasti sudah tahu jawabannya," kata Pak Hanung cuek, sambil menyentuh pangkal hidungnya. Membenarkan posisi kacamatanya.

"Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi, Pak."

"Ya, ya, silakan."

🍐

Saat membuka pintu, tiba-tiba Nasya sedikit terkejut sekaligus heran ketika ia melihat Adnan entah sudah sejak kapan duduk di lantai, menunduk menghadap pintunya, dengan punggung bersandar pada tembok, juga posisi kedua kaki tertekuk, yang di atas lututnya bertengger kedua tangannya, menyembunyikan wajahnya.

"Kamu sejak kapan di depan kamarku?" Tadinya Nasya keluar hendak mengambil sesuatu di ruang kerja papanya. Namun sepertinya, ia harus urung dulu niatannya itu. Lantaran kedatangan Adnan yang tiba-tiba bukan hal biasanya. "Kenapa gak ketuk pintu? Kenapa malah duduk di situ?"

Adnan tidak menyahut. Bahkan untuk mengangkat kepalanya saja pun tidak.

Nasya melangkah perlahan mendekati Adnan. Yang kemudian ia mengambil posisi duduk di sebelahnya. Dengan gerakan yang penuh keraguan, tangan Nasya menyentuh bahu Adnan.

"Kamu kenapa? Ada masalah?"

Adnan mengangkat sedikit kepalanya. Akan tetapi ia tetap mengabaikan pertanyaan Nasya. Ia juga belum sanggup untuk memperlihatkan wajahnya pada Nasya. Bukan, Adnan begitu bukan karena ia menangis. Adnan hanya sedang tidak tahu bagaimana ia harus mengekspresikan kekecewaanya pada dirinya sendiri. Adnan juga tidak tahu apa alasannya memilih berada di depan kamar Nasya sekarang untuk menjadi tempatnya menyendiri.

Apa mungkin karena sebenarnya tanpa Adnan sadari, jauh di lubuk hatinya, ia membutuhkan sosok Nasya untuk berada di sisinya saat ini walau hanya sekedar menenangkan atau memberi usapan di bahunya. Tapi Adnan tahu itu semua tidak mudah untuk diwujudkan, karena di sisi lain ia juga tidak mau melibatkan Nasya dalam masalahnya ini. Adnan tidak mau kalau Nasya nantinya akan tahu bahwa sesungguhnya dirinya tengah dihadapi dengan masalah lain selain masalahnya dengan Pak Lawden dan Nasya.

Namun beberapa menit kemudian, ketika ia merasa Nasya mengusap sebelah bahunya tanpa diminta, dan menanyakan pertanyaan yang sama dengan sebelumnya untuk ketiga kalinya, "Kamu kenapa? Ada masalah apa?"

Adnan kembali berpikir. Ia sudah mengecewakan teman-temannya. Dan sekarang, Adnan tidak ingin mengecewakan Nasya juga dengan mengabaikan gadis itu begitu saja. Sesaat Adnan memutar kepalanya sampai benar-benar beradu tatap dengan Nasya selama hampir satu menit.

"Kamu kenapa?" tidak bosan Nasya bertanya lagi.

Adnan hanya menggeleng kecil. Matanya masih lurus menatap kedua mata hijau Nasya. Melalui sorotan matanya, Nasya tahu pasti ada sesuatu yang rumit yang tengah dihadapi sosok laki-laki di dekatnya sekarang. Nasya juga tahu mau sampai seribu kali pun ia bertanya 'kenapa' pada cowok itu, cowok itu tidak akan pernah mengatakan apa-apa padanya. Nasya tahu, karena dirinya pun melakukan hal yang sama pada Adnan sebelum-sebelumnya.

Karena tidak tahu kalimat apa yang pas untuk menenangkan Adnan, Nasya tiba-tiba menurunkan tangan Adnan dari atas lutut Adnan sendiri. Memutar bahu cowok itu hingga menghadapnya sempurna. Lalu Nasya menyelipkan tangannya di sela-sela antara lengan dan tubuh Adnan. Mungkin ini satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk Adnan. Laki-laki yang selalu ada untuknya, melindunginya, menjaganya, tanpa sekalipun ia minta. Ini juga satu-satunya kesempatan yang dimiliki Nasya untuk membalas segala yang Adnan lakukan padanya.

Gadis itu memeluk Adnan, mengusap punggung Adnan, sambil berkata, "Kamu pasti bisa menghadapi semuanya."

Ketika air matanya sudah tidak sanggup lagi ditahan, dan mulai berjatuhan, Adnan langsung memeluk balik tubuh mungil gadis itu. Mengunci pergerakannya agar tidak dulu melepaskan pelukannya. Karena Adnan tidak ingin gadis itu melihat air matanya sekarang.

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang berdiri memerhatikan dari jarak yang terbilang agak jauh. Ia tertegun memegangi dadanya yang entah mengapa saat itu terasa sangat sesak melihat seorang gadis yang sudah cukup lama dia cintai secara diam-diam, memeluk orang lain.

===

To be continue...

A/n: kalo rame, nanti malem aku up lagi. tapi kalo enggak, ya enggak. ya minimal 500 komentarlah. atau lebih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top