2. Terciduk

Gue bakal bantu lo buat bebas, asalkan lo mau pindah ke sekolah asrama.

• • •

"WOI MAJU LO SINI KALAU BERANI!" teriak Adnan sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu di tangannya.

Meskipun dia satu-satunya murid kelas sepuluh di situ, tetapi jiwa tawurannya sama sekali tidak berbeda dengan kelas dua belas. Malahan saat ini dia berdiri di paling depan bersama Kevin memimpin pasukan.

Bugh!

"MATI LO, BANGSAT!"

Adnan mendaratkan pukulan tepat di pundak Ronal alias sang pentolan SMA Warior yang terkenal garang. Untuk melakukan perlawanan, Ronal yang tidak memegang senjata apapun langsung menendang tongkat di tangan Adnan sampai terpental jauh.

Tidak masalah. Walaupun tanpa senjata, dia masih tetap bisa menghajar cowok itu dengan kepalan tangannya yang sekeras batu. Agar kapok dan tidak lagi-lagi mengepung dia dan teman-temannya, Adnan langsung saja mendorong tubuh Ronal sampai terlempar ke aspal. Tapi, begitu kaki Adnan yang panjang siap untuk menginjak perut Ronal sampai isi perutnya keluar, Ronal berhasil menghindar dengan menggulingkan tubuhnya. Hal tersebut malah membuat Adnan makin geram dan gencar ingin menghajar Ronal habis-habisan.

Bukan cuma Adnan dan Ronal, tapi yang lainnya juga melakukan penyerangan satu lawan satu. Sebagian ada yang memakai senjata, sebagiannya lagi tidak. Saling hantam, pukul memukul, hardik menghardik tanpa ampun. Babak belur sudah bukan lagi masalah besar bagi mereka. Yang terpenting adalah harga diri. Siapapun yang kalah, pasti akan merasa harga dirinya terinjak-injak bagai sampah yang tidak ada gunanya.

Tanpa mereka duga-duga, suara sirine mobil polisi yang muncul dari balik tikungan sukses membuat mereka menoleh dan langsung buru-buru berlari membubarkan diri. Hampir semua dari mereka berhasil diamankan, kecuali Adnan. Si tengil itu bersembunyi di belakang pohon beringin Bi Endah.

Namun seketika Adnan langsung pasrah, saat seseorang menarik kerah bajunya ke belakang dengan kasar sampai mencekik lehernya. Menyeret Adnan keluar dari persembunyiannya. Dia pikir tidak ada satupun di antara polisi-polisi itu yang mengetahui keberadaannya. Tapi ternyata dugaannya salah. Justru polisi sudah sengaja berjaga tidak jauh dari pohon beringin tersebut agar tidak ada lagi yang bisa bersembunyi di warung Bi Endah atau pun di balik pohon besarnya Bi Endah seperti biasa.

"Ampun, Pak, jangan tangkep saya. Tadi itu mereka duluan yang ngepung saya sama temen-temen, Pak. Sumpah, Pak." Adnan memohon sambil berlutut di hadapan orang itu dengan kedua telapak tangan menyatu. Matanya tertutup rapat tidak berani melihat lawan bicaranya.

Tidak ada ampun, polisi tersebut langsung saja meringkus anak itu.

🍐

Raihan memijat keningnya yang terasa cenut-cenut, stres memikirkan kelakuan adiknya yang tak pernah berubah.

Setelah menarik napas panjang dan dalam, barulah Raihan mengangkat kepalanya. Menatap seseorang yang duduk di hadapannya dengan kondisi sudah kacau-balau. Wajahnya penuh memar, rambut berantakan, kancing baju terlepas hingga memperlihatkan kaus putih dalamannya.

"Gue kira semenjak Bunda meninggal lo udah berubah, Nan," ucap Raihan dengan tatapan datarnya.

"Bukan gue yang cari gara-gara duluan, Bang!" Adnan memberi tatapan yang meyakinkan pada abangnya.

"Mau lo duluan atau siapa pun, gue gak peduli. Intinya lo sama kayak mereka. Dan gue udah bilang ke Oma buat gak usah bebasin lo. Biar aja lo tau rasa mendekam di penjara!"

Seketika Adnan berlutut di bawah kaki Raihan. "Bang, gue mohon bebsain gue. Plis, gue janji gak akan tawur-tawuran lagi!"

"Ck," decak Raihan yang kembali menimbang-nimbang pikirannya. "Gini, deh, gue bakal bantu lo buat bebas, asalkan lo mau pindah ke sekolah asrama," tawarnya pada Adnan.

"Sekolah asrama?"

Raihan mengangguk. Sementara Adnan kembali memikirkan putusannya. Hal itu benar-benar memakan waktu yang cukup lama.

"Tapi, Bang―"

Belum habis Adnan bicara, Raihan memotong, "Mau? Kalau gak mau yaudah, gue mau balik ke kampus lagi." Raihan bangkit dari posisi duduknya, namun buru-buru Adnan menahannya.

"Bang, tunggu kek! Gue masih mikir, elah!" Adnan berdiri dari posisi berlututnya.

"Lo kelamaan mikir, buang-buang waktu gue!"

"Iya-iya, gue mau!" putus Adnan pasrah lantaran tidak ada pilihan lain. Pikirnya, daripada ia harus mendapat pembinaan di kantor polisi, lebih baik ia dipindah sekolahkan.

Kedua ujung bibir Raihan tiba-tiba saja terangkat dengan sendirinya. "Oke, ntar gue bilang sama Oma."

Setelahnya Raihan berlalu begitu saja. Membiarkan Adnan berpikir lagi, apakah putusannya itu sudah benar, atau tidak? Sekolah di asrama pastinya tidak akan sebebas sekolah biasa, bukan?

"Argh!" Hal itu sungguh membuat Adnan pusing.

🍐

Hari ini Adnan khususkan datang ke sekolah hanya untuk berpamitan dengan teman-teman sekelasnya, juga walikelasnya, juga teman-teman tongkrongannya di warung Bi Endah, sebelum ia pindah ke sekolah asrama yang sudah didaftarkan oleh abangnya.

"Maafin saya, Bu, kalau saya ada salah," ucap Adnan seraya mencium punggung tangan Bu Gil selaku wali kelasnya selama enam bulan ia bersekolah di SMA Cempaka.

Bu Gil mengusap kepala Adnan yang lebih tinggi darinya. "Iya ibu maafkan. Ibu harap dengan kamu sekolah di asrama, kelakuanmu akan jauh lebih baik, ya, Nan. Jangan bikin pusing guru-guru di sana sama seperti kamu bikin pusing guru-guru di sini, mengerti?"

"InsyaAllah, Bu. Saya gak janji,"

Mendengar tanggapan Adnan, Bu Gil hanya menggeleng sembari tersenyum.

"Yaudah, sekarang kamu pamit, gih, sama teman-teman kamu. Minta maaf sama Asabel karena udah dibikin kesal terus sama kamu,"

"Iya, Bu." Sesaat Adnan berjalan mendekati meja Asabel. "Anabel, gue minta maaf, ya. Walaupun gue tau kesalahan gue cuma dikit. Gak sebanyak kesalahan lo ke gue. Tapi sebagai cogan yang mulia, gue harus tetep minta maaf."

"Cih," Gadis dengan segala pernak-pernik pink itu berdecih. "udah kayak gini masih aja lo, ya, bikin kesel?"

Tiba-tiba Adnan menengokkan pada Bu Gil yang berdiri di depan kelas. "Tuh, kan, Bu, saya minta maaf baik-baik, malah dibilang bikin kesel. Cowok mah salah mulu, Bu."

"Idih, pengaduan banget!" Sebelah ujung bibir atas Asabel terangkat saat melihat ekspresi Adnan yang mendadak sok polos itu. "Yaudah, gue maafin. Tapi gue mau tanya sesuatu sama lo,"

"Tanya apa?"

"Lo kenapa gak pindah dari dulu aja, sih? Sumpah, ya, sekelas sama lo enam bulan aja, tuh, rasanya menyiksa banget."

"Jangan begitu, ntar kalau gue pindah lo kangen. Banyak yang bilang gue ngangenin."

"Najis!"

Setelah itu Adnan berjalan ke mejanya yang hanya ada Edo duduk sendiri di sana dengan kepala menunduk, menahan sedihnya karena mulai besok ia akan duduk sendirian.

"Do, maafin gue, nih, kalau gue punya salah." Adnan memeluk badan besar Edo yang lebih besar darinya.

"Salah lo mah banyak, Nan. Tapi, lo jangan pindah sekolah ngapa, tega bener lo ninggalin gue." Edo yang menjadi teman terdekat Adnan di kelas maupun di luar kelas adalah satu-satunya orang yang merasa paling kehilangan di sini.

Edo dan Adnan memang sudah sangat dekat sejak awal. Ke mana-mana mereka sering berdua. Bolos berdua, ke kantin berdua, melakukan apapun berdua. Susah senang sama-sama. Bahkan dihukum pun berdua. Makanya jangan heran kalau sekarang Edo menangis ketika ia tahu bahwa Adnan akan pindah sekolah besok. Dari tadi tubuh tinggi besar itu sudah berguncang-guncang kecil karena tangisannya

Adnan menepuk pundak Edo. "Jangan nangis lo. Malu sama badan."

Adnan antara ingin sedih, tapi ingin ketawa juga melihat Edo yang berbadan besar, nangis sesenggukan seperti anak kecil yang gagal membeli balon.

Tapi walau baru berjalan kurang lebih enam bulan Adnan bersekolah di SMA Cempaka, rasanya berat juga untuk meninggalkan sekolah tersebut. Pasalnya sudah banyak hal yang ia alami di sini. Bersama teman sekelasnya, maupun kakak kelasnya yang biasa tawuran bersamanya.

===

To be continue...

A/n: yang kangen sama Raihan, monggo lepas kangen wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top