9
BAB INI MENGANDUNG TRIGGER WARNING! KARENA ADA UNSUR KEKERASAN.
NIRA
"Jadi, kami memang memasang strategi lapor polisi sebagai ancaman awal pada pelaku sabotase mesin pengemas Mie Gara. Kemudian, setelah ketemu pelakunya, dengan melewati negosiasi super alot kami minta prosesnya pakai jalur perdata dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Hakim setuju dengan semua bukti dan saksi serta pernyataan tim kami sehingga putusannya adalah minta pelaku untuk bayar ganti rugi untuk seluruh mesin kemasan Mie Gara dan orang-orang jahat yang menyerang saya untuk dilanjutkan dalam sidang pidana," tuturku sambil menyesap minuman.
Semua orang tampak terpana.
"Tapi, melihat potensi PT Cahaya Angkasa Sejahtera seperti yang dibilang oleh Pak Anton. Saya lebih baik menyarankan untuk akuisisi daripada merger, Pak Aksha. Karena pengurusannya lebih mudah dan penghitungan sahamnya juga tidak terlalu panjang. Toh, manajerialnya PT Cahaya Angkasa Sejahtera saja yang kata Bapak agak bermasalah, belum sampai dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Mungkin untuk lebih jelasnya besok Senin Pak Aksha – dengan pengacara Bapak -- dan Pak Anton bisa negosiasi bersama atau langsung proses Legal Due Diligence lebih leluasa di kantor AA&Partners sebelum RUPS berikutnya." Aku mengakhiri presentasi singkat ini dengan memberikan kartu namaku dengan Pak Aksha.
"Sebenarnya direktur utamanya PT Cahaya Angkasa Sejahtera itu Pak Farid, suami kakak saya. Nanti kami akan kabari Pak Farid untuk lebih jelasnya," jawab Pak Aksha formal dan percaya diri.
Selanjutnya aku membiarkan Satya menjelaskan tentang rumus-rumus saham dan kawan-kawannya pada Mas Anton dan Pak Aksha Syahreza yang menyimak dengan santun. Sedangkan, istri Pak Aksha – namanya Bu Giani – mengajakku, Mbak Tyas, dan Sarah mengobrol tentang hal-hal pengetahuan umum. Kesan pertamaku adalah Bu Giani terlihat seperti sosialita pada umumnya yang sedikit lebih berwawasan. Namun, aku lebih banyak mendengarkan karena aku tidak terlalu paham tren-tren baru. Tapi sesekali aku menimpali jika sesuai topik yang kukuasai.
Tepat saat makanan penutup dihidangkan, Mas Danar kembali dari kamar mandi. Untung saja makanan utamanya sudah dihabiskan duluan. Hanya aku dan Mas Danar yang pesan kue coklat lava sedangkan yang lain pesan panna cotta.
"Ke toilet lama amat, Mas," bisikku.
"Perutku mendadak mual tadi, Nira. Sekarang sudah baik-baik saja kok," jawabnya pelan.
Kebanyakan kami makan dalam diam, sesekali mengobrol tentang politik hingga pembagian saham dan rencana ke depan setelah akuisisi. Mbak Tyas – yang memang dasarnya lebih banyak ngobrol – menceritakan tentang dunia parenting pada Bu Giani. Aku, Sarah, dan Mas Danar kebanyakan menyimak sambil fokus pada hidangan penutup selezat ini.
"Memang ya pasangan di mabuk cinta tuh nempel melulu kayak perangko sama surat sampai pesan makan aja sama gitu. Baru kali ini gue lihat ada orang yang natap lo penuh cinta gitu, Nir. Eaaaaaa," celetuk Satya tiba-tiba saat aku sedang mendengarkan rencana Sarah yang ingin mendonasikan pakaian lamanya pada Yayasan Perempuan Hebat yang disambut antusias oleh Mbak Tyas dan Bu Giani.
Kutorehkan kepalaku sembari melotot pada Satya yang baru saja selesai mengunyah panna cota-nya.
Selanjutnya, celetukan Satya makin tidak santai, "Lho, gue benar, kan? Teganya lo nggak ngasih tahu gue sama anak-anak, jadinya langsung kasih tahu aja ke Obi sama Tio di obrolan grup. Tio aja sampai minta tambahan waktu istirahat manggungnya demi konfirmasi. Nih dia nelpon gue sekarang." Satya menggoyangkan ponselnya ke arahku dengan tampilan layar panggilan dengan wajah Tio sebagai foto profil.
Rasanya ingin kucekik leher Satya dan membenturkan kepalanya ke dinding saat itu juga. Tapi itu nggak mungkin karena semua mata tertuju pada kami berdua.
"Lho, kalian ...." Bu Giani berkata sambil menatapku sama Mas Danar bergantian.
"Nira tuh gitu, punya pacar nggak pernah bilang, Bu, kebiasaan emang. Sok-sok rahasia berkedok privasi. Langsung aja deh, kalian tuh pacaran berapa lama, sih? Sudahlah nggak usah malu-malu, kagak bakal ada Lambe Tempe atau wartawan gosip kok di sini," sambar Satya.
Hasrat ingin menusukkan garpu mini berlumur lelehan coklat pada punggung tangan Satya makin jadi. Tapi itu tidak mungkin karena situasi semakin canggung begini. Aku berusaha menenangkan diri dari hawa dingin yang makin jadi.
Terpaksa aku harus melakukan ini. Aku membisikkan sesuatu pada orang di sampingku, "Mas sebelumnya aku minta maaf. Tapi aku harus melakukan ini. Nanti pas pulang Mas Danar bisa protes sepuasnya deh."
Kuremas pelan tangan Mas Danar dari bawah meja yang dibalas dengan tautan tangan kami. Lalu kami berdua saling menatap penuh cinta semeyakinkan mungkin. Kualihkan lebih dulu sambil mengulurkan senyum termanisku pada semua orang.
"Kami sudah pacaran selama setahun," jawabku mantap. "Kami memang nggak bilang karena sepakat untuk menjajaki satu sama lain tanpa interupsi siapa pun."
Mas Danar hanya menimpali anggukan kepala dengan senyum tipis.
Ucapan selamat dari semua orang berhasil menyingkirkan kecanggungan acara makan malam mewah ini. Satya hanya mengangkat alis dengan bangga – awas aja nanti. Acara kembali berjalan lancar sampai selesai.
Baru selangkah keluar dari pintu otomatis lobi hotel, Satya kembali ngomong ke Mas Danar. "Mas Danar permisi, boleh pinjam Nira sebentar?"
Begitu Mas Danar mengangguk, Satya seenaknya menarikku kembali ke sisi terjauh hotel. Dia melihat situasi sejenak lalu buka suara, "Lo tahu kenapa tadi gue ngomong asal kayak tadi?"
"Nggak mau tahu. Tanggung jawab, traktir gue makan di kafe tempat manggungnya Tio di Kuningan setiap akhir pekan pokoknya," jawabku kesal dengan memutar bola mata.
"Justru gue yang nyelamatin lo berdua dari malapetaka."
Kalimat Satya makin membingungkan tapi di satu sisi bikin penasaran, "Maksud lo apa, sih? Kebiasaan suka ngomong nggak jelas."
Satya kembali celingak-celinguk lalu mendekatkan wajahnya padaku untuk membisikkan sesuatu, "Gue jelasin deh. Satu, muka Mas Danar memang datar tapi mata nggak bisa bohong. Binar matanya surem banget mirip Tio waktu lihat undangan nikahnya Ima sama Pak Hendra yang lo bagi seenaknya di grup dua tahun lalu. Dua, dia tuh ngelirik lo melulu seakan minta pertolongan, kebetulan ketangkap gue deh. Sekalian aja gue pakai alasan natap penuh cinta. Tiga, Mas Danar nggak mau melirik Bu Giani dan Pak Aksha sedikit pun."
Tentu saja aku ingat sekali tragedi undangan nikahnya Ima dan Pak Hendra yang tidak kami hadiri karena masih jadi mahasiswa di New York. Ima adalah mantan sekaligus cinta pertama Tio di SMA. Kami bertiga gantian mengawasi Tio secara penuh agar dia tidak melakukan hal-hal aneh selama masa berkabung itu. Syukurlah Tio sekarang sudah berdamai dengan diri sendiri.
Bila kutarik persamaan polanya Tio dan Mas Danar, pertanyaanku adalah apakah Bu Giani itu mantan sekaligus cinta pertama Mas Danar?
Satya menepuk bahuku selama jalan ke pintu otomatis lobi, "Santai lah, Nir, nggak usah tegang-tegang amat tuh muka. Makanya pekaan dikit, jangan sampai tragedi New York terulang lagi pokoknya. Sudah ah, yuk pulang, gue mau have fun sama Sarah. Hem, apa jangan-jangan lo mulai cinta beneran sama Mas Danar makanya ngelamun melulu?"
Langsung kutonjok lengannya, "Apaan sih, Sat? Cukup tadi aja permaluin gue." Namun, jantungku bereaksi tidak karuan begini, pipiku juga rasanya mendadak panas.
"Muka lo merah banget, Njir," goda Satya diiringi lengkingan tawa.
Sudahlah, aku lagi malas ladenin dia kali ini.
Tepat sekali mobil SUV Mas Danar sudah ada di lobi ketika melewati pintu otomatis. Baru Mas Danar mau buka pintu, kuselipkan tanganku di lengannya, "Biar aku saja yang nyetir kali ini. Kamu istirahat dulu aja, ya, Sayang." Aku sengaja pakai kata 'Sayang' karena Pak Aksha dan Bu Giani – yang masih menunggu mobilnya yang diparkir valet -- melirik kami berdua dengan senyum sopan yang kubalas sama.
Saat Mas Danar menatapku lurus-lurus, baru aku membenarkan semua penjelasan Satya tadi.
Untung saja kali ini dia nurut padaku. Setidaknya masih ada hari esok untuk pakai jurus korek-korekku padanya.
***
Lagi-lagi wajah merana Mas Danar muncul, ditambah dengan penjelasan Satya kemarin. Waktu di mobil kemarin saja hawa suramnya terasa sekali, Mas Danar jauh lebih pendiam dari biasanya. Jurus korek-korekku sebenarnya ingin keluar, tapi lihat Mas Danar yang masih begitu bisa-bisa malah dianggap ikut campur urusan pribadinya.
Sungguh memusingkan.
Jadi, aku menghibur Mas Danar di hari Minggu pagi yang cerah dengan mengajaknya ke Yayasan Perempuan Hebat di daerah Pos Pengumben, Jakarta Barat. Selama mengarungi kemacetan kuputar radio yang berisi lagu duetnya Tio sama pedangdut Rita Yana, sesekali aku bersenandung sambil melirik Mas Danar yang masih saja bergeming.
"Kenapa, Mas?" tanyaku saat mobil berbelok di gerbang perumahan. Lokasinya masih tiga belokan lagi.
Mas Danar memegang lanyard bekas transparan yang kugantung di kaca tengah mobil -- dengan aksesori bulan sabit di sampingnya -- berisi foto polaroid bersama empat sahabat priaku waktu acara Halloween tahun 2020 di New York. Obi berdandan ala karakter utama film Indiana Jones, Satya berdandan ala Joker versi Heath Ledger, Tio berdandan ala John Lennon era rambut gondrongnya lengkap dengan pelukan gitar dan kacamata bulat.
"Kamu pakai yang hijau-hijau ini? Jadi siapa, Nira?" Jari telunjuk Mas Danar tertuju diriku – diapit Tio dan Obi sambil pegang keranjang permen -- yang mengenakan pakaian serba hijau dengan dandanan efek warna hijau – aku punya tutorialnya di YouTube – Mas Danar tampaknya bingung tapi binar matanya sudah tidak sesuram tadi pagi.
"Itu namanya Wicked Witch from The West, Mas," jawabku, "Karakter jahat di serial jadul Wizard of Oz."
Mas Danar mengangguk-angguk lalu membalikkan benda persegi panjang transparan itu. Sekarang tampak foto kami berempat dengan latar Washington Park. Pada foto itu hanya Obi yang pakai baju bebas, sedangkan aku, Satya, dan Tio pakai kostum wisuda serba ungu dengan wajah gembira.
Mobilku berhenti di pelataran Yayasan Perempuan Hebat. Mas Danar turun lebih dulu lalu kususul sambil bawa tas kanvas berisi dokumen-dokumen pesanan Renita.
"Nira, ini hari Minggu dan kamu masih kerja?" Mas Danar geleng-geleng kepala.
"Bukan kerja, Mas. Kali ini cuma nganterin dokumen buat anak bos doang," jawabku santai sambil jalan berdampingan memasuki lobi mini. Tempatnya memang tidak semewah Yayasan Cornelia Jati, tapi dalamnya luas sekali dan serambi belakangnya lebih hijau karena mendiang Bu Liana Khalish suka sekali koleksi tanaman.
"Anaknya Pak Ardhi Arsa?"
Aku mengangguk, "Katanya dia lebih percaya aku kalau urusan tentang hal-hal legal terkait yayasan. Padahal dia sempat magang di Yayasan Cornelia Jati, harusnya bisa sendiri."
Sambil menunggu Renita, aku dan Mas Danar bermain ke ruangan seni. Tempat ini setiap tahun jadi ajang pameran lukisan karya para korban lewat lomba lukis. Lukisan di sini menggambarkan seluruh perasaan mereka, ada yang suram sampai warna warni.
Hatiku jadi hangat lihat wajah antusias Mas Danar saat fokus pada lukisan berlatar hutan dan gunung yang langitnya cerah sekali dengan gradasi warna sempurna. Pelan-pelan aku keluarin ponselku dari tas lalu kupotret Mas Danar dari samping, sempurna.
"Itu lukisannya Kamila Sudarsono, Mbak Nira."
Aku menoleh ke sumber suara, Renita Arsa dengan blus krem motif bunga mawar dan celana kulot hitam berjalan santai lalu merangkulku sehangat mungkin. "Lama banget Mbak Nira nggak main ke sini, aku kangen. Papa jahat ngasih Mbak tugas banyak-banyak di kantor, padahal dia sendiri kebanyakan pacaran melulu sama Tante Bunga." Bibir Renita maju dua senti yang langsung bikin aku tertawa.
"Namanya juga banyak kerjaan, Renita. Toh nanti kalau kamu sudah jadi pengurus utama yayasan juga bakal nggak kalah sibuk dari aku."
Renita melirik Mas Danar yang masih fokus ke karyanya Kamila Sudarsono, lalu bisik-bisik ke aku, "Cie Mbak Nira nggak sendiri akhirnya."
Aku langsung menyerahkan tas kanvasku pada Renita, menghindari kejahilan gadis itu. "Nih, ambil referensi yang kamu butuhin, Renita. Dari pada ngacauin aku terus, Mbak capek nentengnya."
"Siap, Mbak Nira." Renita melakukan hormat upacara. "Eh, ada Kamila, sini-sini."
Seorang perempuan manis dengan rambut kepang satu mengenakan kaus lengan panjang warna krem dengan rok plisket warna putih berjalan malu-malu menghampiri kami. Kelihatannya dia gugup melihatku dan Mas Danar, buktinya dari tadi dia kebanyakan nunduk. Aku melihat sedikit lebam merah pada tulang selangka di balik pakaiannya.
Oh tidak, Nira. Jangan biarkan dirimu kembali ke ingatan suram belasan tahun lalu itu lagi.
"Jangan malu-malu gitu dong, Kamila. Ini lho ada Mbak Nira, katanya penggemar berat," seru Renita ceria sambil memilah-milah dokumen dari tasku secara acak.
"Kamu beneran penggemar saya?" tanyaku bingung. Aku mengkonfirmasi kebingunganku pada Mas Danar yang dijawab endikkan bahu.
"I ... iya, Kak," lirih Kamila, "S-sa ... ya suka lihat Mbak Nira sidang di televisi. Apa lagi waktu wawancara Mbak tentang kasus Bu Panca, cara Mbak Nira beri keterangan keren sekali. Terus saya suka isi instagramnya Mbak Nira tentang dandanan dan cinta diri sendiri. Sama suka baca majalah Chic yang segmen inspirasi wanita tahun lalu yang memajang wawancara Mbak."
Aku tertawa kecil, "Terima kasih kalau begitu."
Jujur aku nggak tahu kalau banyak pengagum begini. Aku harus apa?
"Kamila mau ngobrol-ngobrol lagi sama Mbak Nira apa gimana? Mumpung orangnya masih di sini," tawar Renita sambil menyerahkan tas canvasku yang seperempat isinya berkurang.
Kamila menggeleng cepat lalu berlari keluar.
"Biasalah, anaknya memang malu-malu gitu. Maklum lihat idolanya secara langsung. Emang Mbak Nira ini sungguh panutan. Iya, nggak, Mas?" Renita berbicara pada Mas Danar yang hanya ditanggapi dengan senyum tipis.
Kemudian gadis berusia dua puluh dua tahun itu beralih padaku, "Aku sudah ambil referensi yang penting. Nanti Reni pelajari, terima kasih sudah minjemin ya Mbakku." Kubiarkan gadis itu memelukku dari samping.
"Ambil aja, Reni. Itu kan salinan, yang asli ada di kantor."
Renita nyengir lebar kemudian berpamitan padaku dan Mas Danar. Kami berdua juga harus kembali ke apartemen karena langit sudah menunjukkan rona jingga. Sesampainya di pelataran Yayasan Perempuan Hebat, aku sadar ada salah satu dokumen asli terbawa Renita. Aku menyuruh Mas Danar masuk mobil lebih dulu dengan menyerahkan kunci mobil.
Saking fokusnya aku mengaduk isi tas sampai tidak sadar bahuku ketabrak seseorang sampai jatuh dan isi tas kanvasku berceceran di lantai. Aku tidak jadi marah karena pelakunya adalah Kamila. Dia ketakutan dan langsung membereskan semua dokumenku secepat kilat hingga hasilnya berantakan, aku pun membantunya.
"Maaf, Mbak Nira, maaf," lirih Kamila membungkuk hormat setelah dokumenku masuk semua ke dalam tas.
Baru saja bibirku ingin ucapin terima kasih malah pergi lagi dia, ya sudahlah.
***
Kami baru sampai di apartemen jam tujuh malam, Mas Danar mampir ke unitku. Tadi sebelum pulang sempat makan sebentar di warteg terdekat. Secara binar mata suramnya jauh lebih berkurang, jadinya aku bikinin dia kopi americano pakai moka pot.
"Enak kopimu, Nir," puji Mas Danar setelah menyesapnya dari cangkir.
"Terima kasih, Mas. Kalau lihat kayak gini, tinggal pakai sarung, baca koran, sama pakai kaus putih, persis bapak-bapak nongkrong di serambi rumah tiap pagi," candaku yang disambut tawa tertahan dari Mas Danar. Kami memang minumnya di balkon, duduk berdampingan dengan meja bulat kaca sebagai pemisah.
Buncahan di dadaku tak terbendung gini. Kubiarkan saja kali ini, asalkan tidak sesuram tadi saja.
"Oh, ya, Mas. Aku baru ingat sesuatu." Aku membuka pembicaraan sambil menaruh kopi susu hangatku di meja. Kukeluarkan ponselku untuk membuka laman foto dan menaruhnya di meja agar Mas Danar lihat sendiri, "Maaf, ya, Mas. Aku diam-diam motret kamu pas di yayasan tadi, habis tanganku gatel kalau lihat objek bagus."
Mas Danar memainkan ponselku, "Bagus, kok, hasilnya, Nir. Aku suka."
"Benarkah?" Aku menahan senyum.
Mas Danar mengangguk mantap seraya mengembalikan ponselku. Sepertinya nanti aku edit dulu sebelum kukirim padanya. Kami kemudian mengobrol hal-hal lain, terutama lukisan tadi. Entah sampai beberapa topik pembicaraan, aku langsung bertutur, "Mas, kalau ada apa-apa. Jangan ragu cerita padaku, ya. Mungkin aku nggak bisa kasih solusi, tapi setidaknya Mas nggak sendirian menghadapi masalahnya. Aku juga minta maaf atas kejadian di restoran kemarin, langsung asal ngomong begitu." Sial, pipiku jadi panas gini.
Mas Danar tidak langsung menjawab, pandangannya tertuju pada lampu-lampu gedung sebagai pengganti bintang. Namun, kulihat anggukan kepala kemudian menoleh ke arahku dengan pandangan sedalam mungkin, "Tidak apa-apa, Nira. Aku akan bilang padamu jika waktunya siap."
Bibirku tertarik ke atas begitu saja.
Begitu selesai cuci gelas bareng, aku langsung bongkar-bongkar isi tas kanvasku sementara Mas Danar siap-siap kembali ke unitnya sendiri. Notifikasi ponselku berbunyi, terdapat dua pesan grup. Satu dari tim yang ternyata mereka akan menindaklanjuti proses akuisisi PT Cahaya Angkasa Sejahtera dan Anggara Industries besok – terpilihlah Pak Ello dan Bu Ranti sebagai ketua tim dengan aku, Dara, dan Ronald. Pesan kedua dari Pak Darya Sugiarto, membagi tautan tentang daftar pencarian orang yang memuat data diri Anjing Gila.
Di antara dokumen yang kubongkar dari tas kanvas, ada satu menarik perhatianku. Amplop coklat besar dan tebal dengan tulisan tolong di catatan tempel. Kubuka pelan-pelan perekat dan menarik sesuatu di dalamnya.
"ARGHH!"
Teriakanku bikin isi amplop besar jatuh ke lantai. Perutku berputar saat puluhan foto tubuh wanita berlumuran memar dan darah berhamburan di lantai kayu. Buru-buru aku ke kamar mandi, memuntahkan seluruh isi perutku di toilet.
Namun, itu masih belum selesai.
"Dasar anak goblok! ANAK TIDAK BERGUNA. Nilai apaan ini, delapan sama tujuh terus. Bisa nggak sih, nggak nyusahin orang tua, Dewi? Lihat itu Adik kamu, LIHAT."
"Memang seharusnya kamu tidak pernah dilahirkan, Dewi. Anak pembawa sial memang."
"Pencak silat bisa bikin kamu makan apa, sih, goblok? Sudah Papa bilang jangan ikut masih saja bandel. Malam ini kamu tidur di kamar mandi."
Bayangan belasan tahun lalu ketika kepalaku dibentur dengan sengaja ke pinggiran bak mandi, lalu menenggelamkan wajahku di air toilet berlanjut dengan sabetan ikat pinggang terus menguasai pikiranku. Selanjutnya yang kutahu hanyalah kembali muntah lalu duduk di dalam ruangan pancuran dengan kaki menyatu dengan tubuh, membiarkan airnya membasahi tubuhku. "Ampun ... Pa, ampun. Maafkan Dewi, maaf, Dewi janji ... akan nurut sama Papa. Ampun, Pa," teriakku berkali-kali sambil menggosokkan tangan.
Entah ada dorongan apa, seseorang menarikku dari bayangan yang tidak pernah kulupakan seumur hidup. "Nira, Nira, tenang ya," bisiknya tepat di telingaku seraya berjalan tertatih menuju sofa ruang televisi.
"Mas ... Danar," lirihku lagi lalu mengalihkan pandangan kemana-mana. "Aku ...."
"Nira ...."
"Maafkan aku, Mas. Kamu jadi lihat aku dalam kondisi rapuh begini," sambarku, "Aku hanya teringat kejahatan Papa padaku ...."
"Sudah tidak apa, Nira." Mas Danar menarikku dalam pelukannya. "Apa pun kenangan buruk menimpamu. Itu semua sudah berlalu."
Begitu kuhabiskan air mineral hangat pemberian Mas Danar sembari menenangkan diri dan mengeringkan rambut, pelan-pelan kuceritakan tentang perlakuan Papa padaku selama ini. Mas Danar menyimak, tapi aku tahu matanya tersimpan amarah besar.
"Mas Danar benar, semua sudah berlalu. Aku sudah nggak pernah kembali ke Surabaya, dan sekarang aku puas lihat muka tidak terima Papa atas kesuksesanku. Tapi lihat foto tadi, kenangan buruk itu mendadak kembali," kataku mengakhiri cerita.
Selanjutnya, kubiarkan Mas Danar membereskan foto-foto mengerikan itu lalu mengeluarkan barang lain dari amplop. Mataku terbelalak, ada hasil visum atas nama Kamila Sudarsono, rekening koran atas nama Farid Wiryawan selama setahun terakhir, laporan keuangan dengan kop surat dan logo PT Cahaya Angkasa Sejahtera tiga tahun terakhir, sampai laporan analisis lingkungan dan USB flashdisk.
Mas Danar ikutan bingung, "Ini semua asli, Nira? Kamu dapat ini dari mana?"
Aku mengendikkan bahu, "Tiba-tiba sudah di tas kanvasku aja Mas Danar. Apa jangan-jangan ...." Ingatanku kembali ke tadi sore saat tabrakan dengan Kamila Sudarsono. Tapi mana mungkin, tadi kulihat Kamila tidak bawa apa-apa sama sekali.
Cepat-cepat kukirim foto laporan analisis lingkungan pada Dara melalui chat, tapi kubilang rahasiakan ke tim dulu. Dara pernah kerja di LSM lingkungan sebelum gabung dengan AA&Partners dan ikut program beasiswa Yayasan Pendidikan Andi Siregar denganku. Kemudian kuhubungi Satya untuk segera kemari untuk baca laporan keuangan. Satya lulusan ekonomi, dan dia lebih paham dari pada aku soal begini.
"Terus ini?" Mas Danar menunjuk ke flashdisk merah.
Baru mau pegang, bel apartemenku bunyi. Satya datang dengan muka masam, "Gue lagi persiapan pesta di Midnight Paradise dan lo seenaknya telepon gue." Muka jahil Satya keluar kala lihat Mas Danar sedang membereskan kertas-kertas dan foto di amplop kecuali kertas rekening koran dan laporan keuangan. Satya tidak protes lalu kugiring ke meja makan.
Satya tenggelam dalam pekerjaan sementara aku dan Mas Danar buka isi flashdisk melalui laptopku. Ada rekaman suara dan video. Rekaman suara itu bikin kami saling tatap karena menyebut buah-buahan seperti apel impor dan apel lokal dengan target apel ekspor.
Sementara video itu bikin aku kembali menenggelamkan diri pada bahu Mas Danar, itu adalah rekaman video seks dan penyiksaan antara pria dan wanita tapi wajahnya tidak jelas. Begitu selesai aku langsung memeriksa surat hasil visum atas nama Kamila Sudarsono. Karena aku tidak paham kode-kode di situ, maka kukirim pada Nisa – semoga saja dia lagi jaga malam -- aku butuh cepat soalnya.
Satya tahu-tahu sudah duduk berhadapan dengan kami, "Karena gue tahu dulu nilai akuntansi lo dapat 65 melulu waktu sekolah, Nir. Gue jelasin kesimpulannya, ini laju keuangan PT Cahaya Angkasa Sejahtera terus turun tapi daya belinya naik bahkan hutang melulu, Coy. Pantes aja Pak Aksha ngebet banget akuisisi PT CAS ke Mas Anton selain fokus pemilu 2024, perusahaannya kek gini dan butuh duit. Tapi nih tapi, yang janggal adalah rekening koran ini bilang Pak Farid Wiryawan – direktur utama CAS – banyak melakukan transfer pada Gunawan Rahadi sebesar 1 Milyar, tepat lo waktu ngusut kasus sabotase. Sebuah fenomena aneh untuk usaha yang bermasalah."
Tepat ponselku berbunyi, isinya dari Dara dan Nisa. Masing-masing melampirkan keterangan dalam gambar.
Dara Bestari
Nira, lo dapat ini dari mana? Ini rahasia anjir. Lo nggak nyuri Legal Due Diligence-nya kan?
Intinya adalah kandungan limbah pabriknya nggak bagus & astaga pengelolaan sampah medisnya buruk skali.
Ini tuh ternyata ada hubungannya sm skandal limbah PT CAS th 2014, ini gw ksh link beritax.
Annisa Setyawati Aldenira
Kata temenku yg di lab, Mbak. Visum ini menunjukkan kekerasan dibalut pemerkosaan, soalnya miss V-nya sudah nggak karuan.
Smpt ada perlawanan juga.
Memarnya sudah menjalar ke perut, dan hampir merusak usus dan tulang-tulang.
Mbak dapat ini dari mana?
Jangan lupa lapor polisi.
Kepalaku benar-benar pusing, semua informasi ini terlalu banyak untuk kuserap. Jadi, sebenarnya ada apa dengan semua ini? Aku kembali ke kamar untuk mengambil kertas asturo putih, kucoret semua pola-pola dibantu Mas Danar dan Satya. Perlahan pikiranku terorganisir, Kamila Sudarsono jadi korban kekerasan dalam pacaran dengan bukti video seks dan penyiksaan, lalu Farid Wiryawan melakukan transfer ratusan juta pada Gunawan Rahadi.
Sayangnya kurang satu, aku butuh kronologi lengkapnya Kamila Sudarsono sebelum kubawa semua bukti ini pada polisi dan melakukan pendampingan padanya. Jika semua bukti ini benar.
"Mas Danar boleh aku minta tolong sekali lagi," pintaku.
"Buset dah, dua kali sudah gue jadi obat nyamuk. Satu kek cicilan rumah, yang ini kayak kura-kura," celetuk Satya yang langsung kuhadiahi pelototan.
"Tolong Mas besok kembali ke yayasan Perempuan Hebat, ya? Minta Kamila Sudarsono ceritakan semuanya lalu rekam. Besok aku nggak bisa, soalnya ada negosiasi antara Mas Anton sama Pak Farid di kantor walau masih cek-cek semua surat dan negosiasi harga saham. Nanti kalau masih ada sisa waktu, aku bakal nyusul. Tolong, ya, Mas."
Anggukan Mas Danar kuanggap sebagai jawaban.
.
.
.
Bersambung.
7 Maret 2021
3600++ kata
A/N:
Pengadilan Niaga: adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perkara kepailitan dan penundaan kewajiban dan pembayaran utang (PKPU).
Perbuatan Melawan Hukum: Tindakan yang melanggar hukum dan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menyebabkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. (Pasal 1365 KUHPerdata)
Pailit: suatu kondisi atau keadaan ketika pihak yang berhutang (debitur) yakni seseorang atau badan usaha tidak dapat menyelesaikan pembayaran terhadap hutang yang diberikan dari pihak hutang (kreditur).
Legal Due Diligence: uji tuntas atau kegiatan pemeriksaan aspek hukum secara seksama oleh konsultan hukum terhadap suatu objek transaksi perusahaan sesuai dengan tujuan transaksi yang bertujuan untuk memperoleh informasi atau fakta materiil yang menggambarkan kondisi suatu perusahaan maupun objek transaksinya.
Pengurus (dalam yayasan) : organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS): sebuah forum, dimana pemegang saham memiliki kewenangan ekslusif untuk memperoleh keterangan mengenai perusahaan dari Direksi/Komisaris dan juga mengambil keputusan untuk perusahaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top