8

DANAR

Kubalas menggenggam tangan Nira erat-erat. Kalung yang ia serahkan ini merupakan bukti kepercayaannya padaku -- aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Ketika Nira membuka laptopnya di atas tempat tidur, kurogoh sakuku, lalu kuamati kalung itu lekat-lekat. Sebuah kalung berliontin bulan sabit yang bertabur berlian.

"Kupakai nggak apa-apa, ya, Nir? Sepertinya lebih aman begini, jadi nggak bakal hilang."

"Mm-hmm," sahut Nira tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Aku pindah ke kursi di sisi tempat tidurnya. "Nir ...." Kali ini ia menoleh karena aku mendekat. "Aku agak kesulitan pasangnya, boleh bantu aku?"

Nira menatapku sejenak. Ia pasti tahu aku bermaksud modus. Namun ia menghentikan aktivitasnya dan memasangkan kalungnya ke leherku.

"Makasih." Senyumku terbit. "Sekarang kamu istirahat dulu, ya. Apapun yang kamu cemaskan tadi, aku akan memastikan kamu aman, karena aku akan menemanimu di sini." Perlahan tanganku terulur menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dekat alisnya.

Di luar dugaanku, Nira mengangguk dan menutup laptopnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku menaruhnya di atas nakas di samping tempat tidur. Ia memejamkan matanya selama beberapa menit. Kelihatannya ia sangat lelah.

"Mas Danar ... boleh kutanya sesuatu?"

"Tentu saja, Nira."

"Sebenarnya ... Mas Danar itu siapa?" Nira membuka matanya, lalu menatapku lekat-lekat. Tatapannya lurus tetapi tidak tajam, melainkan ada kebingungan di dalamnya. "Kepindahan Mas Danar ke sebelah apartemenku hampir bertepatan dengan mulainya kasus sabotase Anggara Industries. Sejak saat itu, Mas Danar selalu ada untuk menolongku. Ini nggak mungkin murni kebetulan, kan? Kalau Mas Danar bukan--bukan suruhan Anjing Gila, lalu Mas Danar bisa tahu banyak tentang diriku dari mana?"

Aku terdiam. Bagaimana cara aku tetap menjaga kepercayaan Nira tanpa berbohong? Namun aku juga belum bisa memberitahu kebenarannya. Kucondongkan tubuhku ke depan, dan kubalas tatapan mata Nira dengan lembut.

"Nira, ada beberapa hal yang belum bisa kuberitahu sekarang. Tapi kamu benar, semua ini bukan murni kebetulan. Aku diminta oleh seseorang -- seseorang yang peduli padamu -- untuk melindungimu."

"Seseorang yang peduli padaku," gumam Nira. "Pasti Ardhi Arsa."

Oke, aku sering mendengar orang bilang raut wajahku datar tanpa ekspresi, tetapi kali ini aku sangat terkejut hingga kuyakin raut wajahku mengungkapkan jawabannya pada Nira.

"Nggak usah tanya gimana aku tahu, Mas," lanjut Nira dengan senyum penuh kemenangan. "Ardhi Arsa itu mentor sekaligus bosku, pemilik firma hukum AA&Partners tempatku bekerja. Semua yang kulakukan ini sebagian besar kupelajari darinya."

"Benar," sahutku. "Aku diminta Ardhi Arsa untuk melindungimu. Dia sangat mencemaskanmu karena cara kerjamu yang sangat berani dan nekat."

Sepintas, ingatan ketika Nira dipukuli kemarin sore melintas di benakku, membuatku bergidik. Spontan, kuraih kedua tangannya dan kugenggam erat-erat.

"Nira, aku harus jujur padamu. Aku bisa dekat denganmu seperti sekarang ini, memang karena tugas yang diberikan oleh Ardhi Arsa. Tapi aku juga temanmu dan benar-benar peduli padamu. Aku ... aku sangat cemas ketika melihatmu dipukuli seperti kemarin. Ini sudah kedua kalinya dalam sebulan, dan mereka lebih brutal daripada yang pertama. Bolehkah aku minta kamu untuk sangat berhati-hati? Kenapa kamu sangat nekat dan nggak takut mati seperti ini?"

"Aku menyadari tiga hal. Satu, hidup ini singkat dan waktu ini berharga. Dua, banyak sekali ketidakadilan di dunia ini yang harus diberantas. Tiga, ternyata kalau kita lebih berani sedikit saja, lawan-lawan kita itu sebenarnya bakal keok, Mas. Coba lihat contoh yang kemarin. Si polisi Alfa itu langsung diam saat aku bongkar kebohongannya. Dengan gaya mainku yang sekarang, kasus-kasus lebih cepat ditangani dan lebih banyak keadilan yang bisa ditegakkan."

Aku tersenyum. "Kalau begitu, aku senang Ardhi Arsa menugaskanku untuk melindungimu. Biar aku jadi partner-mu. Jika lawanmu saja punya tukang pukul, biar aku juga jadi tukang pukul buatmu."

Nira tertawa. "Nggak gitu juga kali, Mas. Masa tukang pukul? Partner aja udah nggak apa-apa."

Aku mengedikkan bahu. "Tapi kamu ngerti maksudku, kan?"

Nira mengangguk.

***

Setelah Nira tertidur, aku pun melanjutkan penyelidikanku. Kemarin sore, ketika aku berlari mencari Nira di Kuningan, aku sempat menempelkan kamera di tiang listrik di pinggir jalanan tempat Nira berkelahi dengan para preman. Kamera itu berukuran sangat kecil, seperti kamera yang digunakan untuk ponsel, terhubung dengan Internet, serta diberi perekat di belakangnya. Seharusnya kamera itu masih menempel di sana.

Kubuka laptopku untuk mengakses portal Penumbra di mana hasil video rekaman kamera tersebut diunggah. Tim teknologi informasi (IT) Penumbra sudah mengolah video tersebut dan mencocokkan para pelaku dengan data yang mereka miliki. Rupanya mereka adalah preman yang sering nongkrong di gang-gang pelosok sekitar situ dan bisa disewa siapa saja. Bukan bagian dari jaringan organisasi preman rumit seperti Macan Hitam.

Yang menarik, ada seseorang yang bukan bagian dari gerombolan preman itu ikut-ikutan di antara mereka. Malah ia yang paling ganas menyerang hingga Nira dirawat di rumah sakit sekarang. Lelaki berbadan besar dan berkepala plontos itu tercatat di basis data Penumbra dengan nama Rico alias Zainudin. Kutonton ulang rekaman video perkelahian mereka sambil menahan ngilu dalam hati. Ternyata Nira dan Rico sempat bertukar beberapa kata.

Pikiranku teringat kepada sebutan "Si Anjing Gila" yang sempat diungkit Nira dan Ardhi Arsa, kaki tangan Freddi Martadinaja. Namun aku juga teringat ucapan Ardhi Arsa, penyerang Anggara Industries bukan Freddi. Kalau begitu mengapa Rico ada di sana? Apakah ia hanya menumpang kesempatan, atau memang bekerja sama dengan para penyerang?

Aku harus mencari tahu ini semua.

Sebelum aku berangkat, aku mengamati Nira yang masih tertidur. Wajahnya terlihat begitu damai. Hatiku juga ikut tenteram -- tapi kembali sakit mengingat luka yang dideritanya. Setidaknya ia mau menerima bantuanku. Dalam hati, aku bertekad untuk tidak membiarkannya terluka lagi.

Rasanya ingin kukecup keningnya yang sedikit memantulkan cahaya lampu di atas nakas, tetapi kuurungkan niatku. Tidak sopan jika aku melakukannya tanpa sepengetahuan Nira. Jadi kuraih tangannya yang masih ditancap jarum infus, lalu kutempelkan ke bibirku.

Tak lupa kukirimkan pesan ke ponselnya agar ia tahu aku hanya pergi sebentar, seandainya ia terbangun nanti.

***

Keuntungan menjadi agen Penumbra, aku bisa mengakses informasi yang kuperlukan dengan cepat. Apalagi datanya sudah diolah dan disajikan oleh tim data Penumbra. Aku segera tahu lokasi geng preman yang menyerang Nira kemarin sore tanpa harus mencari sendiri. Kudatangi tempat di mana mereka paling sering nongkrong menjelang tengah malam seperti ini.

Jalan raya di Kuningan masih ramai dengan kendaraan, tetapi tidak dengan jalan-jalan kecil di belakangnya. Kawasan pertokoan di lokasi perkelahian Nira kemarin sudah tutup, menyalakan lampu kecil yang menerangi jalanan dengan remang-remang. Di sudut jalan, ada sebuah warung yang buka. Dua preman yang kuincar sedang merokok di sana sambil menonton sinetron dengan ibu pemilik warung. Sisanya berkumpul di atas motor mereka yang diparkirkan di depan salah satu toko yang punya emperan agak lebar.

Sambil menarik hoodie-ku ke atas kepala, aku mendatangi warung itu dan duduk di bangku kayu panjang di sebelah mereka. Mereka memandangku sejenak, tetapi mengabaikanku dan kembali fokus ke sinetron yang menayangkan adegan menangis dari pemeran perempuan utamanya. Ibu pemilik warung yang tidak menyadari kehadiranku masih mengumpat ke arah pemeran perempuan antagonis yang melotot sambil menunjuk-nunjuk ke arah sang protagonis.

"Bu, rokoknya ada?" sapaku.

"Eh, Bang! Maafin, Ibu nggak lihat ada Abang. Ada, ada. Mau merek apa?"

Aku menyebutkan salah satu merek yang terpampang di balik meja kaca. "Sebatang aja, Bu. Bisa?"

"Bisa, bisa. Jadinya dua ribu rupiah. Sekalian koreknya, Bang?"

"Iya, Bu, makasih."

Ibu pemilik warung itu menggosok sebatang korek api dengan kotaknya, lalu menyalakan rokok yang kuselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengahku. Selama beberapa detik, aku hanya membiarkan api menghabiskan puntung rokokku, tetapi tidak kumasukkan ke dalam mulutku.

Ketika sinetron yang ditonton para preman itu terhenti karena iklan, preman yang duduk di sebelahku menoleh. Aku balas menatapnya. Ia melirik ke rokok yang tak kuisap, lalu mencibir. "Kenapa, bro? Terlalu cemen buat ngerokok? Hahaha!"

Temannya ikut memerhatikanku lalu nimbrung mengejek. "Muka-muka cowok cantik kayak gitu nggak bisa ngerokok kali. Banci, jangan-jangan nggak bisa ngaceng juga."

"Yang cemen itu gerombolan laki-laki yang mengeroyok perempuan," ujarku datar sambil menyelipkan rokok ke mulutku. Kedua tanganku melepas hoodie yang menutupi separuh wajahku. Aku mendekati wajah preman yang duduk di sebelahku, lalu berbisik, "Ingat apa yang kalian lakukan kemarin sore?"

Spontan air mukanya berubah panik. "A-anjing!" serunya. "Lu yang itu?!"

"Benar. Saya kemari bukan untuk cari gara-gara, tapi untuk bicara dengan bos kalian. Mana orangnya?"

Preman itu memandang ke arah temannya. Temannya menggeleng. "Bos kayaknya nggak bakal mau ketemu sama cowok cemen kayak gini. Yuk, hajar aja."

Ia bersiul, lalu mendadak gerombolan preman yang duduk-duduk di atas motor mengitariku. Mereka serempak menyerbuku. Aku malas membuang waktu untuk berkelahi, jadi aku hanya menghindari serangan mereka, menarik tangan salah satu preman yang terjulur ke arahku, lalu menjatuhkannya ke tanah dan menguncinya. Kupelintir lengannya hingga ia berteriak kesakitan, "Ampun, Bang!"

"Beritahu saya, di mana bos kalian? Atau saya patahkan lengan orang ini?"

Para preman itu saling berpandangan, tetapi tidak ada yang bersuara.

"Cepat jawab!"

"I--itu ... b--bos," ujar preman yang kusandera, mengangkat kepalanya dan mengarahkan dagunya ke seorang preman bertubuh kecil.

Aku melepasnya, lalu berjalan ke arah lelaki yang disebut bos tersebut. Dibandingkan diriku setinggi 183 sentimeter, puncak kepalanya hanya mencapai daguku. Mungkin pada hari-hari biasa ia terlihat sangar walaupun cungkring, tetapi malam ini ia bagaikan pengecut sampai aku heran ia dijadikan bos oleh anak buahnya.

"Situ bos?" tanyaku.

"B--bosnya geng ini aja, O-om."

"Kamu suruhan siapa kemarin sore?"

"S--suruhan siapa apa maksudnya, Om? Kami b--bukan suruhan s--siapa-siapa ...."

Aku mendekatkan rokok yang dari tadi kupegang ke wajahnya. "Situ doyan ngerokok? Tahu tersundut rokok rasanya seperti apa?"

"J--jangan, Om."

"Beritahu saya, atau situ bukan cuma saya sundut pakai rokok ini, tapi saya patahin kaki situ. Saya nggak main-main, saya jago taekwondo. Kalian lihat kan saya bisa menang lawan kalian semua?"

Salah satu anak buah si bos cungkring mengambil balok kayu entah dari mana dan berniat menghantam kepalaku dari belakang, tetapi aku segera menunduk sehingga balok kayu itu mengenai dahi bosnya. Ia terjengkang, lalu darah mengucur dari dahinya.

"Goblok!" teriak preman yang lain.

"Hentikan!" ujarku sebelum perkelahian terjadi antar mereka sendiri. "Saya sudah bilang, saya nggak mau ribut dengan kalian. Saya juga nggak lapor polisi. Saya cuma ingin tahu siapa yang menyuruh kalian mencelakai perempuan itu tadi sore."

"Pak Kaisar ...." sahut bos cungkring lirih. "Hanya itu yang kami tahu. Dia kirim anak buah bawa tas duit, terus suruh kami ngerjain beberapa hal buat dia ...."

***

Pagi berikutnya, aku terbangun mendapati diriku berbaring di atas sofa kamar rumah sakit tempat Nira dirawat. Perempuan itu bangun terlebih dahulu dan sedang mengeringkan rambutnya di depan cermin. Ia sudah berpakaian lengkap, kemeja putih dengan rok sepan hitam, dengan sepatu pantofel kesayangannya. Blazer hitam dengan dasi putih yang sudah disiapkan tetapi belum dikenakannya diselempangkan di atas kursi.

"Nira ... kamu sudah mau keluar rumah sakit?" tanyaku heran.

"Hari ini sidangnya, Mas. Aku harus datang," ujar Nira sambil mematikan alat pengering rambut, lalu mulai menyisir.

"Tapi lukamu ...."

"Sudah jauh membaik, kok. Nanti Bu Didi, Ronald, dan anggota timku lainnya juga datang. Mereka bisa membantuku, tetapi aku sebagai pengacara resmi Anggara Industries harus hadir di sana." Nira mengambil jepit dan mengikat rambutnya menjadi cepol di belakang lehernya, lalu berbalik ke arahku. Sungguh, ia cantik sekali dengan penampilan rapi seperti ini. "Semalam Mas Danar ke mana? Aku cuma lihat pesan di HP-ku."

"Aku ngumpulin info tambahan," sahutku sambil menyodorkan sebuah USB flashdisk ke tangan Nira. "Preman-preman yang melukaimu, aku ketemu mereka dan tanyain siapa yang menyuruh mereka. Mereka cerita semuanya."

Nira mengepalkan tangannya geram. "Itu yang mau kulakukan seandainya mereka nggak menumbangkanku." Ia menarik napas lega. "Sekali lagi, makasih banyak, Mas Danar."

Aku hanya mengangguk. "Oh, ya, ngomong-ngomong, aku menemukan hal yang aneh. Preman yang melukaimu itu bukan bagian dari geng yang kuselidiki kemarin." Kutunjukkan video rekaman kejadian kemarin di ponselku dan menekan tombol pause di bagian Rico alias Zainudin memukul Nira.

"Aku tahu siapa dia. Si brengsek ini komplotan Si Anjing Gila. Dia memanfaatkan keroyokan kemarin untuk mencelakaiku."

"Kata Ardhi Arsa, penyabotase pabrik Mie Gara bukan Freddi atau pun Si Anjing Gila."

"Benar. Tapi mereka selalu memanfaatkan momentum." Nira menggeleng. "Hari ini aku akan melupakan mereka dulu. Aku harus fokus dengan persidangan."

***

Aku mengantar Nira ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan -- tempat persidangan akan dilaksanakan -- dengan mobilku. Walaupun persidangan baru akan dimulai tiga jam lagi, kami berangkat sekarang untuk mengantisipasi kemacetan. Nira duduk di jok belakang sambil membaca ulang dokumen-dokumennya serta mempelajari informasi tambahan yang kukirimkan. Ia juga terus terhubung dengan rekan-rekannya untuk membahas rencana mereka di persidangan nanti. Kami hanya berhenti satu kali di drive thru restoran cepat saji untuk memesan sarapan dan kopi yang kami santap di mobil.

Kami tiba di pengadilan sejam sebelum persidangan dimulai. Nira langsung bergabung dengan rekan-rekannya -- Bu Didi, Bu Ranti, Ronald, Dara, dan Dita. Mereka pun berdiskusi tentang bukti-bukti yang mereka punya, saksi yang akan datang, serta kemungkinan apa saja yang akan mereka hadapi di persidangan nanti.

Jadi ini yang kuserahkan kepada Nira: video rekaman kejadian kemarin sore saat ia dikeroyok preman serta rekaman percakapanku dengan bos cungkring. Ia mengaku bahwa gengnya disuruh 'Pak Kaisar' untuk merusak pabrik Mie Gara, mengancam keluarga Pak Parto sehingga penjaga pabrik yang malang itu ketakutan dan tidak bekerja selama beberapa hari untuk menjaga keluarganya (yang kemudian dibilang Pak Alfa tidak ada saksi bernama Parto), lalu mengeroyok Nira dengan rencana menculiknya supaya ia tidak bisa hadir di persidangan. Pelaku sabotase yang sekarang ditangkap dan akan disidang sebagai saksi adalah salah satu dari mereka yang dijadikan tumbal. Mereka diberikan uang tunai di dalam koper untuk melakukan hal-hal tersebut. 'Pak Kaisar' sendiri tidak pernah muncul di hadapan mereka -- hanya kaki tangannya yang selalu berganti-ganti. Aku sudah mencatat nama-nama mereka, tetapi belum sempat kuselidiki.

Aku yakin Nira dan timnya akan memenangkan persidangan ini, tetapi pelaku sesungguhnya belum terungkap. Direktur PT. Wuenak -- nama perusahaan bodong yang menyaingi Mie Gara dengan produknya Mie Wuenak -- serta pelaku sabotase yang sekarang diperiksa sebagai saksi hanyalah berperan sebagai tumbal.

Sambil duduk di ruang tunggu, aku membuka laptopku. Sebelum menyerahkan informasi tambahan itu kepada Nira, aku sudah mengirimnya ke tim IT Penumbra terlebih dahulu. Tadi pagi aku bertukar pesan dengan seorang staf IT Penumbra, tetapi kali ini aku dihubungi oleh ketua tim IT Penumbra -- Phillip Darmadi -- secara langsung.

"Danar, gue udah nemu backing-nya PT Wuenak," ujarnya melalui telepon. "Dugaan lu benar, semuanya itu cuma tumbal. Dalangnya adalah beberapa grup terbesar di Indonesia yang mau jatuhin Grup Anggara. Gue nggak bisa sebut nama di sini, harus tunggu lu datang ke markas lagi. Tapi gue bisa kasih tahu ini: PT Wuenak nerima kucuran dana dari beberapa rekening pribadi anggota direksi -- bukan pemilik, loh, ya -- dari grup-grup yang gue bilang tadi. Entah mereka bersekongkol dengan pemilik, atau masih sama-sama tumbal, atau ini proyek pribadi mereka. Soalnya mereka transaksi pake rekening pribadi."

"Tapi kenapa? Apa alasannya?" tanyaku.

"Kalau alasan, gue juga belum tahu. Gue akan kirim ke tim yang biasa investigasi perusahaan besar dan makroekonomi negara, biar dicari apa kesamaan dari grup-grup ini dan kenapa mereka mau jatuhin Grup Anggara."

"Oke, deh. Makasih banyak, Phil."

"Sama-sama, bro."

Tanpa terasa satu jam telah berlalu. Nira menemuiku di ruang tunggu. Sepertinya ia baru saja merapikan ulang riasannya, karena bibirnya lebih merah daripada sebelumnya. Ia terlihat profesional, tegas, dan sedikit garang. Rasa kagum dan bangga muncul lagi di dadaku.

"Mas Danar, sidangnya udah mau mulai, nih."

Aku mengangguk. "Gimana keadaanmu?"

"Baik dan bersemangat." Ia mengepalkan kedua tangannya lalu mengayunkannya ke atas.

Aku tersenyum melihatnya. "Kamu pasti bisa." Ia membalikkan tubuhnya untuk bergegas masuk, tetapi panggilanku menahannya sejenak. "Nir, aku bangga padamu."

Nira balas tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya.

Harus kuakui, jika tadi aku hanya kagum, bangga, dan suka padanya, kali ini aku benar-benar jatuh cinta padanya. Nira sangat brilian di dalam ruang sidang. Menyaksikannya memaparkan bukti-bukti yang membuat pihak PT. Wuenak tak berkutik bagaikan menonton pertandingan taekwondo antara juara dunia dan juara daerah -- alias beda kelas. Pihak PT. Wuenak dan pengacara mereka terus menginterupsi Nira dengan berbagai alasan sampai hakim ketok palu untuk menenangkan jalannya sidang, terlihat sekali bahwa mereka terlalu banyak berbohong untuk menutupi dalang sebenarnya. Aku sedikit kasihan dengan direktur dan pelaku sabotase yang dijadikan tumbal. Namun apa boleh buat, bermain-main dengan serigala, pasti akan tergigit.

Ketika hakim mengetok palu sebanyak dua kali dan mengatakan bahwa sidang putusannya diadakan minggu depan, aku bisa melihat tarikan napas lega dari pihak Grup Anggara yang juga hadir menonton. Setelah persidangan dibubarkan, mereka mengerumuni Nira dan timnya untuk mengucapkan terima kasih. Aku menyaksikan perayaan mereka dari jauh, tak ingin mengganggu.

Namun Nira menangkap mataku dan tersenyum lagi. Ia berjalan ke arahku dan mengajakku menemui timnya.

"Bu Didi, kita juga harus berterima kasih pada Mas Danar. Berkat bantuannya, sidang putusannya nggak diulur dua minggu. Hakim sepertinya setuju dengan permintaan pihak kita, aku bisa lihat bahasa tubuhnya Pak Toni salah satu majelis hakim tadi."

Bu Didi, perempuan paruh baya dengan tatapan mata tajam seperti elang, mengulurkan tangannya kepadaku, yang segera kusambut. "Makasih banyak, Pak Danar. Saya ikut senang mendengar Nira punya teman yang sangat baik dan mendukungnya."

"Senang juga bisa membantu," sahutku.

"Oh, ya, habis ini saya akan kasih hadiah cuti seminggu buat Nira, sekalian supaya dia bisa memulihkan dirinya. Saya tahu dia pasti memaksakan dirinya hari ini, tapi mau bilang apa, anaknya bandel," ujar Bu Didi sambil mengetukkan telunjuknya ke dahi Nira, yang dibalas dengan ringisan juniornya. "Pak Danar, saya mohon bantuan Bapak, ya. Tolong awasi Nira supaya dia benar-benar istirahat, bukannya kerja."

"Ibu jangan gitu, dong," protes Nira. "Saya pasti istirahat, kok. Nggak perlu merepotkan Mas Danar buat ngawasin saya."

Bu Didi menggeleng. "Halah, nggak percaya. Saya yakin cuti kemarin kamu nekat latihan silat, kan? Polamu kelihatan, Nira. Awas kalau kamu ketahuan buka email. Nanti saya kasih penalti dan nurunin performance rate-mu di depan petinggi pas rapat besar nanti."

Nira menatap Bu Didi tidak percaya, tetapi kemudian mereka tertawa bersama.

***

Tentu saja, dengan senang hati kujalankan permintaan Bu Didi. Selain melapor ke markas Penumbra keesokan harinya, aku menghabiskan waktuku di apartemen untuk merawat Nira. Aku memasak, membersihkan rumah, menemaninya di apartemen, serta mengantarnya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan. Untuk mengalihkan pikirannya dari pekerjaan, kuminta Nira mengajakku menonton film dan serial TV kesukaannya. Aku juga menahan diri agar tidak membahas Rico dan Si Anjing Gila, maupun para dalang di balik PT. Wuenak di hadapan Nira, walaupun aku tetap menyelidiki mereka di belakangnya.

Di akhir pekan, Nira mendapat undangan makan malam dari Anton Anggara dan keluarganya sebagai bentuk ucapan terima kasih. Nira pun mengajakku, restorannya terletak di hotel bintang lima di daerah Thamrin yang menyajikan makanan Barat.

"Jujur aku lebih suka makanan Indonesia, tapi aku pasti akan ikut, kok, Nir," aku menanggapi.

"Ya, sesekali makan makanan Barat, lah, Mas. Kapan lagi bisa makan daging gratis sepuasnya?" ujar Nira.

Aku tertawa. "Tetap aja, ya, sukanya yang gratisan."

"Iyalah, memang siapa yang nggak suka gratisan?"

Kami harus mengenakan busana semi-formal ke acara makan malam tersebut. Untunglah pengalamanku menjadi bodyguard Tiara Suryajati membuatku cukup paham atas kebiasaan para sosialita menjalani hidup mewah mereka. Aku mengenakan setelan jas abu-abu dengan dasi berwarna biru tua, senada dengan warna gaun pendek yang dikenakan Nira. Rambut panjangnya digelombang dan digerai ke satu sisi. Kali ini ia tidak mengenakan sepatu pantofel, melainkan high heels berwarna hitam.

"Astaga, kamu cantik sekali, Nira!" ujarku dengan napas tertahan.

Sepertinya Nira tersipu sedikit. "Makasih, Mas. Mas Danar juga terlihat tampan, kok."

"Mari kita berangkat."

Berhubung sedang jam makan malam, restoran yang kami datangi itu penuh dengan pengunjung -- semuanya golongan artis, sosialita, dan konglomerat. Nira menyebutkan reservasi atas nama Anton Anggara ke resepsionis, yang kemudian mengantarkan kami ke meja bundar yang sudah ditempati empat orang: Anton Anggara dan istrinya, serta Satya Anggara dan seorang perempuan cantik.

"Nira, rupanya kamu sudah datang," ujar Anton Anggara. "Ayo, ayo, duduk dulu. Dan ini ...." Ia menoleh ke arahku.

"Mas Anton, Mbak Tyas, ini Mas Danar. Dia banyak berjasa bantuin kita ngusut kasus kemarin," jelas Nira.

"Cieeeeee ...." celetuk Satya ketika aku bersalaman dengan Anton. "Nira udah punya plus one rupanya. Uhuyyy! Ganteng juga rupanya. Akhirnya lu nggak nyusahin gue sama Tio setiap acara kondangan. Sudahlah lu mau tunggu apalagi? Buruan sikat!"

"Heh, Sat, lu kira gue apaan? Nggak usah sebar aib gue di sini," tegur Nira, sepertinya sudah siap mencengkeram leher Satya. "Mas Danar, jangan hiraukan dia. Biar cowok tapi mulutnya lebih rempong daripada Ella." Ia menoleh ke Satya sekali lagi. "Kali ini lu bawa siapa itu?"

"Sarah," sahut Satya santai, yang disambut gelengan kepala Nira.

Perempuan yang dimaksud Satya kemudian berdiri dan melakukan salam sekaligus berpelukan pada Nira diiringi senyum.

"Dia selalu bawa cewek baru setiap kali ketemu. Tapi kali ini, mantan terindahnya yang dia bawa sekarang," bisik Nira ke telingaku.

Pada awalnya, kami melanjutkan obrolan ringan seperti ini, tetapi sambil menunggu sesuatu -- entah apa -- percakapan berlanjut ke rencana Anton Anggara melakukan merger antara Anggara Industries dan PT. Cahaya Angkasa Sejahtera (CAS) yang dimiliki oleh ....

Aksha Fajar Syahreza.

Tiba-tiba aku merasakan hawa dingin di sekujur tubuhku. Padahal aku mengenakan jas dan celana panjang.

Aksha Fajar Syahreza, nama yang tidak akan kulupakan sampai kapanpun.

"Kebetulan mereka bisa hadir hari ini, jadi sekalian kuundang juga. Ntar kamu bisa ceritain gimana Mie Gara harusnya udah aman buat merger karena kasus kemarin udah beres ditanganin," ucap Anton. "Nah, itu udah datang orangnya."

Sepasang suami istri berusia sepantaranku datang mendekati meja kami. Lelaki tampan bertubuh tinggi dengan setelan jas hitam didampingi oleh perempuan cantik dengan gaun ungu muda. Aku yakin keduanya mengenakan karya desainer top dunia, tidak seperti aku dan Nira yang ....

Tidak, Danar. Kamu tidak boleh membandingkan dirimu dengan mereka.

Aku menarik napas dan mengembuskannya lagi. Kuulangi beberapa kali untuk mengatur detak jantungku. Kudorong kursiku perlahan, lalu aku berbisik kepada Nira, "Aku ke belakang dulu, ya."

Belakang di sini tentu saja berarti kamar mandi.

Aku mencuci tanganku yang tidak kotor, lalu menatap bayanganku di cermin. Meskipun sepuluh tahun lebih sudah berlalu, rasanya masih begitu sakit.

Mengapa?

Mengapa aku harus bertemu dengannya lagi?

.

.

.

Bersambung

27 Februari 2021

3500++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top