30 (part 2) [TAMAT]
DANAR
Pagi berikutnya, aku langsung bergegas ke kantor polisi untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Arjuna juga sudah berada di sana. Kami disambut oleh Pak Darya dengan muka super serius, tetapi ia tak dapat menutupi kelegaan yang tersirat di matanya.
"Gimana ini bisa terjadi, Pak? Saya kira di penjara nggak mungkin melakukan hal semacam itu," berondongku, yang dibalas Arjuna dengan gelengan kepala.
Pak Darya menghela napas. "Pakai selimut kain yang dikasih buat setiap tahanan, diikat ke jeruji jendela dan lehernya." Ia mengusap lehernya sendiri membayangkan ngilunya aksi fatal yang dilakukan Danang itu.
"Tapi ... saya ... waktu bertemu saya, dia masih sesumbar," ujarku masih tak percaya setelah keluar dari kamar mayat dan memastikan badan yang terbujur kaku itu adalah jahanam yang meneror hidup Nira.
"Menurut saya, tindakan Danang, termasuk sesumbarnya, adalah suatu act of desperation, hanya saja ia menutupinya. Nggak ada orang yang semangatnya tinggi terus sekalipun ia menderita delusi parah. Apalagi jika Danang sadar Alline sudah tidak akan membantunya lagi."
"Ya, Arjuna benar. Alline masih dirawat di rumah sakit dan akan diperiksa sebagai saksi untuk kerusuhan di rumahnya kemarin, sekaligus kekacauan di kantor polisi minggu lalu dan pelanggaran yang dilakukan ayahnya," sambung Pak Darya.
Aku menggeleng. "Sulit dipercaya dia mati semudah itu. Mungkin nggak dia hanya pura-pura, atau memakai body double? Yang asli sudah kabur lagi."
"Mas Danar kebanyakan nonton film kayaknya," ledek Arjuna. "Kita tunggu saja sampai hasil tes DNA keluar, baru bisa memastikan."
Setelah berpamitan dengan Pak Darya dan keluar dari kantor polisi, aku dan Arjuna mampir ke Soedirman Coffee Shop untuk ngopi dan sarapan, karena kami langsung bergegas ke kantor polisi tanpa sesuap makanan. Arjuna memesan croissant isi cokelat dengan secangkir flat white, sedangkan aku memilih roti bakar selai nanas dan secangkir americano.
"Jadi tunggu apa lagi? Naga sudah mati. Saatnya pangeran menemukan sang putri, lalu menikah dan hidup bahagia selamanya," komentar Arjuna sambil menyesap kopinya perlahan.
"Pangeran apanya. Aku bukan pangeran."
"Kalau gitu Mas Danar lebih suka jadi ksatria?"
Aku tak menjawab omong kosongnya dan fokus mengoleskan selai nanas segar di atas roti bakarku yang masih hangat. Sosok Nira membayangi atmosfer di kedai kopi ini, titik temu dan tempat diskusi kami sejak lima tahun lalu.
"Kafe ini adalah kesukaanku dan Nira," ujarku tak nyambung.
Arjuna tersenyum. "Sepertinya saya bisa jadi pengganti Nira yang baik, ya kan?"
Aku menatapnya tajam, tetapi ia tak peduli. "Kenapa Nira pergi tanpa bilang padaku?" Pertanyaan yang sama terlontar dari bibirku entah untuk keberapa kalinya.
"Mana kutahu," jawab lelaki sialan di hadapanku ini enteng. "Nira kan calon istri Mas Danar, seharusnya Mas yang lebih tahu daripada saya."
"Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku masih tahan berbicara denganmu."
"Because I'm irresistible?" Arjuna menyengir sambil mengangkat satu alisnya. "Anyway, kunci utama dalam hubungan apapun adalah komunikasi. Saya yakin Mas Danar sudah paham betul sampai bosan, tapi apakah Mas sudah menjalankannya?"
Aku mulai merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Tentu saja aku sudah mengkomunikasikan apapun padanya dengan sebaik mungkin. Kalau nggak, mana mungkin rencana kita berhasil?"
Arjuna meletakkan sebuah map di hadapanku. "Termasuk ini?"
Aku meraihnya dan membukanya dengan penasaran. Ternyata berkas untuk sidang mantan hakim Budi Jaya Aldenira, ayahnya Nira. Kubalik lembaran-lembaran itu, lalu kutemukan salah satu kasus yang ia curangi dengan cara menganggap bukti tidak sah. Kasus Doni Laksono.
Spontan aku mematung. Arjuna menatapku, kali ini tak ada senyum di wajahnya.
"Proses hukum untuk Budi Jaya Aldenira sedang berlangsung. Bagaimana pun juga, ia tetap ayah biologis Nira," ujarnya.
Kemudian aku tersadar. Mungkinkah Nira ingin aku meyakinkan diriku sendiri, apakah aku tetap sanggup menerimanya walaupun ayahnya adalah hakim yang menyakiti keluargaku? Selama aku bersama Nira, aku akan mengubur keraguan ini dalam-dalam, karena aku ingin bersamanya. Namun jika tak kuberesi, perasaan ini akan menjadi bom waktu yang siap meledak saat kami menghadapi konflik.
"Mas Danar, jika ingin bersatu dengan Nira, Mas harus memaafkan diri sendiri. Nira sedang berusaha memaafkan dirinya. Gimana dengan Mas?"
Aku termenung.
"Kurasa ini bukan kapasitasku, tapi Mas Danar menanggung beban terlalu berat mengenai adik Mas. Tunggu, jangan ngamuk dulu. Maksudku begini, saya tahu Mas kakak yang baik, tetapi Mas juga nggak bisa terus-terusan mengorbankan diri sendiri jika ingin bahagia."
Aku masih terdiam. Beberapa detik kemudian, aku buka suara. "Aku ... harus bicara pada Wulan."
***
Malam itu, aku menjemput Wulan dan mengajaknya makan malam di apartemenku. Dia bilang dia sempat menjengukku di rumah sakit ketika leherku dijahit, tetapi aku belum sadarkan diri. Setelah itu aku sibuk mencari Nira, rapat dengan Penumbra, bertemu Bu Siska dan Satya, lalu memeriksa jenazah Danang, sampai belum sempat bertemu lagi dengan Wulan.
"Mas nggak perlu merasa bersalah gitu. Kan Mas juga udah ngabarin ke aku pas keluar dari rumah sakit. Toh, aku juga belum sempat ngunjungin Mas Danar lagi," timpal Wulan sambil menontonku menyiapkan bahan-bahan untuk masak nasi goreng. "Mas yang sakit, malah khawatirkan aku. Kan lucu."
"Bilang terima kasih, kek," sindirku sambil memotong wortel tipis-tipis. "Mas juga mau ngomong sama kamu, Lan."
"Ada apa? Pasti soal Nira, kan?"
"Nanti Mas jelasin setelah makan malam, ya."
"Ck, sok misterius. Paling sebel kalau Mas begini," gerutu Wulan sambil memainkan ponselnya.
Namun aku punya alasan. Aku khawatir informasi ini bisa memicu trauma Wulan kembali. Aku harus memastikan ia dalam kondisi baik sebelum memberitahu kabar ini.
"Jadi, di mana Nira?" tanya Wulan sambil menyantap sesuap nasi goreng suwir ayam buatanku, yang akhirnya dibumbui oleh dia juga.
"Pergi ... ke New York."
"Mendadak? Kok nggak ngabarin Mas?"
Aku menghela napas. "Dia mau aku yakin dengan pilihanku. Wulan, aku akan ceritakan, tapi perlu kuperingatkan, ini terkait masa lalumu."
Wulan terlihat menegang.
"Aku janji nggak akan bahas dalam-dalam. Ini cuma terkait kasusmu waktu itu. Jadi Mas bawa ke pengadilan, tetapi dibatalkan dengan tuduhan bukti kurang kuat. Padahal aku yakin ada permainan kotor di situ."
"Lalu?"
"Hakim yang menerima suap itu adalah papanya Nira, dan sekarang ia sedang diproses hukum untuk berbagai pelanggaran. Ternyata ia adalah hakim yang korup."
Wulan terdiam sejenak, lalu mengangguk paham. "Jadi Mas ragu sama Nira karena papanya ... yang mengacaukan hidupku?"
"Ya ... Mas nggak mau pasangan hidup yang Mas pilih malah jadi merenggangkan hubungan kita, Wulan."
Wulan menggigit bibirnya. Bola matanya memandang ke sana ke mari. Jantungku mulai deg-degan. Apa pun perkataan Wulan, ini bisa menentukan kehidupanku di kemudian hari.
Lalu ia mendorong kursinya ke belakang dan memelototiku. "Mas Danar kenapa cupet sekali?"
"Hah?"
Wulan menggelengkan kepala. "Nggak nyangka, kakakku yang pintar dan logis ternyata secupet ini pemikirannya." Ia melipat tangannya dan merengut. "Pertama, yang Mas akan nikahi kan Nira, bukan papanya. Nira sendiri juga korban kejahatan papanya, dan Mas yang ngakunya cinta sama dia bukannya ada di sisinya, tapi malah mikir mau ninggalin dia?
"Kedua, seandainya bukan Budi Jaya Aldenira yang jadi hakim di kasusku, bisa jadi kan hakim lain juga sama korupnya sehingga hasil putusan sidangnya tetap sama?
"Ketiga, stop urusi kebahagiaanku dan kejarlah kebahagiaanmu yang utama. Aku sudah pulih, dan aku yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku sendiri, bukan Mas Danar."
Aku melongo. Sungguh jawaban yang tak kuduga, tetapi melegakan.
"Aku minta maaf kalau ucapanku agak keras. Tapi kalau nggak diginiin Mas Danar nggak bakalan ngeh. Aku bukannya nggak berterima kasih dengan perhatian Mas selama ini. Tapi ini saatnya buat Mas mengejar kebahagiaanmu sendiri. Mas pikir aku senang lihat Mas menderita? Aku juga bahagia melihatmu bahagia. Nira akan jadi kakak ipar yang sangat cocok denganku. Hati-hati, aku akan merebutnya darimu."
Aku menarik Wulan dalam pelukanku. "Wulan, makasih banyak." Air mata berlinang ke pipiku, aku tak kuasa menahannya. "Selama ini Mas nggak sadar kalau Mas membelenggu diri sendiri dengan alasan mengutamakan kebahagiaanmu, padahal dengan begitu Mas meremehkan perkembanganmu."
"Tenang, Mas. Aku paham, perubahan memang sulit. Apalagi kalau kita sudah terbiasa begini terus selama bertahun-tahun. Tapi Nira itu one in a million. Aku lihat sendiri betapa cocoknya kalian berdua. Kalau Mas nggak mengejarnya, Mas akan menyesal."
Senyum terkembang di wajahku. "Oke, karena Mas yang masak, giliranmu cuci piring, ya. Mas harus berkemas dan menyiapkan keberangkatan."
"Ke New York?"
"Ya."
***
NIRA
Terhitung ini sudah memasuki minggu keempat sejak hadir di New York untuk kerja sekaligus liburan. Entah kenapa, aku yang biasanya banyak aktif buka mulut jadi banyak mendelegasikan pada Dara dan Ronald. Aku lebih nyaman menyusun strategi lalu mereka berdua yang eksekusi, sementara aku hanya bicara pada pengacara lawan jika mereka ngeyel. Atau diskusi pada klien mengenai hal-hal teknis, sistem hukum, serta poin-poin penting yang terlewat dalam pasal-pasal yang ada di kontrak dan aset penting untuk surat wasiat.
Bila tidak ada halangan, pengawasan penghitungan aset dan ulasan kontrak klien dengan perusahaan lawan ini bisa selesai minggu depan.
Tentu saja di sela-sela pekerjaan kita masih bisa jalan-jalan. Kali ini aku tidak sendiri jadi tour guide dadakan pasangan teman tapi mesra itu kemana pun mereka mau. Jenny Winston -- teman dorm ku sebelum pindah ke East Village -- ikut membantu kasih rekomendasi beberapa museum seni di situ. Karena kali ini mereka ingin berkunjung ke museum.
Pilihan pasangan itu jatuh pada The Met di 5th Avenue.
"Berasa di Gossip Girl aja gue." Dara tertawa saat kami bertiga lagi mengistirahatkan kaki di tangga pelataran.
"Iya tapi mana ada adegan pijatnya, Sayang," komentar Ronald asal yang bikin aku terhibur.
"Setahuku juga Blair Waldorf duduknya anggun sambil makan yogurt mahal dekat sini, nggak naik satu kaki, Dar," tambahku diiringi tawa Ronald sambil kubalas tosnya.
"Kalau gue Blair Waldorf lo siapa, Nir? Serena van der Woodsen?" Tanya Dara dengan salah satu alis terangkat.
Aku mengedikkan bahu.
"Nira? Jadi Serena van der Woodsen?" Ronald terbahak. "Menurutku dia versi kakunya Carrie Bradshaw dari Sex and The City. Eh apa si Miranda, ya?"
"Lo nonton SATC, Ron?" tanyaku tidak percaya.
"Menurutku, Yang, Nira tuh kombinasi Carrie dan Miranda. Punya sifat pengamatnya Carrie dan selera fashion serta sifat Miranda yang kaku abis," kata Dara sambil mengikat rambut bobnya model setengah. "Terus Mr. Big nya siapa? Mas Danar?"
Ronald mengangguk mantap lalu bantuin Dara merapikan kunciran rambutnya. Pertanyaanku nggak dijawab sama sekali. "Benar sekali, Babe. Bedanya antara Mr. Big dan Mas Danar adalah Mr. Big nggak kaku sedangkan Mas Danar level kanebo keringnya melebihi Nira."
Aku berdecak, ada-ada saja rekanku satu ini.
Obrolan berganti tentang lukisan-lukisan modern yang cantik di The Met tadi. Tetapi favoritku adalah pameran foto hitam putih karya para perempuan di seluruh dunia era 1920 an. Entah kenapa aku bisa berlama-lama di bagian itu kalau saja Dara tidak mencolekku. Mungkin karena waktu masih mahasiswa belum sempat main ke museum mewah ini.
"Eh si Jenny temanmu kemana, Nir? Kok nggak kelihatan?" tanya Dara celingak celinguk.
"Biasa, Dar. Ada urusan." Jenny sebenarnya minta kembali cepat-cepat karena mau ke New York Public Library untuk cari referensi baru buat disertasinya.
Dara melabeli kami bertiga reiziger, yang artinya pengelana dalam bahasa belanda. Jelas saja aku dan Ronald tertawa, itu sungguh berlebihan.
Pikiranku berkelana pada tiga minggu pertama di sini. Kami berkelana di Greenwich Village -- tempat favoritnya Tio selama di New York karena lekat dengan seninya. Selain mengunjungi Washington Park sambil makan takeaway Falafel dari Mamoun, kami menikmati matahari tenggelam di Pier 45 dan berakhir nonton konser Jazz di Blue Note. Minggu kedua tentu saja kami memanjakan mata pada arsitektur dan merek-merek mewah di SoHo sebelum berangkat kerja tentunya. Minggu ketiga, kita mengunjungi 9/11 Memorial Museum dan Museum of America Finance -- ini ide Ronald -- di Lower Manhattan lalu meluncur ke Koreatown karena mereka pengen masakan korea.
Parahnya aku membayangkan itu semua dengan Mas Danar. Tujuanku ke sini ingin menyegarkan pikiranku, kenapa malah bayangan dia makin jelas saja?
"Eh cari makan yuk, lapar." Dara membuyarkan memoriku sambil pegang perut ratanya lalu merangkulku agar tidak bertabrakan dengan lalu lalang pejalan kaki orang New York yang kecepatannya melebihi mobil Formula 1.
Ronald menawarkan beberapa opsi makanan dan akhirnya jatuh pada restoran pizza di Brooklyn. Aku akui, kalau soal pizza, Brooklyn masih terbaik. Turun dari stasiun subway terdekat kami menyusuri jembatan Brooklyn, tentu saja pasangan itu dengan noraknya berfoto-foto. Tidak peduli mereka hampir tabrakan dengan pengendara sepeda dan bising klakson mobil di bawahnya. Dan aku rela jadi fotografernya.
Lagi-lagi wajah Mas Danar muncul. Ah sudahlah terserah tubuhku. Kali ini aku melihat sosok kami berdua dari belakang, bergandengan tangan menyusuri jembatan Brooklyn sambil diskusi dan tertawa.
Begitu jalan kaki selama melewati banyak perempatan dan bisingnya kemacetan. Pilihan kami jatuh pada Pizza Brooklyn II di Church Ave.
"Kursi buat empat orang malah yang isi tiga orang," celetuk Ronald sambil mengamati dua loyang beda ukuran pizza. Dara yang flexitarian pesan veggie pizza ukuran besar, sedangkan aku pesan chicken cordon bleu pizza ukuran medium. Tentu saja ada tambahannya, Dara dengan caesar salad, Ronald dengan Chicken Parmigiana, dan aku pesan garlic bread. Minumnya tentu saja diet cola.
"Maksudmu apa, Yang?" Dara lagi lipat Veggie Pizza-nya jadi dua.
"Kita tuh sampai sekarang belum dapat apa yang kita mau dari Nira sebagai imbalan," jawab Ronald yang seenaknya comot garlic bread-ku. "Kita mintanya double date malah Nira jadi obat nyamuk lagi. Kamu nggak bosen apa, Yang?"
"Bosen banget." Dara menyandarkan diri pada bahu kekasihnya. "Ini mah berasa balik ke zaman magang lima tahun lalu. Gue curiga nih, jangan-jangan lo nge-ghosting Mas Danar, ya? Kalau iya, haduh Nira haduh." Perempuan berambut bob itu memijat dahi lalu terima suapan makanan pembuka dari Ronald.
Aku tidak menanggapi. Aku tahu mereka menyindirku, iya salahku juga mengiyakan permintaan Dara sama Ronald yang itu jika kasus sudah selesai.
Kubiarkan mereka mengoceh hasil jalan-jalan selama hampir sebulan ini sambil jadi pengamat mereka. Kita sepertinya memang menjelajahi hampir setengah isi kota. Mulai tempat turistik seperti Times Square, Flatiron Building, Empire State Building, hingga Dara yang lagi berasa jadi karakter perempuan dari chicklit favoritnya sembari menyusuri Upper East Side dan Upper West Side sepulang kerja. Parahnya, Ronald pernah impulsif masuk ke toko Tiffany & Co yang dekat dengan Rockefeller Center saat aku dan Dara menatap lama-lama pada etalase cincin tunangan emas putih -- aku lupa namanya apa -- lalu pria itu membelikan Dara kalung emas putih paling murah. Tentu saja Dara kaget dan senang bukan main begitu menerima kantong kertas warna turquoise itu.
Mengingat itu refleks kupegang cincin tunangan kebesaran yang kuubah jadi kalung, bersandingan dengan kalung bulan sabitku yang asli. Lalu melirik bangku kayu kosong di sampingku. Bahkan sampai selesai makan, semuanya terasa hampa.
***
Kami kembali ke East Village saat matahari tenggelam seutuhnya untuk santai sejenak. Dara dan Ronald kembali ke kamar yang dulu dipakai Satya yang terletak dekat pintu keluar, sedangkan aku menemani Obi di ruang televisi terpaku pada ponsel.
"Lo nggak baca grup chat kita?" tanya Obi saat melihatku.
"Satya bagi meme kucing mana lagi?" Aku ikut duduk di sofa samping Obi setelah isi air mineral di gelas.
"Ah iya, gue ingat lo pakai nomor lokal. Jelas aja chat lo nggak aktif, baca deh." Obi menyodorkan ponselnya padaku.
Ternyata Obi menyodorkan berita kriminal terbaru dari Satya, tentang kematian Danang yang gantung diri dan video sidang pertama Papa yang dengan Bu Ratri dan Pak Rado sebagai penuntut umum dan Pak Ardhi di bagian penasihat hukum. Pak Cipto memang bukan majelis hakimnya karena jika Papa minta banding baru beliau yang ditunjuk -- jika jadi. Sidang pertama adalah baca dakwaan, nggak main-main Bu Ratri nuntutnya yaitu sepuluh tahun penjara dengan sita seluruh asetnya sebagai pengganti denda.
Perasaan lega ini tak terbantahkan.Terutama bagian Danang gantung diri, rencanaku berhasil.
"Kerja kerasmu nggak sia-sia, Nir." Obi memujiku saat kukembalikan ponselnya.
"Lo juga, Bi. Masalah keluarga dan percintaan lo kelar," jawabku dengan senyum jahil. Begitu muka bersalahnya muncul cepat-cepat aku tambahkan. "Bi, gue nggak marah soal Nisa. Setidaknya lo sudah tegas sudah milih siapa, dan gue rasa ... Rana cocok sama lo kok. Perjuangan cintanya padamu sepuluh tahun nggak sia-sia. Memang benar kata Satya, berasa cicilan rumah."
Obi mengucapkan terima kasih lalu menawarkan sesuatu untuk makan malam. Namun, kutolak karena masih kenyang makan pizza. Dia akhirnya ke dapur sebentar untuk membuatkanku coklat hangat.
"Lo juga kali, Nir. Jangan hindari Mas Danar lama-lama, ah."
Aku melongo. "Tahu darimana lo tentang gue sama Mas Danar?"
Obi tergelak sampai hampir tersedak. "Gue juga lihat kali video pengumuman tunangan lo yang menghebohkan itu dengan teaser video nikah juga di kanal youtube-nya MonoTV. Kedua, kita tuh hafal sifat lo, lo tuh kalau nggak suka sama orang pasti sudah nolak dari awal. Ketiga, lo kalau sulit diajak komunikasi even pakai nomor lokal dan lari ke sini tiba-tiba, ya lo galau. Untung aja Satya cuma bocorin tempat ini, bukan nomor lokal lo."
Semua yang dikatakan Obi benar adanya. Tunggu, apa? Aku mengerang, dasar mulut ember! Awas aja kalau ketemu nanti, Satya!
"Gue nggak tahu ada masalah apa antara kalian berdua, tapi setidaknya ya diobrolin lah dari hati ke hati apa yang mengganjal. Coba ada Tio di sini, dia pasti kasih saran lebih baik dari gue."
Obi meninggalkanku ke kamarnya tepat saat Dara muncul dengan kaus hijau dan celana pendek coklatnya keluar dari kamar Satya. Entah dorongan dari mana, aku langsung menghamburkan pelukanku pada Dara, menumpahkan tangisanku sejadi-jadinya. Kurasakan elusan di punggungku, ia lalu menuntunku duduk kembali ke sofa ruang televisi. Mulutku dengan lancar menceritakan kegundahan dan keraguanku terhadap Mas Danar selama ini. Dara mendengarkan dengan khidmat, lagi-lagi aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
Bulan purnama bersinar terang dari jendela apartemen sehingga bandul kalung bulan sabitku memancarkan warna biru tua-nya yang indah. Kalung asliku telah kembali, dan terasa nyaman di leherku.
"Sudah lega?" tanya Dara begitu tangisanku berhenti.
Senyumku sedikit mengembang.
"Gue tahu lo lebih minta didengerin daripada kasih saran. Kita harus selesaikan pekerjaan ini dan balik ke Indonesia secepatnya. Lo selesaikan masalah ini sama Mas Danar. Terus gue tagih double date yang tertunda." Dara mengepalkan tangan.
"Ampun, Dar." Aku pura-pura mempraktekkan gaya ampun era kerajaan. "Masih aja nagihin ini. Iya deh iya, nanti kalau sudah balik. Lo yang pilih tempat."
"Nah gitu dong, cakep. Efek Mas Danar ternyata ... bikin lo makin terbuka aja." Dara menjawil pipiku. "Eh kita makannya pesan antar McDonald's aja, ya? Lagi pengen burger."
Aku mengiyakan saja, daripada ribut.
***
Ini masih pukul enam pagi, matahari belum terbit dan bel pintu apartemen sudah bunyi. Buru-buru aku beranjak dari tempat tidur. Sudah kuduga mereka belum pada bangun, walau kamar Obi lampunya nyala tapi kuyakin dia menganut habis subuhan tidur lagi gara-gara begadang.
Bel itu berbunyi lagi.
"Coming," teriakku berjalan ke lorong sambil menggelung rambut dengan pulpen bekas. Ah sialan, lupa pakai jubah tidur tipis. Ya sudahlah, tank top biru tua dan celana pendek polos abu-abu tidak buruk. Palingan Mas-Mas kurir yang bawain kiriman kopi luwak dari Tante Diana -- Mama Obi. Soalnya Obi bilang beberapa minggu lalu Tante Diana kirim stok gara-gara bilang aku ke sini.
Kuputar kunci di pintu dan kunci rantai.
Begitu terbuka sempurna, aku tak mempercayai penglihatanku. Aku yakin pasti setengah nyawaku terkumpul.
Ayo bangun, Nira, kembali ke dunia nyata.
Mana mungkin Mas Danar ada di New York, terus pakai kaos polo putih biru dan celana jins boot cut hitam dan tas ransel besarnya yang lebih mirip backpacker dengan nuansa lokal. Terus muncul begitu saja kayak sihir.
Aku yakin ini pasti ulah kalung bulan sabitku yang memunculkan ilusi Mas Danar agar aku tidak sedih.
"Nira?"
Ia menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Bersandar di dadanya, mendengar detak jantungnya, aku tahu kami sama-sama sudah menemukan rumah.
.
.
.
TAMAT
3000++ kata
23 Agustus 2021
Akan ada author's note. Stay tuned!
.
.
.
Flexitarian: merupakan salah satu pola makan yang mendorong konsumsi makanan plant-based (berbasis nabati) yang lebih banyak daripada makanan berbasis hewani. Pola makan ini lebih fleksibel daripada vegetarian atau vegan yang lebih ketat dalam menjaga konsumsi makanan plant-based mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top