30 (part 1)

DANAR

Dinding putih. Bau obat khas rumah sakit. Cahaya mentari yang masuk lewat jendela dari balik tirai. Dan seorang lelaki yang membaca buku di samping tempat tidurku. Kejadian yang hampir persis dengan beberapa hari lalu, membuatku merasa aneh.

Tanganku yang diinfus menyentuh leherku yang diperban. Sadar dengan gerakanku, Arjuna Prananjaya mengangkat kepalanya dan menatapku.

"Akhirnya bangun juga, Mas Danar. Sepertinya kebetulan sekali, Mas Danar selalu bangun saat saya berkunjung. Bikin saya geer." Ia mengakhiri ucapannya dengan cengiran khasnya.

Kuanggap diriku orang yang sabar, tapi entah kenapa Arjuna selalu berhasil membuatku ingin melempar bantal ke mukanya.

"Di mana Nira? Dia baik-baik saja, kan?"

"Jika aku bertaruh dengan seseorang, aku pasti memenangkan taruhan itu karena bisa menebak kalimat pertama yang Mas ucapkan." Lalu ia menggeleng. "Sayangnya, saya nggak punya jawaban atas pertanyaan itu. Maaf, Mas."

Melihat Arjuna yang masih cengar-cengir seperti itu, aku yakin Nira masih hidup dan baik-baik saja. Entah mengapa ia menyembunyikan keberadaan Nira dariku -- apakah ini permintaan Nira?

"Lalu Danang?"

"Dia sudah ditahan dan akan diadili."

"Akhirnya."

"Saya salut dengan kalian berdua, Mas Danar dan Nira. Benar-benar jeli saat bikin rencana sampe nggak ada bolong sedikit pun. Semua ada back up-nya. Yakin Mas Danar nggak mau rekrut Nira jadi agen Penumbra?"

Aku menghela napas. "Entahlah, Jun ... setelah semua ini ... rasanya aku cuma ingin hidup tenang. Kalau Nira, sebaiknya bicara langsung dengannya."

Arjuna terkekeh. "Mungkin Pak Ardhi sudah menawarinya. Tapi ... apakah Mas berencana untuk pensiun?"

"Sempat terpikir, sih. Tapi rasanya masih perlu kupertimbangkan matang-matang."

Lima tahun yang lalu, ketika aku membantu Tiara Suryajati mengungkapkan pembunuh adik sepupunya, Alfred Darmadi -- orang kepercayaan Grup Jati yang merangkap sebagai agen Penumbra senior -- merekrutku menjadi agen Penumbra. Saat itu, aku menerimanya karena sungguh ingin membuat perubahan bagi negara ini, sekaligus menghilangkan rasa tidak berdaya dalam diriku. Aku bosan dengan posisiku sebagai rakyat lemah yang selalu dipermainkan para penguasa.

Saat ini kejadiannya sudah berbeda. Pada akhirnya, aku bukanlah Arjuna Prananjaya atau Bagus Prawirasetya yang memang ingin mengabdikan hidup mereka bagi negara dalam cara menjadi abdi. Aku hanya ingin hidup tenang dengan orang yang kucintai sampai akhir hayatku.

Namun aku tidak bisa mengambil keputusan sembarangan. Aku harus membicarakan hal ini dengan Penumbra dan juga Nira. Karena memiliki pasangan berarti mengkomunikasikan hal-hal penting dalam hidupku. Aku bukan lagi milik diriku seorang, tetapi juga milik pasanganku.

***

"Selamat, Agen Narabhakti. Misi 24173 dengan target Subjek-1205 dinyatakan berhasil diselesaikan dengan baik," ujar Cipto Waluyo di ruangan yang sama dengan pertama kali aku dikenalkan dengan Ardhi Arsa.

"Terima kasih, Agen Waluyo, Agen Arsa," sahutku sambil memandangi Pak Cipto dan Pak Ardhi bergantian.

Ardhi Arsa bangkit dari tempat duduknya dan menjabat tanganku. Aku menyerahkan berkas yang kukumpulkan tentang Nira, kasus Mie Gara, Grup Syahreza, Grup Wiratmoko, serta Grup Rahadi dalam koper besi yang dikunci, serta flashdisk yang sudah dilindungi dengan kata sandi berlapis-lapis. Mataku memandang layar proyektor yang terpajang di dinding. Ini misi keenambelas yang kuselesaikan dalam lima tahun. Status Nira dikabarkan masih hidup. Keberadaannya aman tetapi tidak diketahui.

"Seharusnya kami yang berterima kasih padamu," balas Ardhi Arsa. "Sejujurnya, ketika saya mengusulkan misi ini kepada Agen Waluyo, kami sama sekali tidak terpikirkan kalau ...." Ia menghela napas. "Kasus Nira ternyata lebih rumit daripada yang kami bayangkan."

"Jadi Bapak juga tidak tahu soal Danang?"

Ardhi Arsa menggeleng. "Nira orangnya sangat tertutup dengan masa lalunya. Dia pekerja yang hebat tapi dia tidak pernah membuka sedikit pun hal-hal tentang dirinya. Kini saya paham alasannya. Dan sekarang publik tahu akan hal itu." Ia menghela napas lagi. "Kalau ada senjata pelupa ingatan seperti di film-film, sudah pasti akan saya gunakan untuk menghapus ingatan publik tentang masa lalunya."

Aku tersenyum kecil. "Kan ada senjata semacam itu?"

Pak Cipto dan Pak Ardhi tertawa.

"Tetap saja kita tidak boleh menggunakannya, Agen Narabhakti. Lagipula, senjata itu hanya bisa menghapus seluruh ingatan orang satu persatu, bukan menghapus ingatan berjuta-juta rakyat Indonesia tentang satu berita gosip yang bahkan tidak ada urusannya dengan kehidupan pribadi mereka," ujar Pak Cipto.

"Biarkan Nira menghilang di muka publik secara perlahan. Yang pasti, jika kamu ingin mengunjungi Danang di sel tahanan, bilang saja Nira sudah meninggal," sambung Ardhi Arsa.

Setelah pertemuan kami selesai, kami keluar dari ruangan dan berpencar ke jalan kami masing-masing. Pak Cipto bergegas ke rapat berikutnya, sedangkan aku dan Pak Ardhi menunggu lift yang akan membawa kami ke helipad untuk kembali ke Pulau Jawa.

"Pak Ardhi," panggilku saat kami berdiri bersebelahan menghadap pintu lift yang masih tertutup. "Bapak pasti tahu di mana Nira, kan?"

Ardhi Arsa tersenyum. "Nira masih hidup dan baik-baik saja. Saya rasa itu cukup untuk membuatmu tenang."

Aku menggeleng. "Tapi kenapa dia tiba-tiba pergi mendadak? Saya bahkan nggak ngerti apa saya berbuat salah. Kenapa dia nggak bilang pada saya dia mau ke mana dan berapa lama, dan apa alasannya?"

Senyum Ardhi Arsa makin lebar. "Cinta anak muda, memang, ya." Ia menepuk bahuku. "Nira bilang pada saya, dia ingin kamu menyelesaikan masalah yang ada di dalam dirimu. Selama kalian masih bersama, kamu akan selalu memusatkan perhatianmu pada Nira. Padahal kita harus mencintai diri kita dulu, baru bisa mencintai orang lain dengan benar."

"Maksudnya, saya kurang mencintai diri saya, begitu?"

Ardhi Arsa menatapku. "Apakah kamu mencintai dirimu sendiri, Nak?"

Aku terperanjat. Selama ini aku sibuk mengurus misi, memerhatikan Mas Prad dan keluarganya, serta Wulan. Aku tak banyak memikirkan diriku sendiri. Asal makan, olahraga, istirahat dengan benar, rasanya sudah cukup. Namun memangnya aku butuh lebih dari itu?

"Saya nggak tahu ada apa di antara kalian berdua, tapi Nira bilang ada urusan di dalam dirimu yang perlu diselesaikan. Kalau tidak, akan jadi ganjalan di hubungan kalian berdua."

"Jadi Bapak nggak akan memberitahu saya keberadaan Nira?"

Ardhi Arsa menggeleng, lalu menepuk bahuku. "Saya dan Puspa Jati saja harus lewat jalan yang super berliku-liku baru akhirnya bisa meluruskan kesalahpahaman kami selama puluhan tahun. Itu pun masih harus LDR Jakarta-Paris. Cobaanmu belum berat, Anak Muda." Ia tersenyum lalu masuk ke dalam lift, meninggalkanku yang masih terbengong-bengong.

"Tunggu, saya mau masuk!" Kutekan tombol di dinding, tapi terlambat.

***

Sepanjang hari, aku merenungkan kejadian demi kejadian yang telah kulewati bersama Nira. Sambil membereskan barangku di rumah Bu Siska, kuulangi lagi dan lagi hari terakhir aku berjumpa dengan Nira. Kami bersembunyi di labirin -- lalu Danang keluar dan menyerang polisi membabi buta -- ia melukaiku -- Arjuna dan Pak Darya melumpuhkannya lalu ia dimasukkan ke mobil polisi -- Nira berlari ke arahku untuk memeriksa lukaku -- lalu ia tertembak ....

Seberapa parah lukanya? Berapa lama dia baru sadar? Apakah ia mencariku? Apakah ia masih memikirkanku? Apakah ia merindukanku saat ini?

Lalu mendadak aku teringat ucapan terakhirnya soal kotak Pandora. Aku yakin ia pernah menyebutkannya. Namun dengan berjuta tanda tanya yang bising di benakku, aku tidak bisa mengingatnya.

"Nak Danar?" Tiba-tiba Bu Siska sudah berdiri di ambang pintu, tepat saat aku sedang meremas rambutku.

Aku membalikkan tubuhku dan menatapnya dengan sorot mata yang mengenaskan. "Ah, ya, Bu ... maaf saya belum selesai berkemas dari tadi ...."

"Jangan khawatir, Nak Danar. Ibu bukannya mau memburu-burui kamu, kok. Ibu tadi beli cenil di depan rumah, barangkali Nak Danar mau. Ibu boleh masuk?"

"Oh, silakan, Bu. Makasih buat cenilnya." Walaupun tidak sedang bernafsu makan cemilan, aku bangkit berdiri dan mengambil mangkok berisi kue ketan warna-warni yang dibalut parutan kelapa itu demi sopan santun. "Bu Siska ... benar-benar nggak tahu Nira di mana? Nggak sampai pamitan juga?"

Bu Siska duduk di atas tempat tidur, sementara aku duduk di kursi meja kerja. Ternyata cenil yang dibawakan Bu Siska enak sekali, sampai aku ambil lagi dan lagi.

"Nira nggak kemari sama sekali, Nak Danar. Berkas-berkasnya diambil oleh Pak Ardhi dan Pak Darya untuk dijadikan bukti, sedangkan baju-bajunya sudah Ibu bereskan. Pak Ardhi bilang, Nira ada di tempat yang aman, dan dia akan menemui Ibu setelah urusannya selesai."

Aku mendesah. "Kenapa, sih, semuanya sok misterius begini?" Tiba-tiba aku teringat dengan kalung pelacak yang Nira kenakan -- ah, pasti sudah dicopot. Aku meraba bandul bulan sabit pada kalung yang kukenakan, pemberian Nira. Dia bilang ini hanya tiruan dari kalung yang asli, tapi punya kekuatan dan bisa membuka kotak Pandora.

Kotak Pandora ...

Bukankah Nira bilang bukti tambahan tentang kejahatan Danang ada di kotak Pandora?

"Kalau begitu, Bu Siska tahu tentang kotak Pandora-nya Nira?"

"Hmm ... Ibu pernah mendengarnya. Namun Ibu bukan orang yang paling tahu soal itu. Sebaiknya Nak Danar tanya saja sama teman-temannya Nira -- Obi, Satya, atau Tio. Salah satu dari mereka tahu tentang benda itu."

"Saya pernah bertemu dengan Satya," ujarku, teringat pada jamuan makan malam di mana Nira pura-pura mengaku sebagai pacarku di depan Giani.

"Punya nomornya?"

"Punya."

Sekarang aku tahu siapa yang harus kutemui selanjutnya. Aku membuyarkan lamunanku dan bergegas menyelesaikan berkemas.

***

Kukira menghubungi Satya, yang notabene anak kedua Grup Anggara, akan sangat sulit. Di luar dugaan, ia mau menemuiku di akhir pekan walaupun hanya 30 menit. Ia mengajakku bertemu di sebuah kafe di mal Grand Jati, Thamrin.

Melihat Satya ini seperti kontradiksi berjalan. Di satu sisi, kemeja Gucci dan jam tangan Rolex yang dikenakannya memancarkan aura mewah tiada tara. Di sisi lain, pembawaannya yang receh dan slengean membuatnya tidak terlihat elegan sama sekali. Bahkan ia lebih konyol daripada Arjuna yang posturnya masih tegap dan elegan walaupun isi mulutnya candaan semua.

"Oalah, mau nanya soal kotak Pandora rupanya," ujar Satya sambil bersandar santai ke sofa kafe yang ia duduki. "Kirain apa, sampe ngajak ketemu segala. Tapi iya, sih, gue lebih nyaman kalau cerita langsung begini, soalnya takut bocor lewat chat."

"Apakah serahasia itu?" tanyaku dengan polos.

Satya tertawa, lalu menggeleng. "Kalau bocor juga nggak ada yang ngerti artinya apa," ia menyanggah ucapannya sendiri. "Jadi gue, Nira, Tio, dan Obi itu sahabat lama sejak SMA. Kami berhubungan dengan seseorang -- suatu sosok -- misterius bernama Pandora. Nah, si Pandora ini ngasih kotak yang disimpan Nira, tapi dia juga ngasih benda-benda mistis lain kepada kami. Kalau ke Nira, kalung bulan sabit. Ke gue ngasih belati. Ke Obi sama Tio ada lagi."

Aku mencoba mengerti. "Kotak Pandora yang seperti di legenda Yunani itu? Kalau dibuka akan membawa malapetaka kepada manusia?"

"Nggak, sih. Lebih tepatnya nggak tahu. Kami belum sempat membongkar rahasia kotak Pandora itu. Yang pasti, kalau Nira suruh Mas Danar buka kotaknya, nggak akan bawa malapetaka ke umat manusia, kok. Cuma namanya aja yang begitu."

"Kalau begitu, kamu tahu di mana lokasinya?"

"Lha, gue kira Nira kasih tahu Mas Danar?"

"Enggak."

"Gue kepo sebenarnya, tapi first thing first, lah, ya. Kotak Pandora itu disimpan Nira di apartemennya. Nggak tahu sih tepatnya di mana, soalnya gue jarang main ke apartemennya yang di Sudirman itu. Biasalah, hidup bikin kita masing-masing agak menjauh." Ada sedikit sendu di nada suara Satya. Matanya menerawang bagaikan menatap masa lalu.

"Oke, makasih," ujarku. "Sekalian juga terima kasih untuk kejadian yang di restoran itu, saat kita pertama kali bertemu. Gara-gara kamu, Nira pura-pura mengakuiku sebagai pacarnya."

Satya tertawa. "Oh, itu. Dasar Nira emang nggak peka, seperti biasa. Gue aja nggak tahu kalau ada mantan Mas Danar di sana, tapi langsung paham situasi. Sedangkan Nira benar-benar nggak ngeh."

Aku tersenyum tipis. "Nira pekanya sama kasus, bukan sama orang."

Tawa Satya makin keras. "Bener banget itu, Mas. Makhluk macam Nira cuma tertarik sama manusia kalau dalam bentuk kasus. Cuma segelintir orang yang bisa deket sama dia. Makanya dari dulu temennya itu-itu aja. Tapi quality over quantity, ya, kan?"

"Benar," sahutku. "Soal keberadaan Nira ... kamu nggak ada bayangan sama sekali dia ke mana?"

Satya terdiam sejenak. "Sebenarnya ... mungkin ada satu tempat." Ia mengalihkan perhatian ke ponselnya lalu menunjukkan layarnya padaku.

"Itu foto siapa?" Aku mengernyitkan dahi pada foto perempuan cantik yang terpampang di lockscreen.

"Bukan itu, ah, lockscreen sialan," gerutu Satya sambil membuka kunci ponselnya dengan fitur pengenal wajah. "Ini, alamat apartemen gue di New York. Gue punya firasat dia ke sana, soalnya itu satu-satunya tempat gratis paling nyaman yang bisa dia tinggali lama kalau lagi ngilang kayak hantu."

223 E 12th Street, New York.

Suatu alamat di wilayah East Village, Manhattan. Aku pernah ke New York, tetapi belum pernah ke East Village.

Baiklah, Nira. Entah apakah kamu di situ atau bukan, jalan-jalan ke New York bukan rencana yang buruk. Hitung-hitung liburan sehabis menyelesaikan kasus yang melelahkan ini.

"Nggak usah dipelototin gitu juga, kali. Nanti gue send lewat chat aja."

Aku kembali ke tempat dudukku setelah melongo selama semenit. "Oke, makasih sekali lagi, Satya."

"Good luck."

***

Dari Thamrin, aku langsung berangkat ke apartemen Nira yang berada di sebelah unitku -- yang sebentar lagi harus kulepaskan karena misiku sudah selesai, kecuali aku memang mau pindah ke sini. Aku teringat, aku bahkan belum berdiskusi mau tinggal di mana nantinya jika aku menikah dengan Nira. Kami terlalu sibuk membahas kasus -- dan lagipula lamaranku waktu itu kan mendadak.

Jika Nira masih mau melanjutkan hubungan ini dan menikah denganku ....

Apartemen Nira masih tak berubah dari terakhir kali kami meninggalkannya untuk pindah ke rumah Bu Siska akibat kepungan paparazzi. Aku sudah hafal posisi barang-barang miliknya. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan kotak Pandora yang dimaksud. Ia menyimpannya di bawah meja kerjanya. Aku yakin aku pernah melihatnya, walaupun aku mungkin mengiranya kotak penyimpanan biasa. Dan memang wujudnya hanya seperti kotak penyimpanan biasa, warnanya biru tua dengan ukiran emas. Sebelum menyentuhnya, kukenakan sarung tangan latex agar sidik jariku tidak mengotori bukti.

Sambil menahan napas, aku memasukkan bandul kalungku ke lubang kunci kotak Pandora. Sekali putar dan kotak itu pun terbuka. Dalamnya dilapisi beludru biru muda. Isinya surat-surat dan dokumen-dokumen penting Nira, termasuk sehelai pakaian yang koyak. Aku mengatupkan bibirku. Apa ini?

Aku menggali lebih dalam. Selain pakaian, ada pula kain lebar yang lusuh -- sepertinya sehelai sprei. Kalau Nira bilang ini barang bukti untuk kejahatan Danang, jangan-jangan ini sprei dan pakaian yang dikenakan Nira pada kejadian naas ketika Danang menjebaknya?

Aku tidak kuat membayangkannya. Kututup kotak tersebut, lalu kubawa keluar dari apartemen Nira. Biar Pak Darya dan timnya yang menyelidiki lebih lanjut.

***

Beberapa hari kemudian, Pak Darya menghubungiku. Katanya benar, bukti-bukti yang kuserahkan memiliki sidik jari dan DNA Danang. Ia masih ditahan di selnya, menunggu sidang, dan akan dijerat pasal berlapis. Entah mengapa, aku memutuskan untuk mengunjunginya sebelum ia disidang. Mungkin aku ingin melihat apakah ada penyesalan atau perasaan kalah di wajahnya. Mungkin aku ingin menumpahkan amarahku padanya untuk terakhir kali. Atau mungkin aku hanya ingin memperoleh kepuasan atas misi ini.

Sayangnya, tidak ada rasa penyesalan yang ditunjukkan Danang di balik kaca saat kami berbincang. Matanya berkilat saat ia melihat kedatanganku. Sekali ular tetap ular, ia pasti ingin melontarkan bisanya lagi untuk menyakitiku.

Namun aku tahu apa yang ia tidak tahu.

"Tua Bangka, ingin sesumbar atas kemenanganmu? Jangan sombong dulu. Kalau gue dulu aja bisa lolos, lihat aja nanti."

"Polisi nggak akan mengulangi kesalahan yang sama, Danang Putra Wiratama. Kemarin Anda hanya dijerat pasal pembunuhan. Kali ini kejahatan Anda berlapis. Buktinya sudah ada semua, dan saya serta Pak Ardhi, Bu Ratri, dan Pak Cipto akan terus mengawal sidang Anda sampai Anda ditahan di penjara yang paling sulit ditembus."

"Kenapa nggak sekalian ditahan di organisasi rahasia lu aja? Biar gue bisa pelajari dan tembus dari dalam."

"Bukan saya yang menentukan Anda akan ditahan di mana, Danang Putra Wiratama."

Danang mengembuskan napas. "Gue rasa, lu akan nikah sama Nira sekarang? Jangan senang dulu, karena sekalinya gue bebas, gue akan ...."

"Tidak."

"Apa? Kalian putus? Baguslah ...."

Aku menundukkan kepalaku. "Nira .... nggak ada di sini."

"Apa maksudmu?"

"Nira pergi ke suatu tempat ... yang nggak bisa saya temukan."

Danang menghantam kaca dengan kepalannya. "Ulangi, Bangsat! Maksudmu Nira sudah mati? Jadi gue bunuh Nira?"

"Bukan begitu maksud saya ...." Namun suaraku kalah dari teriakannya yang menggelegar di seluruh sel.

"NGGAK!!!! INI NGGAK MUNGKIN!!! Gue .... apa yang gue lakukan?"

"Maaf, Pak Danar, Bapak harus pergi," ujar petugas penjara kepadaku sementara petugas penjara yang lain menyeret Danang kembali ke selnya.

Malam itu, aku mendapat pesan dari Pak Darya. Katanya Danang gantung diri di penjara.

.

.

.

Bersambung.

22 Agustus 2021

2600++ kata

Kotak Pandora: Dalam mitologi Yunani, kotak Pandora adalah kotak ajaib milik Pandora, perempuan pertama yang diciptakan oleh Hephaestus, dewa kerajinan Yunani. Karena penasaran, Pandora membuka kotak ajaib tersebut, sehingga melepaskan penyakit, kematian, dan malapetaka lainnya ke dunia manusia. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top