29 (part 2)

NIRA

Mataku terbuka pelan, ini sepertinya bukan di rumah sakit. Langit-langit bercat krem, lantai kayu, dan pintu geser kaca yang menawarkan hamparan hijau. Tetapi ada monitor EKG sama infus di sisi tempat tidur yang model dipan kayu, bukan brankar. Pelan-pelan aku mengatur napas dan mengerjapkan mata untuk menyesuaikan pandangan. Wangi kombinasi lavender dan mint menembus lubang hidung, wangi yang menenangkan saraf tubuh.

Bunyi pintu terbuka, menampakkan dua pria tua. Satunya sangat kukenal, satunya lagi orang yang sering kulihat di rekaman sidang dan berita sore, dan seringnya pakai toga warna merah terang bukan kemeja safari berbalut sepatu loaf model boot hitam ala bapak-bapak kantoran seperti saat ini.

"Sempurna sekali aktingmu, Nira. Bravo, bravo." Pak Ardhi tepuk tangan dengan suara penuh sindiran. "Saya hampir kehilangan kamu beneran. Kamu nggak capek bikin saya khawatir terus?"

"Sudahlah, Dhi." Orang itu menepuk bahu Pak Ardhi bagaikan kawan lama sebelum menatapku. "Bagaimana keadaanmu, Nak?"

"Baik, Pak. Napas saya lebih lega dan sudah tidak pusing. Ngomong-ngomong, kalau bukan rumah sakit, ini di mana kalau boleh saya tahu?"

Orang itu duduk di sisi kasurku, sedangkan Pak Ardhi masih berdiri melipat tangan dengan wajah masih sebal. "Anggap aja ini safe house, rumah buat menenangkan diri setelah berhadapan dengan pekerjaan yang penat. Lokasinya di sekitar ... Puncak."

Aku mengangguk paham.

"Oh ya sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Cipto Waluyo, sahabatnya Bos kamu, Nira. Kamu pasti lebih sering lihat saya di televisi waktu adegan baca putusan." Pak Cipto mengulurkan tangan yang kubalas sambil menunduk dan pegang dada sedetik.

Pak Ardhi nyusul duduk di pinggir kasurku tapi dari sisi kanan. "Kali ini saja, Nira. Tolong, kali ini saja ... jangan melakukan rencana ekstrem seperti kemarin lagi."

Kini aku yang terkesiap. "Pak, saya ... tidur selama ... itu?"

Dua sahabat yang terlihat perbedaan usianya itu mengangguk tegas.

"Tidak salah saya minta tim medis untuk kasih kamu obat bius suntik dosis sedang. Untung mereka gerak cepat memantau ketat kondisimu begitu ambulans menjauh dari istananya Alline Rahadi sambil bersihin kotoran darah yang ada di bajumu dan kaos anti peluru," tukas Pak Ardhi. Raut wajahnya perlahan melunak.

"Terus ... bagaimana ... ?"

"Sambil menyusun pertanyaan rumit dari otak kamu." Pak Cipto berucap diplomatis bermaksud ambil alih sebelum terjadi perdebatan, suaranya kalem seperti penyiar radio. "Bisa kamu ceritakan bagaimana munculnya ide ekstrem tersebut?"

Bukannya aku nggak mau jawab, tapi dua bapak ini kalau kepo begini bisa-bisa mengalahkan ibu-ibu yang antusias diskusi teori episode baru sinetron hits di televisi.

Aku menghela napas, mungkin ini saatnya. "Jadi begini ...."

***

"Alasan saya melakukan rencana pura-pura mati ini adalah agar merusak psikis Danang biar dia rela menyerahkan diri pada polisi. Obsesi Danang pada saya tidak akan berhenti selamanya. Dari sini juga saya menyadari satu hal, jika saya mati semua lingkaran setan ini akan putus. Ini hanya untuk sementara, saya tidak mati beneran. Maka dari itu, saya meminta persetujuan sekaligus ... bantuan pada bapak-bapak sekalian."

Penjelasanku atas protes Pak Darya dan Pak Ardhi pada rencana ini bikin mereka bungkam. Aku tahu, ini termasuk rencana paling gila yang kususun selama dua puluh delapan tahun hidup. Tapi tidak ada cara lain, hanya ini satu-satunya. Bedebah macam Danang pasti akan terus berkelit dan kabur untuk mengejarku dan membunuh Mas Danar -- baik diam-diam maupun terang-terangan. Aku hanya ingin hidup tenang bersama Mas Danar, jika dia tidak membenciku setelah tahu rencana ini. Syukurlah Mas Danar turun duluan sama Mas Juna untuk ambil posisi di labirin istana Alline Rahadi, jadinya kami bertiga diskusi di mobil fortuner milik Renita dengan tenang.

"Baiklah kalau itu memang bisa berhasil." Pak Darya akhirnya mengalah. Terdengar suara gemerisik dari walkie talkie digital yang tersemat di pinggang kanan, ternyata dari anak buahnya. Beliau berpamitan untuk turun lebih dulu.

"Tapi kamu tidak akan berperang tanpa senjata, Nira." Pak Ardhi terpaksa menyetujui rencanaku. Ia turun sebentar lalu buka pintu garasi mobil Renita kemudian menyodorkan gantungan pakaian padaku. Ternyata baju anti peluru model lengan panjang, pada beberapa titik dilengkapi kantong darah mini. Bahannya juga tidak bikin pengap sama sekali, mungkin kain katun dengan campuran bahan-bahan pembuatan rompi anti peluru pada umumnya.

Aku bergegas ke bagasi mobil untuk memakai pakaian ini sebagai lapisan kedua kemeja warna biru pastel kemudian kembali ke Pak Ardhi yang sedang merokok yang dari baunya adalah rokok kretek. "Syukurlah rompi anti peluru itu menyesuaikan tubuhmu, Nira. Jadi tidak kelihatan menggembung sama sekali, untung timnya Juna punya cadangan. Oh, ya, saya sudah minta tim medis untuk kasih kamu suntik bius sebelum pergi ke Danar dan Juna."

Pak Ardhi meletakkan satu tangannya di bahuku. "Kembalilah dengan selamat, Nira. Saya percaya kamu bisa bertahan." Perkataan beliau hanya kujawab dengan anggukan tegas.

Begitu langkahku menjauh dari posisi Pak Ardhi, aku berbelok sebentar ke mobil tim medis dengan arahan beliau. Aku minta mereka menyuntikkan dua dosis obat bius pada lengan atasku. Kata mereka, obat ini bekerja mengikuti ritme tubuhku. Minimal dua puluh menit, maksimal muncul satu sampai dua jam. Entahlah, yang penting rencanaku harus berjalan sempurna nantinya.

***

Pak Cipto tampak tertarik dengan ceritaku seperti ayah yang mendengarkan kisah cinta monyet anak perempuannya. "Bagaimana bisa kamu memprediksi hal seperti itu terjadi, Nira?"

"Melihat pola sebelumnya dengan teman saya di New York." Kuatur pelan napasku sambil menenggak air mineral di nakas. "Dia mampu melihat celah sesempit apa pun modelnya, dia tahu dengan mengarahkan pistolnya padaku Mas Danar akan refleks jadi tameng -- apa lagi kondisinya terluka begitu. Yang tidak dia prediksi adalah saya yang jadi tameng Mas Danar."

"Pantas saja wajahnya kecewa dan hancur," komentar Pak Ardhi tergelak. "Kabar terbaru, dia pasrah digiring Pak Darya dan anak buahnya ke mobil polisi dan Juna berusaha mati-matian menahan Danar untuk tidak bunuh Anjing Gila itu. Saat mereka teralih, kamu langsung dibawa ke sini sama ambulans."

"Dhi, sudah ah jangan marah-marah terus. Kasihan Nira." Bila Pak Ardhi adalah sosok Papa yang selalu mencemaskan keadaan anak-anaknya, maka Pak Cipto adalah sosok Papa yang selalu jadi payung pelindung bagi anak-anaknya. "Saya tahu pikiranmu pasti penuh pertanyaan. Silakan, Nira. Apa yang mau kamu tanyakan ke kami?"

"Apa yang terjadi pada Gunawan Rahadi, Putrinya, dan Papa? Terus kondisi Mas Danar bagaimana? Terakhir... " kugigit bibirku. "Apa Pak Cipto juga orang dari agen rahasia bayangan yang sama dengan Pak Ardhi dan Mas Danar?"

Pak Cipto tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Sedangkan Pak Ardhi mengedikkan bahu seakan sudah prediksi akan keluarnya pertanyaan terakhirku.

"Apa gue bilang, Mas Cip. Cepat atau lambat Nira pasti tahu," cetus Pak Ardhi.

"Saya nggak akan bilang ke siapa-siapa kok," kataku cepat-cepat untuk mengenyahkan pikiran negatif para bapak-bapak ini.

Dua bapak-bapak itu mengangguk pelan.

"Biar saya kasih jawaban pertanyaan pertama dan kedua ke kamu, Nira." Pak Ardhi membuka jawaban atas rasa penasaranku selama ini. "KPK berhasil menemukan tempat persembunyian Gunawan Rahadi dan sedang proses penyidikan berdasarkan bukti-bukti dari kotak khususmu dan buku catatan kalian yang entah namanya apa. Sedangkan, Alline Rahadi dirawat di rumah sakit Bhayangkara untuk dimintai keterangan setelah pulih nanti. Kondisi Danar baik-baik saja walau dia menyalahkan dirinya sendiri. Tenang saja, Nira, ada keluarganya dan ibu angkat kamu yang dampingi dia sementara waktu. Haduh kekuatan cinta nggak main-main rupanya."

"Kayak kamu nggak aja sama Puspa Jati waktu itu, Dhi." Pak Cipto mendengus kecil.

"Itu beda cerita, Mas Cip," bantah Pak Ardhi.

Pak Cipto mengambil air mineral padaku yang telah habis. "Intinya Danar baik-baik saja, Nira. Jangan khawatir."

Entah mengapa, dari semua pertanyaan itu, aku tersadar akan sebuah kenyataan. Pasti selama ini Mas Danar menyembunyikan seluruh luka hati dirinya tanpa sepengetahuanku akibat masa laluku. Di depanku dia tegar tapi pasti ada satu momen ia bertindak sebaliknya. Hatiku terbuka sepenuhnya pada calon suamiku. Namun, sisi lainku bertanya apa selama ini Mas Danar mencintai dirinya sendiri sebesar ia mencintaiku?

Ada dua pilihan untukku saat ini: Pilihan pertama, pergi dari sini agar Mas Danar tidak merasa terbebani dengan kehadiranku. Pilihan kedua, kembali ke sisinya dengan bawa beban masing-masing yang bisa meledak kapan saja.

Kelihatannya aku jahat, tapi dalam membangun komitmen nantinya, self love adalah poin paling mutlak. Aku hanya ingin Mas Danar berdialog dengan sisi lain diri sendiri tanpa interupsi dariku sama sekali.

Aku sudah memilih.

"Bawa saya pergi, Pak," kataku saat dua bapak-bapak ini beranjak dari tempat tidurku.

Pak Ardhi lebih dulu berbalik badan, sedangkan Pak Cipto menutup pintu kamar inapku. "Apa maksudmu, Nira?"

"Bawa saya pergi, Pak. Kemana pun asal bukan di sini setelah saya pulih seutuhnya." Suaraku terdengar serak. Aku benci mohon-mohon, tapi aku tidak punya pilihan lain. Lebih cepat aku pergi, lebih baik buat Mas Danar.

Pak Ardhi tidak protes, berpikir sejenak. Dia menghubungi seseorang selama setengah jam sebelum menghampiriku. "Saya tidak tahu apa yang merasukimu sampai wajahmu pucat begini, Nira. Tapi melihatmu bersungguh-sungguh seperti itu ... baiklah. Apa visa Amerika kamu masih berlaku?"

"Saya ambil yang lima tahun."

Pak Ardhi memberikan satu bendel map dari saku jasnya padaku. "Saya ada klien, dia minta saya mengawasi anak buahnya dalam hitung-hitung asetnya di New York untuk menyusun surat wasiat dan beri ulasan serta negosiasi kontrak dengan beberapa perusahaan. Nah, kalau kamu mau, bisa nyusul Dara dan Ronald di bandara Halim Perdanakusuma dalam waktu empat puluh delapan jam. Kalian bertiga berangkat dulu, saya nyusul. Bagaimana?"

Baru mau buka mulut dijeda lagi sama beliau. "Dengan catatan kamu sudah sembuh. Oh, ya, sengaja saya suruh kalian bertiga naik jet pribadi buat efisiensi waktu walau ada transitnya juga."

"Waktunya berapa lama Pak kira-kira?"

"Minimal sebulan, maksimal tiga bulan. Tergantung kepintaran kalian dalam bernegosiasi. Sudah ada akomodasi, Nira?"

Teringat dengan apartemen lama yang kini dihuni Obi seorang diri gara-gara Satya bayar sewa sampai ia lulus. "Saya ada tempat di East Village." Kubuka isi map yang ternyata asetnya kebanyakan di daerah Upper East Side, cuma aku belum baca lebih rinci lagi.

"Baguslah. Katanya Dara sama Ronald belum pesan akomodasi, mereka tinggal sama kamu saja bisa?"

"Tentu saja, Pak." Ada empat kamar di apartemen itu, Dara dan Ronald bisa ambil salah satu kamar nantinya.

"Bagus, saya tunggu kabar berikutnya, Nira. Tenang saja, tidak ada yang akan tahu kecuali Dara dan Ronald serta saya dan tim," pamit Pak Ardhi sebelum berjalan ke pintu kamar.

***

Begitu berhasil memulihkan diri dua hari kemudian. Dara dan Ronald menyambutku di kursi ruang tunggu bandara Halim Perdanakusuma. Perjalanan dari Puncak ke bandara cukup lama, makanya aku diantar pakai sopir pribadinya Pak Cipto.

"Lo sok misterius amat, Nir." Ronald mendengus kecil saat aku buka hoodie-ku. Bawaanku hanya koper kabin dan satu ransel besar. Sepertinya mereka bawa bagasi, buktinya ukuran tas tangan masing-masing tidak besar.

"Nira." Dara tiba-tiba memelukku sangat erat sambil menggoyangkannya. "Ih gue nggak sabar banget kita liburan sambil kerja. Gue udah bikin list tempat-tempat kita berburu makanan dan tempat wisata sekaligus ketambahan dari rekomendasi lo, Nir."

Ronald tergelak sambil merangkul Dara. "Sabar dong, Sayang. Kerja dulu baru main."

"Iya deh yang mau kencan. Jangan lupa bawa kondomnya." Kutepuk pelan bahu rekan kerjaku yang disambut tatapan pura-pura jengah dari Ronald. "Kalau mau makanan yang terjangkau cari agak jauh dari pusat kota. Di Queens tuh banyak banget pilihannya, dari semua negara ada soalnya banyak imigran di situ." Aku sedikit tahu isi otak Dara selain jalan-jalan adalah ingin merasakan nuansa karakter perempuan yang ada di novel chicklit atau film romcom yang sering ia baca di waktu luang.

"Coba aja Mas Danar ikut," ujar Ronald santai yang bikin jantungku bertalu. "Kan enak, Nir, lo nggak berasa obat nyamuk."

Obrolan kami dijeda oleh pria berseragam bawa kami menuju tempat pesawat jet pribadi Pak Ardhi.

"Dari dulu juga bertiga nggak ada masalah, Ron. Aneh lo," elakku saat naik tangga ke pintu pesawat. Walau tak dipungkiri ada sebagian yang kosong. Tidak Nira, kamu sudah memutuskan, tidak ada jalan kembali.

"Kamu nggak ada teman ngobrol ya, Babe?" Dara bergelayut manja pada Kekasihnya begitu selesai ramah tamah dengan pramugari.

Ronald tersenyum simpul, mereka makin serasi sejak menanggalkan status teman tapi mesra walau kadang terlihat geli di mataku. "Lebih tepatnya teman bengong selama makan. Sudah deh, kalian berdua tuh kalau sesi makan tuh kayak punya dunia sendiri. Kalau ada Mas Danar kan enak, nggak sepi-sepi amat walau cuma ngeliatin kalian makan."

Aku dan Dara terkekeh.

"Ih, Sayang. Nggak gitu kali, ada makanan ya harus habis selama perut masih bisa nampung." Bibir Dara maju dua senti sambil taruh dagu di bahu Ronald dan mengeratkan gandengan di lengan Ronald.

Kuakui, Dara memang teman makan yang asyik. Kita bisa makan porsi kuli dan besoknya jalan kaki apartemen-kantor setiap hari untuk bakar kalori yang kita makan. Kami berdua kembali terbahak, bikin beban hatiku terasa ringan sementara.

Pesawat jetnya Pak Ardhi nyaman sekali, kami bisa ngobrol berhadapan dipisah meja, mana kursinya empuk sekali. Kalau mau tidur ada di ruang sebelah. Dara dari tadi asyik minum jus jeruk kedua sebagai welcome drink dari pramugari. Sedangkan punyaku sama Ronald masih teronggok manis di meja.

Kualihkan pandanganku pada jendela yang menayangkan lepas landas pesawat jet ini sambil merapatkan jaket jins biru tua. Pasangan di depanku semakin menunjukkan kemesraan sambil diskusi tentang aset klien.

Diam-diam, satu butir air meluncur dari bola mataku tanpa diminta.

Biarkanlah kali ini tubuhku yang ambil kendali, tenagaku lagi terkuras setelah dua hari ini menangis tanpa suara di kamar rumahnya Pak Cipto.

Semoga kamu baik-baik saja, Mas Danar. Kamu pasti bisa bertahan tanpa aku.

.

.

.

Bersambung.

2100++ kata

(16 Agustus 2021) 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top