29 (part 1)

DANANG

BAJINGAN.

KEPARAT.

Ini sudah nggak bisa dibiarkan lagi, nggak bisa.

Bram ternyata makin berani, dan kesaksiannya sudah dianggap valid sama polisi. Cintaku sama Tua Bangka benar-benar selangkah di depan. Sekarang, kabar yang kudengar dari Rico adalah polisi sudah bersiap-siap ke tempat Anna untuk meringkusku. Sialnya lagi, organisasi rahasia tempat bernaungnya Si Tua Bangka dan Ardhi Arsa keparat itu susah ditemukan. Dobel sialannya, sekelompok orang asing -- kuyakin kiriman Tua Bangka -- bikin Rico gagal ringkus Ella sama Bagas.

Makin percaya diri aja Si Tua Bangka itu, awas aja. Tidak akan kubiarkan hidup lagi untuk kali ini.

"Sudah kubilang dari dulu, Sayangku." Kurasakan elusan di bahuku. Kemudian suara sensualnya berhasil menggelitik gairahku. "Dia itu perempuan bermasalah, apa sih kelebihannya dari aku?" Tangan Anna melingkar di pinggangku, kurasakan lagi kepalanya bersandar di punggungku.

Kubalik tubuh dengan cepat lalu mendorong Anna ke tempat tidur kamarku sambil beradu lidah -- kamar yang kutempati di istananya sejak kabur dari penjara pengap itu. Senyum Anna merekah dan langsung menangkup dua pipiku begitu merangkak di atasnya saat ambil napas. Tangannya diam-diamnya terselip di balik kaos polo hitamku.

"Kelebihan Nira adalah selalu bikin aku penasaran bagaimana tenggelam dalam mata besarnya yang kelihatannya polos, tapi selalu membara jika ada sesuatu menarik minatnya. Terlebih lagi saat dia mencintai sesuatu, aku juga ingin diperlakukan seperti itu olehnya."

Anna menarik tengkukku ke ciuman yang panjang dan dalam. Kurasakan pakaianku tertarik ke atas, kulepas cumbuannya di leher sejenak agar kaosku ini bisa lepas seutuhnya. Sialan, Anna kali ini pakai lingerie model renda warna merah marun transparan, tanganku langsung merobek kain yang menutupi lekukannya tersebut. Aku tidak peduli, toh dia punya banyak stok lingerie di built in closet kamar pribadinya. Jari Anna menelusuri kulitku yang panas dan berhenti waktu sampai di celanaku, dia menarik dan lempar ke sembarang arah. Matanya tersenyum, padahal masih terbungkus celana pendek putih. Lagi-lagi aku tak berdaya saat perempuan cantik penuh sensual itu melucuti sisa-sisa bawahanku semudah itu.

Kubiarkan Anna menjelajahi tubuhku, seperti biasa. Sudah belasan tahun kami melakukan hal ini, dalam berbagai situasi dan kondisi serta gaya. Waktu pacaran sama Nira delapan tahun yang lalu, seks dengan Anna menjadi pelipur lara. Biar tidak menimbulkan curiga, biasanya lokasi bergantian antara kontrakanku dan rumah mewah Anna di Batu.

Namun, sejak malam senggama dengan Nira enam tahun lalu. Itu adalah seks ternikmat yang pernah kulakukan. Seks dengan Anna pun enggak buruk, malah aku penasaran bagaimana seks bersama mereka berdua barengan.

Desahan tertahanku bikin permainan ini menggelora. Kini aku berada di atas Anna dengan tangannya yang melingkar di leherku, membisikkan kata-kata manis yang biasa ia lontarkan untuk menaikkan gairahku plus kecupan dan gigitan di pipi, leher, bahu, dan seluruh tubuhku. Tentu saja kubalas hal serupa, dan desahan lembut Anna adalah jawaban atas nyamannya senggama ini. Jari lentik Anna yang menancap di punggung menaikkan energi gairahku sampai-sampai ia membuka dua kakinya untuk membelit pinggang begitu ambil posisi di atas pahaku, langsung saja kugigit beberapa titik sensitif di sekitar dada. Kesempatan tidak boleh dilewatkan, kapan lagi Anna pakai model foreplay gini?

Walau tidak seindah Nira tentunya. Cintaku satu itu terlihat alami dengan binar memohonnya enam tahun lalu. Binar yang terekam di dasar memoriku, selamanya.

Anna selalu tahu titik gairah terbaikku, hingga tanganku selalu rela terkurung dalam jeratan rantai. Lidahnya beradu di langit-langit mulutku sambil berusaha masuk ke diriku sampai pelepasan yang memuaskan.

Semua kesenangan itu pudar hanya dengan satu tayangan di MonoTV yang tak sengaja nyala ketika kami beristirahat sejenak.

Binar mata kebahagiaan Cintaku seharusnya untukku, bukan untuk Tua Bangka. Pantas saja Anna kali ini jauh lebih agresif bercinta denganku, tidak seperti biasanya.

"Gue harus pergi," kataku setelah Anna melepaskan borgol dan mengenakan pakaianku kembali dengan terburu-buru.

Sudah kuduga, Anna terus merayuku untuk tetap di sini dan menganggapku halu dengan narasi sok realistisnya. Dia tidak tahu, bagaimana hancurnya perasaanku kini, bagaimana susah payahnya merebut Cintaku kembali pakai perjuangan, tidak akan. Mana sekarang berusaha menciumku, tapi tak kubiarkan mulutku terbuka. Amarahku memuncak, Anna masih setia mengulang-ulang narasinya sampai muak, rayuannya saja terdengar menjijikkan.

Cintaku itu punyaku, hanya aku yang bisa bikin dia bahagia. Bukan Tua Bangka, atau yang lain. Bahkan putraku enam tahun lalu yang sengaja kubunuh agar tidak menyusahkan kami berdua nantinya -- senyum kecil muncul begitu melihat nama belakangku di pusaranya. Bukti kedua Cintaku tidak melupakan segala kenangan indah ini. Lagi-lagi Anna mengulang narasi menyakitkan sok realistis itu sampai-sampai barang di kamarku bentuknya tidak karuan.

"Perempuan itu telah memilih, Nang. SADARLAH. Kamu tahu kenapa aku nekat bawa kamu kabur dari penjara pengap yang selalu kamu keluhkan setiap menjengukmu?"

Gerakan membanting guci besar terhenti.

"Karena aku sayang sama kamu. Sudahlah, hentikan semua ini. Kita bisa memulai semuanya dari awal," bisik Anna dalam pelukan. Baru pertama kali aku melihat air mata Anna keluar. Dia tidak pernah sampai memohon, bahkan waktu minta maaf karena kesalahannya sendiri saja sepuluh tahun lalu tidak begini.

Tidak, aku tidak akan terbuai lagi.

"GUE NGGAK MAU CINTA LU! GUE MAUNYA NIRA!"

Bisa ketebak selanjutnya adalah aku mendorongnya paksa dan kusabet perutnya dengan pecahan beling, ini ganjaran bagi Anna yang sudah terlalu banyak menginterupsi hidupku. Kakiku terus melangkah ke luar dan pelayannya Anna terus mengejarku di belakang sambil memperingatkan akan marabahaya di depan rumah mahamegah ini.

Benar saja.

Para polisi sudah ada di posisinya masing-masing dengan pistol dan senter tertuju padaku.

SIALAN.

Aku berlari melintasi labirin untuk sampai ke parkiran motor. Namun, polisi-polisi ini makin lihai mengejarku. Terpaksa kutembak mereka selama di labirin dengan asal-asalan, entah kena dada atau kepala.

Sampai aku berhadapan dengan Si Tua Bangka.

Aku tahu dia bohong karena parfum wangi bedak bayi yang nempel di bajunya. Cintaku masih pakai parfum favoritnya itu, padahal sudah delapan tahun lamanya kami tidak bersama. Berarti Cintaku semakin dekat, aku bisa membawanya kabur dari sini.

Tapi itu awal dari kesialanku.

Aku berhasil nebas lehernya Si Tua Bangka pakai pecahan vas yang kugenggam dari tadi, dan mengarahkan pistol revolver andalanku tepat di kepalanya yang masih menunduk pegang leher. Sayangnya, begitu pelatuknya hampir tertarik, pistolku terlempar oleh seseorang yang nggak kukenal dan dia kuat sekali sampai bikin aku sulit bergerak.

Saat mau masuk mobil polisi, amarahku tak tertahankan lihat Nira mengkhawatirkan Tua Bangka saat lagi diobati oleh tim medis.

Aku ingin tatapan khawatir itu.

Aku ingin mata penuh cinta itu, aku ingin belaiannya pada pipi di situ hanya untukku. Bukan untuk Tua Bangka.

Bila aku tidak bisa memilikimu, maka tidak ada orang lain yang bisa.

Kupukul polisi itu dengan pintu mobil dan merebut revolver-ku kembali dari orang yang meringkusku tadi. Kemudian berlari dan menodongkannya, kali ini tepat di dahinya.

Matilah Kau, Tua Bangka.

DOR.

Semua tubuhku terasa kaku, tanganku bergetar begitu pelatuknya kutarik sempurna. 

Tidak, tidak.

Tembakanku tepat sasaran. Pasti tepat, tembakanku tidak pernah meleset selama bertahun-tahun gabung dengan kelompok premannya Gunawan Rahadi. Namun, apa yang kulihat selanjutnya benar-benar mengacaukan saraf-saraf tubuhku, energiku terkuras sekejap.

Seharusnya Tua Bangka itu yang tak bernyawa, bukan Cintaku.


NIRA

Sudah berapa kali aku mengalami deja vu?

Entahlah, aku tidak mau berhitung.

Apakah aku berhasil?

Wajahku menyiratkan kelegaan dan perih begitu ujung hidung kami bersentuhan. Tidak sia-sia aku bergerak cepat untuk mendorong Mas Danar, telat sedetik saja pasti nasibnya bakal seperti Abraham. Mana lehernya baru diperban pula.

Aku berhasil melindunginya kali ini, tidak ada tragedi New York bagian kedua.

"Nira," teriaknya. Belum pernah aku mendengar suara Mas Danar sebegitu panik bercampur air mata.

"Mas ... " lirihku menahan perih. Sepertinya peluru itu berlabuh ke punggungku. Tapi bagian mana?

"Nira," panggil Mas Danar sambil menangkup kedua pipiku. "Kamu pasti bisa ayo bangun, Nira." Kemudian dia berteriak panggil medis sampai-sampai telingaku berdenging.

Napasku perlahan terhimpit, serasa ada yang mengikat dua paru-paruku langsung. "Mas ... sudah. Aku ... . "

"Tidak Nira, tidak. Kamu pasti bisa bertahan, seperti biasa." Mas Danar menggeleng kuat-kuat, masih dengan air matanya meluncur pelan. Aku bisa melihat perih yang kentara dari sudut mataku. Ia terbangun sambil membaringkanku perlahan-lahan di paha kirinya. Kurasakan satu tangannya menekan area pundak kananku yang nyaris dekat dengan tengkukku. Dengan cekatan, Mas Danar menyobek bagian bawah kemejanya untuk menekan aliran darahku dengan cara membujur dan selempang hingga mengikatnya di bagian atas dadaku.

Samar-samar kudengar bising orang-orang, entah apa yang mereka bicarakan.

Mataku memburam. "Mas .... " Tangan kananku susah payah meraih pipi Mas Danar sambil menyingkirkan air matanya. "Mas ... bolehkah aku minta satu hal?"

"Apa pun, Nira, Apa pun." Suara Mas Danar terdengar serak dan napasnya tak teratur.

"Kotaknya, Mas," desisku sekuat tenaga. "Kotaknya."

"Kotak apa yang kamu maksud, Nira?" tanya Mas Danar kebingungan, walau suara sesenggukannya belum hilang.

"Kotak khusus, kotak ...  Pandoraku. Kotak yang bisa dibuka ... pakai kalung ... yang kamu ... pakai sekarang ... Mas."

Mas Danar menunggu perkataanku berikutnya.

Napas ini terasa kecil. "Kasih kotak itu pada Pak Darya dan Bu Ratri." Suara batuk keluar dari tenggorokanku dan makin kencang sepersekian detik. "Ada satu bukti lagi terkait perbuatan asusila Danang di situ selain rekaman dan kesaksian Bram. Bajuku yang kupakai saat hari naas itu. Kemudian, daftar korban pembantaian Danang  pada semua musuh bisnisnya ... Freddi dan ...  Gunawan. Kalungku sendiri ... akan menuntun Mas ... ke tempat persembunyian benda itu."

Aku tidak tahu apa Mas Danar mengiyakan atau tidak. Semua tampak buram dan tubuhku seperti dihantam batu raksasa dari mitologi Sisyphus berkali-kali. Kurasakan kecupan kecilnya pada punggung tanganku berkali-kali dengan permohonan agar aku bertahan. Kurasakan tubuhku melayang dan mendarat pada sesuatu yang empuk.

Napasku tercekat dan kelopak mataku terasa berat sekali. "Aku ... minta maaf karena selalu menyusahkanmu selama ini. Berbahagialah selalu Mas ... dengan atau tanpa aku. Aku sayang kamu ... selalu."

Maafkan aku, Mas. Hanya ini satu-satunya cara untuk mengakhiri semuanya.

Hal terakhir yang kutahu adalah semuanya jadi gelap.

.

.

.

Bersambung

15 Agustus 2021

(1500++ kata)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top