27 (part 2)

Trigger warning! Mengandung unsur tentang masalah kejiwaan yang bisa memicu trauma bagi sebagian orang. Harap bijaksana dalam membaca.

Mataku terbuka perlahan, melawan sinar dari jendela yang menyengat sekali. Berapa jam, ya, aku tertidur? Aduh sampai lupa ganti pembalut malam. Mana lupa minum paracetamol lagi.

Namun, ada yang aneh.

Sejak kapan aku sudah di kamarku sendiri -- kamar khusus setiap menginap di rumah Pak Ardhi? Kemarin malam perasaan masih tidur di sofa ruang televisi.

"Mas Danar yang gendong Mbak ke kamar." Suara Renita tiba-tiba terdengar, bersumber di ambang pintu.

Belum aku ngomong, Renita duduk di pinggir kasur dengan lipatan tangan di dada. "Gendongnya ih romantis banget kayak pengantin baru. Tapi langsung rusak pas mau buka pintu kamar Mbak deh gara-gara dengkuranmu yang kenceng banget ngalahin klakson truk, untung nggak ngiler. Pray for telinga Mas Danar." Renita menangkupkan kedua tangan pura-pura berdoa.

"Perut Mbak gimana sekarang? Masih sakit apa sudah enakan? Terus kok bisa lupa sih minum obatnya? Sudah deh Mbak, nggak usah minum obat-obat mending ke dokter kandungan aja deh," celoteh Renita dalam satu napas.

Aku menegakkan tubuh lalu bersandar pada dipan tempat tidur. "Kan kamu tahu--"

"Iya aku tahu Mbak masih trauma," potong Renita dengan suara tinggi dan mata berkaca-kaca. "Kan ada Mas Danar, dijamin deh Mbak nggak akan kesal lagi. Tinggal bilang dia suami Mbak, beres urusan. Lagi pula nggak semua dokter kandungan kayak gitu kali. Ini sudah lima tahun lebih Mbak kayak gini setiap datang bulan. Apa Mas Danar harus tahu bagian Mbak overdosis biar dia maksa bawa Mbak ke dokter? Coba kalau bukan Reni sama dokter Likha yang nemu--"

"Siapa yang overdosis?"

Suara yang kuhafal sekali. Kecerewetan Renita kali ini bikin malapetaka. Mas Danar dan Mas Juna kini berada di ambang pintu, kulirik Mas Juna dengan gelengan prihatin.

"Ya sudah itu Reni sudah bawain parasetamol sama sebungkus pembalut dari lemari kamarku. Reni juga bikinin sop ayam, jangan lupa makan. Sama kompres plester perut tuh di sebelahnya." Gadis itu berdiri, masih dengan wajah kesal bercampur nangis. Itu salah satu jurus rajuk Renita yang berhasil meluluhkan pertahanan diriku. Dia lalu menarik tangan Mas Juna untuk keluar dari kamarku.

Kini tinggal aku dan Mas Danar berdua, lagi.

Aku sedang mengunyah sop ayam dengan nasi saat Mas Danar yang duduk di pinggir kasur bersuara. "Ada yang mau kamu ceritakan ke aku, Nir?"

Helaan napasku terasa berat. "Yang dibilang Renita bener, Mas. Aku sempat overdosis obat tidur dua tahun lalu. Gara-gara kehilangan Abraham dan rasa frustrasiku pada Danang dan Freddi yang terlalu sulit dikalahkan, mungkin dengan aku pergi dari dunia ini tidak akan menyusahkan semua orang."

Perkataanku dijeda oleh kunyahan makanan dengan sisa nyeri di perut. "Turns out, aksi bunuh diriku digagalkan Renita sama dokter Likha yang geraknya cepat sekali. Aku yang minta rahasiakan ini dari semua orang kecuali Renita, dokter Likha, serta Pak Darya dan Bu Ratri, supaya bisa bersaksi di pengadilan."

Hanya bunyi dentang jam yang mengisi keheningan kamar ini. Kulanjutkan saja makanku sampai habis, lalu langsung mandi. Itu lebih baik daripada dapat tatapan datar bercampur tajam dari Mas Danar.

Realitanya, aku malah bergeming di sini. Cuma makanku yang habis dan pasang kompres perut. "Maaf aku belum cerita ke kamu bagian ini."

Kecanggungan kali ini berhenti karena telepon dari Dara. "Ada apa, Dar?" Kuubah teleponnya jadi loudspeaker agar Mas Danar bisa dengar.

"Mas Indra sudah deal ke gue, Nir. Privasi dia saat ini aman. Gue berasa kembali ke zaman ambil kasus cerai artis viral itu. Lo sudah buka buku catatan keramat?"

Buku catatan keramat adalah panggilan dari buku yang dikasih ke Pak Ardhi waktu keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu.

Dara bersuara lagi. "Oke gue yakin lo belum buka. Intinya, catatan tempel yang gue buat sama Ronald di buku itu adalah kepingan puzzle alamat lokasi persembunyian Gunawan Rahadi. Tidak ku sangka Freddi Martadinaja mulutnya bocor kalau lagi frustrasi gara-gara kehilangan hak asuh anaknya." Tawanya menggema.

"Makasih infonya, Dara Bestari. Gue traktir deh kalau kasus gue beres."

"Ogah, maunya double date aja gimana, Nir? Warung Sederhana lah."

"Gampang lah kalau itu."

Panggilan kami berdua berakhir.

Tapi tidak hanya kabar dari Dara saja, saat kunyalakan televisi layar datar yang menayangkan berita gosip, terlihat para polisi berusaha melindungi Bram dari pertanyaan wartawan tentang orientasi seksualnya. Sehingga anak buah Pak Darya yang angkat bicara saking kondisinya kacau.

Pesan dari Pak Darya muncul di ponselku.

Pak Darya: Bram sdh slesai diminta keterangan. Tinggal pemeriksaan silang lg dgn Danang.

Kali ini Danang tidak akan bisa mengelak lagi, aku yakin itu.

"Dari mana temanmu Dara bisa tahu lokasinya Gunawan Rahadi?" tanya Mas Danar heran.

Aku memotret buku catatan keramat dengan tablet pemberian Mas Danar sebagai backup. "Kemungkinan mereka nggak sengaja curi dengar waktu negosiasi langsung sama Freddi atau dari pengacaranya yang keceplosan. Mereka berdua itu jago provokasi, beda dengan aku yang lebih suka main belakang dan nekat."

Mas Danar manggut-manggut. "Terus kamu ngapain motret pakai tablet pemberianku?"

"Hanya penasaran saja, Mas." Kuhentikan aktivitas memotret. "Secanggih apa alat ini, ternyata sama kayak pulpen multifungsinya Pak Ardhi. Soalnya canggihnya beda aja gitu."

Kurasakan hawa bungkamnya Mas Danar kali ini berbeda.

"Ada yang mau kamu bicarakan ke aku, Mas? Mungkin tentang agen rahasia yang Mas sama Anjing Gila bicarakan kemarin?"

"Itu ... aku ... . " Mas Danar kehilangan kata-kata.

Tepat saat ponselku lagi-lagi berbunyi. Isi pesannya bikin seluruh tubuhku lemas tidak karuan.

Ella D. Sutedja: Ra, lo jgn balik ke apartemen lo atw apapun. Apartemen gw didatangi si Rico brengsek dan saat ini dia lg gedor-gedor. Anjing mn dia mainnya alus sampek penghuni laen dn satpam kagak curiga. Bisa jd si Kamseupay ada di sekitar lo, hati-hati aja. Lo g ush panik, gw sm Bagas bisa handle.

(900++ kata)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top