27 (part 1)

NIRA

Selagi menunggu rekaman suara Mas Danar selama di sarang singa, aku menyelesaikan sidang kode etik bersama Pak Ardhi di kantor asosiasi pengacara tingkat daerah. Beliau yang mendampingiku jadi penasihat selama proses ini. Dari pihak pengadu -- Alline alias Anna -- hanya diwakili oleh kerabatnya entah siapa, katanya nggak datang karena urusan bisnis.

Cih, bohong banget!

Kali ini adalah sidang putusan.

Ketika majelis kehormatan memutuskan untuk kasih sanksi teguran lisan, hatiku membuncah. Tentu saja aku gembira, setidaknya lisensi pengacaraku aman. Pak Ardhi sepertinya tidak kalah senang dengan putusan mereka.

"Nira, ini tuh termasuk SP 1 kalau di pekerjaan lain. Jadikan hal ini pengingat diri untuk hati-hati, jika sekali kamu kesandung dengan kesalahan yang sama atau lebih bisa jadi ada teguran lebih keras alias SP 2," ujar Pak Ardhi ketika kami keluar dari gedung menuju tempat parkir mobil.

"Baik, Pak." Aku tahu pasti Pak Ardhi akan suruh Mas Danar lebih intens mengawasiku setelah ini.

Halah, Nir. Kamu sendiri juga senang dengan kehadiran Mas Danar.

"Tadi Renita hubungi saya, katanya minta kamu nginep di rumah. Kamu bisa, kan?" tanya Pak Ardhi saat mobil kantor sedang bertarung dengan kemacetan. Tentu saja aku duduk di samping sopir kantor yang sering kukasih duit rokok setiap jadi bawahan Pak Ardhi ngurus kasus.

"Bisa kok, Pak." Ini si Renita tumben ngomong lewat Bapaknya, biasanya nge-chat atau telpon aku langsung.

Untung saja ada beberapa bajuku yang sengaja ditinggal di rumah Pak Ardhi. Jadi kalau mau nginep nggak perlu angkut-angkut dari apartemen. Begitu sampai rumah megah yang terasa nuansa era sembilan puluhan yang lantainya full teraso dan perabotan didominasi kayu jati, ternyata Mas Juna sama Renita lagi ketawa-ketawa di ruang televisi.

"Tumben akur." Perkataanku sukses bikin Tom & Jerry ini menoleh padaku yang duduk di seberang mereka sambil comot satu emping dari toples.

"Ini habis kepoin akun Moon Rise-nya Mbak, Mas Juna penasaran soalnya," balas Renita.

"Akun punyamu, tapi yang pakai empat orang," timpal Mas Juna dengan tawa. "Video favoritku sih yang cover lagu duet kamu sama Tio ini. Gila, chemistry kalian oke banget nggak heran netizen masih ada yang nggak rela perkapalannya karam gara-gara video tunanganmu itu."

"Ih Mas Jun, yang nge-band di beberapa kafe kecil dan bar bawah tanah New York itu juga keren. Aku baru tahu kalau Mbak Nira sama sahabatnya ini sempat bikin band, ternyata sudah dari SMA dan hiatus tujuh tahun terus kembali muncul. Mas Jun kudu lihat yang mereka cover video klipnya Paramore yang pakai lagu Ignorance. Jarang-jarang Mbak Nira cosplay pakai rambut merah orange gitu tapi jatuhnya cakep," celoteh Renita menguasai iPad-nya sebentar lalu terdengarlah lagu lama itu.

Aku hanya bisa senyum saja, itu video dibuat untuk lomba dengan hadiah uang tunai lima juta rupiah yang dibagi empat. Tidak kusangka Tio ternyata kembali unggah video lama itu.

Kutinggal mereka berdua menuju perpustakaan pribadi rumah ini. Ini ruangan baru hasil renovasi rumahnya Pak Ardhi tiga tahun lalu. Apa lagi koleksi bukunya lengkap semua, mau fiksi atau non-fiksi sampai literatur hukum ada. Setiap ke sini, aku selalu keasyikan baca sampai ketiduran di kursi baca yang penuh tumpukan buku di setiap sisi.

Tablet pemberian Mas Danar bunyi, berarti ada kabar baru. Aku langsung ambil duduk di sofa dan dengerin hasil sadap pakai earbud bluetooth.

Ada dua kata yang menarik perhatianku saat mendengarkan rekaman Mas Danar sama si Anjing Gila.

Agen rahasia.

Ini memberi aku pencerahan kenapa ponsel Mas Danar tersambung cepat ke pulpen pemberian Pak Ardhi daripada percobaan yang dilakukan Dara pertama kali. Tidak heran pekerjaanku yang biasanya butuh waktu lebih dari sebulan -- itu pun dengan negosiasi alot -- jadi lebih cepat. Juga pencerahan lain di balik perintah Pak Ardhi yang katanya mengirim Mas Danar untuk menjagaku dari marabahaya.

Tetapi, agen rahasia dari mana? Aku yakin bukan BIN karena Pak Ardhi sudah pasti kena semprot majelis kehormatan advokat karena melanggar Undang-Undang Advokat pasal larangan ambil dua pekerjaan sekaligus. BIN adalah bagian dari pelayanan publik bidang intelegensi.

Tahan dulu, Nira. Tanya-tanyanya bisa nanti saat kasus ini selesai.

Senyumku merekah, rekaman seperti ini bisa bikin Danang dan Alline dijerat pasal berlapis. Apa lagi Alline membantu sembunyikan buron.

Aku salut dengan kejujuran Mas Danar pas kami telpon-telponan tadi. Aku tahu cintanya tulus padaku, aku juga merasakan hal yang sama. Makanya aku mengiyakan lamarannya walau dadakan. Menurut buku psikologi percintaan yang kubaca, pernikahan itu seperti partnership yakni dijalani bersama-sama. Di sisi lain, aku merasa ada beban Mas Danar yang belum mau dibagikan kepadaku.

Sudahlah, Nira. Jangan memaksakan diri, kembali fokus ke pekerjaanmu.

"Menemukan kamu tuh gampang sekali, Nir."

Kepalaku bergerak ke pintu, ternyata Mas Juna sama Renita dengan Pak Ardhi masuk ke perpustakaan. Tadi Bu Ratri sama Pak Darya mau ke rumah Pak Ardhi juga, tetapi mungkin bakal terlambat. Maklum jam pulang kerja.

Kami semua mengambil posisi duduk sila di lantai beralaskan karpet tebal dengan formasi lingkaran.

"Papa kamu akhirnya mengakui kesalahannya setelah dijejali penyidikan terbaru dari KPK berdasarkan bukti-buktimu, Nira. Jika tidak ada halangan, kemungkinan dua minggu lagi kasusnya bakal dilimpahkan ke Kejaksaan. Sayangnya, Gunawan Rahadi makin mangkir dari panggilan orang-orang KPK dan sedang dicari mereka." Pak Ardhi buka pembicaraan.

Mas Juna dan Renita tepuk tangan.

"Kamu beneran, tidak mau ketemu sama papamu? Sekarang beliau lagi ditahan di rutan KPK," lanjut Pak Ardhi.

Aku menggeleng tegas. "Pasti bakal jadi drama yang entah jilid ke berapa. Nama saya, kan, sudah dicoret dari KK sejak enam tahun lalu. Apa Pak Ardhi lupa, saya bisa ke New York dengan ganti domisili KTP dan numpang KK-nya Ibu Siska?"

Renita menepuk pelan bahuku dengan senyum kalem.

"Baiklah kalau itu maumu, Nira." Pak Ardhi menyerah dengan kekeraskepalaan dariku.

"Pantes aja kamu betah di Jakarta, Nir," celetuk Mas Juna.

Pak Darya dan Bu Ratri masuk ke perpustakaan yang diantar pelayan senior lalu bergabung dengan kami.

"Saya sudah kirim surat pemanggilan saksi ahli ke temannya dokter Benny yang apoteker itu. Besok katanya dia akan datang ke kantor. Bram Prasetja juga bersedia dimintai keterangan. Jika kesaksian Bram benar adanya, kamu akan tetap jadi saksi bukan tersangka, Nira." Pak Darya menyampaikan laporan terbaru pada kami.

"Saya mau menyampaikan sesuatu," ujar Bu Ratri, "Nanti kasus-kasus ini -- termasuk kasus asusila mu nanti, Nira -- anak buah saya yang ngurus. Saya hanya pegang kasus papanya Nira dan Gunawan Rahadi saja. Tapi tenang, saya jamin anak buah saya kompeten."

Pak Ardhi menyeringai. "Lo memang kangen, ya, adu argumen sama gue di pengadilan?"

Bu Ratri tertawa keras. "Lo kali kayaknya, bukan gue. Sayang, ya, teman sejati lo si Cipto Waluyo sudah pegang jabatan ketua pengadilan tinggi DKI Jakarta. Jadi dia nggak bakal dengerin adu bacot kita yang bikin muka nya makin datar. Denger-denger dia mau dicalonkan jadi hakim agung termuda tahun ini. Heran aku sama tuh orang, mau-mau aja ngurus berkas yang bahkan tingginya kayak tiang gitu."

"Beneran itu, Rat? Gue baru tahu lho." Jelas saja Pak Ardhi terkejut. Pak Cipto adalah sahabat sejati beliau selain Pak Andi, aku pernah mengamati keakraban mereka waktu makan siang bareng di kantin kantor pengadilan waktu magang dulu. "Kok dia nggak cerita, ya, ke gue? Lo tahu dari mana?"

"Suami tercintaku tentunya. Kan Pak Cipto mentornya dia waktu probation PNS puluhan tahun lalu," jawab Bu Ratri santai. "Sekarang suami gue lagi ikut fit and proper test di Mahkamah Agung untuk tes hakim tingginya. Gue harap sih penempatannya nggak jauh-jauh deh."

"Halah palingan penempatannya di Maluku sana, Rat. Makin jauh dong," ledek Pak Ardhi.

"Ternyata ada yang lebih parah dari Long Distance Relationship, yaitu Long Distance Marriage," celetuk Renita.

"Ya namanya juga resiko pekerjaan, Ren," balas Bu Ratri. "Setidaknya komunikasi lancar lah sama sering-sering saling berkunjung."

"Oh ya, saya hampir lupa beritahu ini." Wajah serius Pak Darya bikin kami semua fokus pada Beliau. "Temanku di KPK kasih tahu bahwa dugaan Gunawan Rahadi adalah nama lain Kaisar Linggarjati makin kuat. Makanya beliau mangkir terus dari panggilan KPK, Pak Ardhi. Sekarang mereka juga lagi menyelidiki aktivitas PT Perkasa Jaya si perusahaan security bodong itu."

"Ternyata di atas Anjing Gila terdapat Cacing Besar Alaska," sahut Mas Juna yang kembali mengundang tawa.

"Heh Mas Jun," seru Renita nonjok lengan Mas Juna di sela-sela tawa. "Dipikir film kartun Spongebob apa?" Gadis itu menirukan suara karakter kartun itu saat adegan ketakutan dikejar binatang raksasa tersebut.

"Lha gue bener, kan?" Mas Juna mengedikkan bahu dengan muka polosnya. "Cacing besar alaska tuh tak terlihat tapi badan gedenya bikin makhluk laut terintimidasi bila ketemu langsung. Nah sama kayak Gunawan Rahadi ini."

Namun, keceriaan kami berakhir dengan dua berita di artikel media daring di hari menjelang malam ini.

Putra Tunggal dari Direktur Utama PT Prasetja Plantation Seeds Melakukan Ciuman di Klub Malam dengan Seorang Pria.

Fakta Terbaru dari Calon Pewaris PT Prasetja Plantation Seeds. Nomor Dua Sungguh Mengejutkan.

***

Mas Danar baru sampai di rumah Pak Ardhi pukul tujuh malam. Dia langsung menghampiriku di ruang televisi saat aku berkutat dengan laptop dan kompres air panas untuk perutku yang terasa diputar-putar. Menstruasi yang super dadakan, hari pertama pula. Untung saja Renita punya cadangan pembalut dan celana dalam.

"Lo nggak apa-apa, kan?" tanyaku tanpa saat panggilan video skype-ku tersambung dengan Bram.

Di luar dugaanku, Bram mengangguk dengan senyum lebar. Senyum yang biasa kulihat waktu sama Yanti dulu. Tiba-tiba saja Yanti sudah berada di sebelahnya dan ikut tersenyum di layar, tanpa kata-kata.

"Gue sudah duga Danang akan main licik gini begitu dia tahu gue bakal belain lo," jawab Bram santai. Perkataan berikutnya yang bikin ia menghela napas. "Salah gue juga mengiyakan ajakan Indra ke klub malam di mana itu melanggar kesepakatan kami berdua untuk tidak kencan di tempat umum. Syukurnya di artikel itu cuma nunjukkin punggungnya Indra."

"Tapi bukan berarti media akan berhenti cari Mas Indra. Kemungkinan orang-orang terdekat, teman-teman, sama nasabahnya pada cari sosoknya. Apa lagi kalau instansi perbankan tempat kerjanya pada tahu Indra kayak gitu, pasti bakal kena pecat tidak terhormat," timpal Yanti.

"Sebentar sebentar," selaku dengan pegang kompres, mengabaikan perihnya di perut. Aku cuma tahu penyebab putusnya mereka berdua, tapi tidak tahu sosok kekasih Bram. Hanya ada dua nama Indra di fakultas kami dulu, Indra yang jadi astradanya Ella di teater dan ... oh tidak. "Indra yang lo maksud itu Mas Indra Rajaksa mantan ketua BEM Fakultas angkatan di atas kita persis dan masuk lima besar Mawapres dulu?"

Bram mengangguk patah-patah.

"Dan lo sudah tahu, Yan?" tanyaku pada Yanti.

"Gue yang tangkap basah mereka lagi gituan juga di apartemennya Bram empat tahun lalu. Ella juga sudah tahu kok," jawab Yanti seakan tidak ada beban sama sekali, bikin Bram meringis.

Teriakanku mengisi ruang televisi rumah Pak Ardhi. Untung saja semua orang lagi ada aktivitas masing-masing. Kepalaku rasanya mau pecah, kenapa saat semua berjalan lancar selalu saja ada halangannya?

"Nira, kamu ini," bisik Mas Danar yang menghampiriku dengan segelas teh hangat manis. Tadi dia meninggalkanku sebentar ke dapur untuk bikin minuman. "Pelan-pelan, Sayang. Nanti tambah sakit perutmu."

"Terima kasih, Mas." Aku menyesap teh hangat buatan Mas Danar. Perlahan rasa panasnya menjalar ke perutku sedikit demi sedikit, meredakan kemarahanku.

"Lo sekarang maunya gimana, Bram? Lo mau ngaku ke media atau ada hal lain?" Untuk kali ini aku yang akan beri opsi ke Bram. Aku ingin tahu apa rencana dia biar nanti bisa menyesuaikan dengan rencanaku.

Bram menghela napas, tampak berpikir agak lama. Sampai-sampai kepalaku terjatuh di bahu Mas Danar.

"Balas dendam lo sama gue, Ra. Mesra-mesraan di depan kita," goda Yanti diiringi tawa.

"Terserah lo aja, Yan. Perut gue masih sakit, biasa hari pertama mens."

Kurasakan lagi tautan tangan Mas Danar yang lembut dan menenangkan itu sembari membenarkan posisi kompresan perut yang kendor dan hangatnya berkurang.

"Iya deh mentang-mentang sudah tunangan." Yanti tersenyum konyol kemudian menatap Mas Danar. "Mas Danar, Nira tuh kalau lagi mens tiga hari pertama pasti sakit perutnya parah. Ingetin dia untuk banyak istirahat, kalau masih bandel ambil paksa aja laptop sama dokumennya. Terus pembalutnya juga kudu spesifik, jangan asal beli. Bisa lihat dari lemari sebelah meja riasnya Nira di apartemen. Kalau nggak, ngamuknya melebihi Ella, Mas. Terus kalau sampai sakitnya nggak terbendung, abaikan penolakan Nira ke dokter kandungan, ya."

Mas Danar menoleh padaku dengan sedikit pelototan. "Benar begitu, Nira?"

Kepalaku terangkat dari bahu Mas Danar. "Sebenarnya aku masih kesal dan trauma sih sama dokter-dokter obgyn yang judgemental itu. Waktu hamil Bima awal trimester dua dulu aku sampai ganti dokter lima kali dalam dua minggu. Gara-gara ditanyain suaminya mana terus menerus. Capek aku, Mas. Sampai-sampai aku ditemani Ibu setiap kontrol dan pas pertanyaan sialan itu muncul beliau hanya jawab sudah meninggal."

Mas Danar menggeleng sambil tersenyum kecil. "Lucu ya ternyata kalau kamu sudah banyak omong gini, Nir. Baiklah, aku temani kok kalau kamu minta."

Entah kenapa aku ingin menggodanya sedikit saja. "Kalau dokternya dokter Benny, Mas masih mau nemenin?" Sebelum dia berangkat ke rumah Alline tadi pagi aku sempat cerita sedikit tentang kedekatanku dengan Benny walau tidak ada tanggapan apapun darinya.

Ekspresi Mas Danar boleh saja datar, tapi kelihatan sekali ada sedikit cemburu di situ.

"Kalau cemburu jangan ditahan-tahan, Mas Danar. Nira mana peka soalnya." Suara Yanti memecah kecanggungan kami dengan cekikikannya itu.

Sialan aku lupa kalau masih ada panggilan video.

"Gini, gue ada ide." Bram akhirnya bersuara. "Gue akan tetap bersaksi buat lo, Nir, apapun kondisinya. Pengacara keluarga Prasetja akan tetap melindungi gue, mereka tidak akan tinggal diam. Tapi gue minta satu hal, pastikan media jangan tunjukkan muka Indra seinci pun. Gue nggak mau nama baiknya dia ikut rusak, cukup gue aja."

Yanti di sisinya tersenyum tipis.

"Sebenarnya ada kolega gue yang jauh lebih ahli dalam menangani soal ini. Nanti gue kasih kontaknya ke lo setelah dapat izin. Tapi lo harus bilang Indra dulu, gue nggak suka dadakan."

Aku bisa saja bantuin Mas Indra, tapi aku sudah janji ke Pak Ardhi untuk tidak ambil kasus apa pun sampai masalahku kelar.

"Makasih banget, Nir. Kalau ini berhasil, selamanya gue akan utang budi sama lo." Bram mengungkapkan kelegaannya.

"Lebay lo, Bram." Aku tertawa.

"Beneran ini, Nir. Tiket bulan madu setelah menikah nanti, kerja jadi in house lawyer di kantor Bokap. Apapun yang lo minta." Suara Bram kali ini sungguh-sungguh, sampai Mas Danar terkejut.

Aku malah tertawa kencang, sialan perihnya perut ini makin tidak terkendali. "Lo bantuin gue jatuhin Anjing Gila aja sudah cukup kok, Bram. Setidaknya mantan sahabat lo satu itu harus dapat ganjaran sepantasnya."

"Baiklah kalau gitu, Nir." Bram tersenyum lemas. Yanti mengelus pelan bahu mantan kekasihnya tersebut.

Dua menit kemudian, panggilan video berakhir.

"Mas kalau mau tidur duluan aja nggak apa," kataku sambil mengetik pesan pada Dara.

"Nanti aja, Nir. Memangnya kamu hubungi siapa malam-malam begini, sudah jam setengah sepuluh lho. Apa nggak ganggu?" tanya Mas Danar sedikit cemas sambil bawa gelas kosong teh hangatku ke dapur mewah rumah Pak Ardhi. Aku mau bantuin tapi ditolak sama Mas Danar gara-gara nggak mau sakit perutku tambah parah.

"Dara sih ... biasanya tidur lebih malam dari aku, Mas."

Ternyata balasannya cepat sekali datang. Syukurlah Dara bersedia dampingi Mas Indra. Aku langsung kasih kontaknya Dara ke Bram setelah dapat izin. Dara lebih pintar menangani kasus kayak gini, dia juga mampu bawa diri setiap konferensi pers. Sungguh kontras denganku, karena jujur aku lebih suka kerja di belakang.

Begitu meletakkan ponsel di meja kopi. Aku merebahkan tubuh di sofa sambil meluruskan kaki, tidak lupa taruh kompresanku di situ. Semuanya berubah jadi gelap sempurna.

.

.

Bersambung.

1 Agustus 2021

(2400++ kata)

BIN (Badan Intelijen Negara): Adalah alat Negara yang menyelenggarakan fungsi Intelijen Dalam dan Luar Negeri. (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara)

Mawapres (Mahasiswa Berprestasi): Adalah mahasiswa yang berhasil mencapai prestasi, baik kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler, sesuai dengan kriteria yang ditentukan serta memiliki kepribadian yang baik.

Astrada (Asisten Sutradara): orang yang membantu sutradara dalam menjalankan tugasnya. Ada tiga SOP yaitu mengatur waktu/penjadwalan, mengatur acting, bloking dan moving, dan mengatur kontinuiti adegan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top