26 (part 1)
DANAR
Jika lubuk hati seseorang diumpamakan dengan sebuah lemari, aku lebih suka meremas perasaanku dan menyimpannya di sudut paling belakang lemari tersebut, bagaikan pakaian yang jarang dikenakan.
Perasaan itu rumit, ambigu, dan sulit dijelaskan. Tidak seperti misi yang dijabarkan sampai detil dan tinggal diikuti dengan saksama.
Contohnya, perasaanku pada Nira. Seharusnya mudah, bukan? Aku menyayangi Nira, itu jelas. Seharusnya aku tidak goyah dengan perasaanku sendiri. Namun mengapa saat ini aku malah lega ketika aku akan berjauhan dengannya?
Ketika aku menyadari Nira telah mengetahui ayahnya adalah hakim yang membebaskan Doni Laksono dari perbuatan jahatnya, aku pura-pura tegar. Kubilang padanya, itu bukan salahnya -- toh, Doni dan ayahnya juga sudah dihukum penjara.
Padahal aku lebih ingin meyakinkan diriku sendiri daripada Nira. Aku butuh waktu sendiri untuk menjernihkan pikiranku. Makanya aku langsung setuju ketika ia mengusulkan supaya aku bekerja sama dengan Alline Rahadi. Aku butuh misi ini untuk menenangkan diri sekaligus melupakan emosiku.
Namun, saat aku memandangi barisan angka nomor telepon di kartu nama Alline, tiba-tiba aku ingin sekali membatalkan rencana ini dan kabur ke pulau terpencil bersama Nira saja.
Aduh, Danar, kenapa kamu jadi labil begini?
Jariku menekan angka-angka di layar ponselku, disusul dengan tombol telepon hijau. Ketika panggilan tersambung, aku tahu aku tidak bisa berputar balik.
"Halo, Mbak Alline? Ini saya, Danar Narabhakti. Saya bersedia menjalankan rencana Mbak Alline untuk mendapatkan Danang kembali."
"Perfect. Langsung saja datang ke rumah saya. Nanti saya share loc," sahut Alline tanpa basa-basi.
Game on.
***
"Nira, kamu ingat kan waktu aku pasang alat penyadap ke tas Giani lalu mendengarkan percakapannya dengan suaminya?" tanyaku ketika aku menyiapkan peralatan sebelum berangkat ke rumah Alline.
"Oh, di markasnya Mbak Tiara sambil makan keripik singkong itu, kan? Tentu saja aku ingat, Mas," ujar Nira.
"Sekarang aku juga akan bawa alat penyadap yang sama." Aku menyodorkan tabletku kepada Nira, tablet dari Penumbra yang sudah diubah ke mode tamu sehingga Nira hanya bisa melihat aplikasi yang kuizinkan saja. "Ini tabletku, kamu bisa mendengarkan percakapan kami lewat app yang ini. Pulpenmu akan kubawa terus, tapi aku akan menanam beberapa alat penyadap di rumah Alline."
Aku terus berceloteh tanpa memerhatikan wajah Nira yang melongo sesaat, kemudian tersenyum paham.
"Baik, Mas Danar. Peralatannya sudah lengkap sekali," sahutnya.
Senyumnya kutangkap. "Kamu nggak khawatir aku mau pergi ke rumah perempuan lain?" tanyaku setengah menggoda, setengah cemas.
Nira nyengir. "Jadi Mas Danar lebih suka aku panik-panik meresahkan gitu? Bukan gayaku kali." Ia mengusap pipiku lembut. "Lagian aku percaya Mas Danar bisa melakukan ini dengan baik. Selangkah lebih dekat untuk mengalahkan Anjing Gila supaya kita bisa bersama."
Ah, kenapa dia menggemaskan sekali? Aku tidak tahan lagi, kurengkuh tubuh mungilnya ke pelukanku dan kucium pelipisnya.
"Kamu baik-baik, ya, Sayang."
"Kayak mau pergi jauh aja." Nira tertawa kecil. "Mas Danar juga jaga diri, ya."
Aku memeluknya sekali lagi. Sesal dan rasa bersalah melingkupi diriku karena sempat ingin menjauhi Nira, kubayar dengan kemesraan yang agak berlebihan. Aku sungguh sebal pada diriku yang plin plan. Semoga Nira tidak menyadari kebimbanganku ini.
***
Ojek yang kutumpangi berhenti di depan sebuah pintu gerbang hitam yang sangat besar, lengkap dengan pos satpamnya. Seorang satpam mencegat dan menanyakan identitas kami. Ketika menyebut namaku, satpam membukakan pintu gerbang dengan remote control dan memintaku menunggu sejenak.
"Pak Danar akan dijemput untuk menemui Nona."
"Saya bisa jalan sendiri ...." Rasanya berlebihan jika harus sampai dijemput segala.
"Ini perintah dari Nona."
Aku menghela napas lalu membalikkan tubuhku. Jalanan berlapis aspal kemerahan seperti di Buckingham Palace -- kediaman ratu Inggris Raya -- membentang di balik pagar dan diapit oleh barisan pepohonan yang dipangkas rapi menuju kediaman keluarga Rahadi yang bak istana. Aku mengernyitkan dahiku heran membayangkan betapa mahalnya harga tanah seluas ini di Jakarta. Apakah manusia benar-benar memerlukan tempat tinggal sebesar ini?
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil SUV kotak berwarna putih dengan logo bintang sudut tiga yang sangat besar di grilnya menjemputku. Sang supir menyebutkan bahwa 'Nona Alline' menungguku. Tanpa banyak bicara, aku pun masuk ke dalam mobil.
Sepuluh menit berkendara, kami pun tiba di lobby kediaman keluarga Rahadi yang serba putih bagaikan Istana Negara. Mobil mengitari air mancur bundar dan berhenti di depan pintu rumah yang dikawal oleh dua orang penjaga. Benar-benar serasa istana.
Ketika supir menjelaskan siapa diriku kepada salah satu penjaga, aku pun dipersilakan masuk ke dalam rumah, diantar oleh penjaga tersebut. Interior rumah bergaya modern rococo, gaya Eropa abad 18 seperti di Istana Versailles, Prancis, yang dominan warna putih dan emas. Dari lobby yang sangat luas dan kosong bagaikan ballroom hotel, kami berbelok ke kiri untuk menemui Alline di ruang duduknya.
"Nona Alline, Bapak Danar Eka Narabhakti sudah datang," ujar penjaga yang mengantarku.
"Terima kasih, Hendra. Kamu boleh kembali ke tempatmu."
Alline mengenakan gaun rumahan berwarna putih semata kaki dengan model spaghetti strap dan berbahan sutera yang jatuh sempurna di tubuhnya yang tinggi dan langsing. Rambutnya disanggul bawah dengan sangat rapi, kontras dengan Nira yang menggelung rambutnya asal-asalan. Pasti Alline memiliki penata rias yang mengurusi penampilannya setiap hari.
"Untunglah otakmu akhirnya jalan juga," komentar Alline semringah. "Langsung saja tak usah basa-basi. Apakah Anda sudah bicara dengan calon istri Anda?"
"Sudah. Kami bukan orang yang suka keramaian, jadi tidak usah menggelar pesta yang terlalu megah," sahutku. "Tapi sebelum kita melanjutkan rencananya, saya punya pertanyaan."
"Silakan."
"Tujuan Anda adalah membuat Danang kembali kepada Anda karena Nira akan menikah denganku. Namun bagaimana Anda yakin rencana ini akan berhasil? Bagaimana kalau Danang tidak peduli dan tetap mengincar Nira walaupun dia sudah menikah? Atau yang lebih buruk lagi, bagaimana kalau Danang mengacau di pernikahan kami? Apakah Anda dapat menjamin keamanan kami?"
"Bisa," ujar Alline percaya diri. "Sudah kubilang, sumber kekuatan Danang adalah saya. Tanpa saya, dia tidak bisa apa-apa."
Aku menggeleng. "Waktu Danang membunuh teman Nira di New York dulu, Anda bukan sumber kekuatannya ...."
Alline mengepalkan tangannya kesal. "Saat itu, ia dibeking Freddi Martadinaja. Tapi sekarang Freddi ada di penjara. Priaku hanya bergantung pada saya. Kalau Anda takut dia akan mengacau di pernikahan kalian, saya akan mengirim tim security untuk mengamankan pesta kalian."
"Tapi Anda tidak bisa menjamin keamanan kami setelah itu. Bagaimana kalau Danang tetap mengincar saya atau Nira di rumah kami setelah menikah? Melihat sifat dan gerak-geriknya, saya pikir dia akan membunuhku. Pernikahan kami bukan halangan untuknya," tuturku panjang lebar.
Alline mendengus. Jelas bahwa perempuan ini belum memikirkan rencana seutuhnya, hanya sesumbar saja. Ketika ia membalikkan tubuhnya, aku mengambil kesempatan ini untuk menyelipkan alat penyadap di rak bukunya.
"Ikut saya," ujar Alline sambil membuka pintu yang menuju taman belakangnya.
Ternyata halaman belakang -- entah belakang, kiri, kanan, timur, barat -- rumah Alline memiliki sebuah labirin dengan tinggi semak mencapai dua setengah meter. Aku yang termasuk tinggi saja tidak bisa melihat ujung labirin hanya dengan berjinjit. Labirin ini mengingatkanku pada istana Queen of Hearts dalam dongeng Alice in Wonderland. Setelah kupikir-pikir, Alline cocok juga menjadi Queen of Hearts -- hanya saja versi lebih elegannya.
"Saya nggak paham kenapa Priaku terobsesi pada Nira -- ketika jelas-jelas dia punya saya yang jauh di atas dari segala segi," desah Alline. "Saya akui, saya sempat menyakiti dia dengan cara berselingkuh, tetapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Saya sudah minta maaf dan berusaha membuktikan cinta saya kali ini tulus."
Lha, kok malah curcol?
"Maaf, Mbak Alline, saya kira kami akan membahas rencana ...."
"Oh, itu. Sabar dikit napa," gerutu Alline sambil menatapku tajam. "Jadi begini, saat pernikahan kalian diselenggarakan, saya akan mengurungnya di rumah. Lalu bikin
dia frustrasi. Pada saat itu, saya akan menghiburnya dan mengatakan bahwa saya-lah yang setia padanya."
Aku menepuk dahiku. Rencananya seperti ini?
"Bagaimana kalau dia kabur? Atau mencelakai Anda?"
"Saya akan merantainya. Lagipula, bercinta dengan Priaku yang sedang frustrasi ... ah ... sungguh menggairahkan!"
"Saya tidak perlu mendengar hal ini, Mbak Alline ..." protesku sambil meringis. "Baiklah, mari kita diskusikan acara pernikahan saya. Seharusnya Nira juga di sini."
"Anda salah," ujar Alline sambil menggelengkan kepala. "Saya tidak sudi berinteraksi dengan perempuan itu. Jika saya bertemu dengannya, bisa-bisa saya mengamuk karena Priaku lebih terobsesi padanya daripada saya. Anda bisa chat dia saat kita berdiskusi, atau telepon dia setelahnya. Pokoknya saya nggak mau dengar suaranya juga."
Ingin sekali kuputar bola mataku, tapi masih kujaga sikapku. "Baiklah."
"Mari kita ke ruang kerja saya."
Alline memimpin jalan. Aku mengikutinya. Kami melewati sisi labirin untuk mencapai ruang kerjanya. Namun aku merasa ada yang mengintaiku. Sepintas aku melihat dengan sudut mataku sekelebat bayangan seorang lelaki -- apakah itu Danang?
.
.
.
Bersambung.
1300++ kata
(26 Juli 2021)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top