22
Kali ini 1 part aja, tapi gak terlalu panjang. Anyway, enjoy!
.
.
.
DANAR
Ketika notifikasi ponsel menandakan masuknya chat dari Nira, aku kegirangan dalam hati. Namun begitu melihat isinya, aku terpaku sejenak. Foto pertama memuat tiga orang laki-laki, dua tua dan satu muda. Yang di tengah tidak kukenal, tetapi dua lelaki sialan yang mengapit lelaki asing tersebut memicu traumaku kambuh kembali.
Dua makhluk keparat itu tidak layak disebut manusia. Sujatmo Laksono dan anaknya Doni Laksono -- syukurlah dua-duanya sudah dipenjara -- yang menghancurkan hidup adikku sampai bertahun-tahun, syukurlah pula ia sudah terbilang pulih dan bisa beraktivitas normal, walaupun aku tahu traumanya masih kadang-kadang muncul. Ya, Doni sekolah di SMA yang sama dengan Wulan, lalu terobsesi pada adikku itu sehingga menculik dan memperkosanya, lalu lahirlah Chandra -- keponakanku yang tak bersalah akibat perbuatan donor spermanya -- aku takkan menyebutnya ayah sampai kapanpun. Aku dan Mas Prad-lah figur ayah bagi Chandra.
Aku bersusah payah menuntut pemuda bejat itu ke pengadilan, tetapi selalu digagalkan karena kurang bukti. Saat aku sudah mengumpulkan cukup bukti hingga polisi pun tak bisa menentang, kasusku kembali digagalkan di tingkat pengadilan. Padahal jaksa saat itu sudah cukup tegas menuntut hukuman penjara bagi Doni Laksono yang saat itu masih di bawah umur.
"Nar, kamu baik-baik saja?" Suara Ajun Komisaris Polisi (AKP) Bagus Prawirasetya dari Divisi Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Mabes Polri menyadarkanku dari lamunanku. Sebenarnya ia tak ada sangkut-pautnya dengan kasus Nira kali ini, yang harusnya ditangani Divisi Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Metro Jaya, tetapi aku mengundangnya sebagai narasumber khusus geng preman karena ia pernah menyelidiki geng preman selama beberapa tahun di jenjang karir sebelumnya.
Aku menggeleng, lalu cepat menekan tombol telepon di laman chat Nira. "Maaf, Gus, aku permisi sebentar," ujarku, meninggalkan lelaki berkemeja putih dan celana panjang hitam itu di ruang tamu rumah Bu Siska.
Dengan gelisah, kutunggu beberapa detik sampai panggilan tersambung.
"Halo." Untungnya panggilanku diangkat, memperdengarkan suara yang sangat kurindukan itu -- padahal baru berpisah beberapa jam.
"Nira ... foto yang kamu kirimkan ... itu siapa?"
"Itu papaku, Mas."
"Pa--pamu?"
"Ho-oh. Papaku seorang hakim, Budi Jaya Aldenira namanya. Dulu pernah bertugas di DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu. Sekarang sudah pensiun."
Aku terperanjat. Jadi hakim sialan yang menghancurkan hidup keluargaku adalah papanya Nira? Tidak mengherankan, soalnya Nira bercerita papanya yang bengis suka memukulinya pakai sabuk. Aku masih merinding ngilu membayangkan luka-luka baret di punggung Nira saat ia menunjukkannya. Bagaimana bisa seorang ayah berbuat seperti itu pada putrinya sendiri?
"Kamu dapat foto itu dari mana?"
"Dari evidence board di rumah Bu Ratri."
"Jangan khawatir sama foto yang itu, keduanya sudah dipenjara sekarang. Hanya saja ...." Hanya saja, mereka yang menghancurkan hidup keluargaku. Aku simpan dulu perkara itu, Nira tidak perlu dipusingkan dengan urusan pribadiku yang sudah selesai beberapa tahun lalu itu.
"Hanya saja apa, Mas?"
"Nggak ada apa-apa. Yang satunya, Anjing Gila dengan Gunawan Rahadi. Lalu perempuan itu siapa?"
"Entah, sepertinya anaknya? Aku juga nggak kenal."
"Biar aku bantu cari tahu. Kebetulan aku lagi undang temanku yang di Mabes Polri, dia ahli soal geng preman. Nanti kucari informasinya lebih lanjut."
"Baik, makasih, Mas." Nira berhenti sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Oh, ya, Mas Danar, ngomong-ngomong soal Grup Rahadi, aku simpan flashdisk di laci nakas sebelah kiri tempat tidurku. Itu isinya fail-fail yang sudah kukumpulkan tentang Grup Rahadi. Mas Danar buka aja trus baca-baca buat penyelidikan lebih lanjut. Untuk saat ini ... aku masih belum bisa ketemu Mas lagi. Dia akan tahu kalau Mas bareng aku, dan dia nggak akan mau muncul."
Aku mengembuskan napas. "Ya sudah, jaga dirimu baik-baik. Kalungnya jangan dilepas, ya." Aku sempat ketar-ketir bingung apakah mau menyusul Nira saat ia meninggalkan rumah Bu Siska tadi malam, tetapi kuurungkan niatku ketika tahu ia hanya pergi ke kantor.
"Iya, Mas. Makasih ... udah mengkhawatirkanku," ucapnya kaku.
"Jaga diri baik-baik, Nir." Aku kangen kamu, batinku, tetapi tak kuucapkan lantang.
***
"Syukurlah kalian masih mau ngomong satu sama lain," ucap Bagus sambil menyengir ketika aku keluar dari kamar Nira dengan membawa flashdisk yang katanya berisi berkas-berkas Grup Rahadi. Jelas dia pasti sudah menonton video pengumuman pertunanganku dengan Nira kemarin malam.
Aku mengedikkan bahu. "Nggak usah kepo, Gus. Beritahu aku saja apa yang kamu tahu soal Grup Rahadi. Ini ada berkas tambahan dari Nira."
Kutunjukkan foto Gunawan Rahadi bersama Danang dan perempuan asing itu kepada Bagus. Polisi itu mengamatinya sejenak, tetapi tampaknya ia juga buntu.
"Boleh dikirim ke aku? Makasih."
Beberapa saat kemudian Bagus menunjukkan layar laptopnya yang memuat informasi tentang perempuan itu. Benar dugaan Nira, ia adalah putri Gunawan Rahadi, Adrianna Alline Rahadi, yang juga menjabat sebagai PT. Hadi Indojaya saat ini. Kami mengernyitkan alis melihat foto-foto perempuan seksi bak model yang selalu mengenakan warna hitam atau merah tersebut. Vibe-nya mirip Tiara Suryajati, tetapi lebih misterius. Alline, begitu ia disebut, jarang sekali muncul di acara publik maupun sampul majalah, makanya aku dan Bagus tidak pernah melihat wajahnya.
"Inget, Nar, udah punya tunangan," ledek Bagus yang entah sejak kapan jadi usil begini.
"Enak saja, itu bukan tipeku. Cuma kepikiran ...." Ingin sekali rasanya kutoyor kepala Bagus yang masih tersenyum miring ke arahku, walaupun ia tidak mengatakan apa-apa. "Kalau Alline adalah dirut PT. Hadi Indojaya dan pernah foto bareng Danang, apakah dia terlibat dengan masalah ini?"
"Mari kita periksa," ujar Bagus sambil mencolokkan flashdisk Nira ke laptopnya.
Hanya satu ulasan yang dapat kami temukan di Internet, yaitu lima tahun lalu ketika Alline berhasil membawa merek kosmetik Saschiya menjadi line kosmetik di Indonesia karena harganya terjangkau dan kualitasnya mumpuni. Promosinya lebih banyak menggunakan juru bicara dan influencer sebagai brand ambassador-nya -- tentu saja termasuk Giani Paramita -- dan ternyata pernah diulas oleh Nira di arsip blog lamanya.
Hasil penyelidikan Bagus mengenai PT. Hadi Indojaya tidak terlalu banyak yang mencurigakan, karena menurut catatan kepolisian, PT. Hadi Indojaya tidak pernah mendapat laporan buruk. Bahkan pengelolaan pabriknya pun cukup baik, disertai foto-foto dan video rekaman, walaupun bisa saja dipalsukan.
"Lalu dari riwayat Danang Putra Wiratama, dia nggak pernah bekerja secara formal pada Freddi Martadinaja seperti dugaan kalian. Dia baru tercatat bekerja di perusahaan PT. Perkasa Jaya sebagai security tahun 2018."
"Itu berarti sebelum Nira ke New York, ya," gumamku. "Nira ke New York tahun 2019-2021, yang ujung-ujungnya dikejar Danang juga. Kalau dia nggak pernah tercatat sebagai pegawai Freddi, berarti hubungan kerjanya dengan Freddi itu informal."
"Kelihatannya begitu. Mereka berdua dihukum atas tindak kriminal yang berbeda pada kasus yang sama, di New York tahun 2020. Danang karena pembunuhan Abraham, Freddi karena percobaan pembunuhan."
"Tunggu, yang video kuda lumping itu kapan?"
"Kuda lumping?" Bagus tak mengerti ucapanku.
Aku mengambil alih laptop Bagus dan membuka video perekrutan preman dan penorehan tato yang dijalani oleh Danang. Berkasnya tercatat terakhir dimodifikasi beberapa bulan lalu, tetapi tidak ada tanggal dibuatnya kapan.
"Mungkin Lita bisa bantu lagi," desahku.
Kami membaca laporan Nira. Anehnya, laporan pemasukan dan pajak dari PT. Hadi Indojaya tidak sebesar yang kami bayangkan, mengingat penjualan kosmetik Saschiya seharusnya menjadikan perusahaan ini lebih kaya. Ternyata Bagus menelusuri ada aliran dana yang keluar ke tiga pihak: rekening pribadi Alline, Freddi Martadinaja, dan seseorang yang bernama Kaisar Linggarjati.
"Kaisar Linggarjati?" Tiba-tiba aku teringat nama 'Pak Kaisar' yang katanya disuruh merusak pabrik Mie Gara. Jangan-jangan semua ini memang ada hubungannya.
"Tokoh fiktif. Aku sudah cek di database kepolisian maupun Penumbra, nggak ada orang dengan nama itu," ujar Bagus. "Tapi dia adalah direktur utama sebuah perusahaan security yang bernama PT. Perkasa Jaya, yang ... Danang tercatat sebagai pegawainya sampai saat ini."
Sekarang semuanya sudah jelas. Aku tertawa kaku. "Lucu, ya, mau buat kejahatan saja sampai seribet ini. Bukankah lebih baik mereka menulis cerita? Freddi dan Gunawan berteman, Gunawan punya perusahaan kosmetik dan diam-diam punya perusahaan security atas nama lain, lalu Danang bekerja pada Gunawan secara legal dan pada Freddi secara informal. Dan Alline ini ... apakah ada hubungannya?"
"Itu yang masih harus kita cari tahu."
***
Setelah meringkas laporan yang kami temukan dan mengirimkannya balik kepada Nira, aku memutuskan untuk mendinginkan kepalaku yang pusing. Aku mengunjungi Yayasan Cornelia Jati di Kuningan untuk makan siang bersama Wulan. Adikku terkejut bercampur senang ketika bertemu denganku.
"Kirain kalau udah sama Nira, adiknya dilupain. Untung enggak. Kenapa Mas tunangan nggak bilang-bilang dulu, hah?"
Aku meringis. "Maaf, Wulan, ini sedikit mendadak."
"Ya udah, nanti ceritakan padaku. Sekarang kita mau pergi makan di mana?"
"Apa boleh Mas makan di kafetaria yayasan aja?"
Wulan terkejut sekali lagi, tetapi ia tidak melarangku. "Tumbenan banget."
Makanan di kafetaria Yayasan Cornelia Jati berbeda setiap hari, tetapi selalu enak. Tidak heran, Cornelia Jati -- ibunda Tiara -- sendiri yang turun tangan memilihkan tukang masak bagi relawan maupun korban yang sedang direhabilitasi. Hari ini tersedia sup bayam bening dan jagung, bakwan kol, serta ayam rica-rica. Kami mengambil semuanya, tak lupa hidangan penutup yang berupa puding pelangi.
"Nira mana? Lagi kerja, ya? Biasanya kan kalian nempel terus kayak perangko," celoteh adikku yang membuat hatiku adem bercampur haru karena melihatnya sudah pulih seperti ini.
"Iya, lagi kerja," sahutku sambil tersenyum lembut.
"Bohong." Ucapan Wulan membuatku tersentak.
"Apa maksudmu, Lan?"
"Mas Danar dan Nira lagi ribut, kan? Muka Mas suram gitu, matanya hitam-hitam kayak orang kurang tidur, nggak mungkin cuma pisah biasa karena kerjaan."
Adikku sangat peka dan cerdik sampai aku gregetan. Ingin rasanya kuusap rambutnya yang diikat satu itu, tetapi ia pasti protes karena aku membuatnya berantakan. Apalagi Wulan adalah perempuan dewasa berusia 28 tahun, aku harus menghormatinya seperti orang dewasa. Walaupun di mataku ia tetap saja adik kecilku.
Aku meringis. "Iya, biasalah namanya orang pacaran pasti berantem."
Wulan menyengir. "Jangan lama-lama berantemnya, Mas. Cepetan baikan. Kalian sama-sama keras kepala dan gengsi, lebih baik Mas Danar yang ngalah duluan."
"Sebenarnya Mas udah telepon dia, kok, tadi. Nanti Mas akan temuin dia, tapi mau ngobrol sama kamu dulu."
"Mau minta wejangan nih bau-baunya. Ya sudah, silakan tanya sebelum aku charge waktuku buat konsultasi."
Aku tertawa menanggapi sarkasme adikku. "Nanti, ya, abis makan. Soalnya Mas butuh ruangan privat."
Wulan mengangguk.
***
Wulan duduk di balik meja kayunya di dalam ruangan privatnya yang dingin karena AC, sementara aku berjalan mondar-mandir di hadapannya bak pasien konsultasi yang sedang bingung. Wulan memang sedang ambil kuliah profesi jurusan psikologi klinis, tetapi sebenarnya ia belum boleh membuka praktik sendiri. Di Yayasan Cornelia Jati pun, pekerjaan utama Wulan adalah bagian administrasi, semacam asisten kepala yayasan, sebelum nanti ia akan jadi psikolog profesional.
"Ada masalah apa, Mas? Kelihatannya serius banget?" tanya Wulan.
"Ini ... bukan hal yang bikin Mas ribut dengan Nira, kok. Urusan itu bisa kami selesaikan sendiri. Ini lebih ke arah ... minta masukanmu. Tapi Mas juga khawatir traumamu ...." Entah apakah Nira keberatan jika aku menceritakan masa lalunya kepada Wulan.
Wulan hanya diam sambil melipat tangannya. "Asal nggak terlalu eksplisit, harusnya nggak masalah, sih. Toh, aku juga ngurusin kasus-kasus KDRT setiap hari."
"Jadi ... Nira punya masa lalu yang agak mirip sepertimu." Kumulai ceritaku dengan perlahan. "Kemarin, waktu kami mengumumkan pertunangan di vlog, itu sebenarnya taktik untuk memancing si brengsek itu keluar. Si brengsek yang -- yang merusak Nira beberapa tahun yang lalu." Kakiku tak kuat menopang tubuhku yang gemetaran. Aku duduk di sofa dan meneguk segelas air di hadapanku.
Sebenarnya bukan itu yang mau kuceritakan. Aku ingin minta izin pada Wulan, apakah tidak masalah aku berhubungan dengan perempuan yang ayahnya melepaskan pemerkosanya bertahun-tahun lalu? Namun karena Sujatmo dan Doni sudah dihukum, dan Nira juga sedang mengincar ayahnya, aku tak bisa menyampaikan ini pada Wulan.
"Astaga." Wulan menutup mulutnya dengan tangan. "Lalu ... dia itu masih berkeliaran?"
Aku mengangguk. "Dia yang menyebarkan video asusila Nira dan dirinya saat itu. Sekarang Nira sedang bekerja sama dengan polisi untuk menjebak dia."
Wulan menunduk. "Lalu?"
"Jadi kemarin ... Mas melamar Nira karena situasi. Kami dituduh tinggal serumah ... dan entah kenapa ... Mas pikir kalau kita nikah saja, masalah fitnah itu akan beres. Eh, malah jadinya mengarah ke sini." Aku menutup wajahku dengan tangan.
Meskipun bersimpati padaku, Wulan tak dapat menyembunyikan senyum kecil. "Aku senang Mas Danar sesekali berlaku spontan," ledeknya. "Tapi yang penting Mas melamarnya dengan tulus, kan?"
"Tentu saja," sambarku cepat-cepat. "Aku sudah cukup yakin dengan Nira. Hanya saja mungkin tidak secepat ini aku melamarnya. Banyak yang perlu kupersiapkan."
"Ya sudah, kalau begitu apa masalahnya? Nira juga paham, kan, maksud Mas?"
"Ya, tentu saja," sahutku lagi. "Tapi aku sempat kepikiran ... aku khawatir Nira merasakan kalau pertunangannya hanya pancingan, dia bisa kehilangan kepercayaan padaku. Padahal aku benar-benar tulus -- walaupun kami jadikan pancingan juga."
"Kalau melihat sifat Nira yang tertutup, dia mau bercerita tentang masa lalunya berarti dia sudah percaya sekali padamu, Mas." Wulan menarik napas sejenak. "Mas tahu, kan, aku -- aku masih belum bisa percaya pada laki-laki, selain Mas Danar dan Mas Prad? Aku pilih kerja di sini karena hampir semua pegawainya perempuan. Kalau pun ada lelaki, hanya sebatas kenalan saja, dan orangnya juga itu-itu saja, yang sudah kukenal cukup baik."
Aku mengangguk. Apalagi Yayasan Cornelia Jati milik ibunya Tiara Suryajati, yang mengaku sebagai 'feminis garis keras' dan mendukung kesetaraan hak-hak perempuan. Laki-laki mau macam-macam di sini, keburu dicincang olehnya, seperti kata Renita Arsa.
"Aku nggak tahu seberapa parah traumanya Nira, tapi kalau dia sampai mau menerima lamaranmu, berarti Mas Danar sudah lolos semua perhitungannya," lanjut Wulan. "Jangan sampai Mas sia-siakan kepercayaan itu."
"Makasih, Wulan." Aku tersenyum.
***
Hari sudah menjelang petang ketika aku melangkahkan kakiku keluar dari Yayasan Cornelia Jati. Lebih dekat ke apartemenku daripada ke rumah Bu Siska, jadi aku memutuskan pulang ke apartemen saja. Karena mobilku ditinggal di rumah Bu Siska -- aku malas menyetir di kemacetan Jakarta kalau tidak terpaksa -- aku memanggil ojek untuk mengantarku ke apartemen.
Belasan menit kemudian, aku sudah tiba di tujuan. Supir ojek menurunkanku di lobby apartemen. Setelah mengembalikan helm dan ia berlalu, aku bersiap masuk ke dalam lobby, tetapi langkahku terhenti oleh panggilan seorang perempuan.
"Mas Danar Eka Narabhakti?"
Aku berpaling. Seorang perempuan berpakaian serba hitam, separuh wajahnya tertutup kacamata hitam, menyembul dari balik jendela mobil Mercedes hitam seri S. Bibirnya dipoles rona merah menyala. Aku tak perlu melihat seluruh wajahnya untuk mengenalinya -- perempuan yang kulihat tadi siang bersama Bagus -- Adrianna Alline Rahadi.
"Mbak Al --"
"Kamu tahu siapa saya. Begini, saya ingin menawarkan sebuah deal." Ia membuka pintu mobilnya dan turun menghampiriku. Dengan sepatu hak tingginya, ia sudah menyamai tinggiku. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku sampai terasa panas, lalu berbisik, "Saya ingin kamu ambil tunanganmu balik. Apapun caranya. Mau nikah cepat pun saya sponsori."
"Apa-apaan ini?" Aku menjauhkan tubuhku.
Alline meletakkan tangannya di bahuku. Lewat cengkeramannya, aku tahu ia punya kemampuan bela diri. "Pokoknya, aku nggak mau perempuan rendahan seperti Alnira Dewi menjadi halangan bagiku dan Priaku."
Kutahan amarahku mendengar Nira disebut rendahan. "Priamu? Maksudmu?"
"Nah, itu otak dipake makanya." Ia mengetukkan telunjuknya ke dahiku. "Ganteng-ganteng nggak ada isi, kan percuma. Ya, Priaku -- Danang Putra Wiratama. Ambillah Alnira Dewi sebagai milikmu, maka Danang akan jadi milikku selamanya. Kamu butuh apa untuk ambil dia balik? Aku akan membantumu."
Aku terperanjat mendengar permintaanya. Dunia kurang orang gila apalagi?
.
.
.
Bersambung.
29 Juni 2021.
2400++ kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top