21 (part 1)
DANANG
Aku suka pemandangan ini.
Nira -- cintaku -- keluar dari pagar rumah ibu angkatnya membawa tas besar dengan langkah grusa-grusu, pertanda marah besar. Danar mengejarnya, tapi terlambat. Nira sudah keluar gerbang utama kompleks perumahan begitu laki-laki itu buka pagar rumah.
Tidak kusangka, video senggama -- aku selalu menontonnya jika kangen dengan Cintaku -- dari enam tahun lalu yang kukirim langsung ke surel si pecundang itu dan telegram grup pornografi berhasil mengguncang mereka. Hal pertama tadi sama persis yang kulakukan pada Abraham -- pacar bulenya yang bikin aku mendekam di penjara pengap itu -- sebelum peluru dari pistol revolver favoritku berhasil menembus tengkuknya.
Seharusnya peluru sianida itu menembus dada si pecundang itu, bukan kliennya Cintaku. Kadang aku benci dengan temperamenku bila terlalu menguasai diriku. Tetapi tidak apa, itu sudah jadi peringatan awal buat Cintaku akibat kebandelannya tersebut.
Kali ini, aku yakin Danar si pecundang akan benar-benar meninggalkan Cintaku, biar tanganku tidak kotor lagi kayak ke Abraham. Aku masih baik-baik lho bicara ke dia lewat surel, nggak separah dua tahun lalu. Kan gini enak jadinya, apa lagi dia kelihatannya tidak seperti Abraham. Buktinya masuk ke rumah lagi, ya begitulah seorang pecundang.
Kalau ada cara mudah, kenapa harus sulit?
"Aturan pertama, Nang. Jangan remehkan lawan lo. Lo lupa gimana si Bule ternyata tetap sama Nira segigih itu sebelum lo mampusin dia? Siapa tahu si Pecundang itu bahkan mainnya lebih alus?"
"Bisa nggak, Co, lo diem aja kali ini? Ngerusak mood gue aja."
Rico -- yang duduk di kursi penumpang sampingku -- mengedikkan bahu sambil ketawa enteng. "Wah ... nggak percaya lo rupanya. Pipi kanan gue masih nyeri gara-gara tendangannya waktu itu."
Aku mendengus, tapi masih kesal dengan tindakan Rico yang gegabah itu. "Setidaknya itu karma karena kecerobohan lo yang bikin Yudhis nggak ada."
Wajah meremehkan Rico berubah sedih. "Jangan salahin gue gitu aja, Nang. Lo-nya sendiri juga pengecut waktu itu."
"Gue masih ada urusan sama Anna waktu itu, sudah berapa kali gue bilang?" Suaraku mendadak tinggi.
"Hentikan, gue nggak mau dengar lagi. Sekarang apa rencanamu berikutnya? Mumpung gue sudah nemu hal bagus tentang pacarnya Nira yang lebih ganteng dari lo. Dan ini adalah kelemahannya selain jadi pecundang kayak tadi."
Kuhadiahi jotosan tepat di bekas luka bakarnya Rico di rahang. Cintaku memang bengis, tapi Ella itu sadis sampai-sampai siram minyak panas ke sisi kanan wajah Rico. Aku heran kenapa Bagas betah sama perempuan norak kayak gitu. Ah sudahlah, itu bukan urusanku.
Rico mengusap bekas lukanya sambil meringis, aku benci bila dikaitkan dengan Yudhis. Aku rindu dengan kecerdasan dan betapa briliannya sahabatku satu itu kalau dalam hal-hal begini.
"Apa yang lo temuin?"
Rico menyodorkan tabletnya padaku. Ternyata isinya adalah data diri pecundang itu, tapi bukan data diri dari internet serta pengamatanku mengikuti langkahnya sebulan dua bulan. Melainkan data diri dari suatu perusahaan entah dari mana, serta kemampuannya di situ. Aku sangat yakin bahwa Cintaku pasti tidak tahu bagian ini.
Rico mesam-mesem saat mataku teralih dari tablet itu. "Gue nggak kalah pinter, kan, dari Yudhis soal ini? Tinggal lo mau apain? Muncul di permukaan nggak mungkin, polisi sudah stay di tempat lama lo serta masang muka lo di DPO. Atau tetap pakai cara ini dan langsung bawa paksa Nira ke tempat baru lo sekalian threesome sama Anna? Atau Alline? Heran gue pacar lo satu itu banyak banget panggilannya."
Aku menggeleng. "Anna itu panggilan sayang gue ke nona besar Adrianna Alline." Kuketuk layar tablet yang masih menampilkan foto si Danar pecundang seakan membunuhnya itu seringan kapas. "Nira sekarang jauh lebih cerdik dari sebelumnya, tidak heran Bos Emas kesandung polisi sama gue waktu itu. Apa gue harus pakai cara lama, Co?"
"Atau lo bikin pertunjukan langsung di depan mata si Pecundang itu aja?" Rico menawarkan rencana baru.
Aku menggeleng, "Terlalu drama. Gue males lihat mata penuh cinta dan pengharapan Nira ke Pecundang itu, bisa-bisa pisau gue langsung terobos lehernya dan hukuman gue bertambah. Gue belum mau pakai cara itu kalau nggak terpaksa banget."
"Lo melarikan diri dari penjara aja sudah bikin masalah," gumam Rico pelan yang masih ketangkap telingaku.
"Apa lo bilang?"
"Lo nggak sabaran," jawab Rico senewen sambil putar bola mata. "Lo bisa pakai cara lama, tapi eksekusinya harus baru."
Rico sepertinya belajar dari Yudhis. Dia kemudian membisikkan rencana yang menurutku sangat brilian. Setidaknya itu bikin si Pecundang benar-benar mundur dari hati Cintaku.
***
NIRA
"Astaga, lo ngapain tidur di situ?"
Kepalaku terbentur sisi kiri kolong meja saat berusaha bangun. "Apaan sih, Ron? Berisik ah. Lo juga sudah biasa lihat gue gini." Selimut tipisku tersibak sedikit, selimut yang selalu ada di laci kubikelku setiap aku nginap di kantor.
Ronald mengarahkan kepalanya ke kanan tanda kode. Mataku langsung terbangun ketika melihat siapa yang berada di belakangnya.
Pak Ardhi.
Dengan muka tak terbaca.
Ronald bergeser ke kanan bersamaan denganku yang keluar dari kolong meja kubikel -- bentuk meja huruf L sungguh bikin nyaman meluruskan kaki -- Pak Ardhi pun melipat tangan di dada seraya berdecak.
"Nira, cepat bersihkan dirimu lalu ke ruangan saya," perintahnya dengan suara datar. Bikin orang-orang yang baru datang jadi canggung.
Oke, kalau Pak Ardhi suaranya sampai kayak gitu berarti pertanda sangat serius dan darurat. Jadi buru-buru aku pakai fasilitas kamar mandi dekat toilet kantor sekaligus membersihkan diri dan ganti pakaian kerja andalanku -- blus dan celana kain, tidak lupa minum setablet paracetamol untuk menenangkan migrain yang terus mengganggu semalaman. Sebelum berangkat ke ruangan Pak Ardhi, ada surat berkop asosiasi pengacara atas namaku di meja. Pas kubaca sambil naik tangga ke lantai paling atas, ternyata aku paham kenapa Pak Ardhi memanggilku.
"Mulai sekarang, serahkan semua kasus yang belum kamu tanda tangani dengan surat kuasa ke Dara sama Ronald."
"Pak ...." Aku berusaha protes.
"Selesaikan masalahmu dulu, Nira." Pak Ardhi mengibaskan tangan, masih dengan suara datarnya. "Kamu pilih mana? Saya pecat dengan tidak terhormat dari kantor ini atau selesaikan masalahmu sambil bersihkan nama baikmu? Saya tidak ingin pengacara yang kerja dengan saya sama Pak Andi punya beban pikiran dalam menjalani pekerjaannya, terutama kamu."
Kali ini aku tidak membantah, semua perkataan Pak Ardhi serasa menamparku tidak langsung.
"Saya tahu, kantor ini sudah banyak disorot media sejak pertama berdiri. Namun, ini pertama kalinya asosiasi pengacara terlibat, Nira." Suara Pak Ardhi terdengar frustrasi, mengisi kesuraman ruangan yang baru saja terlimpahkan cahaya matahari dari kaca jendela. "Setelah saya selidiki di pihak mereka, ternyata pelapor itu mengetahui sebuah video asusila di grup Telegram pornografi atas namamu. Dan lagi-lagi saat saya tanyakan identitasnya, mereka merahasiakannya. Saya yakin ada yang tidak beres di sini, seakan pengen jatuhin kantor ini lewat kamu."
"Saya mengerti, Pak," jawabku lesu.
"Apa pun masalahmu di situ, saya dan Pak Andi akan membantumu dalam proses sidang kode etik minggu depan semampu kami. Tetapi semuanya kembali ke kamu, Nira. Ingat prinsip praduga tak bersalah, kan?" Suara Pak Ardhi sudah tidak sefrustrasi tadi.
Aku tahan rasa haru ini, Pak Ardhi sama Pak Andi memang orang baik. Padahal bisa saja dua orang berpengaruh di dunia hukum ini langsung memecatku. Hanya ucapan terima kasih yang keluar dari mulutku yang langsung disambut senyum ramah Pak Ardhi sebelum duduk di kursi besar kebanggaannya tersebut.
"Sebenarnya .... " Entah ada dorongan dari mana aku mengatakan hal yang kutahan dari lima tahun lalu saat tidak sengaja membongkar kasus lama di ruang arsip, lalu dihubungkan dengan puzzle yang kususun sejak kuliah. "Ada yang mau saya tanyakan ke Bapak."
"Kamu mau tanya apa, Nira?" Pak Ardhi tampak penasaran.
"Saya tahu tentang permusuhan Bapak dengan Freddi Martadinaja bertahun-tahun lalu dari cara Bapak yang membela lawan politik dan lawan bisnisnya, termasuk Grup Anggara. Tapi ... saya menemukan ini." Aku menyerahkan ponselku yang isinya tulisan dan angka dari dokumen dari pencarian lamaku ke Pak Ardhi.
Sudah kuduga ekspresi Pak Ardhi berubah total, seakan terkejut dengan apa yang kutemukan.
"Pak Ardhi selama ini ingin menangkap papa saya, karena Bapak menduga vonis yang dikeluarkan orang tak bermoral itu terlalu ringan sampai tidak masuk akal dan dalam kasus perdata, putusan yang dikeluarkan selalu merugikan klien Bapak. Sayangnya, selalu gagal karena Bapak sendiri tidak punya bukti konkret, kan?"
"Kamu ... putrinya Budi Jaya Aldenira? Mantan hakim tinggi di pengadilan tinggi DKI Jakarta yang pensiun dua tahun lalu itu?"
Kini aku yang heran setengah mati. Apa Pak Ardhi baru tahu atau pura-pura tidak tahu?
Kujawab dengan anggukan pelan.
"Foto itu adalah salah satu bukti konkret, yaitu rekening koran papa saya tepat setelah memutus kasus suap tender alat keruk tambang emas yang dilakukan oleh kementerian ESDM, di mana direktur utama anak perusahaan Grup Martadinaja hanya dapat hukuman satu tahun pada upaya hukum banding, di mana seharusnya dapat empat tahun penjara sesuai putusan pertama. Pertimbangan majelis hakim waktu itu adalah terdakwa sakit -- padahal tidak ada riwayat penyakit sama sekali. Itu kasus dua tahun lalu, dua bulan sebelum Papa pensiun. Saya tahu Bapak curiga dengan pergerakan papa saya jauh sebelum itu bila ditelusuri dari kasus-kasus sebelumnya, baik perdata maupun pidana."
Pak Ardhi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, tersenyum simpul. "Biasanya, anak seperti kamu akan melindungi orang tuanya dengan cara apa pun. Dan apa yang saya lihat ini sungguh menakjubkan. Pertanyaan saya, kenapa kamu mau menangkap papa kamu sendiri?"
"Justru sudah cukup saya melindungi nama baik Papa selama ini, Pak," jawabku setengah berapi-api. "Sudah cukup ... saya menderita bertahun-tahun karena orang tidak bermoral itu. Di depan penuh pencitraan sebagai hakim berintegritas tapi belakangnya busuk setengah mati. Saya menunggu ... sekaligus cari bukti konkrit semampu saya. Sayangnya, waktu Freddi dan Danang alias Anjing Gila ditangkap dua tahun lalu saya lalai menjerat Papa karena ada yang janggal dan kondisi saya tidak memungkinkan waktu itu."
"Hmm, begitu." Pak Ardhi mengusap dagu, tampak berpikir. "Apa yang membuatmu berpikir itu janggal, Nira?"
"Saya merasa ada yang aneh sejak penangkapan Freddi dan Anjing Gila alias Danang, mereka terlihat pasrah saja waktu terciduk. Padahal Pak Ardhi tahu sendiri betapa garangnya mereka melanggar hukum selama ini. Sampai kejadian Grup Syahreza, Wiratmoko, dan Rahadi yang ingin menjatuhkan Grup Anggara. Pasca-kematian Kamila Sudarsono, saya mencari tahu lebih rinci tentang Grup Rahadi yang misterius itu. Ternyata, papa saya terlibat di dalam skema suap dan penerima dana hasil pencucian uang dari Grup Rahadi juga dengan versi lebih halus, sayang bagian ini buktinya masih belum selengkap Grup Martadinaja karena yang saya temukan hanya foto mereka bertiga dalam suatu jamuan penting yang tidak dipublikasikan media beberapa tahun lalu. Silakan Bapak lihat sendiri. Itu penyebab keganjilan saya."
Dan juga video perekrutan preman yang kulihat dengan Mas Danar kemarin. Apakah mereka ada hubungannya?
Pak Ardhi menggeser layar ponselku ke kanan untuk lihat sendiri hasil scan fotonya. "Hipotesa menarik, Nira. Apa lagi yang kamu temukan?"
Aku menggeleng. "Untuk bukti tentang Pak Budi Jaya lebih lengkap -- minus Grup Rahadi, saya taruh di tempat yang aman dan kuncinya dipegang Mas Danar. Saya akan kasih ke Bapak secara bertahap bila sidang kode etik ini berhasil. Anggap saja hadiah balas budi saya ke Bapak selama ini."
Kenapa nyebut nama doang bikin jantungku berdebar gini?
Pak Ardhi mengembalikan ponselku. "Terima kasih, Nira. Kamu bisa keluar dan saya akan kabari jika ketemu siapa pelapor ke asosiasi pengacara terkait kasus asusila kamu."
Begitu menginjakkan kaki di kubikel, aku mengajak Dara dan Ronald ke ruang pertemuan langganan tempat diskusi untuk menjalankan perintah Pak Ardhi tadi. Kasus-kasus yang ini tidak seberat milik Grup Anggara.
Dari tatapan mereka, aku tahu video asusila itu menyebar ke pegawai lain. Rasanya ingin marah, tapi tenagaku saat ini benar-benar terkuras. Sudah debat kusir sama Mas Danar kemarin yang mana sampai sekarang belum kuhubungi lagi, lalu ketambahan tatapan dan suara-suara nyinyir pegawai waktu lewat kubikel mereka. Aku tertawa dalam hati, jelas saja mereka begitu, karena bila konfrontasi di depanku langsung kubalas berkali-kali lipat lebih sakit dengan sehalus mungkin. Syukurnya, aku jadi tahu siapa orang yang benar-benar tulus berteman denganku atau tidak.
"Nir, kalau lo ada masalah tolonglah jangan lo pendam sendiri seakan lo bisa selesaikan semuanya. Sekali-sekali butuh bantuan tuh nggak masalah. Ya, kan, Ron?" ucap Dara dengan mata berkaca-kaca setelah menggeser setumpuk kertas pada mereka berdua. Dari dulu dia memang selalu sensitif, dengan Ronald di sebelahnya yang mengangguk setuju.
"Thanks," jawabku, "Pasti akan gue pertimbangkan kok."
Aku kembali ke kubikel hanya untuk ambil tas tangan dan dokumen buat riset hukum perizinan usaha mebel di Jakarta Barat, lebih enak kerjain di ruang arsip saja. Ya, seperti kembali ke zaman magang dulu.
Entah sudah berapa jam kulalui untuk ulas dan riset kasusnya Pak Ello, ponselku berdering menampilkan nama Bu Ratri. Sempat terpikir bahwa yang telepon itu Mas Danar, tapi baru sadar kalau nada dering buat dia beda sendiri dari kolega dan sahabatku.
Sadarlah, Nira, belum saatnya mikir tentang Mas Danar. Fokus kerja, toh semuanya sudah berakhir. Tetapi kenapa hati ini terus sakit mengingat pertengkaran kemarin?
Mas Danar harusnya paham bahwa aku melakukan ini untuk melindunginya juga, tapi kenapa sampai marah begitu sih?
Bagaimana kondisinya sekarang? Apa Mas Danar baik-baik saja? Jujur aku takut dia diserang tiba-tiba oleh Anjing Gila atau dibunuh diam-diam.
Sudah, Nira, hentikan rasa khawatirmu. Hubungi saja dia.
Tidak, tidak. Aku takut.
Sialan migrainku kumat lagi.
"Ada apa, Bu?" tanyaku setelah memberi catatan kecil di dokumen yang baru saja kucetak.
"Bisa ketemu Ibu di rumah? Kemarin Pak Darya telepon Ibu terkait kamu sama Anjing Gila alias Danang yang katanya mau interogasi barengan. Akan lebih baik kalau kita diskusiin ini lebih lanjut kalau sudah ketemu. Ibu tunggu kehadiran kamu."
Prediksiku adalah Bu Ratri tidak setuju atas keputusanku kemarin -- di mana jadi objek konflik dengan Mas Danar. Ah, lebih baik aku menemuinya saja supaya lebih jelas. Setelah pekerjaanku selesai, aku bergegas menuju tempat tujuan.
.
.
.
Bersambung.
20 Juni 2021
2100++ kata
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM): mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral untuk membantu Presiden dalam men yelenggarakan pemerintahan negara.
Sidang banding: salah satu jenis upaya hukum bagi terpidana atau jaksa penuntut umum untuk meminta pada pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan negeri karena dianggap putusan tersebut jauh dari keadilan atau karena adanya kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan keputusan.
Hakim Tinggi: adalah orang yang melaksanakan upaya hukum tingkat banding.
Pengadilan Tinggi: sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri.
Perdata: semua peraturan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan dalam hubungan masyarakat.
Pidana: sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).
Threesome: adalah sebuah bentuk dari seks berkelompok, tetapi hanya melibatkan tiga orang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top